Jumat, 29 September 2017

Persepuluhan di dalam Alkitab (19): Penjelasan tentang Melkisedek



Jumat, 29 September 2017
Bacaan Alkitab: Ibrani 7:1-3
Kepadanya pun Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya. Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera. (Ibr 7:2)


Persepuluhan di dalam Alkitab (19): Penjelasan tentang Melkisedek


Mulai hari ini kita akan membahas ayat-ayat di dalam kitab Ibrani pasal 7 tentang persepuluhan. Setidaknya dari 9 ayat yang memuat kata “persepuluhan” atau “sepersepuluh” dalam konteks persembahan, ada 6 ayat di dalam perikop ini, dimana 3 ayat telah kita bahas dalam renungan sebelumnya. Oleh karena itu, kita perlu mengerti betul konteks Ibrani 7 ini supaya kita dapat mengerti makna asli dari ayat-ayat tersebut.

Kitab Ibrani ditulis kepada orang-orang Yahudi atau orang Ibrani oleh seseorang yang paham betul mengenai hukum Taurat dan adat istiadat/tradisi orang Yahudi. Kitab Ibrani dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Yesus Kristus adalah Mesias yang dijanjikan kepada bangsa Yahudi, namun yang ternyata telah ditolak dan bahkan disalibkan oleh bangsa Yahudi sendiri. Kitab Ibrani dapat dikatakan sebagai “jembatan” yang menyambungkan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga bangsa Yahudi dapat mengerti maksud rancangan Allah (Yahweh/YHWH) untuk menyelamatkan seluruh umat manusia.

Kita yang bukan orang Yahudi tentu akan kesulitan untuk memahami inti kitab Ibrani ini karena memang kita tidak memiliki kebiasaan atau tradisi seperti bangsa Yahudi. Oleh karena itu, supaya kita dapat memahami kitab Ibrani ini, kita perlu belajar untuk memahami semangat penulis kitab ini dan apa tujuan ia menulis kitab ini. Dalam hal ini, salah satu tujuan utama penulis kitab Ibrani adalah untuk menjelaskan kepada bangsa Yahudi bahwa Yesus Kristus itu adalah Mesias, bahwa Yesus Kristus itulah penggenapan hukum Taurat. Bangsa Yahudi sangat meninggikan dan mengagungkan hukum Taurat, karena itulah hukum yang diberikan Allah sendiri kepada nenek moyang mereka. Mereka pun sangat bangga bahwa mereka adalah keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub. Namun demikian, di sinilah penulis kitab Ibrani mencoba memasukkan prinsip bahwa ada seorang sosok yang melebihi Abraham, Ishak, dan Yakub, yaitu Tuhan itu sendiri. Dan ini digambarkan dengan perbandingan antara Abraham dengan sosok lain yang lebih tinggi yaitu Melkisedek.

Kitab Ibrani menulis bahwa Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah yang Mahatinggi (ay. 1a). Ini sejajar dengan apa yang ditulis di dalam kitab Kejadian (Kej 14:18). Kitab Ibrani ini juga mengulang peristiwa di kitab Kejadian tersebut, yaitu ketika Melkisedek pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dan mengalahkan raja-raja dan memberkati Abraham (ay. 1b). Abraham sadar bahwa Melkisedek adalah raja Selem dan imam Allah yang Mahatinggi. Oleh karena itu Abraham pun memberikan sepersepuluh dari semuanya (yaitu sepersepuluh dari hasil rampasan perang, bukan sepersepuluh dari penghasilannya maupun sepersepuluh dari segala hartanya) (ay. 2a). Ingat bahwa konteks pemberian Abraham kepada Melkisedek adalah karena ia telah menang melawan musuhnya dan mendapatkan harta rampasan.

