Jumat, 31 Agustus 2018
Bacaan
Alkitab: Lukas 18:18-27
“Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan berzinah, jangan
membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan
ibumu.” (Luk 18:20)
Pornos dan Moichos (16): Perintah Tuhan yang Umum dan Kehendak-Nya yang Khusus
Jika ditanyakan kepada kebanyakan orang
Kristen, apakah perintah Tuhan itu? Tentu kebanyakan dari kita akan menjawab
bahwa perintah-Nya adalah apa yang tertulis di Alkitab. Jika ditanya lebih
rinci lagi apakah perintah Tuhan, mungkin sebagian besar akan ada yang menjawab
“sepuluh perintah Allah”, atau “mengasihi Tuhan dan mengasihi manusia”. Jawaban
itu sebenarnya tidak salah. Namun orang Kristen yang cerdas harus dapat
membedakan manakah perintah Tuhan yang bersifat umum, dan manakah kehendak
Tuhan yang bersifat khusus.
Bacaan Alkitab kita pada hari ini sudah
beberapa kali kita bahas dalam serial ini maupun pada kesempatan-kesempatan
terdahulu. Namun kali ini saya mengajak kita semua untuk belajar melihat
manakah perintah Tuhan dan manakah kehendak Tuhan.
Peristiwa ini dimulai ketika ada
seorang pemimpin yang datang dan bertanya kepada Tuhan Yesus: “Guru yang baik,
apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (ay. 18). Kata
pemimpin hanya digunakan di kitab Lukas sedangkan dalam ayat paralel di kitab
Markus hanya ditulis “seseorang” (Mrk 10:20) dan di kitab Matius ditulis
sebagai “orang muda” (Mat 19:20). Jika peristiwa di ketiga kitab itu merujuk
pada orang yang sama, maka bisa dikatakan orang ini adalah seorang pemimpin
muda yang memiliki banyak harta. Kata “pemimpin” di ayat ini dalam bahasa
aslinya menggunakan kata archón (ἄρχων)
yang memiliki makna a ruler, governor,
leader, leading man; with the Jews, an official member (a member of the executive)
of the assembly of elders (seorang penguasa, gubernur, pemimpin; dengan
orang Yahudi, seorang anggota resmi (anggota eksekutif) dari majelis tua-tua).
Sangat mungkin orang ini adalah salah satu pemimpin dengan jabatan tinggih di
kalangan orang Farisi. Hal ini juga
didukung dengan fakta bahwa orang tersebut berani berkata bahwa ia sudah
melakuan seluruh kewajiban hukum Taurat, seperti yang umum dilakukan oleh orang
Farisi (ay. 21).
Kembali ke ayat 19, kita melihat bahwa
Tuhan menjawab pertanyaan orang tersebut dengan sangat bijaksana, yaitu bahwa
tidak ada seorangpun yang baik selain daripada Allah saja, dan bahwa [salah
satu] cara untuk memperoleh hidup yang kekal adalah dengan melakukan segala
perintah Allah seperti yang ia telah ketahui (ay. 19-20). Dalam ayat 20 ini,
dicantumkan beberapa contoh perintah Allah yang merupakan kutipan dari 10 hukum
Taurat (Dasa titah), yaitu “jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan
mengucapkan saksi dusta, serta menghormati ayah dan ibu” (ay. 20). Apa yang
disampaikan oleh Tuhan Yesus itu adalah perintah ke-6 hingga ke-10 yang
merupakan perintah Tuhan yang mengatur mengenai hubungan antara manusia dengan
sesamanya.
Dalam ayat 20 tersebut terdapat 1
perintah yaitu “jangan berzinah”. Sama seperti ayat paralel di kitab Injil
lainnya , kata “berzinah” dalam ayat ini menggunakan kata moicheusēs (μοιχεύσῃς) dari akar kata moicheuó (μοιχεύω) yang secara ringkas memiliki makna sebagai adalah
suatu hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah dengan
orang lain yang bukan pasangannya. Sebagaimana kita telah membahas dalam
renungan-renungan terdahulu, bahwa kalimat “jangan berzinah” ini merupakan
salah satu dari 10 perintah yang diberikan Tuhan Allah secara langsung di atas
gunung Sinai kepada bangsa Israel. Jika kita mau jujur, perintah tersebut
diberikan kepada bangsa Israel dan berlaku penuh bagi seluruh bangsa Israel,
termasuk keturunan mereka hingga saat ini (yang kita kenal dengan bangsa
Yahudi). Pertanyaannya, mampukah seseorang melakukan hukum dengan ketat dan
sempurna?
Dalam jawabannya, sang pemimpin
tersebut berkata kepada Tuhan Yesus: “Semuanya itu telah kuturuti sejak masa
mudaku” (ay. 21). Perhatikan respon Tuhan Yesus kemudian terhadap ucapan orang
tersebut. Tuhan tidak mengatakan: “Kamu masih belum sempurna menuruti hukum
Taurat”. Ini dapat diartikan bahwa orang tersebut dalam hal penurutannya akan
tuntutan hukum Taurat mungkin memang benar-benar sudah “sempurna”. Perlu
dipahami kata “sempurna” di sini harus dipandang sebagai tidak melanggar hukum
Taurat dan juga senantiasa melakukan perintah Tuhan yang tertulis di dalam
hukum Taurat.
Terkait dengan hal ini, ada 1 orang
lagi yang juga dapat kita pandang sudah dapat memenuhi seluruh tuntutan hukum
Taurat, yaitu Paulus. Dalam suratnya kepada jemaat di kota Filipi, Paulus
mengatakan bahwa tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat ia sama sekali
tidak bercacat (Flp 3:6). Tentu tidak bercacat di sini adalah sampai pada
melakukan perintah Tuhan sebagaimana yang tertulis di dalam kitab sucinya
(yaitu yang berupa hukum-hukum tertulis). Jadi menurut pendapat saya, masih
dimungkinkan adanya orang-orang yang bisa dibenarkan dalam hal menaati syariat
agamanya (seperti makanan yang dimakan, hal berpuasa, mengenakan pakaian yang
sesuai, merayakan liturgi dalam ibadah mereka). Namun semua hal ibadah secara
lahiriah tersebut ternyata di mata Tuhan masih belum cukup.
Perhatikan bagaimana jawaban Tuhan
Yesus di ayat 22 tersebut: “Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan”
(ay. 22a). Mengapa Tuhan Yesus mengucapkan hal demikian? Bukankah secara hukum
Taurat orang itu sudah bisa dipandang tak bercacat? Mengapa pula masih ada satu
hal lagi yang harus ia lakukan?
Kita harus jeli melihat bahwa apa yang
diucapkan oleh Tuhan Yesus ini sama sekali tidak ada acuannya di dalam kitab
suci orang Yahudi. Memang betul bahwa orang Yahudi juga dituntut untuk
memperhatikan orang-orang miskin, termasuk para janda dan anak yatim. Namun
aturan mengenai seberapa banyak orang Yahudi harus membantu sesamanya tersebut
memang tidak diatur secara rinci. Jelas bahwa jika dikaitkan dengan perintah Tuhan
(yang tertulis dalam bentuk hukum atau Kitab Suci), maka orang tersebut tentu
tidak bersalah. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang Tuhan, orang
tersebut masih memiliki suatu “kekurangan”. Kekurangan inilah yang hendak
ditunjukkan oleh Tuhan Yesus kepada orang itu, dengan cara memintanya melakukan
1 hal lagi untuk memperoleh hidup yang kekal.
Tidak mengherankan bahwa hal yang
diminta oleh Tuhan Yesus adalah untuk menjual segala yang ia miliki, dan
membagi-bagikan semuanya itu kepada orang-orang miskin (ay. 22b). Apakah cukup
dengan menjual segala sesuatu yaitu harta miliknya? Tentu tidak. Tuhan Yesus
mengatakan bahwa itu barulah langkah awal untuk memperoleh harta di surga, baru
kemudian setelah itu ia harus datang kepada Tuhan Yesus dan mulai mengikuti-Nya
(ay. 22c).
Jika kita perhatikan, Tuhan Yesus
hendak menyampaikan kehendak Bapa-Nya supaya orang itu memperoleh hidup yang
kekal. Jelas bahwa perintah-perintah di dalam Kitab Suci adalah perintah yang
baik adanya. Namun sebenarnya melakukan seluruh perintah Tuhan itu belumlah
cukup jika ingin sempurna sesuai standar Tuhan. Hukum Taurat memang mampu
membuat orang menjadi baik, akan tetapi belum membuat orang sampai kepada level
sempurna di hadapan Tuhan.
Di sini kita harus belajar menjadi
orang Kristen yang cerdas. Memang betul bahwa Kitab Suci (Alkitab) adalah
firman Tuhan yang adalah panduan hidup kita. Namun firman Tuhan itu adalah
firman yang tertulis (logos). Logos tidak akan berdampak banyak jika
hanya dibaca atau dihafal serta dipandang sebagai suatu syariat yang wajib
dilakukan. Perlu adanya pembaharuan pikiran sehingga logos tersebut dapat menjadi suatu rhema yang hidup. Secara singkat, rhema adalah penerapan logos dalam
kehidupan sehari-hari. Jadi jika ada tertulis “jangan berzinah”, maka perlu
diperkarakan apakah yang dimaksud dengan berzinah itu. Apakah berzinah hanya
dipandang ketika seseorang yang sudah menikah sampai melakukan hubungan seksual
dengan orang lain? Untung Tuhan sudah memberi definisi berzinah yang lebih
jelas dalam Matius pasal 5. Namun demikian, perlu dipikirkan juga misalnya jika
seseorang tidak sampai melakukan hubungan seksual dan hanya berciuman, apakah
itu dosa atau bukan? Tentu dalam hal ini jika hendak dicari aturan tertulisnya,
mungkin tidak semua dapat termuat di dalam Alkitab.
Namun demikian, Tuhan kita adalah Tuhan
yang Maha Cerdas. Tuhan menganugerahkan Roh Kudus sebagai sarana untuk dapat
memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Itulah mengapa orang Kristen di masa
Perjanjian Baru seharusnya sudah tidak memikirkan mengenai syariat yang
tertulis di dalam Alkitab (khususnya di Perjanjian Lama). Satu-satunya
perjuangan umat Perjanjian Baru adalah bagaimana dalam segala hidupnya, kita
dapat berkenan dan menyenangkan hati Tuhan. Jangan salah, syariat Taurat dalam
Perjanjian Lama itu baik. Akan tetapi, kita tidak boleh terpaku pada
syarat-syarat syariat yang kaku dan tidak dinamis. Sebagai contoh, Perjanjian
Lama tidak mengatur mengenai merokok, apakah halal atau haram. Namun bagi orang
Perjanjian Baru, kita harus tahu bahwa tubuh kita adalah Bait Roh Kudus. Baik
kita makan atau minum, atau melakukan apapun, kita harus melakukannya bagi
kemuliaan nama Tuhan. Itulah bukan hanya saja dalam hal merokok, namun dalam
hal apapun, umat Perjanjian Baru harus memperkarakan, apakah hal tersebut
berguna dan sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang
datang kepada Tuhan Yesus adalah seorang pemimpin agama, seorang yang tidak bercacat dan tidak bercela
dalam melakukan hukum Taurat. Apakah ia sudah menjadi umat beragama yang baik? Jika
ukurannya hanya sekedar menjadi umat beragama yang baik, maka pemimpin agama
ini sudah mencapai standar itu. Akan tetapi jika ukurannya adalah sempurna seperti Bapa
di surga adalah sempurna (Mat 5:48), maka tentu saja hukum Taurat tidak akan
dapat membuat manusia menjadi sempurna. Perlu dipahami bahwa sempurnanya
manusia yang dimaksud di sini tentu saja berbeda dengan kesempurnaan Allah
Bapa. Akan tetapi, manusia harus berjuang semaksimal mungkin untuk memiliki pikiran
dan perasaan Allah dalam dirinya, sehingga mulai dari hal yang terkecil manusia
dapat mengambil keputusan yang selaras dengan kehendak Bapa di surga.
Kembali ke bacaan Alkitab kita hari
ini, Tuhan dengan jelas ingin menunjukkan kepada pemimpin muda yang kaya
tersebut bagaimana seharusnya ia mengikut Tuhan Yesus. Seseorang yang mau
mengikut Tuhan dengan benar tidak boleh memiliki apapun yang dapat membuat
hatinya menyimpang dari satu-satunya tujuan hidup, yaitu sempurna seperti Bapa
di surga. Dalam hal ini hal yang dapat menghambat orang tersebut untuk hidup
sempurna adalah keterikatan dan ketergantungannya dengan harta bendanya karena
ia adalah seorang yang sangat kaya.
Perlu dicatat bahwa pemimpin muda yang
kaya ini adalah seseorang yang sebenarnya tulus ingin hidup benar di hadapan
Tuhan. Ia telah berjuang menuruti tuntutan hukum Taurat sejak masa mudanya.
Namun kesempurnaan menurut standar hukum itu ternyata masih jauh dari
kesempurnaan yang Tuhan kehendaki. Oleh karena itu, ia yang awalnya merasa percaya
diri dengan keadaan hidupnya, kemudian menjadi sangat sedih ketika mendengar
ucapan Tuhan Yesus di ayat 22, karena ia dikatakan sebagai orang yang sangat
kaya (ay. 23).
Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa
idealnya perintah Tuhan pasti menuntun seseorang kepada kehendak Tuhan. Seluruh
perintah Tuhan dalam hukum Taurat jika dapat dipahami dengan pola pikir yang
benar seharusnya membawa orang ke dalam kesucian hidup. Namun demikian, sejak zaman
Perjanjian Baru (yaitu sejak Allah Anak turun menjadi manusia di bumi), maka
dimulailah pekabaran Injil yaitu kabar baik. Kabar baik yang disampaikan itu
adalah bagaimana manusia dapat menjadi manusia Allah, yaitu manusia yang dalam
segala hal selaras, sepikiran, dan seperasaan dengan Allah. Inilah kehendak
Allah yang benar itu, yang dicontohkan dalam kehidupan Tuhan Yesus Kristus
selama menjadi manusia di bumi ini, hingga Ia mati di atas kayu salib.
Kita harus mengerti bahwa ucapan Tuhan
Yesus yaitu orang kaya sukar masuk ke dalam kerajaan surga adalah benar adanya.
Orang kaya mungkin tidak memiliki kesulitan dalam melakukan hukum Taurat.
Mereka dapat dengan mudah membeli domba atau lembu sebagai korban penghapus
dosa. Mereka juga bisa memberikan banyak bantuan kepada orang-orang miskin.
Akan tetapi sikap hati mereka sebenarnya sudah terikat dengan harta, kekayaan,
dan nafas dunia ini. Inilah yang tidak disentuh dalam hukum Taurat dan baru
ditekankan dalam pengajaran Tuhan Yesus di Perjanjian Baru.
Oleh karena itu, sangat benar ucapan
Tuhan Yesus bahwa orang kaya sangat sukar masuk ke dalam kerajaan surga (ay.
24). Tentu ini tidak menggambarkan suatu kemustahilan, tetapi orang kaya
membutuhkan perjuangan ekstra untuk dapat mencapai taraf sempurna di hadapan
Bapa. Orang miskin mungkin lebih mudah memiliki totalitas dalam mengiring Tuhan
karena mereka “tidak mempunyai apa-apa” yang harus dipertahankan. Akan tetapi
orang kaya memiliki harta, kekayaan, kehormatan, harga diri, posisi, jabatan,
dan hal-hal lain yang tidak dapat mereka tinggalkan. Hal tersebut yang membuat
orang kaya memang lebih sulit masuk kerajaan surga dibanding orang miskin,
walaupun memang ada juga orang miskin yang sombong dan sok kaya, yang juga akan
sulit masuk kerajaan surga jika mereka tidak bertobat.
Untuk menjelaskan hal tersebut, Tuhan
Yesus menggunakan perumpamaan yang menyatakan bahwa seekor unta lebih mudah
masuk lubang jarum dibanding orang kaya masuk ke dalam kerajaan Allah (ay. 25).
Perlu dipahami di sini, bahwa yang dimaksud dengan “lubang jarum” di sini
kemungkinan besar adalah sebuah pintu kecil di sebuah tembok dimana unta harus
berjongkok dan didorong dari luar (atau ditarik dari dalam) untuk dapat
melaluinya. Pada masa itu, banyak unta dipasangi dengan pelana dan berbagai
macam perhiasan dan pernak pernik. Oleh karena itu, agar dapat memasuki “lubang
jarum” tersebut, seekor unta harus “dilucuti” dari segala macam perhiasan,
pelana, dan pernak pernik lainnya supaya dapat masuk ke dalamnya. Ini merupakan
gambaran yang sangat jelas mengenai bagaimana seseorang harus meninggalkan segala
sesuatu untuk menjadi murid Tuhan, termasuk di dalamnya segala kesenangan dan
kenikmatan hidup, termasuk keterikatan dengan kekayaan dan dunia ini.
Bagi manusia, hal ini nyaris mustahil
bahkan dapat dikatakan mustahil. Mungkinkah seseorang bisa melepaskan
keterikatan dengan dunia ini selagi dirinya hidup di dunia? Bagi manusia memang
hal tersebut terlihat mustahil, akan tetapi bagi Tuhan tidak ada yang mustahil
(ay. 26-27). Di masa Perjanjian Baru ini Tuhan telah memberikan anugerah kepada
manusia yang mau percaya kepada-Nya. Anugerah tersebut antara lain: penebusan
Tuhan Yesus di atas kayu salib, pembenaran, Firman Allah yang lengkap, serta
Roh Kudus sebagai penolong. Kita dapat melihat teladan Tuhan Yesus Kristus yang
rela kehilangan hak dan bahkan kehilangan segala sesuatu demi ketaatan-Nya
melakukan kehendak Bapa tanpa batas hingga mati di atas kayu salib. Dari Alkitab
Perjanjian Baru dan juga sejarah gereja pun kita dapat belajar bagaimana jemaat
mula-mula berani kehilangan segala sesuatu demi Tuhan, termasuk kewarganegaraan
mereka, harta mereka, rumah mereka, keluarga mereka, bahkan nyawa mereka
sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya manusia dimungkinkan untuk
sempurna, dalam hal ini melakukan apa yang menjadi kehendak Bapa di surga.
Dalam konteks perikop ini, kita telah
belajar bagaimana Tuhan telah menyingkapkan kehendak Bapa secara khusus kepada
pemimpin muda yang kaya tersebut. Ditinjau dari ketaatannya terhadap hukum,
pemimpin muda itu tidak bercacat cela. Namun jika dilihat dari sudut pandang Allah,
maka hidup orang tersebut masih belum sempurna karena masih ada “bagian” yang
ia sisakan bagi dirinya sendiri, yaitu kekayaannya yang masih belum mau ia
lepaskan. Oleh karena itu, ketika Tuhan memintanya untuk menjual segala harta
miliknya, ia pun pergi dengan sedih. Tanpa bermaksud menghakimi, kira-kira pada
hari penghakiman nanti, apakah yang akan ditanyakan Tuhan kepada orang
tersebut? Apakah Tuhan akan bertanya: “Berapa banyak hukum Taurat yang sudah
kau lakukan?” atau “Berapa banyak kehendak Allah yang sudah kau lakukan?”.
Biarlah itu menjadi suatu peringatan bagi kita juga supaya kita hidup dengan
takut dan gentar di dunia ini, yaitu dengan senantiasa ingat untuk berjuang melakukan
kehendak Allah dalam hidup kita. Kehendak Allah bagi kita mungkin tidak selalu
dalam kalimat: “Jual segala milikmu”. Akan tetapi, marilah kita berperkara
dengan Tuhan untuk dapat menemukan kehendak Allah secara khusus dalam hidup
kita, sehingga kita boleh belajar melakukannya dengan penuh sukacita, karena
kita tahu itulah yang menyenangkan hati Bapa di surga.
Bacaan
Alkitab: Lukas 18:18-27
18:18 Ada seorang pemimpin bertanya kepada Yesus, katanya: "Guru yang
baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
18:19 Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang
baik selain dari pada Allah saja.
18:20 Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan berzinah,
jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah
ayahmu dan ibumu."
18:21 Kata orang itu: "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa
mudaku."
18:22 Mendengar itu Yesus berkata kepadanya: "Masih tinggal satu hal
lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah
itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga,
kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
18:23 Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih,
sebab ia sangat kaya.
18:24 Lalu Yesus memandang dia dan berkata: "Alangkah sukarnya orang
yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.
18:25 Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada
seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."
18:26 Dan mereka yang mendengar itu berkata: "Jika demikian, siapakah
yang dapat diselamatkan?"
18:27 Kata Yesus: "Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi
Allah."