Senin, 30 Januari 2023

Makna Keterhilangan (17): Hilangnya Suatu Hubungan

 Senin, 30 Januari 2023

Bacaan Alkitab: Lukas 15:29

Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. (Luk 15:29)


Makna Keterhilangan (17): Hilangnya Suatu Hubungan


Setelah dalam renungan sebelumnya kita melihat suatu respon yang mengejutkan khususnya dari si anak sulung, maka dalam bacaan Alkitab kita hari ini, kita dapat melihat salah satu alasan di balik respon yang mengejutkan dari si anak sulung tersebut. Kita tahu bahwa sosok seorang anak sulung biasanya adalah sosok anak yang cukup dekat bahkan sangat dekat dengan orang tuanya. Hal itu adalah suatu hal yang wajar, karena bagi keluarga manapun, anak sulung adalah anak yang sangat diharapkan kehadirannya oleh kedua orang tuanya sebagai penerus mereka nantinya. Si anak sulung juga biasanya mendapatkan perhatian yang lebih, waktu, serta sumber daya yang lebih banyak ketimbang adik-adiknya.

Oleh karena itu, pada umumnya seorang anak sulung memiliki suatu hubungan yang baik dengan orang tuanya. Bahkan setelah beranjak dewasa, seorang anak sulung pada umumnya memiliki pemikiran yang lebih dewasa, dimana dalam beberapa kondisi, anak sulung tersebut dituntut untuk mulai berpikir seperti orang tuanya berpikir. Seperti contoh, seorang anak sulung dari pengusaha akan mulai berpikir mengenai usaha orang tuanya karena kemungkinan besar ia akan meneruskan usaha tersebut di masa depan.

Oleh karena itu, sosok anak sulung yang digambarkan di dalam perumpamaan ini menunjukkan seorang anak sulung yang tidak menyadari posisinya yang sebenarnya di dalam keluarga. Kita tahu bahwa sang ayah adalah orang yang sangat kaya, dengan segala harta benda dan juga ternaknya. Tentu sang ayah nanti akan berpikir bahwa si anak sulunglah yang akan meneruskan kehidupannya dan usahanya tersebut. Ketika selama ini anak sulung bekerja bagi usaha ayahnya, sang ayah berpikir bahwa ia akan menjadi penerusnya. Apalagi setelah si anak bungsu pergi meninggalkan sang ayah, maka sebenarnya harta sang ayah seluruhnya nantinya akan menjadi hak dari si anak sulung. Artinya, harta sang ayah saat ini sudah dapat dianggap sebagai harta si anak sulung tersebut (karena bagian adiknya, si anak bungsu, sudah diminta lebih dahulu).

Oleh karena itu, alasan bagi si anak sulung untuk marah adalah tidak masuk di akal. Ia berkata kepada ayahnya bahwa telah bertahun-tahun ia melayani dan bekerja bagi ayahnya, dan sampai saat ini ia belum pernah melanggar perintah ayahnya (ay. 29a). Namun demikian, belum pernah ayahnya memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya (ay. 29b). Hal ini menunjukkan pola pikir anak sulung yang sangat dangkal. Seorang anak sulung yang bekerja bagi ayahnya (dimana hal itu adalah hal yang wajar pada masa itu) mungkin tidak mendapat upah secara khusus. Ia adalah anak, yaitu penerus usaha ayahnya. Ia bukan seorang pegawai, budak, ataupun orang upahan yang mendapat gaji dari apa yang ia kerjakan. Oleh karena itu, sebenarnya ia dapat saja dengan mudah berkata kepada ayahnya untuk meminta seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabatnya. Tetapi justru dari jawaban si anak sulung, kita dapat melihat bahwa walaupun ia adalah anak (terlebih adalah anak sulung), ia justru memposisikan dirinya tidak sebagai anak yang benar. 

Si anak sulung juga memiliki hubungan yang “terhilang” dengan ayahnya, karena ia menyebutkan dirinya yang tidak pernah melanggar perintah ayahnya. Apakah hubungan anak dengan orang tua yang sehat itu hanya mengenai perkara bahwa si anak tidak melanggar perintah ayahnya saja? Tentu tidak. Hubungan anak dan orang tua yang sehat itu meliputi banyak hal. Ketika anak masih kecil, tentu orang tua memberikan arahan dan juga termasuk larangan.  Akan tetapi, ketika anaknya bertumbuh semakin dewasa, larangan sudah seharusnya diketahui oleh si anak, dan si anak harus lebih lagi mengerti apa yang ada di dalam pemikiran orang tuanya. 

Dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa si anak sulung ini dapat dikatakan “terhilang” di dalam rumahnya sendiri. Ia mengalami hilangnya suatu hubungan yang harmonis antara dirinya dengan ayahnya sendiri. Ia tidak mampu menjalin hubungan yang baik dengan ayahnya untuk dapat memahami apa yang ayahnya mau. Ia memposisikan dirinya bukan seperti anak sulung yang sudah dewasa, tetapi sebagai seorang anak yang masih kecil, yang hanya berpikir untuk tidak melanggar perintah ayahnya, dan mengharapkan hadiah atau reward atas ketaatannya tersebut. Bahkan jika mau jujur, ia justru bersikap seperti seorang upahan di rumah ayahnya yang mengharapkan gaji atau upah dari ayahnya atas apa yang ia lakukan.

Di sini kita melihat bahwa terhilangnya si anak sulung di dalam rumahnya sendiri itu dimulai dari ketika si anak sulung tidak dapat memahami posisinya yang sebenarnya di dalam rumahnya tersebut. Ia tidak memahami bagaimana hubungan yang seharusnya antara seorang ayah dengan anak. Mungkin ia tidak memiliki komunikasi yang baik dengan ayahnya. Mungkin saja ia terlalu sering bergaul dengan sahabat-sahabatnya yang tidak dewasa, sehingga ia tidak dapat mengerti posisi dan perannya yang seharusnya dalam keluarga. 

Ini menjadi pelajaran berharga bagi kita, dimana kita mungkin sering kali menganggap orang-orang di luar gereja adalah orang yang terhilang. Atau jika kita adalah pendeta maupun pelayan di dalam gereja, maka kita dapat dengan mudah mencap orang lain yang tidak mengambil bagian dalam pelayanan sebagai orang-orang yang terhilang. Padahal, orang Kristen sangat mudah terhilang di dalam gereja, bahkan jika kita sekalipun adalah pelayan di gereja, atau bahkan seorang pembicara atau pendeta. Kita dapat terhilang ketika kita memiliki pemikiran yang berbeda dengan pemikiran Tuhan (Flp 2:5). Oleh karena itu, marilah masing-masing kita mengecek diri kita sendiri, apakah kita masih memiliki hubungan yang harmonis dengan Dia, ataukah hubungan kita tersebut telah lama hilang tanpa kita sadari.




Bacaan Alkitab: Lukas 15:29

Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. (Luk 15:29)


Selasa, 02 Agustus 2022

Makna Keterhilangan (16): Respon yang Mengejutkan

 Rabu, 03 Agustus 2022

Bacaan Alkitab: Lukas 15:25-28

Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. (Luk 15:28)


Makna Keterhilangan (16): Respon yang Mengejutkan


Secara logika, ketika ada sesuatu yang hilang, maka seharusnya akan ada sukacita ketika sesuatu yang hilang tersebut dapat ditemukan kembali. Mari kita ambil contoh ketika kita kehilangan kunci. Walaupun pada awalnya kita kesal, tetapi ketika kunci tersebut ditemukan (mungkin terselip di tas atau tempat lainnya), pastilah kita merasa lega. Hal ini juga ditunjukkan dalam perkataan Tuhan Yesus pada perumpamaan domba yang hilang dan dirham yang hilang, yaitu ketika sang pemilik berhasil menemukan apa yang terhilang (Luk 15:5-6 & 9). Hal tersebut juga ditekankan dalam perumpamaan anak yang hilang, yang digambarkan dengan ayah yang penuh dengan sukacita menyambut kembalinya anak yang hilang (Luk 15:24).

Namun demikian, kita melupakan ada seorang pribadi lagi yang ada di dalam rumah sang ayah, yaitu si anak sulung yang merupakan kakak dari si anak bungsu tersebut. Sebagai kakak tertua, tentu sangat wajar jika kita menyangka bahwa hubungan antara kakak (anak sulung) dan adik (anak bungsu) dalam keluarga tersebut sangat harmonis. Apalagi dengan hadirnya sosok sang ayah yang bijaksana. Namun demikian, kita dapat melihat bahwa ada semacam “persaingan” antara sang kakak dengan sang adik. 

Sebenarnya, pada awalnya tidak tersirat bahwa si anak sulung bersaing dengan adiknya. Akan tetapi ketika si adik meminta jatah yang menjadi bagiannya dan pergi meninggalkan ayahnya, di situ mulai nampak watak asli si kakak. Di pandangannya, tentu anak sulung merasa lebih baik daripada adiknya karena ia tetap berada di rumah ayahnya, apalagi setelah ia mungkin mendengar desas-desus bahwa adiknya menghabiskan uang bagiannya untuk bersenang-senang di negeri yang jauh dan akhirnya uangnya habis. 

Sangat mungkin apa yang ada di pikiran si kakak adalah bahwa jatah warisan adiknya sudah habis, dan saat ini harta milik ayahnya pasti akan jatuh semuanya ke tangan si kakak. Sangat mungkin di pandangannya, urusan uang dan harta lebih penting daripada hubungan kekeluargaan. Dalam hal ini si kakak tidak sepenuhnya salah, karena adiknya jelas telah membuat keputusan yang salah dan fatal. Ia telah kehilangan haknya dan hal itu yang hanya menjadi perhatian si kakak. Mungkin menurut si kakak, seharusnya, jikalau adiknya kembali, ia tidak berhak lagi menyandang status keluarga. Mungkin saja si adik dapat diterima, tapi hanya sebagai orang upahan dan tidak sebagai anggota keluarga lagi.