Siapakah Melkisedek itu? Alkitab menulis bahwa menurut arti namanya, Melkisedek adalah raja kebenaran, serta juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera (ay. 2b). Kata Melkisedek dalam bahasa Ibrani sendiri adalah Malki-tsedeq (מַלְכִּי־צֶ֫דֶק) yang berasal dari 2 kata yaitu melek (מֶ֫לֶך) yang berarti raja dan tsedeq (צֶ֫דֶק) yang berarti kebenaran. Sehingga kata Melkisedek secara harafiah dapat diartikan sebagai “rajaku adalah (raja yang) benar” atau “raja kebenaran”. Selain itu, Alkitab jelas menyebut bahwa Melkisedek adalah raja Salem. Salem bisa merujuk ke wilayah di sekitar kota Yerusalem, atau bisa juga berasal dari kata Ibrani shalem (שָׁלֵם) yang berarti damai sejahtera.

Lebih lanjut lagi disebutkan bahwa Melkisedek adalah tokoh Alkitab yang tiba-tiba muncul dalam kitab Kejadian. Ia tidak berbapa, tidak beribu, dan tidak bersilsilah (ay. 3a). Ini berbeda dengan kebiasaan bangsa Yahudi yang senantiasa merunut silsilah keluarga. Di dalam tradisi Yahudi, silsilah adalah hal yang sangat penting. Kita dapat melihat bagaimana kitab Kejadian merunut silsilah dari Adam hingga ke Yakub dan ke-12 anaknya. Bahkan di Perjanjian Baru pun, kita melihat bagaimana Yesus dirunut silsilahnya hingga ke Abraham, bahkan hingga ke Adam (Mat 1:1-17, Luk 3:23-38). Akan tetapi Melkisedek ini tidak diketahui asalnya, bahkan kehidupan lainnya. Ia hanya muncul di kitab Kejadian pasal 14 dan selanjutnya tidak pernah disebut lagi, dan baru disebut di kitab Ibrani ini. Bisa dikatakan bahwa orang Israel tidak akan pernah tahu kapan dan dimana ia dilahirkan, atau kapan dan dimana ia mati (karena tidak tertulis dalam kitab-kitab Perjanjian Lama yang dimiliki bangsa Israel). Dari situlah muncul istilah bahwa Melkisedek harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan karena memang tidak ada referensi lain dalam kitab-kitab Taurat mengenai kehidupan Melkisedek ini (ay. 3b).

Jadi Melkisedek dalam Perjanjian Lama melambangkan sosok yang: 1) adalah seorang raja; 2) adalah kebenaran; 3) memerintah atas wilayah Yerusalem atau sekitarnya; 4) memiliki karakter damai sejahtera; 5) tidak diketahui kehidupan sebelum ia muncul dan setelah ia muncul. Lalu, dari karakteristik tersebut, siapakah sosok yang dilambangkan oleh Melkisedek ini? Tentu umat Kristen saat ini sudah tahu bahwa Melkisedek melambangkan Anak Allah yaitu Yesus Kristus. Namun bangsa Yahudi saat itu tidak mengerti bahwa Melkisedek itu melambangkan Yesus Kristus. Ingat bahwa Melkisedek hanya melambangkan Yesus Kristus dan bukan Yesus Kristus itu sendiri. Karena jika Melkisedek adalah pribadi Anak Allah yang saat itu turun ke dunia dan menjadi manusia (menjadi raja di Salem), maka untuk apa Anak Allah turun lagi sebagai Yesus Kristus untuk mati dan disalibkan di zaman Romawi?

