Selasa, 28 Februari 2017

Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (15): Membangun Monumen untuk Menutupi Kejahatan



Kamis, 2 Maret 2017
Bacaan Alkitab: Matius 23:29-32
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh. (Mat 23:29)


Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (15): Membangun Monumen untuk Menutupi Kejahatan


Dalam kehidupan umum, monumen seringkali didirikan untuk memperingati peristiwa tertentu yang terjadi di suatu daerah. Namun demikian, mungkin kita tidak pernah terpikir bahwa ada penguasa yang tega membangun suatu monumen untuk menutup-nutupi kejahatannya. Kalaupun monumen itu benar-benar ada, berarti penguasa tersebut sudah tidak punya hati nurani lagi sehingga memutarbalikkan kebenaran melalui pembangunan monumen, yang bertujuan supaya seakan-akan ia tidak bersalah atas kejahatan yang dilakukannya. 

Dalam hal ini, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi persis sekali melakukan kejahatan tersebut. Mereka membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh (ay. 29b). Menurut saya, mereka melakukan ini dengan dana yang mereka kumpulkan dari umat Yahudi, atau bahkan dari bantuan penjajah Romawi. Mereka berpikir bahwa jika makam nabi-nabi dibangun atau diperbagus, serta adanya tugu peringatan orang-orang saleh yang didirikan, maka orang banyak akan berpikir bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi berada di pihak yang pro rakyat, yang menghargai suara kenabian tersebut.

Sayangnya, apa yang dilakukan oleh para ahli Taurat dan orang Farisi tersebut sesungguhnya adalah kemunafikan belaka (ay. 29a). Mereka justru membangun dan memperindah makam nabi-nabi terdahulu dengan tujuan supaya orang lain memandang mereka benar. Bahkan mereka sampai berani berkata, “jika kami hidup di masa lalu (di zaman nenek moyang kita), tentu kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu” (ay. 30). Secara tidak langsung mereka menyalahkan nenek moyang mereka atas pembunuhan nabi-nabi tersebut dan merasa diri mereka lebih benar dengan membangun dan memperindah makam. Padahal, kalimat mereka justru menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan pembunuh nabi-nabi tersebut, dan tentu mewarisi gen atau sifat/karakter nenek moyang mereka yang jahat (ay. 31).

Sejarah membuktikan bahwa ucapan Tuhan Yesus ini kelak akan terbukti. Para ahli Taurat dan orang Farisi justru meminta Tuhan Yesus dihukum mati dengan berteriak “salibkan Dia!”. Mereka membuktikan bahwa mereka tidak lebih baik daripada nenek moyang mereka yang membunuh nabi-nabi yang diutus Tuhan. Mereka merasa bahwa lebih membunuh orang daripada syariat dalam Hukum Taurat dilanggar. Itulah mengapa Tuhan Yesus yang sudah membuat begitu banyak mujizat di depan mata mereka sendiri, yang punya kecerdasan luar biasa dalam hal Hukum Taurat, dan yang tidak bersalah dalam hal apapun, pada akhirnya mereka bunuh.

Para ahli Taurat dan orang Farisi tersebut pada akhirnya juga memenuhi takaran nenek moyang mereka (ay. 31). Mereka adalah keturunan ular beludak, dan tentu memiliki karakter sebagai ular beludak. Sampai Tuhan Yesus mati dan bangkit serta naik ke surga, mereka juga tidak pernah mau bertobat. Sampai masa gereja mula-mula, mereka pun tetap memburu jemaat mula-mula dan menangkap, menganiaya bahkan membunuh orang-orang percaya. Bahkan sampai hari ini pun masih banyak orang Yahudi yang tinggal di tanah Israel yang masih belum percaya bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias yang sesungguhnya. Dan hari ini, apa yang diucapkan oleh Tuhan Yesus pun terulang kembali. Karena banyaknya turis yang datang ke tanah Israel (termasuk orang-orang Kristen dari Indonesia yang sering berwisata ke Israel), maka mereka pun memperbaiki gereja-gereja di Yerusalem, memperbaiki tempat-tempat bersejarah yang disebutkan dalam Alkitab dan lain sebagainya. Mereka seakan-akan hendak berkata: “kami sudah memperbaiki tempat-tempat sejarah dalam Alkitab (bahkan mungkin juga memperbaiki makam yang dipercaya sebagai makam Tuhan Yesus), sehingga kami tidak bersalah atas perbuatan yang dilakukan oleh nenek moyang kami 2.000 tahun yang lalu”. Padahal sebenarnya perbaikan tempat-tempat sejarah ini pun ditujukan supaya semakin banyak turis yang datang dan pada akhirnya menambah devisa negara. 