Hal ini yang menyebabkan si anak sulung bekerja keras di ladang. Ketika ia pulang dan sudah dekat dengan rumah, ia mendengar suara pesta dan nyanyian serta tarian (ay. 25). Saya yakin pada saat itu ia belum tahu bahwa adiknya pulang. Kalau pun ia mengharap adiknya pulang, ia tidak menyangka bahwa adiknya tersebut akan disambut sebagai anggota keluarga. Oleh karena itu ia lalu bertanya kepada salah seorang hamba (ay. 26), dan hamba tersebut menjawab bahwa adiknya telah kembali, ayahnya telah menyembelih anak lembu tambun dan mengadakan pesta karena adiknya telah pulang dengan selamat (ay. 27).

Si anak sulung tidak dapat menerima hal ini. Ia kecewa karena adiknya telah kembali dan disambut sebagai anak. Andaikata adiknya kembali dan hanya menjadi hamba, mungkin ia tidak semarah ini. Karena begitu marahnya, ia tidak mau masuk ke rumah dan menghadiri pesta yang disediakan. Dengan kata lain, ia tidak mau berjumpa dengan ayahnya, terlebih dengan adiknya yang dipandangnya lebih “buruk” daripada dirinya (ay. 28a). Di sini kemudian ayahnya akhirnya keluar (meninggalkan tempat pesta) dan berbicara dengan si anak sulung (ay. 28b).

DI sini kita dapat melihat bahwa si anak sulung memiliki respon yang berbeda dengan ayahnya. Mereka berdua tentu sama-sama pernah kecewa ketika si anak bungsu memutuskan untuk meninggalkan ayah dan kakaknya dengan membawa uang warisan yang menjadi bagiannya. Namun demikian sang ayah dengan penuh kebesaran hati menyambut kembalinya si anak bungsu dengan tangan terbuka dan hati yang lapang, sementara si kakak (anak sulung) masih menyimpan kekecewaan kepada adiknya. Meskipun si anak sulung dan sang ayah ada di rumah yang sama, tetapi ternyata respon mereka begitu berbeda. Respon anak sulung mengejutkan karena bertolak belakang dengan respon ayahnya, di satu sisi, respon sang ayah sebenarnya juga mengejutkan karena ia tetap mau menerima anaknya yang hilang sebagai anak, bukan hanya sebagai orang upahan.

 



Bacaan Alkitab: Lukas 15:25-28

15:25 Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. 

15:26 Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. 

15:27 Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. 

15:28 Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia.

Makna Keterhilangan (15): Sukacita yang Benar Akibat Pertobatan yang Benar

 Selasa, 02 Agustus 2022

Bacaan Alkitab: Lukas 15:22-24

Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. (Luk 15:24)



Makna Keterhilangan (15): Sukacita yang Benar Akibat Pertobatan yang Benar



Salah satu dampak dari pertobatan yang benar adalah sukacita yang benar pula. Sukacita yang benar ini tentu tidak hanya dirasakan dari sudut pandang pihak yang bertobat (dalam hal ini si anak bungsu), tetapi juga seharusnya juga dirasakan oleh pihak yang menerima pertobatan (dalam hal ini diwakili oleh sang ayah). Dan dalam renungan kita hari ini, kita akan belajar bagaimana pertobatan yang benar akan menghasilkan sukacita yang benar pula.

Ketika melihat anak bungsunya datang kembali dari keterhilangannya, tentu sang ayah dapat melihat pertobatan sungguh-sungguh dari si anak bungsu. Ia tidak “ngelunjak” ketika melihat reaksi ayahnya yang datang memeluknya. Oleh karena itu, sang ayah kemudian memberikan respon yang positif dan memerintahkan hamba-hambanya untuk membawa jubah, cincin, dan sepatu untuk mengenakannya kepada si anak bungsu yang baru saja datang.

Dalam tradisi Yahudi, jubah dapat dianggap sebagai suatu cara untuk menunjukkan status seseorang, khususnya dalam hubungan keluarga, seperti Yusuf, anak kesayangan Yakub yang diberikan jubah indah oleh ayahnya (Kej 37:3). Sementara itu, cincin menunjukkan hak yang dimiliki seseorang, khususnya dalam hal kekuasaan, dimana seringkali seorang raja memberikan perintah yang kemudian dimeteraikan oleh cincinnya (Kej 41:42, Est 3:10). Di sisi lain, sepatu (atau dalam hal ini dapat berarti kasut/alas kaki) mungkin adalah sesuatu yang umum bagi kita saat ini. Tetapi perlu diingat bahwa di masa tersebut, adalah umum bagi seorang budak untuk melepaskan kasut dari seseorang yang datang ke rumah tuannya dan membasuh kakinya (Luk 7:44). Bahkan Yohanes Pembaptis pernah berkata bahwa ia tidak layak melepaskan kaki Tuhan Yesus karena begitu terhormatnya Tuhan Yesus di pemandangan Yohanes Pembaptis (Yoh 1:27). 

Jelas bahwa penggunaan jubah, cincin, dan sepatu/kasut dalam ayat 22 ini menunjukkan suatu upaya dari sang ayah untuk mengembalikan status anaknya dari seseorang yang terhilang menjadi anak yang sah. Bisa saja karena si anak bungsu sebelumnya sudah meminta warisan yang menjadi bagiannya dan pergi meninggalkan ayahnya, ia dicap sebagai seseorang yang kurang ajar, atau sudah tidak lagi dianggap sebagai anak (karena anak yang meminta warisan sebelum waktunya juga dapat dianggap sebagai anak yang mengharapkan kematian ayahnya). Namun demikian, kita dapat melihat penerimaan sang ayah yang tulus atas pertobatan anaknya yang sempat terhilang tersebut. 