Kita perlu membedah kalimat “ia dijadikan sama dengan Anak Allah” dengan benar (ay. 3c). Kalimat tersebut dalam bahasa Yunani adalah “echōn aphōmoiōmenos de tō Huiō tou Theou” (ἔχων ἀφωμοιωμένος δὲ τῷ Υἱῷ τοῦ Θεοῦ). Kata yang perlu dibedah adalah kata aphōmoiōmenos yang bersifat verb - perfect participle middle/passive -  nominative masculine singular. Kata ini lebih tepat diartikan sebagai “to cause a model to pass off into an image or shape like it; to be made like, rendered similar; to assimilate closely -- make like” (untuk menyebabkan sebuah contoh menjadi cocok dengan suatu gambar atau bentuk; untuk dibuat, dijadikan serupa; untuk menyusun dengan teliti – membuat seperti). Jadi Melkisedek ini adalah gambaran yang menyerupai sifat Kristus sebagai Anak Allah dan itu tidak berarti bahwa Melkisedek adalah Anak Allah apalagi Melkisedek adalah inkarnasi Anak Allah ke dalam dunia.

Jadi Melkisedek adalah gambaran dari Anak Allah, dan dalam hal ini penulis kitab Ibrani ingin menunjukkan bahwa jika selama ini bangsa Yahudi memandang Abraham sebagai “Bapa” atau sosok yang sangat tinggi posisinya, maka ternyata ada sosok yang lebih tinggi lagi dari Abraham. Jika selama ini bangsa Yahudi selalu berkata bahwa “kami adalah anak-anak Abraham” (Yoh 8:39) dan sangat membanggakan hukum Taurat, maka penulis kitab Ibrani ingin menunjukkan bahwa Abraham saja memberikan sepersepuluh hasil rampasannya kepada Melkisedek, yang tidak ada kaitannya dengan garis keturunan Abraham. Jadi panggilan Allah kepada Abraham tidak serta merta membuat keturunan Abraham sebagai bangsa yang paling sempurna, atau hukum Taurat (yang diberikan kepada keturunan Abraham) sebagai hukum yang paling sempurna, karena yang paling sempurna adalah Tuhan sendiri. Ini dilambangkan dengan adanya praktik memberikan sepersepuluh dari Abraham kepada Melkisedek. Jika hukum Taurat adalah hukum yang sempurna, maka seharusnya tidak boleh ada praktik pemberian sepersepuluh kepada orang di luar keturunan Abraham, karena itu hanya menjadi hak orang Lewi dan para imam.

Jadi kita dapat melihat bahwa penyebutan pemberian persepuluhan dalam kitab Ibrani ini adalah dalam konteks penjelasan tentang kedudukan Melkisedek yang disampaikan penulis kitab Ibrani kepada bangsa Yahudi. Ini menunjukkan adanya suatu sosok atau kuasa dimana Abraham pun mengakuinya, dengan simbol ketika ia memberikan persembahan persepuluhan kepada Melkisedek. Ini adalah gambaran bahwa bangsa Yahudi memang harus taat kepada hukum Taurat, tetapi mereka pun harus jauh lebih taat lagi kepada pembuat hukum Taurat, yaitu Tuhan Allah Semesta Alam. Bangsa Yahudi tidak boleh berhenti hanya di hukum Taurat, tetapi harus bisa mencapai kegenapan hukum Taurat, yaitu pribadi Tuhan Yesus Kristus, karena Yesus Kristuslah yang menjadi imam untuk selama-lamanya (ay. 3d). Ia telah menjadi imam besar dan perantara bagi kita (Ibr 2:17, 3:1, 4:14, 8:1, dan sebagainya).

Persoalannya sering kali ayat 2 tersebut yang menyebutkan bahwa Abraham memberikan sepersepuluh kepada Melkisedek, dipakai untuk menunjukkan bahwa Perjanjian Baru pun tetap mengajarkan mengenai persembahan persepuluhan, dengan memberikan contoh pemberian persepuluhan dari Abraham kepada Melkisedek. Padahak jika kita belajar dengan benar, atau minimal membaca ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, kita akan mengerti bahwa konteks penggunaan persembahan persepuluhan di kitab Ibrani ini bukanlah untuk menjustifikasi penggunaan persepuluhan di Perjanjian Baru, tetapi lebih untuk menjelaskan siapa Melkisedek itu dan bagaimana kaitan antara Abraham dengan Melkisedek hingga akhirnya Abraham memberikan sepersepuluh dari rampasan perangnya kepada Melkisedek.

Justru dari perikop ini nanti kita akan belajar bahwa Melkisedek merupakan gambaran Yesus Kristus, sehingga kita harus lebih tunduk kepada Kristus daripada kepada hukum Taurat. Bangsa Yahudi selama ini tunduk kepada Abraham dan hukum Taurat, tetapi melalui perikop ini, maka penulis kitab Ibrani ingin menekankan bahwa bangsa Yahudi harus lebih tunduk dan taat kepada Allah, dan kepada Yesus Kristus, Anak Allah yang Tunggal, yaitu satu-satunya utusan Allah untuk menyelamatkan manusia.



Bacaan Alkitab: Ibrani 7:1-3
7:1 Sebab Melkisedek adalah raja Salem dan imam Allah Yang Mahatinggi; ia pergi menyongsong Abraham ketika Abraham kembali dari mengalahkan raja-raja, dan memberkati dia.
7:2 Kepadanya pun Abraham memberikan sepersepuluh dari semuanya. Menurut arti namanya Melkisedek adalah pertama-tama raja kebenaran, dan juga raja Salem, yaitu raja damai sejahtera.
7:3 Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya.

Kamis, 28 September 2017

Persepuluhan di dalam Alkitab (18): Tidak Boleh Digunakan untuk Meninggikan dan Membenarkan Diri



Kamis, 28 September 2017
Bacaan Alkitab: Lukas 18:9-14
Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. (Luk 11:11-12)


Persepuluhan di dalam Alkitab (18): Tidak Boleh Digunakan untuk Meninggikan dan Membenarkan Diri


Suka atau tidak suka, saat ini persembahan persepuluhan cukup sering digunakan sebagai suatu “tolok ukur” apakah jemaat di suatu gereja adalah jemaat yang taat atau tidak. Suka atau tidak suka, gereja atau pendeta biasanya lebih menghargai jemaat yang rutin memberikan persembahan persepuluhan. Apalagi jika jemaat tersebut juga terbiasa menulis nama di amplop persembahan persepuluhan. Tidak heran jika di sejumlah gereja, ada kelas-kelas atau kasta-kasta tertentu dalam jemaat. Tanpa disadari, gereja atau pendeta akan lebih memberikan perhatian kepada orang-orang yang persembahan persepuluhannya besar. Tentu jika mereka memberikan persembahan persepuluhan dalam jumlah besar, maka jemaat tersebut pasti memiliki penghasilan dan kekayaan yang besar pula.

Masih terkait dengan hal tersebut, Tuhan Yesus mengingatkan agar orang percaya jangan menganggap dirinya benar dan memandang rendah orang lain (ay. 9). Ini sebenarnya adalah peringatan secara umum kepada orang percaya. Namun dalam konteks lebih sempit lagi kita akan melihat bahwa peringatan ini juga dapat diaplikasikan dalam hal memberikan persembahan (antara lain persembahan persepuluhan).

Tuhan Yesus memberikan gambaran 2 orang yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa: 1 orang Farisi dan 1 lagi adalah pemungut cukai (ay. 10). Ketika orang Farisi tersebut datang ke Bait Allah, ia berdiri dan berdoa dalam hati (ay. 10). Sebenarnya berdoa dalam hati pun sudah jauh lebih baik daripada berdoa dengan berkoar-koar dan dengan kata-kata yang panjang supaya didengar dan dipuji oleh orang lain (Mat 6:5-7). Namun demikian, ingat bahwa di masa Perjanjian Baru Tuhan Yesus tidak hanya mempersoalkan apa yang terlihat (yaitu perkataan dan perbuatan), tetapi justru yang terpenting adalah sikap hati yang benar di hadapan Tuhan. Orang Farisi tersebut walaupun sudah berdoa dalam hati, tetapi ternyata isi doanya tidak berkenan di hadapan Allah.

Dalam doanya, orang Farisi tersebut ternyata berdoa demikian: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (ay. 11-12). Kata-kata dalam doa orang Farisi tersebut sebenarnya bisa diartikan sebagai ucapan syukur jika dipahami dalam konteks manusia dunia yang normal. Namun demikian, ternyata di mata Tuhan itu adalah kata-kata yang sia-sia dan merendahkan orang lain bahkan menghina Tuhan.

Orang Farisi tersebut mengucap syukur kepada Tuhan, tetapi dasar pengucapan syukurnya adalah karena ia berbeda dengan semua orang lain, ia bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan bukan seperti pemungut cukai (sambil memandang pemungut cukai di dekatnya tersebut) (ay. 11). Lebih lanjut ia juga berkata bahwa ia telah berpuasa 2 kali seminggu, bahkan ia juga telah memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku (ay. 12). Ingat bahwa persembahan persepuluhan yang diatur di hukum Taurat adalah sepersepuluh dari hasil tanah (gandum, jelai, dan buah-buahan) serta dari hasil ternak. Di masa Perjanjian Baru, orang Farisi juga telah membuat “aturan baru” bahwa persembahan persepuluhan juga harus dipungut dari sayuran yang terkecil sekalipun (Mat 23:23, Luk 11:42). Namun orang Farisi di perikop ini ternyata bertindak lebih lagi dengan memberikan sepersepuluh dari segala penghasilannya, atau dari semua hal yang diterimanya (ay. 12). Jika sebelumnya tidak ada aturan mengenai persembahan persepuluhan dari hal lain selain hasil tanah dan hasil ternak, tetapi orang Farisi ini telah melakukannya, karena ia memberikan sepersepuluh dari segala apa yang diterima (mungkin dari gaji yang diterima sebagai orang Farisi).

Di sisi lain, pemungut cukai tersebut berdiri jauh-jauh dari si orang Farisi, bahkan ketika ia berdoa ia tidak berani menengadah ke langit. Ia bahkan memukul-mukul diri dan berkata: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (ay. 13). Tentu pemungut cukai tersebut mengerti bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang hina, karena ia bekerja untuk pihak penjajah Romawi dan mungkin saja dalam pekerjaannya ada “godaan” untuk mengambil apa yang bukan menjadi haknya. Di mata orang Yahudi apalagi di mata orang Farisi dan ahli Taurat, pemungut cukai adalah pekerjaan yang sangat hina.

Dari perbandingan kedua orang tersebut (orang Farisi dan pemungut cukai), ada perbedaan yang jelas amtara kedua orang tersebut. Di pandangan bangsa Yahudi secara umum (apalagi di pandangan para pemimpin agama Yahudi pada waktu itu), tentu sikap orang Farisi tersebut sangat terpuji dan terhormat. Ia dipandang sebagai orang Yahudi yang sangat luar biasa dalam hal ibadahnya. Bagaimana tidak, ia berpuasa dua kali seminggu, bahkan memberikan persembahan persepuluhan yang “lebih” dari apa yang diatur dalam hukum Taurat. Bukankah ini adalah orang Farisi yang teladan di mata manusia?

Tetapi di mata Tuhan tidaklah demikian. Tuhan lebih melihat isi hatinya daripada apa yang dilakukan oleh orang Farisi tersebut. Secara lahiriah, orang Farisi tersebut pantas menerima pujian dari manusia, tetapi secara batiniah, sikap orang Farisi tersebut sangat tidak berkenan di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus berkata bahwa ketika pulang ke rumah, pemungut cukai tersebut pulang sebagai orang yang dibenarkan Allah, sementara orang Farisi itu tidak (ay. 14a). Seperti inilah perbedaan penilaian manusia dengan penilaian Allah. Sayangnya, selama ini manusia lebih mementingkan apa yang menjadi penilaian manusia daripada apa yang menjadi penilaian Allah. Tidak heran bahwa di hari penghakiman nanti banyak orang Kristen (bahkan mereka yang sudah mengusir setan demi nama Tuhan dan bernubuat sekalipun), yang kaget mendengar penilaian dari Allah. Mengapa? Karena selama hidupnya di dunia, mereka tidak pernah memperkarakan apa yang menjadi penilaian Allah. Mereka hanya mementingkan pandangan dan penilaian manusia, sehingga keseharian hidup mereka dihabiskan dengan bagaimana mereka dapat menyenangkan manusia dan bukan menyenangkan Allah.

Ingat bahwa prinsip yang benar, yang berkenan kepada Allah adalah: “Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (ay. 14b). Jadi dalam segala hal kita tidak boleh meninggikan diri sendiri. Jemaat yang memberi persembahan dan juga persembahan persepuluhan harus mengerti prinsip ini dengan benar. Tidak ada yang melarang kita memberikan persembahan persepuluhan (10%), atau bahkan persembahan persembilanpuluhan (90%) ke gereja kita. Namun sikap hati kita harus benar terlebih dahulu. Jangan karena jumlah persembahan kita paling besar maka kita menjadi tinggi hati di hadapan Tuhan. Ingat bahwa kita dapat memberikan persembahan persepuluhan kita itu pun karena berkat Tuhan, bukan karena kuat dan gagah kita sendiri.

Di sisi lain, gereja dan gembala sidang/pendeta juga harus membuat suatu mekanisme supaya tidak terjadi peluang bagi gereja untuk membeda-bedakan antara jemaat yang persembahannya banyak dengan jemaat yang persembahannya sedikit. Jangan sampai misalnya kepada jemaat yang persembahannya banyak, jika jemaat tersebut masuk angin maka gembala sidang langsung datang menjenguk di rumahnya. Sementara ada jika jemaat yang persembahannya sedikit masuk rumah sakit dan tidak mampu membayar, maka cukup seksi diakonia yang membesuk. Atau misalnya gereja tidak mau mengeluarkan uang untuk membiayai pemakaman jemaat yang miskin, tetapi dengan senang hati mengeluarkan uang untuk buah tangan ketika membesuk jemaat yang kaya. Jika demikian yang terjadi, sesungguhnya gereja sudah memandang bulu dan membeda-bedakan jemaat berdasarkan status sosial dan jumlah persembahan jemaatnya. Jika demikian, gereja tanpa disadari telah menghakimi jemaat dengan pikiran yang jahat (Yak 2:4 & 9).

Oleh karena itu, kita harus menyadari betapa berbahayanya potensi penyelewengan yang bisa disebabkan oleh persembahan, khususnya persembahan persepuluhan. Ada pendeta yang bisa mengerti pendapatan jemaatnya (dengan menghitung total penghasilan jemaatnya yaitu 10 kali lipat jumlah persembahan persepuluhannya), dan menceritakannya di depan umum atau di depan mimbar. Bukankah ini suatu sikap yang tidak pantas dan tidak patut dilakukan oleh pemimpin jemaat? Mungkin saja jemaat yang penghasilannya tidak sebesar orang tersebut maka ia akan menjadi minder. Oleh karena itu, mari kita belajar dari apa yang Tuhan Yesus ajarkan, bahwa orang Kristen tidak boleh menjadi tinggi hati, dan apapun yang berpotensi membuat kita tinggi hati dan merendahkan orang lain harus kita waspadai. Jika kita memberikan persembahan persepuluhan pun, berikan dengan segala kerendahan hati, jika perlu tanpa memberikan nama dalam amplop persembahan kita. Berilah dengan benar, maka itu akan menjadi suatu persembahan yang menyenangkan Bapa di surga (Mat 6:1).



Bacaan Alkitab: Lukas 18:9-14
18:9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
18:10 "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
18:11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
18:12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."