Dalam konteks gereja saat ini, hal ini diibaratkan sebagai seorang pendeta (atau gembala sidang/gembala jemaat), yang dahulu pernah membuat kesalahan atau kejahatan, tetapi justru menutup-nutupi dengan membangun suatu “monumen” untuk membuat dirinya menjadi tampak benar. Saya tidak bermaksud untuk mengatakan setiap “monumen” yang dibangun oleh pendeta atau gembala adalah salah, akan tetapi dalam hal ini yang harus dicermati adalah sikap hati. Saya pun penuh dengan kesalahan yang saya pernah perbuat di masa lalu, dan jika ada orang yang menanyakan masa lalu saya, maka saya akan siap menjelaskan bahwa pada masa lalu memang benar saya berbuat salah. Akan tetapi ada juga tipe pendeta yang tidak mau disalahkan, bahkan atas perbuatan atau perkataannya sendiri di masa lalu. Ketika hal itu diungkit, ia akan menyalahkan orang lain atau pihak lain supaya ia terlihat benar. Selanjutnya biasanya pendeta semacam ini akan berkata, “Mengapa sih kalian selalu mengungkit-ungkit masa lalu? Mengapa kalian tidak melihat bahwa saya sudah berhasil membangun gereja dengan megah, saya sudah membuat ruang ibadah yang dulunya tidak ber-AC sekarang sudah ber-AC, saya sudah membuat gereja kita memiliki alat musik yang lengkap”, dan lain sebagainya. Tanpa pendeta itu sadari, sesungguhnya apa yang ia lakukan selama ini hanyalah membangun “monumen” untuk membenarkan dirinya, yang akan ia gunakan pada saat kesalahannya atau kejahatannya pada masa lalu diungkit kembali.



Bacaan Alkitab: Matius 23:29-32
23:29 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh
23:30 dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu.
23:31 Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu.
23:32 Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu!

Senin, 27 Februari 2017

Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (14): Bersih di Luar tetapi Busuk di Dalam


Rabu, 1 Maret 2017
Bacaan Alkitab: Matius 23:27-28
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. (Mat 23:27)


Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (14): Bersih di Luar tetapi Busuk di Dalam


Renungan hari ini masih terkait dengan renungan sebelumnya, dimana salah satu ciri para ahli Taurat dan orang Farisi adalah hanya mementingkan penampilan luar. Selanjutnya, Tuhan Yesus juga menyamakan para ahli Taurat dan orang Farisi dengan kuburan (ay. 27a). Sejak lama, manusia sering membuat kuburan dengan penampilan yang megah dan mewah. Bangsa Mesir misalnya, membangun makam Firaun dengan megah, yaitu membuat piramida yang begitu besar. Bahkan menurut para arkeolog, dalam makam Firaun tersebut juga terdapat berbagai hiasan bahkan emas-emas milik Firaun semasa ia hidup. Ada juga seorang raja di India yang membangun Taj Mahal sebagai monumen atas istrinya yang telah meninggal yang dimakamkan di tengah-tengah Taj Mahal. Bangsa Indonesia pun tidak kalah megah membuat kuburan. Suku-suku tertentu membuat kuburan dengan megah, bahkan terkadang terdapat foto orang tersebut semasa hidup, sertai tulisan-tulisan di batu nisannya. Saat ini bahkan terdapat pemakaman-pemakaman internasional yang menyediakan “kavling-kavling” khusus yang bisa dipesan dan dibangun sesuai keinginan.

Namun apapun namanya, bentuknya, dan materialnya, sebuah kuburan tetaplah kuburan, yaitu tempat jasad manusia yang sudah mati dimakamkan. Sebagus-bagusnya sebuah kuburan dihias, isinya tetaplah sama yaitu berisi jasad yang membusuk serta tulang belulang (ay. 27b). Hakekat dasar kuburan memang adalah tempat meyimpan jasad orang yang meninggal dunia. Jadi hakekat itu memang pada dasarnya tidak akan dapat diubah lagi.

Para ahli Taurat dan orang Farisi sibuk membersihkan bagian luar supaya terlihat bagus dan indah di mata orang lain. Sikap mereka menunjukkan bahwa mereka berjuang untuk dipandang benar di mata orang (ay. 28a). Mereka sudah hafal Hukum Taurat di luar kepala, secara lahiriah mereka menjalankan ibadah dengan ketat, pakaian mereka pun diatur sedemikian rupa sehingga terlihat agamis, dan lain sebagainya. Dalam hal ini mereka sudah mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari sebagian besar bangsa Yahudi. Mereka juga memiliki posisi yang terhormat di mata penjajah Romawi yang menguasai daerah Yahudi pada waktu itu. Di mata orang, mereka nyaris tidak bercacat dan tidak bercela. 

Akan tetapi, Tuhan mencela mereka karena hanya itulah yang mereka lakukan, yaitu berusaha mencari kehormatan di mata manusia. Mereka tidak pernah mempersoalkan untuk mencari kehormatan di mata Allah. Akibatnya, dari luar (penampilan luar), mereka nyaris sempurna, bersih, suci dan kudus. Akan tetapi ternyata isinya masih penuh dengan berbagai kemunafikan dan kedurjanaan (ay. 28b). Mereka munafik karena mereka bersembunyi di balik topeng setiap harinya. Mereka setiap hari ibarat melabur kuburan dengan kapur putih sehingga terlihat bersih, padahal isinya tidak pernah diperhatikan. Mereka durjana karena mereka tetap melakukan kejahatan. Kejahatan di sini bukanlah kejahatan di mata manusia. Secara duniawi mereka mungkin tidak bersalah karena semua tuntutan Hukum Taurat sudah dipenuhi. Namun demikian mereka dipandang jahat karena tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan. Mereka sibuk melakukan syariat hukum agama Yahudi tanpa sedikitpun berusaha untuk mencari Tuhan. 

Berapa banyak dari kita yang memiliki gaya hidup seperti ini? Dari luar penampilan kita mungkin menawan dan memukau. Kita mungkin aktif dalam berbagai kegiatan pelayanan di gereja atau persekutuan. Setiap hari Minggu mungkin kita tidak pernah absen datang ke gereja. Namun demikian, apa yang kita lakukan itu hanyalah “ibadah” lahiriah saja karena sesungguhnya batiniah kita masih penuh dengan kemunafikan dan kedurjanaan. Tidak heran jika kita dengar banyak pelayan-pelayan gereja yang jatuh dalam dosa-dosa yang memalukan. Ada berita dimana seorang pendeta menghamili jemaatnya yang masih di bawah umur, ada berita dimana seorang worship leader yang dihamili oleh pemain musik, ada berita dimana seorang pendeta divonis bersalah atas penggelapan pajak, dan lain sebagainya. Hati-hati supaya kita tidak menjadi orang-orang yang munafik dan durjana, hanya terlihat baik dan bersih di luar, tetapi ternyata masih busuk dan najis di dalam.



Bacaan Alkitab: Matius 23:27-28
23:27 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran.
23:28 Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.

Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (13): Menipu Melalui Penampilan Luar

Selasa, 28 Februari 2017
Bacaan Alkitab: Matius 23:25-26
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan.  (Mat 23:25)


Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (13): Menipu Melalui Penampilan Luar


Sebagian besar orang tentu ingin dirinya terlihat cantik (bagi wanita), tampan (bagi pria), dan menarik. Dalam menjaga dan meningkatkan penampilannya tersebut, banyak orang rela membeli baju-baju bagus dan bermerk, menambahkan aksesoris-aksesoris yang meningkatkan penampilan luar (misal: membeli perhiasan yang terlihat mahal, memakai tas yang bermerk (branded), apalagi yang merknya terlihat dari luar, dan lain sebagainya). Hal ini sangat umum ditemui apalagi di kota-kota besar, terutama pada orang-orang yang pekerjaannya menuntut untuk bertemu dengan orang lain sehingga penampilan pun menjadi salah satu prioritas utama.

Tidak salah jika kita membeli baju, perhiasan, tas, atau aksesoris lainnya. Tentu jemaat akan juga malas datang ke gereja jika pendetanya pakaiannya berantakan, dalam artian tidak pernah disetrika, kusut, kotor, kumal, dan lain sebagainya. Penampilan luar itu juga harus menjadi hal yang kita perhatikan, karena Tetapi menjadi sangat salah jika penampilan luar menjadi prioritas dalam hidup kita sedangkan urusan dalam diri kita (batiniah) tidak pernah diurus dan dibiarkan begitu saja.

Para ahli Taurat dan orang Farisi adalah mereka yang dari luar terlihat nyaris sempurna. Mereka memakai jubah-jubah kebesarannya sehingga dari jauh orang lain pun sudah dapat mengenali para ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka pun biasanya menumbuhkan janggut yang panjang sesuai dengan adat-istiadat Yahudi, sehingga terlihat sebagai orang yang sangat saleh dalam hal beragama. Akan tetapi fokus mereka dalam hal penampilan luar ini tidak diiringi dengan fokus terhadap isi hati mereka atau kehidupan batiniah mereka. 

Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengecam sikap hidup para ahli Taurat dan orang Farisi sebagai orang-orang yang munafik, karena mereka hanya memikirkan penampilan luar. Ibarat cawan dan pinggan (alat-alat penyajian makanan) mereka yang terlihat bersih dan kinclong dari luar, akan tetapi isinya penuh dengan rampasan dan kerakusan (ay. 25). Gambarannya mungkin bahwa cawan dan pinggan itu selalu dipoles dan digosok sehingga mengkilat, tidak ada noda sama sekali. Akan tetapi isi dari cawan dan pinggan itu adalah makanan atau minuman yang menajiskan. Percuma juga bagian luar terlihat bersih padahal isinya masih najis. Ketika kita makan atau minum, kita tidak memakan pinggan atau meminum cawan, tetapi kita memakan apa yang disajikan di atas pinggan dan meminum apa yang disajikan di dalam cawan. Jadi memastikan isi pinggan dan cawan sudah bersih dan tidak najis lebih penting daripada sekedar membersihkan bagian luar dari pinggan dan cawan supaya terlihat bersih dan mengkilat. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata agar para ahli Taurat dan orang Farisi membersihkan dulu bagian dalam pinggan dan cawan sehingga bagian luarnya pun ikut bersih (ay. 26). 

Hal ini juga sering terjadi tanpa kita sadari dalam kehidupan kita. Seringkali kita mempersoalkan apa yang ada di pandangan orang ketika mereka melihat diri kita. Kita sibuk mempersoalkan apakah pakaian kita terlihat pantas, apakah potongan rambut kita sudah rapi, apakah merk tas kita sudah terlihat dari jauh, dan lain sebagainya. Padahal apa yang ada di dalam diri kita (yaitu isi hati kita, motivasi kita, dan lain sebagainya) itu juga hal yang tidak kalah pentingnya, bahkan lebih penting. Memang kita juga perlu memikirkan pandangan orang lain terhadap diri kita, sehingga kita pun akan merawat dan menjaga diri kita. Akan tetapi kita juga perlu dan harus mempersoalkan apakah pandangan Tuhan terhadap kita. Ingat bahwa bukan yang dilihat manusia yang dilihat oleh Tuhan. Manusia memang melihat apa yang di depan mata (yaitu penampilan luar), tetapi Tuhan melihat hati kita (1 Sam 16:7). Mari mulai sekarang, kita belajar untuk mempersoalkan apakah yang saat ini Tuhan lihat dari hati kita. Sudahkah hati kita bersih dan kudus, ataukah hati kita masih penuh dengan kenajisan, atau bahkan kenajisan yang dibungkus dalam penampilan luar yang menarik tetapi sebenarnya adalah kemunafikan semata.



Bacaan Alkitab: Matius 23:25-26
23:25 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan.
23:26 Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih.

Jumat, 24 Februari 2017

Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (12): Pemimpin yang Buta



Senin, 27 Februari 2017
Bacaan Alkitab: Matius 23:24
Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan. (Mat 23:24)


Ciri Ahli Taurat dan Orang Farisi (12): Pemimpin yang Buta


Suatu saat, saya pernah menonton acara MasterChef US di televisi, yaitu acara kompetisi masak-memasak antara para amatir (bukan koki profesional) yang diadakan di Amerika Serikat. Para peserta kompetisi ini berasal dari berbagai kalangan, mulai dari guru, mahasiswa, perawat dan profesi-profesi lainnya. Yang menarik, pada salah satu musim penayangan (yang waktu itu saya tonton), ada salah satu peserta yang buta (seorang wanita). Ia pun berjalan harus memakai tongkat, serta dalam beberapa kesempatan harus dibantu oleh orang lain (pemandunya) supaya bisa memasak. Namun peserta yang buta ini memiliki kelebihan dalam mengkombinasikan rasa masakan, dan pada akhirnya, percaya atau tidak, ia justru yang keluar menjadi juara, mengalahkan para peserta lain yang bisa melihat.

Sekilas memang tidak bisa dipercaya, tetapi ini benar-benar nyata dan terjadi. Ia menang bukan karena jurinya merasa kasihan (seperti yang beberapa kali terjadi di reality show di Indonesia), tetapi ia menang karena bakat dan usaha kerasnya dalam lomba tersebut. Peserta yang buta ini memang tidak dapat melihat, tetapi Tuhan memberikan kelebihan pada dirinya yaitu imajinasi yang tinggi untuk membayangkan bentuk masakannya dan juga indera pengecap yang luar biasa peka untuk bisa merasakan apakah makanannya sudah enak atau belum, dan apakah masih ada bahan yang kurang yang harus ditambahkan ke dalam masakan.

Nah, terkait dengan orang yang buta, Tuhan Yesus juga mengatakan bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi itu adalah para pemimpin-pemimpin yang buta (ay. 24a). Mereka dipandang sebagai orang buta padahal secara fisik mereka tentu tidak buta. Salah satu hal yang membuat Tuhan Yesus mengatakan bahwa mereka adalah para pemimpin buta adalah ketika mereka bisa melihat hal-hal terkecil di dalam Hukum Taurat dan itu mereka lakukan dengan rinci, bahkan membuat rumusan kalimat yang detail untuk bagaimana hidup menurut hukum Taurat. Dalam renungan sebelumnya kita bisa baca bagaimana mereka mengatur mengenai persembahan persepuluhan, hingga selasih, adas manis, dan jintan pun harus dihitung sepersepuluh untuk dijadikan persembahan persepuluhan. Mereka ingin melakukan hukum Taurat dengan sempurna, sehingga ibarat mereka mau minum, ketika mereka melihat ada nyamuk dalam gelas minuman, mereka akan membuang nyamuk itu supaya minumannya bersih (ay. 24b).

Namun ketika mereka melihat dengan seksama apakah ada nyamuk di dalam minuman, mereka tidak sadar bahwa ada unta di dalam minuman mereka (ay. 24c). Mereka terlalu sibuk mempersoalkan nyamuk sehingga sampai membuat standard operating procedure (SOP) untuk mencegah ada nyamuk yang masuk di gelas, tetapi mereka tidak sadar jika ada unta di dalam gelas. SOP mereka difokuskan pada hal-hal yang kecil, sampai-sampai mereka tidak dapat melihat gambaran besar yang seharusnya mereka perhatikan. Ketika ditanya, “mengapa kok untanya ditelan?”, maka mereka akan menjawab, “SOP kami mengatur bahwa tidak boleh ada nyamuk di dalam gelas. Jadi kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk mencari nyamuk di dalam gelas, sampai kami yakin tidak ada nyamuk. Kalau unta ditelan ya tidak apa-apa, kan tidak ada larangan di dalam SOP”. Padahal seharusnya mereka bisa membedakan jika ada minuman yang ada hewannya di dalamnya (entah itu nyamuk atau unta), sehingga tidak sampai menelannya. Tidak harus menjadi seorang MasterChef untuk dapat mengerti minuman mana yang sudah terkontaminasi nyamuk atau terkontaminasi unta sehingga kita tidak mau meminum minuman tersebut.

Ini adalah suatu kebutaan yang luar biasa. Dalam hal nyamuk dan unta ini, Hukum Taurat diberikan bukan supaya bangsa Israel tidak boleh meminum nyamuk (Sehingga dibuatlah SOP memastikan tidak ada nyamuk yang terminum), tetapi sebenarnya supaya bangsa Israel tidak meminum hewan di dalam gelas. Namun para ahli Taurat dan orang Farisi repot mengurus nyamuk sehingga untanya lupa disingkirkan dari gelas mereka. Ini sejajar dengan orang-orang yang sibuk memperhatikan selumbar di mata orang lain, padahal ada balok besar di matanya sendiri (Mat 7:3-5). 

Mari kita menjadi orang percaya yang melihat dan tidak buta. Jangan tiru mereka yang adalah menjadi pemimpin buta. Pemimpin yang buta akan mengurusi hal-hal kecil yang menghabiskan energi dan menimbulkan pertentangan, perselisihan dan perpecahan, sementara ada hal penting yang harus kita kejar dan kita gumulkan. Pemimpin yang buta akan menghakimi orang lain dengan mengungkit-ungkit dosa orang lain yang “kecil-kecil”, tetapi ia lupa bahwa semua orang termasuk dirinya pun berdosa, bahkan seringkali dosa pemimpin buta ini jauh lebih besar dari dosa umat yang sering diungkit-ungkit. Dosa umat yang sekecil nyamuk atau selumbar dipermasalahkan, sementara dosanya sendiri yang sebesar unta atau balok justru didiamkan. 

Jangan kita menjadi pemimpin yang buta, sebab jika demikian, kita juga akan membawa umat dalan kesesatan. Umat pun harus berjuang untuk menjadi cerdas dan jangan mau dipimpin oleh pemimpin yang buta. Jangan sampai kalimat yang berkata “orang buta menuntun orang buta”  terjadi dalam hidup kita, karena jika itu terjadi, maka kita semua (entah kita sebagai pemimpin yang  buta atau sebagai umat yang buta) akan jatuh ke dalam lubang dan menjadi binasa.



Bacaan Alkitab: Matius 23:24
23:24 Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.