Bahkan sang ayah juga memerintahkan hamba-hambanya untuk mengadakan sebuah pesta penyambutan kembali anak bungsunya dengan menyembelih seekor lembu yang tambun (ay. 23a). Ia sangat bersukacita karena anaknya yang dianggap telah hilang dan mati kini telah didapati dan hidup kembali (ay. 24a). Ia sangat bersukacita karena hal ini. Bahkan karena sukacitanya, sang ayah juga mengajak hamba-hambanya untuk turut serta bersukacita bersama-sama dengannya (ay. 23b & 24b).

Dalam ayat sebelumnya, kita dapat melihat bagaimana ada sukacita di surga karena adanya pertobatan yang benar (Luk 15:7 & Luk 15:10). Sukacita di sini adalah sukacita yang benar karena adanya pertobatan yang benar. Pertobatan yang benar ditunjukkan dengan keputusan sang anak bungsu untuk kembali dari negeri yang jauh, dan diterima oleh ayahnya dengan penuh sukacita. Namun sayangnya, ayat “sukacita di surga karena pertobatan” ini sering dimaknai secara dangkal oleh orang Kristen dan para pembicara di atas mimbar. Sering kali, ketika ibadah atau KKR, ada orang yang maju ke depan dan biasanya si pembicara langsung berkata, “saat ini ada sukacita di surga karena ada pertobatan”. Padahal, belum tentu orang yang maju itu benar-benar bertobat. Memang maju ke depan adalah salah satu ciri orang yang mulai bertobat. Tetapi semestinya, orang seperti ini harus dibimbing dalam kebenaran dengan intensif, supaya pertobatannya menjadi pertobatan yang benar.

Saya rasa, malaikat di surga adalah makhluk surgawi yang cerdas, yang dapat membedakan manakah pertobatan yang benar dan manakah pertobatan yang pura-pura. Mereka pasti tidak akan bersukacita jika pertobatan yang dilakukan adalah pertobatan yang pura-pura. Sukacita yang benar harus didasarkan pada pertobatan yang benar. Pertobatan yang  benar harus didasarkan pada kesadaran bahwa kita adalah orang-orang yang masih terhilang, sehingga menghasilkan komitmen untuk berbalik dan bertobat dengan sungguh-sungguh.  




Bacaan Alkitab: Lukas 15:22-24

15:22 Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya.

15:23 Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita.

15:24 Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria.


Senin, 01 Agustus 2022

Makna Keterhilangan (14): Menyadari Keterhilangan

 Senin, 01 Agustus 2022

Bacaan Alkitab: Lukas 15:21

Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. (Luk 15:21)



Makna Keterhilangan (14): Menyadari Keterhilangan



Jika kita mau jujur, sebenarnya si anak bungsu dapat saja memanfaatkan keadaan yang ia alami ketika ia berjumpa kembali dengan ayahnya atau bapanya. Dalam ayat sebelumnya, kita dapat melihat bahwa sang ayah menyambut kembalinya sang anak dengan penuh sukacita. Jika anak bungsu tersebut adalah seseorang yang memiliki karakter kurang baik, maka ia dapat saja memanfaatkan kondisi ayahnya itu untuk meminta sesuatu yang akan menguntungkan dirinya. Misalnya saja, ia dapat meminta ayahnya untuk memberikan modal lagi kepadanya sebagai imbalan kembalinya dirinya ke rumah ayahnya.

Namun demikian, Alkitab tidak menulis seperti itu. Dalam ayat 21 dituliskan bahwa si anak bungsu berkata kepada ayahnya, “Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa” (ay. 21a). Hal ini menunjukkan bahwa si anak bungsu ini benar-benar 100% bertobat. Jika ia hanya 50% bertobat, ia mungkin akan kembali ke rumah ayahnya, tetapi ketika melihat respon ayahnya yang sama sekali tidak marah kepadanya, ia mungkin akan merubah sikapnya. Namun perkataan si anak bungsu yang berkata bahwa ia telah berdosa, tidak hanya berdosa kepada ayahnya, tetapi juga kepada surga, menunjukkan penyesalan dan pertobatan yang sungguh-sungguh.

Dalam penyesalannya itu, si anak bungsu bahkan menyadari keadaanya yang sebenarnya. Ia sadar bahwa ia sudah tidak layak lagi dianggap sebagai anak oleh ayahnya (ay. 21a). Hal ini sejajar dengan ucapan si anak bungsu sebelumnya, yang pada intinya ingin kembali ke rumah ayahnya hanya sekedar untuk mencari makan sebagai orang upahannya (Luk 15:19). Kalimat yang keluar dari mulutnya ini benar-benar menunjukkan bahwa si anak bungsu telah sadar dari keterhilangannya, dan menyadari semua konsekuensi yang mungkin ia akan terima ketika ia kembali. Namun yang penting bagi si anak bungsu itu adalah ia boleh bertemu dengan ayahnya kembali. Ia baru dapat mengerti bahwa berada di rumah ayahnya, bahkan dengan status sebagai orang upahan, itu pun jauh lebih baik daripada memiliki banyak harta di negeri yang jauh. Ia mulai menyadari bahwa keterhilangan memiliki makna yang lebih luas, termasuk tidak berada di tempat yang seharusnya.

Hal ini adalah sikap pertobatan yang benar. Pertobatan yang benar dimulai dengan kesadaran dari dalam diri kita sendiri bahwa kita sedang terhilang. Memang terkadang kita perlu suara dari luar seperti ajakan dari hamba Tuhan pada saat Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) untuk menyadarkan keterhilangan kita. Tetapi, jika tidak didasari oleh pertobatan dari dalam dan kesadaran bahwa diri kita sesungguhnya sedang terhilang, maka meskipun kita 100 kali hadir di KKR dan maju ke depan, hal tersebut bisa saja tidak berdampak pada pertobatan kita. 

Hal ini bukan berarti saya mengecilkan peran KKR dan ibadah-ibadah semacamnya. Akan tetapi ibadah hanya akan berdampak jika ibadah tersebut menyadarkan jemaat yang datang untuk melihat bahwa diri kita mungkin sedang terhilang. Jika KKR hanya menyampaikan janji-janji berkat Tuhan dan hanya mengajak orang untuk maju ke depan tanpa membuka kesadaran jemaat bahwa mereka adalah orang terhilang, itu sama saja diibaratkan sebagai mengobati luka dalam hanya dengan menempelkan plester, tetapi tidak meminum obat yang diperlukan untuk menyembuhkan luka dalam. 

Keterhilangan adalah sesuatu yang abstrak, dan seringkalai diabaikan oleh para pembicara di mimbar gereja saat ini. Seringkali dikatakan bahwa Allah sanggup menemukan domba-domba-Nya yang terhilang. Khotbah-khotbah semacam ini membuat banyak orang Kristen tidak bertobat secara proporsional. Mereka dapat berpikir, “Ah, saya tetap di dalam dosa saja pasti dikasihi Tuhan dan pasti ditemukan serta diselamatkan oleh Tuhan”. Padahal hal ini sangat salah.

Contoh dari anak bungsu yang terhilang menunjukkan dengan jelas bahwa harus ada usaha dari manusia yang terhilang untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Sang Bapa tentu saja akan menerima dengan tangan terbuka kepada setiap anak-Nya yang menyadari keterhilangannya dan mau bertobat. Akan tetapi, bagi mereka yang tidak pernah memperkarakan apakah mereka saat ini sedang terhilang di hadapan Bapa atau tidak, mereka tidak akan pernah mengerti makna pertobatan yang sesungguhnya. Ketika mereka ada di hadapan pengadilan Allah, baru mereka gemetar karena selama ini mereka sebenarnya terhilang, tetapi tidak pernah menyadarinya.



Bacaan Alkitab: Lukas 15:21

15:21 Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa.


Jumat, 16 Juli 2021

Makna Keterhilangan (13): Sampai Kembali ke Rumah Bapa

 Jumat, 16 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:20

Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. (Luk 15:20)

 

Makna Keterhilangan (13): Sampai Kembali ke Rumah Bapa

 

Setelah anak bungsu melakukan dua kali kepergian yang salah (kepergian pertama yaitu pergi dari rumah bapanya ke negeri yang jauh, dan kepergian kedua yaitu pergi ke majikan yang memiliki peternakan babi), maka pada akhirnya ia melakukan kepergian yang benar. Alkitab menuliskan bahwa si anak bungsu bangkit dan memutuskan untuk pergi kepada bapanya (ay. 20a). Ia meninggalkan negeri yang jauh itu, meninggalkan majikan yang memiliki peternakan babi, hanya demi satu tujuan, yaitu rumah bapanya. Si anak bungsu tidak menggunakan kata “kembali” ke rumah ayahnya, melainkan “pergi” kepada bapanya. Hal ini sangat mungkin disebabkan karena ia sudah menyadari posisinya yang sudah tidak memiliki hak apa-apa lagi sebagai anak bapanya. Ia merasa bahwa sangat mungkin ia tidak dianggap keluarga lagi oleh ayahnya, kakaknya, dan orang-orang di rumah ayahnya itu. Akan tetapi, saat ini rumah bapanya adalah satu-satunya solusi supaya ia dapat tetap hidup. Jika ternyata ia ditolak di rumah ayahnya sendiri, maka setidaknya ia dapat bekerja sebagai orang upahan di sana untuk menyambung hidupnya.

Ia kemudian berjalan selangkah demi selangkah. Saya cukup yakin bahwa di pikiran anak bungsu itu, waktu seakan berputar kembali. Ia mungkin ingat bagaimana dahulu ia pergi meninggalkan ayahnya dengan membawa harta. Ia tidak memedulikan perasaan ayahnya dan kakaknya. Ia merasa yakin dan jumawa bahwa dengan harta yang banyak yang ia miliki, ia akan sukses di negeri orang. Akan tetapi itu adalah keputusan yang keliru. Sekarang ia kembali melewati jalan yang pernah ia lewati namun dengan arah yang berbeda dan keadaan yang berbeda. Dahulu ia pergi dengan senyum dan uang yang banyak, sekarang ia kembali wajah yang murung tanpa harta di tangannya. Bahkan sangat mungkin selama perjalanan ia sangat lapar dan harus mengemis untuk sekedar mengisi perutnya yang lapar.

Akhirnya, si anak bungsu sampai di perbatasan wilayah rumah bapanya. Ketika ia masih jauh, ternyata ayahnya telah melihatnya sejauh yang ia mampu lihat (ay. 20b). Kemudian tergeraklah hati ayahnya oleh belas kasihan. Ia tahu bahwa anak bungsunya sudah melakukan keputusan yang mengecewakannya. Akan tetapi, sang ayah adalah ayah yang bijaksana dan penuh belas kasihan. Sang ayah kemudian berlari mendapatkan anak bungsu itu lalu merangkul dan mencium dia (ay. 20c). Sang ayah sangat bahagia ketika tahu bahwa anak bungsunya masih hidup dan selamat, meskipun dengan keadaan yang sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya.

Mungkin ada di antara yang kita bertanya, mengapa sang ayah tidak mencari anaknya di negeri yang jauh? Atau paling tidak ia mencoba mencari tahu kondisi anaknya yang sedang merantau itu? Bukankah sang ayah memiliki banyak uang dan mampu untuk membayar orang untuk memperhatikan anaknya? Dalam hal ini persoalannya tidak terletak pada uang yang banyak dan kekuasaan yang ia miliki.  Ada tatanan dalam diri sang ayah karena ia tidak dapat menghentikan kehendak bebas anaknya, terlebih kehendak anaknya di luar wilayah rumahnya.

Hal ini sebenarnya memiliki prinsip yang sama dengan kisah di dalam perumpamaan mengenai domba yang hilang dan dirham yang hilang. Kita telah belajar bahwa jika domba yang hilang tersebut sudah mati sebelum ditemukan sang gembala, maka sudah tidak ada lagi solusi menyelamatkan domba tersebut. Atau jika dirham yang hilang itu ternyata berada di luar rumah (apalagi sudah di dalam dompet orang lain), maka perempuan tersebut tidak akan mampu menemukan dirham yang hilang itu. Demikian juga dengan anak bungsu yang hilang. Apabila ia mati di negeri yang jauh (entah karena kelaparan atau hal lain), atau sudah menjadi penjaga babi, maka sang ayah tidak akan bisa mendapatkan anak bungsunya kembali. Barulah ketika si anak bungsu memutuskan untuk kembali dan telah masuk dalam wilayah rumahnya, maka sang ayah dapat berlari menyambut dan memeluknya.

Demikian pula dengan tatanan yang dimiliki Allah sebagai Bapa kita di surga. Jika kita bertindak sembarangan seperti anak bungsu itu, maka kita dapat benar-benar terhilang. Ini bukan berarti Allah tidak Maha Kuasa dalam menyelamatkan manusia. Tentu Allah tidak ingin ada manusia yang binasa. Akan tetapi, dengan memberikan kehendak bebas kepada manusia, Allah menciptakan suatu tatanan, bahwa manusia dapat memilih apakah mereka mau melakukan apa yang menyenangkan hati Allah, atau menyenangkan diri sendiri. Manusia telah mengerti apa yang baik dan apa yang jahat, sehingga setiap keputusan yang manusia ambil, sesungguhnya akan berdampak pada nasib kekal mereka.

Pada akhirnya, setiap manusia (tidak hanya orang non-Kristen, tetapi juga orang Kristen), harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan tahta pengadilan Allah (Rm 14:12). Tidaklah mengherankan bahwa pada hari penghakiman nanti, akan banyak orang-orang Kristen (karena mereka menyebut Yesus sebagai Tuhan) yang akan ditolak masuk ke dalam Kerajaan Allah. Hal ini karena mereka telah memilih apa yang jahat dalam hidup mereka, meskipun di dalam gereja, mereka terlihat seperti orang-orang yang saleh dan rajin melayani (Mat 7 :21-23). Oleh karena itu, gereja harus mulai mengajarkan keselamatan bukan hanya sebagai suatu titik balik, melainkan sebagai sebuah garis panjang, dimana kita harus tekun dan setia dalam mengerjakan keselamatan itu, untuk dapat kembali pulang ke Rumah Bapa, sehingga kita dapat diterima masuk ke dalam Rumah Bapa kita yang di surga.

 

Bacaan Alkitab: Lukas 15:20

15:20 Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

Sabtu, 10 Juli 2021

Makna Keterhilangan (12): Titik Balik Pertobatan

 Sabtu, 10 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:17-19

Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa  terhadap sorga dan terhadap bapa (Luk 15:18)


Makna Keterhilangan (12): Titik Balik Pertobatan

 

Kita telah belajar bahwa dalam kesesakan yang dialaminya, si anak bungsu kemudian mengambil sebuah keputusan yang tidak tepat. Ia tidak mengingat akan rumah bapanya dan tidak berpikir untuk pergi ke rumah bapa. Sebaliknya, ia memilih untuk pergi kepada seorang majikan di negeri itu, dan ditugaskan untuk menjaga babi. Dalam keadaannya yang sangat terjepit, ia sangat kelaparan tetapi tidak ada yang memberikan makanan babi kepada dirinya. Akhirnya ia kemudian baru sadar akan keadaannya tersebut (ay. 7a).

Seringkali Tuhan mengizinkan kita untuk berada dalam titik terendah di hidup kita. Tuhan mengizinkan masalah demi masalah kita hadapi untuk mengikis kesombongan dan keangkuhan diri kita. Terkadang Tuhan izinkan masalah yang sangat besar sehingga kita tidak dapat mengandalkan harta kita, jabatan kita, dan koneksi kita. Akibatnya kita kemudian baru teringat akan Tuhan ketika kita dalam keadaan genting tersebut. Di situlah berkat abadi yang Tuhan sediakan bagi kita dalam masalah hidup kita. Kita seharusnya bersyukur ketika kita mengalami kondisi genting, karena mungkin saja kita diingatkan kepada rumah Bapa kita di surga.

Dalam perenungannya, si anak bungsu kemudian teringat akan kondisi bapanya yang sangat kaya. Ia teringat akan orang upahan bapanya yang jumlahnya sangat banyak, dengan makanan yang melimpah dan tidak berkekurangan (ay. 17b). Tidak hanya bapanya yang berkelimpahan, bahkan orang upahan yang bekerja di tempat bapanya pun menikmati kelimpahan makanan. Tetapi, ia yang adalah anak sah dari ayahnya/bapanya justru kelapran di negeri asing (ay. 17c).

Di situlah kemudian ia tersadar akan kesalahannya. Ia sadar akan kesalahan fatal yang telah ia lakukan terhadap ayahnya. Ia kemudian bertekad untuk bangkit dan pergi kepada bapanya (ay. 18a). Selama ini ia telah pergi ke banyak tempat. Pertama, ia pergi dari rumah bapanya ke negeri yang jauh. Kedua, ketika kelaparan melanda, ia pergi kepada seorang majikan untuk mencari solusi. Tetapi kedua keputusan kepergiannya itu ternyata tidaklah bijaksana. Kemudian ia bertekad untuk pergi ke rumah bapanya. Sebenarnya ia tidaklah pergi ke rumah bapanya, melainkan ia sedang pulang kembali ke rumah bapanya. Namun ia sadar bahwa ia sudah tidak layak lagi sebagai anak (ay. 19a). Oleh karena itu, ia bertekad untuk pergi (dan bukannya pulang) untuk meminta maaf kepada bapanya (ay. 18b), dan berharap ia dapat diterima sebagai salah satu orang upahan bapanya (ay. 19b). Baginya, lebih baik menjadi orang upahan bapanya daripada menjadi orang upahan majikan babi.

Keterhilangan adalah keadaan ketika seseorang tidak ada di tempat yang semestinya. Keterhilangan juga adalah keadaan ketika kita jauh dari rumah Bapa kita. Keterhilangan juga adalah keadaan ketika kita salah mengambil keputusan sehingga kita nyaris kehilangan kodrat kita. Namun dibalik itu semua, jika kita masih diberikan kesempatan untuk bertobat, maka sedalam-dalamnya keterhilangan kita, kita masih memiliki potensi untuk kembali dari keterhilangan kita. Si anak bungsu ini sangat nyaris terhilang. Jika ia mati di negeri orang, atau sudah sampai memakan makanan babi dan menjadi sama dengan babi, maka ia mungkin sudah tidak sadar akan keterhilangannya. Tetapi dalam keadaan yang terjepit, si anak bungsu masih teringat akan rumah bapanya. Keadaan kehilangan segala sesuatu membuat ia sadar akan keputusan salah yang selama ini ia lakukan. Akibatnya, ia mulai mengalami pertobatan, dengan titik baliknya adalah ketika ia nyaris disamakan menjadi babi.

Akan tetapi kondisi ini barulah titik awal dari pertobatan. Ia masih harus menjalani langkah demi langkah dalam proses pertobatannya. Ia masih harus menempuh perjalanan panjang ke rumah ayahnya dengan kondisi tanpa uang dan tanpa makanan. Ia masih harus berjuang untuk sampai ke rumah ayahnya dengan selamat. Ia pun harus siap menerima risiko ketika ia ditolak oleh ayahnya atau oleh kakaknya ketika ia telah tiba di rumah ayahnya. Akan tetapi, langkah awal si anak bungsu ini sudah sangat baik. Tetapi langkah awal tidak ada artinya tanpa langkah-langkah selanjutnya. Setiap langkah pun tidak akan ada artinya tanpa konsistensi dan keteguhan hati. Kesetiaan berjalan langkah demi langkah akan sangat menentukan seseorang untuk dapat mencapai garis akhir yang menjadi tujuan utama.

  

Bacaan Alkitab: Lukas 15:17-19

15:17 Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.

15:18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa  terhadap sorga dan terhadap bapa,

15:19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.

Jumat, 09 Juli 2021

Makna Keterhilangan (11): Nyaris Kehilangan Kodrat

 Jumat, 9 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:16

Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. (Luk 15:16)


Makna Keterhilangan (11): Nyaris Kehilangan Kodrat

 

Kita telah belajar sampai dengan saat ini bahwa ada beberapa makna keterhilangan dari ketiga perikop yang kita telah pelajari selama ini. Keterhilangan dapat dimaknai sebagai tidak berada di tempat yang semestinya, sesat, dan lain sebagainya. Akan tetapi, salah satu makna keterhilangan yang paling berbahaya adalah keterhilangan kodrat. Adalah bahaya jika seorang manusia sudah tidak lagi mengerti akan kodratnya sebagai manusia. Ketika manusia sudah kehilangan kodratnya sebagai manusia, maka hal itu akan sangat berbahaya karena segala macam moral, budi pekerti, dan agama sudah tidak akan berpengaruh lagi.

Setelah menghadapi kondisi krisis, maka si anak bungsu pergi kepada seorang majikan dan kemudian si anak bungsu disuruh untuk menjaga babinya. Pekerjaan sebagai penjaga babi adalah suatu pekerjaan yang sangat hina, dan mungkin hanya akan menjadi suatu alternatif terakhir bagi orang Yahudi mengingat babi adalah hewan yang haram. Dalam pekerjaannya yang baru ini, si anak bungsu kemudian merasa lapar. Mungkin ketika ia melamar pekerjaan tersebut, ia sudah kehabisan uang dan makanan sehingga tidak sempat makan pagi atau makan siang. Ketika itulah ia sangat lapar dan ingin makan, sehingga ia sampai pada satu titik dimana ia ingin mengisi perutnya dengan makanan babi (ay. 16a).

Kata “ingin” dalam ayat ini dalam bahasa aslinya adalah epethymei (ἐπεθύμει) dari akar kata epithumeó (ἐπιθυμέω) yang menunjukkan suatu nafsu atau keinginan yang sangat tinggi akan sesuatu hal. Bisa jadi hal ini menunjukkan bahwa si anak bungsu sudah sangat lapar dan sangat ingin memakan sesuatu. Bahkan sesungguhnya jika ada yang mau memberikan makanan babi kepadanya, maka tanpa ragu ia akan memakannya, sekalipun itu adalah ampas yang bukan makanan manusia secara umum. Sayangnya, tidak ada orang yang mau memberikan makanan babi itu kepada si anak bungsu.

Bayangkan jika seorang manusia sudah tidak peduli lagi akan makanan apa yang dapat ia makan. Bahkan si anak bungsu akan bersedia makan makanan babi sekalipun (yang adalah makanan bagi hewan haram). Hal ini seakan-akan sudah melampaui batas kemanusiaan yang wajar. Tetapi inilah yang dialami oleh si anak bungsu. Dahulu ia adalah seorang yang terhormat, anak dari seorang ayah yang terhormat pula. Ia memiliki banyak hewan ternak seperti kambing, domba, lembu, dan lain sebagainya. Jika ia lapar, ia dapat menyuruh salah satu orang upahan bapanya untuk menyiapkan makanan. Bahkan mungkin ia dapat memakan jenis makanan yang enak dan mengenyangkan. Akan tetapi, karena ia salah mengambil keputusan, maka harta miliknya habis sama sekali, dan ia bahkan harus makan makanan babi untuk dapat bertahan hidup. Secara sederhana, kita dapat melihat bahwa dengan memakan makanan yang sama, maka saat itu, si anak bungsu sudah hampir kehilangan kodratnya sebagai manusia dan “nyaris” menjadi sama seperti babi.

Hal inilah yang cukup berbahaya bagi manusia jika ia tidak sadar akan kodratnya dan kemudian meninggal kodratnya tersebut. Terlebih bagi orang percaya yang sebenarnya berkodrat sebagai anak-anak Allah. Bayangkan jika ada manusia yang berkodrat sebagai anak-anak Allah, namun kemudian kehilangan kodrat yang mulia itu. Hal ini sudah dialami oleh Adam dan Hawa, yang kemudian terusir dari Taman Eden karena melanggar perintah Allah. Kita juga dapat melihat bagaimana Esau tidak menyadari kodratnya sebagai anak sulung Ishak dan kemudian menjual hak kesulungannya dengan harga yang sangat murah.

Demikian juga kita harus mengingat kodrat kita supaya kita jangan sampai terhilang dan kehilangan kodrat tersebut. Kita adalah orang-orang yang sudah ditebus dengan darah Yesus yang sangat mahal. Oleh karena itu seharusnya kita sudah mati dari kodrat manusia lama kita, dan mengenakan kodrat ilahi yang baru melalui karya penebusan Yesus di atas kayu salib. Jangan sampai kita terhilang dan kehilangan kodrat ilahi tersebut. Jangan sampai kita terjerat oleh dosa, keinginan dunia, percintaan dunia, dan hal apapun yang dapat membuat kita melupakan dan meninggalkan kodrat kita tersebut. Belajarlah dari kisah anak bungsu ini, supaya kita jangan melakukan kesalahan yang sama seperti yang si anak bungsu ini lakukan.

 

Bacaan Alkitab: Lukas 15:16

15:16 Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya.