Minggu, 19 April 2020

Menguji Karunia Nabi (3): Suatu Saat Akan Berakhir


Minggu, 19 April 2020
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:8-13
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (1 Kor 13:8)


Menguji Karunia Nabi (3): Suatu Saat Akan Berakhir


Ada sebagian gereja tertentu yang sangat menekankan karunia-karunia rohani (atau karunia Roh). Ukuran kedewasaan seseorang dalam gereja ini biasanya diukur dari karunia yang orang tersebut miliki. Dan, hal yang paling mudah dilihat atau diukur adalah karunia berbahasa roh. Seringkali dalam ibadah-ibadahnya, gereja ini sering mengajak jemaat untuk berbahasa roh bersama-sama. Memang tidak ada yang salah dengan hal ini, tetapi bagi orang yang belum memperoleh karunia tersebut, mungkin saja orang itu akan merasa minder karena belum bisa berbahasa roh, dan akhirnya justru akan “tergoda” untuk meniru bahasa roh tersebut (dengan memperhatikan orang lain di sekitarnya). Akibatnya, justru jemaat tidak diajarkan bagaimana bergumul untuk berbahasa roh dengan benar, tetapi bisa jadi hanya sekedar ikut-ikutan supaya dipandang sudah rohani (karena sudah memperolah karunia).

Saya tidak menampik bahwa karunia itu penting dan berguna bagi diri kita dan juga bagi jemaat. Akan tetapi, hendaknya karunia roh itu tidak dimanipulasi dan dibuat-buat. Lagipula, Paulus mengatakan bahwa karunia (atau hal-hal spiritual/rohani) pun aka nada batasnya. Dikatakan bahwa nubuatan (prophēteiai) akan berakhir, bahasa roh (glōssai) akan berhenti, dan pengetahuan (gnōsis) akan lenyap – akan tetapi kasih tidak akan pernah berkesudahan (ay. 8). Ketiga hal yang disebutkan di ayat 8 ini sudah disebutkan di dalam perikop sebelumnya mengenai bermacam-macam karunia, meskipun dengan penggunaan kata yang agak berbeda, misalnya: karunia untuk bernubuat (prophēteia), karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh (gene glōssōn), dan karunia berkata-kata dengan pengetahuan (logos gnōseōs) (1 Kor 12:7-10). Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa segala karunia itu suatu saat akan berhenti.

Kapankah karunia-karunia tersebut akan berhenti? Paulus memberikan jawabannya bahwa karunia-karunia tersebut tidak lengkap dan tidaklah sempurna (ay. 9). Semua hal yang tidak sempurna akan lenyap ketika yang sempurna sudah tiba atau sudah datang atau sudah dinyatakan (ay. 10). Tentu hal ini harusnya berbicara tentang kerajaan Allah yang dinyatakan pada akhir zaman, ketika dunia ini akan menjadi lautan api dan orang-orang percaya dibawa Tuhan ke dalam langit yang baru dan bumi yang baru. Di situlah kita sudah tidak membutuhkan karunia-karunia sebagaimana yang disebutkan di atas.

Misalnya, terkait dengan nubuatan, kita di bumi ini masih membutuhkan karena mungkin saja kita dapat memberi penguatan dengan menyampaikan apa yang Tuhan suruh kita sampaikan kepada orang lain. Namun ketika kita sudah dibawa masuk ke dalam kerajaan Allah, maka kita sudah masuk ke dalam pemerintahan Allah yang kekal dan sempurna, sehingga Anak Domba Allah pun menjadi Raja yang kekal, dan semua orang dapat langsung hidup dalam pemerintahan-Nya. Mungkin saja di surga kita dapat langsung mendengar suara-Nya dan kehendak-Nya yang khusus bagi masing-masing kita, sehingga nubuatan tidak diperlukan lagi karena kita akan mengenal Allah dengan sempurna (ay. 12b). Demikian pula dengan pengetahuan yang kita miliki akan menjadi sempurna di dalam surga.

Jadi, sebenarnya tidak ada yang salah dengan karunia itu. Tentu saya juga merindukan memiliki karunia-karunia supaya saya dapat lebih efektif lagi melayani Allah. Namun jika karena karunia maka kita saling menjelek-jelekkan gereja lain, saling mengatakan gereja lain sebagai gereja yang sesat, atau juga dengan cara memanipulasi dan memanfaatkan karunia demi kepentingan kita sendiri, maka itu menunjukkan sikap kita yang masih kanak-kanak. Seseorang yang masih kanak-kanak biasanya akan meributkan hal-hal yang tidak penting. Mereka bisa berkelahi hanya karena berebut mainan, padahal orang dewasa mungkin dapat menyelesaikannya dengan bermain bersama atau bergantian. Tentu anak kecil yang benar-benar masih anak kecil tidak dapat disalahkan jika ia berpikir dan berperilaku seperti anak-anak. Hal ini berlaku pula dalam hal rohani. Orang yang masih kanak-kanak secara rohani tentu masih dimaklumi jika pola pikir mereka belum dewasa dan masih suka mempersoalkan hal-hal yang tidak esensial. Akan tetapi, jika orang tersebut seharusnya sudah cukup dewasa ditinjau dari segi usia/umur tetapi masih bersikap seperti kanak-kanak, berarti ada yang salah dengan orang tersebut, karena mungkin saja ia tidak bertumbuh secara proporsional secara rohani (ay. 11-12a).

Di balik karunia-karunia yang bermacam-macam jenisnya, kita harus memahami bahwa karunia itu memang sangat berguna bagi kita. Tetapi kita telah diingatkan lagi bahwa ada hal lain yang jauh lebih penting atau lebih utama, yaitu kasih (1 Kor 12:31). Oleh karena itu jangan kita lebih fokus pada karunia-karunia yang dapat berakhir tetapi melupakan apa yang tidak dapat berkesudahan, yaitu kasih (ay. 8a). Bahkan, dari tiga hal yang akan tinggal tetap (yang sangat mungkin akan tetap ada hingga pada kekekalan), yaitu iman, pengharapan, dan kasih, yang paling besar atau paling utama (meizōn) dari ketiganya adalah kasih (ay. 13). Hal ini sebenarnya dapat dengan mudah dipahami jika kita mengerti definisi kasih, yang tidak hanya sekedar kerelaan untuk memberi kepada orang lain, tetapi juga sampai pada tingkatan berupa tindakan yang sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah (atau kehendak Allah).

Orang yang melakukan segala sesuatu dalam kasih – artinya melakukannya sesuai dengan kehendak Allah – maka dalam segala hal ia akan didapati berkenan di hadapan Allah. Kalaupun ia memiliki karunia-karunia, maka ia akan menggunakan karunia tersebut dengan bijaksana, sesuai dengan tuntunan Allah. Dalam segala hal ia akan memperkarakan apakah yang harus ia lakukan dengan karunia tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang yang hidup dalam kasih memiliki karunia untuk bernubuat (atau menyampaikan nubuatan/suara Allah), maka ketika ia hendak menyampaikan nubuatan kepada orang lain, ia akan mempersoalkan terlebih dahulu apakah memang ia yang harus menyampaikan nubuatan tersebut, bagaimana caranya, kapan dan dimana tempatnya. Ia tidak akan terburu-buru mengucapkan nubuatan tanpa memikirkan perasaan Allah. Tentu ia juga tidak akan menambah-nambahi atau mengurangi isi nubuatan tersebut, misalnya dengan memberi suatu batas waktu atau menyebutkan suatu tanggal/bulan/tahun yang sebetulnya tidak dikehendaki Allah.

Orang seperti ini juga tidak akan mempermasalahkan jika ia memiliki suatu karunia atau ia tidak memiliki karunia tertentu. Ia tidak akan menghitung karunia-karunia yang dimiliki, karena baginya karunia adalah anugerah dari Allah. Yang terpenting baginya adalah jika kepadanya dipercayakan suatu karunia, maka ia harus mempergunakan karunia itu dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh tanggung jawab. Ibarat hamba yang diberi talenta, maka ia wajib untuk mempergunakan dan mengembangkan talenta tersebut dengan baik. Ia tidak akan menjadi sombong atas karunia yang dimiliki karena ia sadar bahwa karunia itu hanya sementara, dan yang penting adalah tetap hidup dalam iman, pengharapan dan kasih. Ia tidak akan menyalahgunakan karunia-karunia itu untuk kepentingannya sendiri. Dalam hal ini, kita dapat menyimpulkan bahwa orang yang sudah dewasa rohani, pasti memiliki ciri-ciri hidup dalam kasih, dan tidak meributkan hal-hal yang suatu saat akan berakhir.



