Senin, 29 Juli 2019

Pornos dan Moichos (29): Bukan Alasan Utama untuk Menikah


Senin, 29 Juli 2019
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 7:1-6
Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. (1 Kor 7:2)


Pornos dan Moichos (29): Bukan Alasan Utama untuk Menikah


Jika kita diberi pertanyaan: Apa alasan kita menikah? Apakah jawaban kita? Sebagian akan berkata: “Saya sayang kepada pasangan saya”, “Saya sudah lama berpacaran”, “Saya sudah disuruh menikah”, “Saya sudah cukup umur, takut jadi perawan/perjaka tua”, dan lain sebagainya. Namun belakangan ini saya  mengamati bahwa ada sejumlah orang yang mengemukakan alasan yang unik yaitu: “Daripada berzinah, lebih baik menikah supaya halal”.

Tanpa disadari, pemikiran tersebut juga mulai masuk ke dalam lingkungan jemaat gereja. Ada sebagian pemuda/pemudi yang berprinsip seperti itu, daripada terlalu lama berpacaran dan bisa jatuh dalam dosa perzinahan, alangkah baiknya kita menikah saja, toh kalau sudah diberkati di gereja kan sudah sah di hadapan Tuhan.

Sebenarnya pemikiran tersebut tidaklah 100 persen benar. Dalam perikop di pasal 7 ini, Paulus dengan tegas berkata bahwa tentang hal-hal yang mereka (jemaat Korintus) tuliskan kepada Paulus, adalah baik bagi laki-laki jika ia tidak kawin (ay. 1). Sekilas Paulus seakan-akan menentang perkawinan. Tetapi perlu diingat bahwa semangat Paulus ini bukanlah karena ia membenci perkawinan, tetapi harus dipandang dalam konteks yang lebih luas lagi dari pasal hingga pasal sesudahnya.

Dalam pasal sebelumnya, Paulus berbicara banyak mengenai percabulan, kondisi di jemaat Korintus dimana percabulan yang begitu parah (pornos) sudah masuk ke dalam jemaat. Paulus pada saat itu memiliki pemikiran bahwa Tuhan Yesus akan segera datang kembali, tidak lama setelah kenaikan-Nya ke surga. Hal itu nampak jelas dalam ayat-ayat selanjutnya, terutama ayat 29 yang berbunyi: “Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri” (ay. 29). Saya sendiri juga tidak tahu mengapa Tuhan tidak memberi tahu kepada Paulus bahwa Ia tidak akan datang dalam waktu dekat. Namun demikian, saya berpikir bisa saja Tuhan sengaja tidak memberitahu Paulus supaya Paulus memiliki semangat yang menyala-nyala dalam memberitakan Injil.

Saya berpendapat, bahwa spirit mengenai dekatnya hari kedatangan Tuhan yang kedua kali ini masih sangat relevan dan bahkan jauh lebih relevan bagi kita yang hidup di masa-masa akhir zaman ini. Paulus berpendapat bahwa alangkah baiknya jika seorang laki-laki tidak kawin/menikah, karena Paulus menganggap bahwa waktu kedatangan Tuhan sudah sangat dekat. Lebih baik menunda pernikahan di dunia ini demi melayani Tuhan dan kerajaan-Nya, supaya dapat diterima masuk ke dalam kerajaan surga.

Namun demikian, Paulus tidak mengatakan ini sebagai perintah yang baku. Ingat bahwa ayat-ayat kitab suci tidak boleh dipenggal-penggal seenaknya tanpa memperhatikan konteks. Betapa berbahayanya jika ada pengkhotbah yang suka memilih-milih ayat dan memenggal-menggal ayat dan hanya mengutip ayat 1, bisa-bisa semua orang yang menikah dianggap berdosa. Dalam ayat selanjutnya, Paulus berkata bahwa mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri (ay. 2). Ini adalah hal yang sangat penting yaitu supaya setiap orang memiliki pasangannya sendiri dan tidak mengambil atau mencampuri orang lain yang juga telah memiliki pasangan. Ini menunjukkan prinsip kekristenan yang dengan tegas menganut monogami, bukan poligami, poliandri, maupun kumpul kebo (tinggal Bersama seperti suami istri namun tanpa status pernikahan yang sah).

Ayat 2 ini juga dapat disalahartikan jika tidak disertai dengan pemahaman yang benar. Tanpa melihat konteksnya, maka orang dapat berkata bahwa “lebih baik menikah daripada hidup dalam percabulan”. Dalam hal ini pernikahan hanya dipandang sebagai legalisasi status untuk dapat melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Tidak sedikit orang Kristen bahkan pendeta yang masih menganut hal ini. Apalagi jika ayat ini dimaknai sebagai solusi semisal ada jemaat yang sudah melakukan hubungan seksual (bahkan sampai ada yang hamil), dan solusinya adalah mereka menikah saja supaya status mereka sudah sah sebagai di mata Tuhan, gereja, dan negara. Akibatnya, pernikahan Kristen hanya dijadikan “permainan” untuk menutupi kesalahan. Seakan-akan dikesankan, kalau dulu  berdosa karena melakukan hubungan seks sebelum nikah, maka dengan pernikahan, semua dosa itu ibaratnya sudah selesai, karena toh statusnya mereka sudah dinikahkan. Namun apakah benar kalimat Paulus ini bermakna demikian? Begitu rendahnya kah makna pernikahan jika hanya untuk melegalisasi seks semata?

Untuk itu kita perlu sedikit lebih dalam membedah ayat 2 ini supaya mendapatkan pengertian yang benar dan obyektif. Kata percabulan dalam ayat 2 ini menggunakan kata porneia (πορνεία) yang juga digunakan di pasal-pasal sebelumnya. Jelas bahwa kehidupan di kota Korintus ini mungkin sudah sangat bejat, sehingga berdampak kepada jemaat pula. Dari beberapa literatur yang saya baca, di kota Korintus ini ada kuil yang dilayani oleh para pendeta-pendeta wanita yang melacurkan diri. Di sana pelacuran dianggap sebagai suatu ibadah bagi dewa/dewi mereka. Oleh karena itu, jemaat Korintus juga sedikit banyak terkontaminasi oleh praktik semacam ini.

Oleh karena itu, alasan utama Paulus menulis surat ini (dan khususnya di pasal ini) adalah supaya jemaat Korintus tidak terlibat dalam percabulan seperti yang terjadi di kota Korintus pada umumnya. Ingat bahwa di pasal-pasal sebelumnya, sudah ada jemaat Korintus yang melakukan percabulan yang tidak pantas, yaitu tinggal dengan istri ayahnya. Oleh karena itu, mengingat bahaya percabulan yang sangat parah, baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan juga setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.

Kata “mempunyai” dalam bahasa aslinya adalah echetō (ἐχέτω) dari akar kata echó (ἔχω) yang secara harafiah berarti “to have, hold, possess” (mempunyai, memiliki, memegang, menyimpan, menjadikan sesuatu dalam penguasaan). Dalam konteks ini, tentu jelas maksudnya adalah dalam hal pernikahan/perkawinan, dimana masing-masing laki-laki harus mempunyai satu istri dan juga sebaliknya. Yang menarik adalah kata echetō ini (yang disebutkan 2 kali dalam ayat 2, masing-masing untuk laki-laki/suami dan perempuan/istri) merupakan kata kerja yang bersifat Verb – Present Imperative Active – 3rd Person Singular. Artinya adalah kata echetō (yag berarti mempunyai/memiliki) ini adalah suatu perintah aktif untuk masa kini yang ditujukan oleh Paulus kepada laki-laki dan perempuan dalam jemaat.

Dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru, digunakan kata “baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri”. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam Terjemahan Lama yaitu “hendaklah tiap-tiap laki-laki beristrikan istrinya sendiri”. Sebagian terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris juga menuliskan kalimat sebagai berikut: “each man should have his own wife” (setiap laki-laki sebaiknya mempunyai istrinya sendiri). Namun ada beberapa terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris yang menulis demikian: “let each man have his own wife” yang lebih menekankan sebagai suatu kata perintah agar setiap orang mempunyai pasangannya sendiri. Saya pribadi lebih menyukai versi terakhir ini karena lebih menekankan suatu perintah (imperative) yang lebih tegas kepada laki-laki dan perempuan untuk mempunyai pasangannya sendiri.

Dalam ayat 3, juga terdapat kata Verb – Present Imperative Active – 3rd Person Singular yang terdapat dalam kata “memenuhi”, dengan bahasa aslinya yaitu apodidotō (ἀποδιδότω) dari akar kata apodidómi (ἀποδίδωμι). Kata tersebut dapat bermakna menyerahkan, membayar, memberikan kembali, melunasi, memenuhi kewajiban, berbuah, dan mempertanggungjawabkan. Apakah yang harus dibayar atau dipertanggungjawabkan? Hal itu adalah suatu kewajiban atau tugas antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.

Kata “kewajiban” dalam bahasa aslinya adalah opheilé (ὀφειλή) yang selain berarti kewajiban, juga berarti hutang atau tugas. Oleh karena itu, dalam hubungan pernikahan ada suatu tugas dan kewajiban masing-masing pihak. Mau tidak mau, setiap pasangan yang berkomitmen masuk dalam suatu ikatan pernikahan haruslah menyadari tugas dan tanggung jawabnya. Adalah baik jika sebelum menikah, kedua calon mempelai harus ditekankan mengenai tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Jangan lebih banyak menekankan hak-hak atau “bagian enak” dari pernikahan, karena dibalik hak yang dapat mereka nikmati, ada kewajiban yang harus mereka lakukan juga. Tidak jarang suatu pernikahan berakhir karena adanya salah satu pihak yang tidak menyadari posisi mereka dalam arti tugas dan tanggung jawabnya dalam keluarga.

Apakah kewajiban ini? Tentu dalam konteks percabulan seperti yang dijelaskan sebelumnya, hal ini lebih berbicara mengenai hubungan seksual. Seorang suami wajib memenuhi (karena kata ini adalah kata kerja imperative/perintah) kewajibannya terhadap istrinya dan demikian sebaliknya: istri terhadap suami (ay. 3). Kewajiban itu bukanlah suatu beban, melainkan harus dianggap sebagai “hutang”. Suami “berhutang” kepada istri dan istri juga “berhutang” kepada suami. Dengan demikian, kedua belah pihak tidak mungkin tidak memenuhi kewajibannya dalam hal hubungan suami istri.

Dalam ayat selanjutnya Rasul Paulus jelas menulis bahwa seorang perempuan yang sudah menikah, tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya yang berkuasa, dan demikian pula sebaliknya (ay. 4). Kata berkuasa di sini menggunakan kata exousiazei (ἐξουσιάζει) dari akar kata exousiazó (ἐξουσιάζω) sebagai kata kerja atau dari akar kata exousia (ἐξουσία) sebagai kata benda. Kata ini selain bermakna kuasa (power), tetapi juga dapat bermakna hak khusus (right) atau otoritas (authority). Oleh karena itu, dalam hubungan pernikahan, istri harus sadar bahwa ia dengan sukarela menyerahkan hak kepada suaminya, dan begitu pula suami menyerahkan hak kepada istrinya dengan sukarela. Artinya, ketika masuk ke dalam institusi pernikahan, tidak boleh ada ego antara suami dan istri. Suami kini memiliki hak penuh atas istrinya dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, seharusnya tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh suami istri dalam suatu pernikahan yang kudus. Semua hal pasti ada solusinya, apalagi jika itu hanya sekedar urusan hubungan seksual semata.

Paulus menulis demikian supaya suami tidak mencari sumber kenikmatan lain selain istrinya, dan begitu pula istri tidak mencari sumber kenikmatan lain selain suaminya. Inilah sebenarnya penekanan bahaya percabulan tadi, yaitu agar suami istri sama-sama saling menghargai dan mengerti satu sama lain, khususnya dalam hal hubungan seksual. Jika segala kebutuhan seksual terpenuhi, tidak akan ada suami atau istri yang selingkuh dan melakukan percabulan. Bahkan Paulus menegaskan bahwa suami istri tidak boleh saling menjauhi (ay. 5a). Jika terpaksa harus menjauhi pun harus dilakukan dalam 3 kondisi: 1) atas kesepakatan bersama; 2) untuk sementara waktu (tidak untuk seterusnya); dan 3) agar ada kesempatan untuk berdoa (ada alasan yang jelas).

Hal ini penting karena suka atau tidak suka, hubungan suami istri adalah salah satu hal yang penting dalam pernikahan (walaupun bukan yang terpenting). Intinya Paulus menekankan agar jemaat Korintus tidak membuka celah yang memungkinkan iblis masuk dan menguji/mencobai kita (ay. 5b). Kita harus sadar bahwa tulisan Paulus ini ditujukan kepada jemaat Korintus, yang tinggal di kota yang sudah sangat cemar dengan praktik percabulan. Sehingga tulisan Paulus ini tentu mau tidak mau harus mengungkapkan  hal ini dengan terus terang.

Sebagaian besar orang menganggap bahwa perbedaan utama orang yang sudah menikah dan belum menikah adalah kebebasan untuk melakukan hubungan seksual. Tentu hal itu tidak sepenuhnya salah. Adalah baik jika orang menjaga tubuhnya dari hubungan seksual di luar nikah dan menyimpannya hingga hari pernikahannya nanti. Dan saya pun setuju bahwa hal itu harus menjadi pembeda utama dari hubungan sebelum menikah (ketika sudah sah menjadi suami istri dalam pernikahan yang kudus, barulah dapat melakukan hubungan seksual). Namun demikian, perlu diingat bahwa hal itu bukan yang terutama dalam suatu pernikahan.

Jika di dalam ayat 5 seakan-akan Paulus mengatur mengenai bagaimana suami istri sebaiknya mengatur pola hubungan seksual mereka, tetapi sebenarnya hal itu bukanlah suatu perintah, melainkan suatu kelonggaran (ay. 6). Kata “kelonggaran” dalam bahasa aslinya adalah syngnōmēn (συνγνώμην) dari akar kata suggnómé (συγγνώμη). Kata ini hanya muncul satu kali dalam Alkitab Perjanjian Baru sehingga bukan merupakan suatu kata yang umum digunakan dalam tulisan Paulus maupun tulisan rasul-rasul lainnya. Kata ini berasal dari 2 kata: sun (bersama-sama) dan ginóskó (mengenal melalui pengalaman). Kata tersebut memang juga memiliki makna “permission, indulgence, concession” (izin, pengampunan, pemanjaan, kelonggaran). Namun terkait dengan arti harafiah dari kata tersebut, dari kata sun dan ginóskó, maka kata itu juga dapat bermakna “fellow feeling” (simpati, perasaan persahabatan).

Jadi jelaslah bahwa kelonggaran yang disampaikan Paulus ini bersifat khusus, karena berangkat dari suatu perasaan bersama sebagai seorang sahabat yang sudah mengenal dan memahami betul kondisi jemaat di Korintus. Oleh karena itu Paulus memberikan semacam “kelonggaran” atau izin kepada jemaat di Korintus jika ingin menjauhi, tetapi dengan syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas.

Ketika menulis renungan ini, saya menyadari kondisi jemaat Korintus yang unik sehingga terkadang ada tulisan Paulus yang terkesan aneh dan di luar kebiasaannya yang lain. Misal mengenai sikap perempuan yang harus memakai kerudung (1 Kor 11:6), laki-laki yang tidak boleh berambut panjang (1 Kor 11:14), perempuan yang tidak boleh berbicara dalam pertemuan jemaat (1 Kor 14:34), dan lain sebagainya. Terkadang hal itu menjadi bahan perdebatan di antara para teolog. Dahulu saya pun sempat bingung, mengapa di Alkitab ada ayat-ayat yang sepertinya sulit untuk dipahami (sebagaimana saya sampaikan di atas). Ternyata jawabanya sebenarnya sederhana: karena kondisi di jemaat Korintus adalah unik dan berbeda dengan jemaat lainnya. Oleh sebab itu, ayat-ayat dalam contoh di atas tidak bisa langsung secara mutlak dikenakan kepada jemaat di Indonesia atau jemaat di Jakarta, karena kondisi di Jakarta berbeda dengan kondisi Korintus pada waktu itu. Ayat tersebut mungkin dapat diterapkan dengan baik jika dan hanya jika kondisi di Jakarta sudah sama atau mendekati kondisi di Korintus.

Oleh sebab itu, kita tidak perlu memusingkan diri dengan perkara-perkara lahiriah seperti “apakah jemaat perempuan harus memakai kerudung saat berdoa?” atau “apakah jemaat perempuan tidak boleh berbicara saat pertemuan jemaat?”. Hal yang sama juga berlaku atas perikop dalam bagian Alkitab kita hari ini: “Apakah boleh untuk menjauhi dalam hubungan seksual?”. Jawaban atas pertanyaan di atas adalah relatif, yaitu bisa “ya” dan bisa “tidak”. Jawabannya bisa saja “ya” jika memang kondisi jemaat kita mirip atau bahkan sama dengan kondisi jemaat di Korintus pada waktu itu. Tetapi jika kondisinya jauh berbeda, mungkin lebih tepat kita berkata “tidak”, karena konteks ayat ini ditulis adalah sangat berbeda.

Namun saya rasa kita boleh setuju akan satu hal, bahwa perikop ini sama sekali tidak dapat dijadikan dasar bagi seseorang untuk menikah dengan alasan “supaya tidak berzinah”. Pernikahan Kristen bukanlah suatu alat untuk melegalisasi hubungan seks hanya untuk supaya tidak dipandang berzinah di mata manusia. Tuhan tidak dapat diperdaya dengan alasan manusia yang hatinya penuh dengan kelicikan. Memang adalah baik bagi seseorang untuk tidak menikah, dan juga baik pula bagi seseorang untuk menikah. Namun menurut pendapat saya, adalah lebih baik bagi seseorang untuk tidak menikah, daripada menikah dengan orang yang salah, atau bahkan daripada menikah dengan alasan yang tidak tepat. Hubungan seks antar suami istri memang indah, bahkan sangat indah. Namun alangkah indahnya jika hubungan seks itu dilakukan pada saat yang tepat, dan dengan orang yang tepat pula. Jangan kita mengurangi keagungan nilai suatu pernikahan hanya karena kita sudah “kebelet” untuk melakukan hubungan seksual. Dasarkan segala sesuatunya bagi kemuliaan nama Tuhan, dan perkarakan apakah dalam setiap hal yang kita lakukan (termasuk pernikahan) adalah kehendak Tuhan atau hanya sekedar untuk memuaskan keinginan dan hawa nafsu kita saja.



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 7:1-6
7:1 Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin,
7:2 tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.
7:3 Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya.
7:4 Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya.
7:5 Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.
7:6 Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.