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:8-13
13:8 Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap.
13:9 Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna.
13:10 Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.
13:11 Ketika aku kanak-kanak, aku berkata-kata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kanak-kanak itu.
13:12 Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.
13:13 Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.

Kamis, 16 April 2020

Menguji Karunia Nabi (2): Harus Berdasarkan Kasih

Kamis, 16 April 2020
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:1-3
Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. (1 Kor 13:2)


Menguji Karunia Nabi (2): Harus Berdasarkan Kasih


Hari ini kita akan belajar mengenai jalan yang lebih utama, yang dikatakan oleh Paulus dalam bagian akhir pasal 12 dari kitab 1 Korintus. Kita telah belajar bagaimana Allah menetapkan jabatan atau peran-peran tertentu dalam jemaat, di mana salah satunya adalah jabatan nabi (prophétés). Selain jabatan yang ditetapkan Allah, Paulus juga menyinggung mengenai kuasa (yang pada umumnya terkait dengan mujizat) dan sejumlah karunia yang disebutkan. Namun, dari sekian banyak hal yang positif yang disebutkan oleh Paulus dalam pasal 12, ada satu hal lagi yang jauh lebih utama (hyperbolēn) yang akan kita pelajari hari ini, yaitu kasih.

Apa itu kasih? Secara singkat dapat dikatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah dan kasih adalah natur Allah itu sendiri (1 Yoh 4:7-8). Jika boleh saya meringkas, maka kasih adalah pikiran dan perasaan Allah itu sendiri. Artinya, ketika kita melakukan sesuatu karena kasih, maka untuk menguji apakah kasih kita sudah benar, kita harus memperkarakan, apakah yang kita lakukan tersebut sudah sejalan dan selaras dengan pikiran dan perasaan Allah (atau secara sederhana, apakah yang kita lakukan tersebut sudah sesuai dengan kehendak Allah) atau belum.

Tentu karunia adalah hal yang penting, bahkan sangat penting. Demikian pula dengan jabatan-jabatan yang dimiliki seseorang dalam jemaat. Kita dapat melihat bagaimana orang yang memiliki jabatan dan karunia tertentu dapat dipakai Allah secara efektif dalam pelayanan. Namun, Paulus menuliskan bahwa sekalipun ia dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia (yang menunjukkan kepintaran atau IQ yang luar biasa) dan bahkan dengan bahasa malaikat (yang menggambarkan suatu prestasi yang sangat hebat dari sisi rohani), tetapi jika ia tidak mempunyai kasih, ia sama saja dengan alat musik yang hanya mengeluarkan bunyi tanpa arti (ay. 1).

Dalam ayat selanjutnya, Paulus berkata bahwa sekalipun ia memiliki karunia untuk bernubuat dan mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan, bahkan memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika ia tidak mempunyai kasih, semua itu sama sekali tidak berguna (ay. 2). Lebih ekstrem lagi, bahkan sekalipun Paulus membagi-bagikan seluruh apa yang ia miliki dan bahkan mati dengan menyerahkan tubuhnya untuk dibakar, tetapi jika ia tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagi dirinya (ay. 3). Kita dapat melihat bahwa ada suatu tingkatan dari ayat 1 sampai ayat 3, mulai dari prestasi secara duniawi, prestasi dalam hal rohani/pelayanan, hingga melepaskan segala sesuatu yang ia miliki termasuk nyawa sekalipun. Namun dalam tingkatan dari ayat 1 hingga ayat 3 tersebut, semua hal yang mungkin dipandang baik dan sangat luar biasa dari sudut pandang manusia, bisa menjadi hal yang tidak berarti ditinjau dari sudut pandang Allah.

Menjadi pertanyaan, apakah mungkin orang melakukan ayat 1 hingga ayat 3 tetapi tidak memiliki kasih? Jika kita melihat ayat 1, orang memang dapat belajar semua bahasa manusia tanpa kasih, misalnya orang yang terus menerus mengejar gelar akademis tanpa henti. Di ayat 2, kita juga dapat melihat bahwa sangat mungkin ada orang-orang yang dapat mengetahui banyak rahasia dan pengetahuan meskipun orang tersebut bukan orang Kristen dan tidak mengenal Allah. Di ayat 3, masih ada kemungkinan orang mau menjual segala miliknya dan membagi-bagikan kepada orang lain, misalnya orang yang terpanggil untuk menjadi seorang pertapa di tempat sunyi. Meskipun demikian, tentu dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki kasih secara umum ketika ia rela membagi-bagikan hartanya kepada orang lain.. Artinya, sebagian dari apa yang ditulis oleh Paulus dalam ayat 1 sampai 3 tersebut masih mungkin dilakukan oleh orang yang tidak mengenal Allah atau dalam level kasih umum seperti yang dipahami oleh manusia pada umumnya.

Namun, jika kita memperhatikan, ada sejumlah hal dalam ayat 1 sampai 3 yang sebenarnya identik dengan iman Kristen. Sebagai contoh: berbicara dalam bahasa malaikat atau bahasa surgawi (ay. 1b), memiliki karunia untuk bernubuat dan memiliki iman untuk memindahkan gunung (ay. 2a dan 2c), serta membagi-bagikan harta kepada orang lain dan bersedia menyerahkan nyawa (ay. 3). Dari sudut pandang agama pada umumnya, tindakan-tindakan ini adalah tindakan yang mulia dan bernilai tinggi. Tetapi, Paulus menulis bahwa tanpa kasih, semua tindakan itu adalah sia-sia dan tidak bermanfaat.

Kita dapat melihat bahwa sebagian dari aktivitas yang terkait dengan kekristenan tersebut juga ada dalam pengajaran Tuhan Yesus sendiri, seperti iman yang dapat memindahkan gunung (Mat 17:20), menjual seluruh hartanya dan membagi-bagikan kepada orang lain (Mat 19:21), bahkan mengalami aniaya hingga mati (Yoh 15:20). Tetapi itu semua bisa tidak berarti jika tidak dilakukan tanpa kasih, yaitu pikiran dan perasaan Allah. Dalam Mat 19:21 misalnya, Tuhan Yesus menyuruh orang kaya itu untuk menjual seluruh harta miliknya, membagi-bagikan kepada orang miskin, lalu mengikut Dia. Tentu Tuhan Yesus tidak menyuruh kita untuk menjual semua harta milik kita untuk mengikut diri-Nya, melainkan konteks ucapan Tuhan Yesus adalah kepada orang muda yang kaya itu, karena ia bertanya mengenai cara untuk dapat sempurna di hadapan Allah. Tuhan tidak meminta Zakheus untuk menjual segala miliknya, misalnya. Jadi jika kita kemudian menjual seluruh harta kita dan membagi-bagikan seluruhnya kepada orang lain, mungkin di mata manusia itu adalah tindakan yang baik, tetapi jika kita tidak disuruh oleh Allah (tidak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah atau tidak sesuai dengan kehendak Allah), maka itu berarti kita melakukannya tanpa kasih.

Terkait dengan pembahasan kita mengenai karunia nabi, tentu kita harus melihat pula dalam ayat 2 yang menyebutkan bahwa: “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat … tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna” (ay. 2). Dalam bahasa aslinya, kata “karunia untuk bernubuat” menggunakan kata prophēteian (προφητείαν) dari akar kata prophéteia (προφητεία). Kata ini merupakan kata benda yang dapat dikatakan sebagai suatu nubuat/nubuatan atau suara nabi, yang seringkali dikaitkan mengenai apa yang akan terjadi di masa depan. Kata ini terkait dengan kata prophḗtēs (nabi) seperti yang telah kita bahas dalam renungan hari sebelumnya. Kata prophéteia ini juga termasuk salah satu dari karunia-karunia yang disebutkan dalam pasal 12 (1 Kor 12:8).

Jadi apakah salah jika kita menyampaikan nubuatan kepada orang lain? Bukankah nubuatan itu adalah karunia dari Roh Kudus? Tentu untuk menjawab ini, kita harus benar-benar mempersoalkan nubuatan yang kita terima tersebut. Minimal ada beberapa hal yang harus kita perkarakan sebelum kita menyampaikan nubuatan tersebut. Pertama, apakah benar nubuatan tersebut berasal dari Tuhan? Kedua, kepada siapakah nubuatan tersebut ditujukan? Ketiga, bagaimana cara menyampaikan nubuatan tersebut kepada pihak yang dituju (misalnya: metode untuk menyampaikan, tempat, dan waktu penyampaian)? Keempat, apakah yang kita sampaikan benar-benar nubuatan yang murni dari Tuhan dan tidak kita tambah-tambahi atau kita kurang-kurangi? Dan dalam segala hal, kita harus menggumulkan supaya apa yang kita lakukan terkait nubuatan tersebut benar-benar sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah.

Jika kita membedah kata asli dari nubuatan yaitu prophéteia, sebenarnya kata tersebut juga memiliki makna sebagai “discourse emanating from divine inspiration and declaring the purposes of God, whether by reproving and admonishing the wicked, or comforting the afflicted, or revealing things hidden; especially by foretelling future events” (Suatu perkataan yang berasal dari ilham ilahi dan menyatakan suatu tujuan yang Allah kehendaki. Hal ini dapat berupa suatu teguran/peringatan dan nasehat kepada mereka yang jahat, suatu perkataan yang menghibur bagi mereka yang menderita, atau menyingkapkan hal-hal yang masih tersembunyi, khususnya terkait dengan menyatakan hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang). Jadi nubuatan tidak selalu berkaitan dengan apa yang terjadi secara umum di masa yang akan datang. Jika mau jujur, ketika Tuhan memberikan kepada kita ilham ilahi untuk menyampaikan suatu perkataan kepada orang tertentu (tidak harus berkaitan dengan peristiwa global di masa yang akan datang), itu pun dapat dianggap sebagai nubuatan atau suara kenabian. Bukankah nabi adalah mereka yang menyampaikan perkataan Tuhan kepada orang lain yang menjadi bagiannya?

Mari kita melihat penggunaan kata nabi di dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama pun, kita akan menemukan bahwa Abraham adalah seorang nabi (Kej 20:7), Musa adalah seorang nabi (Ul 34:10), Harun juga adalah seorang nabi (Kel 7:1), Miryam adalah seorang nabiah (Kel 15:20), dan masih banyak lagi contoh lainnya (selain mereka yang umum disebut nabi seperti Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan lain sebagainya). Jika ukuran seorang nabi hanya dilihat mengenai nubuatan di masa yang akan datang, bagaimana mungkin Abraham disebut sebagai seorang nabi (sejajar dengan nabi-nabi lain)? Apalagi konteks penyebutan kata “nabi” kepada Abraham adalah ketika ia menumpang di tanah Gerar. Pemberian sebutan “nabi” itu juga dinyatakan oleh Allah kepada Abimelekh, Raja Gerar, dalam sebuah mimpi. Jelas bahwa ukuran nabi tidaklah harus berpatokan pada nubuatan mengenai peristiwa di masa yang akan datang (meskipun tentu itu juga menjadi salah satu parameter yang harus dipertimbangkan). Jika kita memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, maka akan ada kalanya Tuhan menaruh “perkataan-Nya” dalam diri kita untuk kita sampaikan kepada orang lain. Dan menurut saya, jika kita taat terhadap kehendak Bapa, maka di situ kita sudah menyampaikan “nubuatan” atau “suara kenabian” kita.

Tentu kita harus melihat, bahwa seorang nabi pada umumnya ditunjuk secara spesifik untuk menyampaikan suara Allah kepada orang-orang tertentu atau bangsa-bangsa tertentu. Musa, Harun, dan Miryam tentu menjadi nabi bagi bangsa Israel. Sebagian nabi-nabi lain seperti Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, ditetapkan Allah sebagai nabi bagi bangsa Israel dan Yehuda, dan juga kepada bangsa-bangsa lain. Yunus (meskipun tidak ditulis secara eksplisit sebagai seorang nabi), sesungguhnya adalah nabi yang manyampaikan suara Allah kepada kota Niniwe. Sebagian nabi lain mungkin hanya muncul sesekali untuk menyampaikan suara Allah secara spesifik kepada orang-orang tertentu (misal: nabi Natan yang menyampaikan suara Allah kepada Raja Daud). Dalam hal ini, seorang nabi akan dipandang taat ketika ia melakukan dengan tepat apa yang Allah perintahkan kepada orang tersebut (orang yang dituju, isi berita yang disampaikan, cara menyampaikan, waktu penyampaian, dan lain sebagainya). Dalam hal ini barulah seorang nabi dapat dikatakan memiliki kasih, jika semuanya itu dilakukan sesuai dengan kehendak Allah. Tidak heran bahwa, suatu saat nanti akan ada orang-orang yang merasa sudah bernubuat atau menyampaikan suara kenabian dalam hidup mereka, tetapi pada akhirnya ditolak oleh Tuhan karena mereka sebenarnya tidak melakukan kehendak Allah (Mat 7:21-23).



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:1-3
13:1 Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
13:2 Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
13:3 Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.

Rabu, 15 April 2020

Menguji Karunia Nabi (1): Ditetapkan oleh Allah


Rabu, 15 April 2020
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 12:27-31
Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh. (1 Kor 12:28)


Menguji Karunia Nabi (1): Ditetapkan oleh Allah


Sebenarnya, pada awalnya saya hanya bermaksud menulis sebuah renungan mengenai karunia nabi. Dalam renungan tersebut saya hendak menulis bahwa kita harus menguji karunia nabi. Salah satu ayat yang terpikirkan dari awal adalah ayat dalam renungan hari ini. Akan tetapi, setelah saya membaca ayat tersebut, mencoba mencari makna dalam bahasa aslinya, serta ayat-ayat terkait, saya menjadi semakin bingung karena ternyata hal ini tidak sesederhana yang saya pikirkan pada awalnya. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk membahas topik ini dalam beberapa renungan supaya pembahasannya lebih mendalam.

Berbicara tentang nabi secara umum, kebanyakan orang Kristen akan langsung membayangkan orang yang bernubuat tentang suatu hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. Hal itu tentu tidaklah salah. Namun itu barulah sebagian dari apa yang harus dilakukan oleh seorang nabi. Lalu apa kaitannya antara nabi dengan karunia nabi? Hal itulah yang akan coba kita bahas dalam serial renungan ini.

Nabi adalah salah satu “jabatan” yang ditetapkan Allah dalam jemaat Tuhan. Kita semua harus sadar bahwa orang percaya adalah tubuh Kristus, dimana Kristus menjadi kepala dan kita semua adalah anggota tubuh-Nya (ay. 27). Kita semua yang merupakan bagian dari jemaat Tuhan, adalah anggota tubuh Kristus. Artinya kita memiliki peran di dalam tubuh tersebut, meskipun mungkin peran kita kecil dan tidak terlihat oleh orang lain. Sama seperti tubuh manusia, tentu ada anggota-anggota yang terlihat dari luar dan sepertinya berperan penting. Namun jika mau jujur terkadang bagian tubuh manusia yang paling kecil dan tidak terlihat dari luar justru adalah yang paling penting. Ambil contoh sel darah merah yang membawa oksigen dan nutrisi ke seluruh tubuh, atau sel darah putih yang bertugas melawan zat-zat asing yang mungkin membahayakan tubuh. Mereka tidak terlihat secara kasat mata karena begitu kecil, tetapi peran mereka justru sangatlah besar bagi tubuh kita.

Dalam kaitannya dengan tubuh Kristus, maka Allah juga telah menetapkan sejumlah “jabatan” atau “peran” khusus di dalam jemaat-Nya. Dalam bagian bacaan Alkitab kita hari ini, ada tiga peran yang disebutkan: rasul, nabi, dan pengajar (ay. 28a). Di dalam bagian lain Alkitab kita menemukan ada jumlah peran yang berbeda, seperti misalnya rasul, nabi, pemberita Injil, gembala, dan pengajar (Ef 4:11). Kita akan membahas hal ini pada renungan di hari-hari yang akan datang. Namun cukuplah kita menyatakan bahwa ada sejumlah peran khusus yang ditetapkan Allah dalam jemaat-Nya, yang antara lain adalah rasul, nabi, dan pengajar.

Penetapan Allah terhadap “jabatan” atau “peran” ini bukan berarti bahwa setiap orang percaya pasti memiliki salah satu dari peran ini. Jabatan yang ditetapkan Allah ini tentu adalah suatu jabatan khusus yang terkait dengan tangung jawab mereka dalam pelayanan yang Tuhan percayakan kepada orang-orang tersebut. Kata “nabi” dalam bahasa aslinya menggunakan kata prophētas (προφήτας) dari akar kata prophétés (προφήτης). Kata prophétés ini cukup sering digunakan di dalam Perjanjian Baru, yaitu lebih dari 100 kali penggunaan.

Berbicara tentang nabi, tentu kita sering membayangkan bahwa seorang nabi (atau nabiah jika orang tersebut adalah wanita) adalah orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan menubuatkan sesuatu, khususnya mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Hal ini tentu tidak salah karena dari sudut pandang etimologi katanya, kata prophétés ini berasal dari kata pró (sebelum) dan phēmí (berkata/menyanpaikan). Jadi memang salah satu kekhususan jabatan nabi ini adalah mereka dapat menyampaikan hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang (sebelum hal tersebut terjadi).

Namun kita juga melihat bahwa di ayat yang sama, Allah tidak hanya menetapkan sejumlah “jabatan” atau “peran” khusus di dalam jemaat, melainkan juga menetapkan adanya orang-orang yang memperoleh karunia-karunia tertentu. Jika kita membaca ayat-ayat sebelumnya di pasal 12 ini, kita akan mengerti bahwa karunia ini tentu adalah karunia yang terkait dengan Roh Kudus, atau yang kita kenal secara umum dengan karunia Roh (meskipun sebenarnya istilah karunia Roh tidak ada dalam bahasa asli Alkitab – hal ini akan kita bahas kemudian). Karunia ini adalah anugerah yang diberikan Allah melalui Roh-Nya (Roh Allah atau Roh Kudus) kepada orang-orang di dalam jemaat-Nya.

Dalam bahasa aslinya, digunakan kata karunia (charismata) untuk menggambarkan karunia menyembuhkan (iamatōn), melayani (antilēmpseis), memimpin (kybernēseis), dan berkata-kata dalam bahasa roh (gene glōssōn). Itulah karunia-karunia yang disebutkan di ayat 28. Namun antara “jabatan/peran” dan “karunia” yang disebutkan di ayat 28 ini, ada sebuah kata yaitu dynameis (δυνάμεις) yang diterjemahkan sebagai mujizat, meskipun juga dapat diterjemahkan sebagai kuasa (power). Perlu dipahami bahwa terdapat penggunaan kata participle dalam ayat 28 ini yang menunjukkan urutan dan kemudian hubungan dengan kata-kata sebelumnya. Dalam terjemahan bebas yang saya sederhanakan, ayat 28 ini dapat berbunyi: “pertama: rasul, kedua: nabi, ketiga: pengajar, selanjutnya kuasa/mujizat, selanjutnya karunia untuk menyembuhkan, melayani, memimpin, dan berkata-kata dalam bahasa roh”. Jadi ada 5 bagian dalam ayat 28 ini, dimana bagian 1-3 berbicara mengenai urutan jabatan, bagian 4 yang berbicara mengenai kuasa/mujizat, dan bagian 5 yang berbicara mengenai orang-orang yang memperoleh karunia. Hal ini sangat jelas jika melihat pengulangan di ayat selanjutnya, dimana bagian 1-3 dan 4 disebutkan dalam ayat 29 sementara bagian 5 (walaupun tidak semuanya) disebutkan di ayat 30.

Saya belum 100 persen paham mengapa Paulus membagi-bagi penjelasan di ayat 28 ini dalam 5 bagian. Namun dari apa yang saya pahami, Paulus hendak menyatakan bahwa ada jabatan-jabatan tertentu dalam jemaat (contohnya: rasul, nabi, dan pengajar), ada orang-orang yang menerima kuasa (yang antara lain digunakan untuk membuat mujizat), dan ada orang-orang yang menerima karunia. Dalam hal ini, setelah karunia-karunia tersebut dijelaskan panjang lebar dalam ayat-ayat sebelumnya, Paulus hanya menggunakan beberapa karunia sebagai contoh dalam tulisannya di bagian akhir pasal 12 ini. Bahkan karunia yang disebutkan di ayat 30 juga lebih sedikit daripada karunia yang disebutkan di ayat 28. Beberapa karunia di ayat 28 ini juga hanya disebutkan di ayat 28 dan tidak dijelaskan pada pembahasan karunia di ayat-ayat sebelumnya, misalnya: karunia untuk melayani (antilémpsis, yang dapat diartikan sebagai melayani/menolong/membantu) atau karunia untuk memimpin (kubernésis, yang dapat diartikan sebagai memimpin/mengatur/mengarahkan).

Jadi dalam hal ini Paulus tidak sedang berusaha merinci karunia-karunia tersebut, tetapi hanya memberi contoh bahwa ada jabatan/peran, kuasa, dan juga karunia. Dalam ayat 29 dan 30 Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, digunakan kata-kata “Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat?” (ay. 29). Dalam bahasa aslinya, sebenarnya secara bebas dapat diterjemahkan: “Tidak semua adalah rasul, tidak semua adalah nabi, tidak semua adalah pengajar, tidak semua adalah orang-orang yang menerima kuasa (untuk melakukan mujizat)” atau “Apakah semuanya adalah rasul? Apakah semuanya adalah nabi? Apakah semuanya adalah pengajar? Apakah semuanya adalah orang-orang yang menerima kuasa (untuk melakukan mujizat)?”. Demikian pula dalam ayat 30, yang menggunakan pola yang serupa dengan pola kalimat di ayat 29.

Dari apa yang saya pahami, Allah memberikan kepada orang-orang dalam jemaat-Nya suatu jabatan, kuasa, bahkan karunia yang unik, yang sebenarnya tidak dapat dibanding-bandingkan. Orang yang ditetapkan sebagai rasul tidak boleh menganggap dirinya lebih mulia dan lebih berharga daripada orang-orang yang ditetapkan sebagai nabi. Demikian pula orang-orang yang menerima kuasa (untuk membuat mujizat) tidak boleh menganggap dirinya lebih hebat daripada mereka yang diberi karunia untuk melayani/membantu pelayanan. Semua orang adalah unik dan segala jabatan, kuasa, dan karunia yang diberikan oleh Allah tersebut harus digunakan dengan maksimal karena suatu saat kita juga harus mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah.

Jika demikian, apakah yang harus kita lakukan? Apakah kita harus pasrah saja menunggu penetapan dari Allah atau menunggu karunia yang diberikan oleh Allah? Dalam ayat terakhir dari perikop ini, Paulus menulis agar orang-orang di dalam jemaat Tuhan harus berusaha untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama (ay. 31a). Sekilas seakan-akan Paulus menyuruh orang Kristen untuk memburu karunia-karunia tersebut. Tidak heran beberapa gereja juga mewajibkan orang-orang setidaknya memiliki satu karunia, bahkan mewajibkan mereka yang belum memiliki karunia tersebut untuk memburu karunia tersebut. Benarkah demikian?

Kata “berusahalah” dalam bahasa aslinya adalah zēloute (ζηλοῦτε) dari akar kata zéloó (ζηλόω). Kata zéloó ini dapat memiliki makna: berhasrat, sangat mengingini, cemburu. Kata ini mungkin saja terkait dengan kata jealous dalam bahasa Inggris yang juga berarti cemburu. Kata ini dapat bersifat positif atau negatif, tergantung dari konteks kalimatnya. Sama seperti kata cemburu yang bisa bermakna negatif, tetapi juga dapat bermakna positif (misal seorang istri yang cemburu dengan suaminya karena memang seharusnya hanya ialah satu-satunya wanita dalam hidup suaminya – bandingkan dengan 2 Kor 11:2). Kata zēloute ini bersifat imperatif yang artinya adalah suatu kata perintah bagi orang percaya untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama.

Sebenarnya kata “paling utama” dalam bahasa aslinya menggunakan kata meizona (μείζονα) dari akar kata megas (μέγας) yang dapat berarti “large, great, in the widest sense” (besar/luas, hebat/utama, dalam arti luas/seluas-luasnya). Sejumlah terjemahan bahasa Inggris menerjemahkan kata meizona dengan kata greater/higher (lebih besar/lebih luas/lebih tinggi/lebih utama), namun sebagian juga menggunakan kata the best (yang paling baik/paling utama). Saya sendiri lebih cenderung menggunakan kata greater (lebih besar/lebih luas). Saya mengatakan hal ini karena di balik karunia-karunia tersebut, Paulus mengatakan bahwa ada jalan yang lebih utama lagi (lebih utama ditinjau dari apa yang disebutkan di bagian sebelumnya, yaitu karunia yang lebih besar/lebih utama) (ay. 31b).

Jika di dalam ayat 31a digunakan kata meizona yang diterjemahkan sebagai “paling utama”, maka dalam ayat 31b digunakan kata hyperbolēn (ὑπερβολὴν). Kata hyperbolēn (yang mungkin merupakan asal kata hiperbola) memiliki makna excess, surpassing excellence, preeminence, beyond measure (melebihi, melewati/melampaui hal yang sudah baik atau sudah unggul, melampaui/mengungguli lainnya, melewati ukuran yang umum). Dari apa yang saya pahami, kata hyperbolēn memiliki makna yang lebih unggul atau lebih penting daripada meizona. Jadi, meskipun orang percaya harus berusaha memperoleh karunia-karunia yang lebih baik (meizona), sebenarnya ada jalan lain yang jauh melebihi itu semua, yang akan dijelaskan oleh Paulus dalam pasal 13.  Dalam hal ini, makna dari perintah Paulus di ayat 31a dapat memiliki dua kemungkinan yaitu: 1) orang percaya diharapkan memiliki karunia yang lebih luas lagi (tidak hanya terfokus pada satu karunia); atau 2) orang percaya diharapkan memiliki karunia yang lebih utama/lebih penting.

Jadi, kembali lagi, apakah jabatan-jabatan dalam jemaat itu penting? Tentu jawabannya adalah ya. Apakah kuasa adalah hal yang penting untuk dimiliki orang percaya? Tentu jawabannya adalah ya. Apakah karunia-karunia juga penting bagi orang percaya? Tentu jawabannya adalah ya. Jika demikian manakah yang paling penting? Jabatan atau karunia? Jika karunia, maka karunia mana yang paling penting? Tentu terkait jabatan dan karunia, masing-masing harus mengukur dirinya sendiri, mempersoalkan apakah ia diberikan jabatan khusus oleh Allah, dan karunia apa yang orang tersebut miliki. Karunia bisa dicari (tentunya dengan pergumulan kuat dan tetap dalam pimpinan Roh Kudus), tetapi untuk jabatan, karena hal tersebut terkait dengan peran dan tanggung jawab, maka mungkin agak sulit untuk memburu jabatan. Meskipun bisa saja seseorang memiliki lebih dari satu jabatan/peran dalam jemaat (hal ini akan kita bahas nanti dalam renungan-renungan hari sebelumnya). Namun semua hal tersebut (jabatan, kuasa, dan karunia), adalah penetapan Allah yang unik bagi setiap manusia, sehingga kita tidak boleh saling iri dan menyerang orang lain, tetapi harus saling mendukung sebagai sesama anggota tubuh Kristus.

Dalam hal ini kita tentu perlu menilai apakah memang orang-orang yang mengaku memiliki jabatan, kuasa, dan karunia adalah benar-benar berasal dari Allah atau bukan. Memang Alkitab juga menuliskan bahwa akan ada rasul-rasul palsu (2 Kor 11:13), nabi-nabi palsu (Mat 7:15, 24:11) dan pengajar/guru-guru palsu (2 Ptr 2:1-3), dan itu adalah suatu keniscayaan. Tetapi kita tidak berhak menghakimi, karena penghakiman itu adalah hak Tuhan. Kita sendiri juga pasti memiliki suatu jabatan/kuasa/karunia yang ditetapkan Allah bagi kita, dan kita tentu akan dihakimi Tuhan atas apa yang telah Ia percayakan kepada kita. Sebaiknya kita tidak perlu sibuk mengurusi apa yang orang lain lakukan. Kalaupun dalam konteks menjaga domba-domba yang Allah percayakan kepada kita, kita harus mendidik domba-domba kita untuk dapat membedakan mana yang asli dan yang palsu, dan bukannya saling menyerang di media sosial, atau saling mengatakan orang lain sesat. Dari buahnya, kita akan mengenal manakah nabi-nabi yang benar dan manakah nabi-nabi yang tidak benar. Oleh karena itu, lebih baik kita meminta hikmat Tuhan untuk dapat membedakan nabi palsu dari buah yang dihasilkannya, dan tentu kepada orang-orang yang dipercayakan kepada kita supaya mereka juga dapat membedakan mana buah yang benar dan mana buah yang palsu.



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 12:27-31
12:27 Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.
12:28 Dan Allah telah menetapkan beberapa orang dalam Jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar. Selanjutnya mereka yang mendapat karunia untuk mengadakan mujizat, untuk menyembuhkan, untuk melayani, untuk memimpin, dan untuk berkata-kata dalam bahasa roh.
12:29 Adakah mereka semua rasul, atau nabi, atau pengajar? Adakah mereka semua mendapat karunia untuk mengadakan mujizat,
12:30 atau untuk menyembuhkan, atau untuk berkata-kata dalam bahasa roh, atau untuk menafsirkan bahasa roh?
12:31 Jadi berusahalah untuk memperoleh karunia-karunia yang paling utama. Dan aku menunjukkan kepadamu jalan yang lebih utama lagi.

Senin, 13 April 2020

Pengurapan dalam Perjanjian Baru: (10) Kuasa Kemenangan


Senin, 13 April 2020
Bacaan Alkitab: Wahyu 12:10-12
Dan aku mendengar suara yang nyaring di sorga berkata:  "Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa  dan pemerintahan Allah kita,  dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya,  karena telah dilemparkan ke bawah  pendakwa saudara-saudara kita,  yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita." (Why 12:10)


Pengurapan dalam Perjanjian Baru: (10) Kuasa Kemenangan


Kita telah tiba pada bagian akhir dari serial renungan mengenai pengurapan dalam Perjanjian Baru. Bacaan Alkitab kita hari ini mungkin sudah cukup sering didengar oleh sebagian orang Kristen, khususnya bagi mereka yang berjemaat di gereja aliran pentakosta maupun karismatik, karena ada sebuah lagu pujian yang didasarkan pada ayat-ayat tersebut. Namun karena renungan kita terkait dengan pengurapan, maka kita akan mencoba belajar konteks ayat-ayat tersebut dalam kaitannya dengan kata pengurapan tersebut.

Kitab Wahyu tidak boleh hanya dipandang sebagai kitab yang bercerita mengenai hal-hal yang akan datang (futuristis) dari sudut pandang kita yang hidup di abad ke-21. Kita harus juga melihat konteks pada saat kitab ini ditulis, dimana sebagian besar memang bersifat futuristis ditinjau dari masa ketika Rasul Yohanes menuliskan kitab ini (yang kemungkinan ditulis pada akhir abad ke-1 masehi). Artinya, sebagian tulisan dalam kitab ini memang bersifat futuris ditinjau dari sudut pandang abad ke-1, tetapi mungkin juga ada yang sudah bersifat historis bagi kita yang hidup di abad ke-21. Sebagian lagi juga berbicara mengenai hal-hal yang sudah terjadi dari sudut pandang penulis kitab ini di abad ke-1.

Terkait dengan bacaan kita di pasal 12 dari kitab Wahyu, tentu kita akan bertanya, apakah ayat-ayat ini berbicara mengenai kejadian di masa yang akan datang (bisa dari sudut pandang abad ke-1 atau abad ke-21), ataukah bersifat historis dari sudut pandang abad ke-1? Dalam hal ini mereka yang berpandangan futuris, berbicara mengenai urut-urutan tulisan dalam kitab Wahyu yang seharusnya bersifat kronologis (misal: peristiwa di pasal 10 terjadi sebelum peristiwa di pasal 11, peristiwa di pasal 11 terjadi sebelum peristiwa di pasal 12, dan seterusnya). Jika demikian, maka pasal 12 ini tentu berbicara mengenai peristiwa futuris di masa yang akan datang (setelah ketujuh meterai dan ketujuh sangkakala di pasal-pasal sebelumnya), setidaknya ditinjau dari sudut pandang penulis di abad ke-1.

Akan tetapi, ada pula pandangan yang melihat bahwa urutan penulisan di kitab Wahyu tidaklah selalu berbicara mengenai kronologis. Sebagai contoh, bacaan Alkitab kita hari ini berbicara mengenai peperangan yang terjadi di surga, antara Mikael dan malaikat terang melawan naga (Iblis) dan malaikat yang telah jatuh (ay. 7). Kira-kira kapankah peristiwa ini terjadi? Apakah ini berbicara mengenai peristiwa yang akan datang? Menurut saya tidak. Ayat ini dapat dimaknai sebagai peristiwa pemberontakan Iblis (atau Lucifer) di surga, dimana akhirnya mereka kalah dan dibuang ke bumi. Hal ini didukung dengan kata “sekarang telah tiba” yang dalam bahasa aslinya menggunakan kata egeneto (ἐγένετο). Kata egeneto ini merupakan bentuk kata kerja aorist indicative middle dari akar kata ginomai (γίνομαι) yang memiliki makna “to come into being, to happen, to become” (terwujud, terjadi, menjadi). Kata kerja dengan sifat aorist menunjuk suatu peristiwa yang pernah terjadi/dilakukan terjadi di masa lampau pada suatu titik waktu dan tidak terjadi secara terus menerus/berulang kali.

Namun demikian, ada pula pandangan yang menyatakan bahwa sebenarnya hal ini berbicara mengenai kemenangan Kristus melalui karya keselamatan-Nya, sehingga Iblis tidak mendapatkan tempat di surga dan dilemparkan ke bumi (ay. 8-9). Hal ini bisa jadi terkait fakta bahwa kematian Yesus membuat Iblis dikalahkan, sehingga ia tidak dapat lagi berada di surga (kemungkinan seperti apa yang ditulis dalam Ayb 1:6-12, 2:1-7). Saya secara pribadi lebih condong kepada alternatif yang kedua ini, karena akan lebih “nyambung” dengan apa yang ditulis dalam ayat-ayat selanjutnya.

Dalam ayat selanjutnya dikatakan bahwa setelah Iblis dikalahkan, tidak mendapat tempat lagi di surga dan kemudian dilemparkan ke bumi bersama dengan malaikat-malaikat yang telah jatuh, maka terdengarlah suara yang nyaring di surga (ay. 10a). Suara tersebut berkata bahwa sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa, dan pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya (ay. 10b). Dalam bahasa aslinya, kata “Dia yang diurapi-Nya” menggunakan dua kata yaitu Christou autou (Χριστοῦ αὐτοῦ). Dalam konteks dengan kata sebelumnya, frasa “dan pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya” dalam terjemahan Alkitab bahasa Inggris digunakan kata “And the kingdom of our God, and the [ruling] authority (atau the power) of His Christ/His Messiah”. Jelas bahwa dalam ayat 10b ini ada 4 hal yang ditulis secara sejajar yaitu: 1) keselamatan; 2) kuasa; 3) pemerintahan Allah kita; dan 4) kuasa/pemerintahan Kristus-(nya/Nya).

Penggunaan kata Christou autou di sini tidak terlalu menjadi masalah seperti pembahasan di dalam ayat-ayat pada renungan sebelumnya, karena sebelum kata Christou autou telah dijelaskan bahwa adanya pemerintahan Allah Bapa (Theou/Θεοῦ). Jadi Kristus jelas merupakan Kristus yang berasal dari Allah Bapa, atau pribadi yang diurapi oleh Allah Bapa. Kekuasaan atau otoritas yang dimiliki Kristus jelas berasal dari Allah Bapa. Anak tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Bapa, dan dalam segala hal, Bapa adalah pribadi yang memiliki kuasa dan menyerahkannya kepada Anak untuk memegang pemerintahan dalam kerajaan-Nya.

Keselamatan, kuasa, kerajaan Allah dan kuasa pemerintahan Kristus jelas nyata ketika Ia telah berhasil menang atas kuasa Iblis. Dikatakan bahwa Iblis adalah pribadi yang terus menerus mendakwa saudara-saudara kita di hadapan Allah Bapa (ay. 10c). Memang ada beberapa pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan saudara-saudara kita ini. Ada yang berkata bahwa ini adalah orang-orang kudus yang telah mati. Namun ada pula pendapat yang menyatakan bahwa ini adalah orang-orang yang diangkat hidup-hidup oleh Allah ke dalam surga (contoh: Henokh dan Elia). Tentu tatanan Allah menyatakan bahwa manusia harus mati karena dosa. Akan tetapi nyatanya Allah mengizinkan beberapa orang untuk diangkat ke surga dalam keadaan hidup. Dalam hal ini, bisa jadi iblis mendakwa saudara-saudara kita tersebut mengapa mereka diizinkan masuk surga. Kita dapat melihat bahwa di Perjanjian Lama, Iblis masih dimungkinkan datang ke hadapan Allah dan bahkan berbincang-bincang dengan-Nya (Ayb 1:6-12, 2:1-7). Mungkin saja salah satu topik pembicaraannya adalah dakwaan Iblis supaya orang-orang kudus yang diangkat Allah itu (contoh: Henokh dan Elia) dikembalikan ke dunia orang mati di bawah kuasa Iblis. Akan tetapi, melalui kematian-Nya dan kebangkitan-Nya, maka Yesus memproklamirkan kemenangan-Nya atas maut. Itulah sebabnya, dikatakan bahwa Iblis telah dikalahkan oleh dua hal: 1) oleh darah Anak Domba (yang membuat-Nya berhak menebus dosa manusia); dan 2) oleh perkataan kesaksian mereka (ay. 11a).

Dalam hal ini, poin pertama mungkin sudah cukup jelas bagi kita, karena sebagai orang Kristen kita sudah percaya dengan pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib untuk menebus dosa kita. Sama seperti darah domba di masa Perjanjian Lama sebagai penebus dosa atau kesalahan bangsa Israel, maka di zaman Perjanjian Baru, darah Anak Domba Allah juga tercurah untuk menebus dosa seluruh umat manusia. Iblis tentu telah dikalahkan oleh kuasa darah Anak Domba Allah tersebut. Namun terkait dengan perkataan kesaksian di ayat 11 ini juga perlu kita perdalam lagi. Beberapa gereja membuka banyak ruang kesaksian di dalam ibadahnya dikarenakan pemahaman yang kurang tepat mengenai ayat ini. Tentu saya tidak melarang kesaksian-kesaksian tersebut. Tetapi dari pengalaman saya, sering terjadi ketika orang-orang yang masih baru bertobat bersaksi, ternyata kesaksiannya itu kurang tepat. Misal, kesaksian yang disampaikan selalu saja tentang bagaimana Tuhan menjawab doa, Tuhan menyembuhkan, Tuhan memberikan berkat jasmani, dan hal-hal lain yang sebenarnya tidaklah penting namun tetap disaksikan. Memang hal tersebut bisa menjadi berkat bagi orang lain yang mendengarnya. Tetapi jika setiap ibadah kita “dicekoki” dengan kesaksian mengenai Tuhan memberi berkat uang, kekayaan, promosi jabatan dan lain sebagainya, tanpa kita sadari, pola pikir kita akan terbangun bahwa kita juga harus bisa mengalami seperti apa yang orang lain alami. Akan muncul perasaan minder jika kita tidak memperoleh uang dalam jumlah besar seperti apa yang orang lain saksikan. Padahal jika kita mau jujur, uang dapat menjadi berhala dan menghambat kita untuk bertumbuh dengan benar.

Jika kesaksian hanya dipahami sebagai kesaksian menerima berkat Tuhan (terutama berkat jasmani seperti uang, kekayaan, dan lain sebagainya), saya ragu bahwa kesaksian tersebut dapat mengalahkan Iblis. Menurut saya, kesaksian yang benar itu tentu terkait dengan ayat selanjutnya, yaitu kesaksian hidup yang benar dimana orang-orang tidak lagi mengasihi nyawanya sendiri (ay. 11b). Kita melihat teladan dalam jemaat mula-mula yang mengalami aniaya yang begitu hebat. Mereka tidak hanya mati demi iman mereka kepada Kristus, tetapi juga dianiaya secara fisik dan psikis. Mereka dipukul, ditelanjangi, harta mereka dirampas, kewarganegaraan mereka dicabut, anak-anak mereka dibunuh di depan mata mereka sendiri, disiksa secara kejam, dikuliti, dibakar hidup-hidup, dan lain sebagainya. Apakah dalam aniaya tersebut mereka kemudian menyampaikan kesaksian bahwa: “Tuhan itu baik dan menjawab doa, Ia membuat mujizat dan melepaskan saya dari penderitaan, hidup saya selalu nyaman karena atas berkat-Nya saya bisa membeli banyak barang?”

Tentu tidak! Kesaksian mereka adalah kesaksian yang nyata, bahkan ketika mulut mereka sudah tidak sanggup berkata-kata lagi. Ketika dalam saat-saat terakhir menjelang kematian mereka (akibat tebasan pedang, kayu salib, kobaran api, atau binatang buas yang akan mencabik-cabik mereka), mereka tidak takut dan tidak menyangkali iman mereka. Mereka hanya diam, atau mungkin justru menyanyikan nyanyian pujian kepada Allah. Beberapa dari antara mereka justru mengucapkan kata-kata berkat dan mengampuni orang yang membunuh mereka. Itulah kesaksian yang seharusnya kita kenakan. Mereka hidup dengan benar dalam kesucian hidup, dan tetap percaya kepada Allah sekalipun Allah tidak menyelamatkan mereka dari aniaya. Sangat berbeda dengan kebanyakan doa yang diucapkan orang Kristen di masa-masa ini, dimana mereka menuntut Allah untuk menjawab doa mereka dengan berkata bahwa Allah itu baik, dan kebaikan Allah hanya diukur dari doa-doa yang dijawab (dan iebagian besar isi doa tersebut hanyalah pemuasan keinginan dan hawa nafsu, seperti ingin dapat uang banyak, ingin dapat istri cantik, ingin segera naik jabatan, ingin memiliki rumah atau mobil baru, dan lain sebagainya).

Kesaksian seperti itulah yang harus dimiliki orang percaya jika mereka mau sungguh-sungguh menang. Dengan memiliki kesaksian hidup yang agung, tidak bercacat dan tidak bercela, berarti mereka menghormati pribadi Allah Tritunggal yang Maha Suci, serta kuasa, keselamatan, dan kerajaan-Nya yang kekal. Ketika Anak Allah menang atas kuasa Iblis, maka Iblis dilemparkan ke bumi (artinya tidak lagi memiliki hak di surga, seperti pada zaman Perjanjian Lama). Iblis pun tahu bahwa waktunya telah singkat. Tentu Iblis ingin dapat menyesatkan sebanyak-banyaknya orang supaya mereka melawan Allah dan kerajaan-Nya. Tidak heran, Iblis mencoba menyesatkan banyak orang percaya di waktu yang singkat ini (ay. 12). Penyesatan bisa datang melalui aniaya (dengan harapan orang percaya akan murtad karena aniaya), dengan godaan dosa (korupsi, berzinah, mencuri, membunuh), dan bahkan dengan godaan harta dan kenikmatan dunia, sehingga mereka merasa masih berstatus sebagai orang percaya, tetapi hati mereka sudah terikat dengan dunia ini.

Yang harus kita pahami bahwa Kristus sudah menang melalui ketaatan-Nya yang sempurna hingga mati di atas kayu salib. Kebangkitan-Nya membawa pengharapan baru bahwa kuasa Iblis telah dikalahkan dan kerajaan Allah telah nyata. Tentu kerajaan Allah akan sempurna ketika bumi ini dihancurkan dan manusia-manusia yang hidup benar akan dibangkitkan untuk memerintah bersama-sama dengan Tuhan Yesus dalam kekekalan. Oleh karena itu, tugas kita sebagai orang percaya adalah untuk berjuang hidup dalam kemenangan Tuhan Yesus ini.

Ingat bahwa Tuhan Yesus sudah menang, tetapi kita tentu masih belum dapat dikatakan menang. Kemenangan kita baru akan terlihat ketika kita mengakhiri hidup kita nanti, apakah kita sudah memilih apa yang benar dalam hidup kita dan menjauhi apa yang salah? Apakah sepanjang hidup kita, kehendak Allah sudah kita lakukan dengan sempurna? Jika kita menghayai karya keselamatan Kristus melalui darah-Nya yang tercurah di atas kayu salib, tentu bagian kita adalah memiliki perkataan kesaksian yang benar. Dalam hal ini perkataan kesaksian tidak boleh hanya dimaknai bahwa kita harus bersaksi di gereja setiap hari Minggu. Jika demikian, nanti ibadah di gereja hanya diisi dengan kesaksian-kesaksian dari seluruh jemaat yang hadir tanpa ada pemberitaan firman yang benar. Dalam hal ini kesaksian harus dipandang sebagai keadaan hidup kita setiap hari, bahkan setiap saat, yang mempermuliakan nama Allah. Ketika Tuhan memerintahkan kita untuk menjadi saksi sampai ke ujung bumi, itu berarti bahwa dimanapun kita berada, kita harus tetap menjadi saksi Tuhan yang benar, sehingga setiap orang lain yang melihat hidup kita akan mempermuliakan nama Allah. Percuma kita sering bersaksi di gereja tetapi dalam hidup kita sehari-hari, kita justru mempermalukan Tuhan melalui perkataan dan Tindakan kita yang sembrono. Berjuanglah supaya kuasa kemenangan Tuhan Yesus juga dapat kita kenakan dalam hidup kita setiap saat, hingga suatu saat nanti kita didapati sebagai pribadi yang layak masuk ke dalam kerajaan-Nya.



Bacaan Alkitab: Wahyu 12:7-12
12:7 Maka timbullah peperangan di sorga. Mikhael dan malaikat-malaikatnya berperang melawan naga itu, dan naga itu  dibantu oleh malaikat-malaikatnya,
12:8 tetapi mereka tidak dapat bertahan; mereka tidak mendapat tempat lagi di sorga.
12:9 Dan naga besar itu, si ular tua, yang disebut Iblis atau Satan, yang menyesatkan seluruh dunia, dilemparkan ke bawah; ia dilemparkan ke bumi, bersama-sama dengan malaikat-malaikatnya.
12:10 Dan aku mendengar suara yang nyaring di sorga berkata:  "Sekarang telah tiba  keselamatan dan kuasa  dan pemerintahan Allah kita,  dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya,  karena telah dilemparkan ke bawah  pendakwa saudara-saudara kita,  yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita.
12:11 Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba,  dan oleh perkataan kesaksian mereka.  Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut.
12:12 Karena itu bersukacitalah,  hai sorga dan hai kamu sekalian yang diam di dalamnya,  celakalah kamu, hai bumi dan laut!  karena Iblis telah turun kepadamu,  dalam geramnya yang dahsyat,  karena ia tahu, bahwa waktunya sudah singkat."

Minggu, 05 April 2020

Pengurapan dalam Perjanjian Baru: (9) Terkait dengan Pemerintahan Kerajaan Allah


Minggu, 05 April 2020
Bacaan Alkitab: Wahyu 11:15-18
Lalu malaikat yang ketujuh meniup sangkakalanya, dan terdengarlah suara-suara nyaring di dalam sorga, katanya: "Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya." (Why 11:15)


Pengurapan dalam Perjanjian Baru: (9) Terkait dengan Pemerintahan Kerajaan Allah


Tentu bukan tanpa alasan bahwa Allah memberikan pengurapan kepada Yesus Kristus ketika ia menjadi manusia. Sebutan Mesias yang berarti “Yang Diurapi” menunjuk bahwa pribadi Mesias ini adalah tokoh sentral dalam tatanan kerajaan Allah. Dalam hal ini, pengurapan Allah tentu juga terkait pada apa yang dilakukan dalam Perjanjian Lama, dimana pengurapan hanya dilakukan bagi para imam dan raja. Jadi Mesias adalah gambaran pribadi yang menjalankan peran sebagai Imam dan Raja. Jika di masa Perjanjian Lama, kedua jabatan tersebut dipisah (khususnya sejak bangsa Israel memiliki raja pertama yaitu raja Saul), maka di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri adalah Sang Mesias itu, yang menyatukan kembali peranannya sebagai Imam Besar dan juga Raja yang Kekal.

Dalam bacaan Alkitab kita hari ini, konteks ayat-ayat bacaan kita hari ini adalah ketika malaikat meniup sangkakala yang ketujuh, yaitu yang terakhir dari ketujuh sangkakala. Jika kita melihat ayat-ayat sebelumnya, lima sangkakala sebelumnya berbicara mengenai bencana yang akan terjadi di dunia ini, dan sangkakala keenam berbicara mengenai bangkitnya dua saksi Allah. Ketika sangkakala ketujuh ditiup, dikatakan bahwa terdengar suara nyaring di dalam surga (ay. 15a). Suara itu menyatakan bahwa pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya (ay. 15b).

Kalimat di ayat 15 ini cukup sulit untuk dimengerti, mengingat dalam terjemahan bahasa Indonesia, seakan-akan ada 2 pribadi: Tuhan kita (pribadi pertama yaitu Yesus Kristus), dan Dia yang diurapi-Nya (pribadi kedua). Jika kita tidak teliti membaca, maka seakan-akan pribadi kedua ini adalah pribadi yang diurapi oleh Tuhan Yesus (pribadi pertama). Lalu siapakah pribadi kedua ini? Siapakah dari kedua pribadi ini yang dikatakan akan memerintah menjadi raja selama-lamanya?

Untuk dapat memahami hal ini, mari kita melihat dalam bahasa aslinya yang diterjemahkan sebagai berikut: Egeneto (telah menjadi) hē basileia (kerajaan) tou kosmou (dunia/kosmos) tou Kyriou (Tuhan/Tuan) hēmōn (bagi kita) kai (dan) tou Christou (Kristus/Mesias) autou (bagi Dia) kai basileusei (memerintah) eis (kepada/untuk/hingga) tous aiōnas (masa/zaman) tōn aiōnōn (masa/zaman). Dalam hal ini kita dapat melihat sebenarnya tidak ada kata “pengurapan” maupun “diurapi” dalam ayat ini seperti di 1 Yoh 2 misalnya. Kata yang digunakan adalah kata Christou (Χριστοῦ) dari akar kata Christos (Χριστός) yang dapat diterjemahkan Kristus atau Mesias. Tentu kata Mesias memang juga bermakna: “Yang Diurapi”. Namun dengan melihat bahasa aslinya, kita akan tahu bahwa sebenarnya ayat 15 ini berbicara mengenai pribadi yang sama, yang kita kenal sebagai Kurios (Tuhan/Tuan) dan juga Kristus (Mesias/Yang Diurapi [oleh Allah Bapa]).

Penerjemahan kata Christos di ayat 15 dengan kata “yang diurapi” ini hampir mirip dengan yang terjadi pada Luk 2:26. Sebagaimana yang telah kita bahas dalam renungan pertama dari seri renungan kita ini, kita melihat bahwa ada sedikit ketidakkonsistenan dalam penerjemahan kata Christos yang pada umumnya diterjemahkan sebagai Kristus, namun dalam beberapa ayat (seperti di ayat 15 ini) kata tersebut diterjemahkan sebagai “yang diurapi”. Tentu kita dapat memahami bahwa kemungkinan karena dalam satu ayat digunakan kata Kurios dan Christos, sehingga perlu diberikan tambahan penjelasan untuk kata Christos yang akhirnya diterjemahkan sebagai “yang diurapi”. Namun kita juga melihat ada ayat-ayat lain yang menggunakan kata Kurios dan Christos dalam ayat yang sama namun tetap diterjemahkan sebagai “Tuhan dan Kristus” (misal: Kis 2:36).

Kemungkinan lain adalah karena penggunaan kata autou di belakang kata Christos. Kata autou sendiri adalah kata personal pronoun yang jika merujuk kepada orang ketiga tunggal maskulin (dalam bahasa inggris: he), maka kata auton ini dapat diterjemahkan sebagai “himself, him, of him”. Saya mencoba melihat terjemahan bahasa Inggris untuk kata Christou auton dalam ayat 15 ini dan menemukan bahwa sebagian besar terjemahan menerjemahkan kata tersebut dengan “of His Christ” atau “of His Messiah”. Jika digabungkan dengan kata-kata sebelumnya, sebagian besar terjemahan bahasa Inggris menulis dengan “The kingdom of the world has become the kingdom of our Lord and of His Christ” (Kerajaan dunia ini telah menjadi kerajaan Tuhan kita dan Kristus/Mesias yang berasal dari-Nya (atau yang adalah diri-Nya/Dia sendiri).

Dari pembahasan tersebut, jelas bahwa kata “diurapi” di sini tidak menggunakan kata chrisma atau chrió, melainkan merupakan penjelasan lebih lanjut dari kata Mesias yang memang bermakna “yang diurapi”. Namun pribadi Tuhan dan Mesias/yang diurapi sebenarnya adalah pribadi yang sama yaitu pribadi Yesus Kristus sebagai Anak Allah. Dari pembahasan renungan kita di hari-hari sebelumnya, jelas bahwa Yesus Kristus adalah pribadi yang diurapi oleh Allah Bapa. Dialah yang akan memerintah sebagai Raja (dan sebenarnya juga sebagai Imam) selama-lamanya (ay. 15b).

Memang menjadi pertanyaan juga, bukankah Tuhan Yesus memang sudah memerintah sebagai Raja sejak dahulu kala? Tentu jawabannya adalah ya. Namun semenjak pemberontakan Lusifer dan juga kejatuhan manusia, maka dunia telah berada di bawah kekuasaan Iblis (atau Lusifer yang telah dibuang ke bumi). Tidak heran Iblis berani menawarkan dunia dengan segala keindahannya kepada Tuhan Yesus ketika Ia dicobai di padang gurun (Mat 4:8-9). Perhatikan bahwa Tuhan Yesus tidak menghardik Iblis dan berkata: “Kamu tidak berhak atas kerajaan dunia”. Artinya memang sejak kejatuhan manusia, dunia ini ada di bawah kekuasaan iblis. Manusia di-setting oleh Iblis untuk hidup nyaman di dunia dengan segala kelimpahan, kemewahan, dan keindahannya.

Barulah sejak Yesus mati dan bangkit, maka kuasa Iblis dikalahkan. Ia kembali memegang kendali atas pemerintahan dunia ini. Tentu Tuhan Yesus adalah Raja yang memerintah dalam kerajaan Allah. Namun kematian dan kebangkitan-Nya menjadi bukti nyata bahwa dunia ini kembali berada di bawah pemerintahan Allah atau menjadi bagian dari kerajaan Allah kembali. Inilah yang dimaksud dengan kalimat yang umum kita dengar bahwa “Iblis telah dikalahkan oleh Yesus Kristus”. Ketaatan-Nya yang sempurna hingga mati di atas kayu salib membuat kemenangan atas kuasa Iblis di dunia ini.

Dapat dilihat bahwa para tua-tua di dalam kerajaan surga juga menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa Tuhan telah memangku kuasa yang besar dan mulai memerintah sebagai raja (ay. 16-17). Tentu ini tidak merujuk pada masa lalu (sebelum dunia dijadikan), tetapi lebih merujuk pada kemenangan Kristus yang membuat-Nya menjadi Raja atas langit dan bumi. Artinya, sejak kematian dan kebangkitan Kristus, dunia ini ada di dalam pemerintahan Allah secara mutlak. Sejak saat itu, Tuhan pun men-setting dunia ini kepada masa yang akan semakin sukar menuju akhir zaman. Memang kondisi itu harus terjadi, karena sesungguhnya Tuhan akan melenyapkan langit dan bumi yang sekarang ini, dan menyediakan suatu langit yang baru dan bumi yang baru bagi orang-orang benar. Jadi segala macam pergolakan dunia, perang, wabah penyakit, resesi ekonomi, dan kondisi-kondisi sulit lainnya harus kita pandang sebagai “peringatan Tuhan” kepada manusia bahwa dunia ini akan berakhir, namun Ia telah menyiapkan suatu dunia yang baru, yang kekal, dimana tidak ada lagi air mata di sana. Namun tentu, hanya orang-orang benar sajalah yang diperkenankan masuk kedalam dunia yang akan datang tersebut.

Kedatangan kerajaan Allah dalam dunia ini tentu disambut dengan sukacita oleh orang-orang benar. Dikatakan bahwa hamba-hamba Tuhan, para nabi, orang kudus, dan semua orang yang takut kepada Tuhan akan bersukacita dan menerima upahnya. Di sisi lain, bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan justru akan bersikap sebaliknya. Mereka tidak akan bersukacita atas pemerintahan Tuhan Yesus tetapi justru marah. Namun demikian, akan tiba waktunya dimana amarah atau murka Tuhan akan dinyatakan kepada bangsa-bangsa yang marah tersebut, yang mungkin selama ini telah membunuh orang-orang benar, para nabi dan hamba-hamba Tuhan. Dalam hal ini Tuhan akan membinasakan orang-orang jahat namun akan menyelamatkan orang-orang yang hidup benar (ay. 18).

Dalam hal ini jelas bahwa pengurapan Allah erat kaitannya dengan pemerintahan Allah. Yesus Kristus sebagai Mesias (atau yang diurapi oleh Allah Bapa), adalah pribadi yang berhak memerintah dalam kerajaan Allah. Jika dikaitkan dengan pengurapan yang diberikan Allah Bapa kepada orang percaya, maka hal itu dapat diartikan sebagai hak untuk memerintah pula dalam kerajaan Allah. Tentu tingkatan pemerintahan kita pasti berbeda dengan pemerintahan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus memerintah sebagai Raja, sementara kita juga akan memerintah bersama-sama dengan-Nya, ibarat hulubalang-hulubalang di sekitar Sang Raja tersebut (2 Tim 2:12). Bukankah itu adalah suatu kehormatan yang luar biasa tinggi jika kita dapat memerintah bersama-sama dengan Sang Raja Agung dalam Kerajaan Allah yang kekal?



Bacaan Alkitab: Wahyu 11:15-18
11:15 Lalu malaikat yang ketujuh meniup sangkakalanya, dan terdengarlah suara-suara nyaring di dalam sorga, katanya: "Pemerintahan atas dunia dipegang oleh Tuhan kita dan Dia yang diurapi-Nya, dan Ia akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya."
11:16 Dan kedua puluh empat tua-tua, yang duduk di hadapan Allah di atas takhta mereka, tersungkur dan menyembah Allah,
11:17 sambil berkata: "Kami mengucap syukur kepada-Mu, ya Tuhan, Allah, Yang Mahakuasa, yang ada dan yang sudah ada, karena Engkau telah memangku kuasa-Mu yang besar dan telah mulai memerintah sebagai raja
11:18 dan semua bangsa telah marah, tetapi amarah-Mu telah datang dan saat bagi orang-orang mati untuk dihakimi dan untuk memberi upah kepada hamba-hamba-Mu, nabi-nabi dan orang-orang kudus dan kepada mereka yang takut akan nama-Mu, kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar dan untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi."