Senin, 30 September 2019

Pornos dan Moichos (44): Salah Satu Ciri Guru-Guru Palsu


Senin, 30 September 2019
Bacaan Alkitab: 2 Petrus 2:10:14
Mata mereka penuh nafsu zinah dan mereka tidak pernah jemu berbuat dosa. Mereka memikat orang-orang yang lemah. Hati mereka telah terlatih dalam keserakahan. Mereka adalah orang-orang yang terkutuk! (2 Ptr 2:14)


Pornos dan Moichos (44): Salah Satu Ciri Guru-Guru Palsu


Renungan ini pernah membahas mengenai topik tentang guru-guru palsu dari bacaan ayat kita hari ini. Akan tetapi, karena kita saat ini sedang fokus membahas mengenai kata pornos dan moichos, maka tentu penekanan dalam renungan hari ini adalah mengenai konteks kata tersebut dalam ayat yang menjadi bagian bacaan kita pada hari ini.

Sekali lagi, konteks bacaan Alkitab kita hari ini adalah mengenai guru-guru palsu. Jika di masa Perjanjian Lama kita mengenal nabi-nabi palsu, maka di dalam Perjanjian Baru terdapat pula guru-guru palsu. Di Perjanjian Lama, belum ada Roh Kudus yang turun sehingga umat Israel membutuhkan nabi-nabi untuk mendengar suara Tuhan. Nabi adalah orang-orang tertentu yang diberikan karunia untuk menyampaikan suara Tuhan. Dalam praktiknya, muncul pula orang-orang yang mengaku sebagai nabi padahal tidak diangkat oleh Tuhan sebagai nabi. Nabi-nabi palsu ini mengangkat dirinya sendiri sebagai nabi untuk mendapatkan keuntungan dari posisinya tersebut (biasanya keuntungan karena dihormati orang banyak, diangkat sebagai penasehat oleh raja, dan juga tentunya keuntungan finansial).

Di masa Perjanjian Baru, hanya belasan atau puluhan tahun dari kenaikan Tuhan Yesus ke surga, muncul pula sejumlah guru-guru palsu. Ingat bahwa di masa Perjanjian Baru, setelah Tuhan Yesus naik ke surga maka ada pencurahan Roh Kudus sehingga sejak saat itu Roh Kudus dapat tinggal secara permanen dalam diri orang-orang percaya untuk menuntun mereka hidup dalam kebenaran. Oleh karena itu, di masa Perjanjian Baru ini meskipun memang ada orang-orang yang memiliki tugas sebagai nabi (sama seperti ada peran rasul. pengajar/guru (1 Kor 12:28), pemberita Injil dan gembala (Ef 4:11) dalam jemaat), tetapi justru peran yang lebih penting sekarang ini adalah peran pengajar/guru, pemberita Injil, dan gembala.

Kita melihat bahwa peran Rasul pun hanya terbatas di dalam jemaat mula-mula, dan di masa kini sudah tidak ada rasul lagi, karena semua sudah tertulis di dalam Alkitab yang kita miliki hari ini. Demikian juga dengan peran nabi. Sebenarnya di masa Perjanjian Baru ini peran nabi dapat dilakukan oleh para pengajar/guru, pemberita Injil dan gembala, karena mereka pun menyuarakan suara Tuhan dalam tugas pelayanannya. Dalam Alkitab sendiri, masih ada sejumlah nabi di zaman Perjanjian Baru seperti nabi Agabus (Kis 21:10) yang menyampaikan suara Tuhan kepada Paulus bahwa Paulus akan ditangkap di Yerusalem. Meskipun demikian, secara implisit Paulus pun sudah mengerti kehendak Tuhan bahwa ia akan ditangkap di Yerusalem. Hal itu dapat menunjukkan bahwa peran nabi yang menyampaikan suara Tuhan secara spesifik kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu mulai bergeser kepada peran pengajar/guru yang menyampaikan suara Tuhan kepada sekelompok orang secara umum. Walau pengajaran yang disampaikan bersifat umum, tetapi Tuhan telah menaruh Roh Kudus dalam hati orang percaya sehingga mereka tentu dapat mendengar suara Tuhan yang spesifik bagi diri mereka masing-masing.

Oleh karena peran pengajar/guru yang sangat penting pada jemaat mula-mula, maka iblis pun mulai memunculkan guru-guru palsu sejak zaman gereja mula-mula. Kita telah membahas mengenai guru-guru palsu dalam renungan dengan tema khusus. Namun pada renungan hari ini, cukuplah kita membahas mengenai ciri-ciri guru-guru palsu yang antara lain mereka menuruti hawa nafsunya (ay. 10a). Mereka tidak pernah mencari kehendak Allah tetapi berusaha memuaskan hawa nafsu duniawinya. Tidak heran mereka pun mulai mencemarkan diri mereka sendiri dan menghina/merendahkan/mengabaikan pemerintahan Allah (ay. 10b). Hal ini berarti walaupun mereka mengajarkan ayat-ayat Alkitab kepada jemaat, tetapi hidupnya penuh dengan kecemaran dan dengan demikian menunjukkan bahwa mereka hidup di luar pemerintahan Allah yang berlandaskan kesucian dan kekudusan.

Mereka pun begitu berani dan angkuh sehingga tidak segan-segan menghujat kemuliaan (ay. 10c). Tentu guru-guru palsu ini tidak dengan langsung menghujat Allah dan kerajaan-Nya. Tetapi dari pengajaran yang disampaikan, secara tidak langsung mereka sedang menghujat Allah dan kerajaan-Nya. Sebagai contoh, jika salah satu standar kerajaan Allah adalah kekudusan, maka apa yang diajarkan oleh guru-guru palsu itu tidak akan menyentuh standar kekudusan tersebut karena hidup mereka masih belum kudus, bahkan mereka masih hidup dalam kecemaran dosa dan hawa nafsu. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin mereka menyampaikan khotbah atau pengajaran mengenai kekudusan hidup. Mereka akan sebisa mungkin menghindari dan bersembunyi di balik topik-topik lain yang ‘aman’ bagi mereka.

Salah satu ciri lain dari guru-guru palsu itu adalah perkataan mereka yang tidak membawa damai dan keteduhan. Perkataan mereka pada umumnya kasar dan menyerang pihak lain. Jangankan pihak luar, seringkali mereka menyerang pihak internal, bahkan pimpinan mereka sendiri dengan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas diucapkan oleh seorang pengajar di depan mimbar. Padahal malaikat-malaikat yang lebih berkuasa dari mereka, tidak menggunakan kata-kata yang kasar dan jahat ketika menuntut penghakiman atas guru-guru palsu tersebut (ay. 11).

Dalam hal ini Petrus menyamakan guru-guru palsu dengan hewan yang tidak memiliki akal, karena mereka tidak menggunakan akal atau logika berpikir yang jernih (ay. 12). Padahal seorang guru seharusnya memiliki logika berpikir yang baik, sehingga mereka akan mencerdaskan orang-orang yang diajar supaya juga memiliki logika berpikir yang baik. Semua yang ditulis mengenai guru-guru palsu tersebut adalah hal yang jahat, dan suatu saat nanti mereka akan menerima upah atas kejahatan mereka (ay. 13a). Kalaupun di dunia ini mereka tidak menuai apa yang mereka tabur, maka suatu saat nanti mereka tidak akan dapat menghindar lagi, ketika Tuhan meminta pertanggungjawaban mereka dalam pengadilan-Nya yang maha adil.

Beberapa ciri lagi telah dituliskan oleh Petrus supaya kita dapat membedakan guru-guru yang benar dan guru-guru palsu. Ciri dari guru-guru palsu adalah berfoya-foya dan menganggapnya sebagai suatu kenikmatan (ay. 13b). Ciri lain akan nampak juga dengan jelas ketika dalam suatu persekutuan atau perjamuan. Lihatlah ketika mereka makan dan minum bersama-sama dengan kita, maka akan nampak ciri-ciri guru palsu yang seperti kotoran dan noda. Bahkan ketika makan dan minum Bersama, kita dapat melihat bagaimana mereka masih mencoba memanfaatkan orang lain untuk memuaskan hawa nafsunya dalam hal makanan dan minuman (ay. 13c). Adalah sungguh memalukan jika dalam hal yang bersifat jasmani saja (persekutuan atau makan minum bersama), kelakuan guru-guru palsu tersebut sudah menunjukkan nafsu yang sangat rendah, yang sibuk dengan urusan mengisi perut saja.

Ciri lain adalah mata mereka yang penuh dengan nafsu zinah dan tidak pernah jemu berbuat dosa (ay. 14a). Dalam bahasa aslinya, kata “nafsu zinah” adalah moichalis (μοιχαλίς) yang berarti seorang pelacur wanita, perempuan sundal, seorang perempuan yang sudah menikah namun hidup dalam perzinahan. Jika diterjemahkan bebas, maka kalimat tersebut dapat berbunyi: “mata yang terus memandang wanita cabul (atau mata yang penuh percabulan) dan tidak henti-hentinya berdosa/meleset”. Saya tidak tahu mengapa digunakan kata moichalis (yang merupakan kata benda feminin) dalam ayat ini dan bukan kata benda lain yang umum (tidak bersifat maskulin/feminin) seperti moicheia. Sehingga saya sempat berpikir mungkin saja guru-guru palsu itu adalah orang-orang yang masih hidup dalam percabulan. Memang mungkin saja saat ini mereka belum sampai melakukan perbuatan zinah, tetapi mata mereka terus memandang wanita-wanita yang tidak pantas (wanita yang berzinah, pelacur, perempuan sundal). Dalam hal ini, bisa jadi ia tidak akan berani berkhotbah mengenai bahaya percabulan dan bagaimana jemaat harus melawan dan menghindarinya, karena ia sendiri juga masih suka hidup dalam percabulan itu (minimal masih suka memandang wanita-wanita yang tidak pantas).

Perlu diperjelas bahwa mata yang penuh nafsu zinah/percabulan tidak harus sampai pada tindakan berbuat dosa. Kata “dosa” yang dipakai dalam ayat ini adalah hamartia (ἁμαρτία) yang juga dapat berarti failure, missing the mark (kegagalan, meleset dari sasaran). Jadi guru-guru palsu ini benar-benar terikat dengan hawa nafsunya sehingga mereka tidak dapat berhenti berbuat dosa. Tidak ada kemauan yang kuat dalam diri mereka untuk melawan hawa nafsu kedagingan tersebut. Lambat laun mereka akan merasa hal itu sebagai hal yang wajar, dan tanpa disadari akan memberikan contoh yang salah kepada jemaat yang mereka ajar. Tidak heran jika di suatu gereja atau persekutuan dimana ada guru-guru palsu yang diberi posisi dan kesempatan untuk mengajar, maka banyak jemaat yang juga jatuh dalam dosa perzinahan dan percabulan.

Yang parah lagi adalah ketika mereka memikat orang-orang yang lemah supaya ikut dalam kejahatan yang mereka lakukan (ay. 14b). Kata “memikat” dalam ayat ini adalah deleazó (δελεάζω) yang dapat bermakna to lure, to entice with bait (memancing, memikat dengan umpan/menarik hati/menimbulkan hasrat). Jelas bahwa mereka tidak dapat memikat orang-orang benar di dalam jemaat, sehingga mereka mengalihkan “sasaran” mereka kepada orang-orang (atau jiwa-jiwa) yang lemah. Dalam bahasa aslinya, kata “lemah” menggunakan kata astériktos (ἀστήρικτος) yang bermakna unstable, unsettled, unsteadfast (goyah/goncang/labil/tidak stabil, resah/tidak pasti/tidak menentu, limbung). Jelas bahwa orang-orang ini bukanlah mereka yang sudah bertumbuh dan berakar kuat dalam kebenaran. Kemungkinan besar orang-orang lemah ini adalah jiwa-jiwa baru, yang masih belum memiliki pemahaman yang utuh dan akar yang kuat. Betapa jahatnya guru-guru palsu ini karena mereka mengambil keuntungan dari orang-orang yang masih polos, yang sebenarnya masih perlu untuk diajar dan dibimbing, tetapi malah dimanfaatkan oleh guru-guru palsu tersebut untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Bahkan Petrus menulis bahwa hati guru-guru palsu ini telah terlatih dalam keserakahan (ay. 14c). Kata “keserakahan” di dalam ayat ini adalah pleonexia (πλεονεξία), sebuah kata yang sudah umum kita bahas dalam renungan-renungan sebelumnya karena memiliki keterkaitan dengan kata pornos maupun moichos di ayat-ayat sebelumnya. Kata pleonexia memiliki makna covetousness, avarice, desire for advantage, desire to have more (ketamakan, keserakahan/kekikiran, keinginan untuk memperoleh keuntungan, keinginan untuk memiliki lebih). Seharusnya orang percaya diajar untuk melatih hatinya dalam kekudusan, kesucian hidup, dan hal-hal baik lainnya. Akan tetapi guru-guru palsu ini telah melatih hatinya terhadap keserakaan. Betapa berbahayanya spirit ini jika dibawakan di atas mimbar kepada jemaat. Tanpa disadari, jemaat akan terpengaruh dengan spirit tersebut dan akan merasa bahwa ketika ia selalu ingin lebih, maka hal itu adalah suatu hal yang wajar.

Itulah sebabnya di akhir kalimatnya Petrus menulis bahwa mereka adalah orang-orang yang terkutuk (ay. 14d). Hal ini menunjukkan bagaimana Petrus yang juga adalah Rasul, pemberita Injil, pengajar/guru dan sekaligus gembala sangat menyadari bahayanya guru-guru palsu ini. Petrus hanya hidup selama sekian puluh tahun, dan suka atau tidak suka, pelayanan jemaat akan diteruskan di tangan generasi selanjutnya. Dapat dibayangkan jika guru-guru palsu ini masuk ke dalam jemaat, maka apa yang sudah dirintis oleh para murid dan rasul mula-mula akan menjadi sia-sia belaka. Itulah sebabnya Petrus dengan tegas mengingatkan jemaat untuk berhati-hati terhadap guru-guru palsu dengan memperhatikan ciri-cirinya.

Saya yakin di akhir zaman ini akan semakin banyak guru-guru palsu yang akan muncul dan menyesatkan orang-orang Kristen. Kita memang tidak boleh menghakimi orang lain, tetapi kita harus dapat menilai orang lain, apakah ada guru-guru palsu di jemaat atau persekutuan yang kita ikuti. Bahkan jika mau fair, para pembaca renungan ini juga harus dapat menilai apakah saya selaku penulis renungan ini juga adalah guru palsu atau bukan. Ada ciri-ciri yang disampaikan dalam kitab 2 Petrus yang dapat menjadi acuan bagi kita untuk dapat melakukan penilaian. Tetapi lebih dari semuanya, adalah lebih baik kita menjaga diri kita sendiri dan orang-orang yang kita kasihi dari pengajaran yang menyimpang yang disampaikan oleh guru-guru palsu tersebut, yaitu dengan cara belajar kebenaran langsung dari sumbernya dan berjuang untuk hidup dalam kebenaran tersebut dalam pimpinan Roh Kudus.



Bacaan Alkitab: 2 Petrus 2:10:14
2:10 terutama mereka yang menuruti hawa nafsunya karena ingin mencemarkan diri dan yang menghina pemerintahan Allah. Mereka begitu berani dan angkuh, sehingga tidak segan-segan menghujat kemuliaan,
2:11 padahal malaikat-malaikat sendiri, yang sekalipun lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada mereka, tidak memakai kata-kata hujat, kalau malaikat-malaikat menuntut hukuman atas mereka di hadapan Allah.
2:12 Tetapi mereka itu sama dengan hewan yang tidak berakal, sama dengan binatang yang hanya dilahirkan untuk ditangkap dan dimusnahkan. Mereka menghujat apa yang tidak mereka ketahui, sehingga oleh perbuatan mereka yang jahat mereka sendiri akan binasa seperti binatang liar,
2:13 dan akan mengalami nasib yang buruk sebagai upah kejahatan mereka. Berfoya-foya pada siang hari, mereka anggap kenikmatan. Mereka adalah kotoran dan noda, yang mabuk dalam hawa nafsu mereka kalau mereka duduk makan minum bersama-sama dengan kamu.
2:14 Mata mereka penuh nafsu zinah dan mereka tidak pernah jemu berbuat dosa. Mereka memikat orang-orang yang lemah. Hati mereka telah terlatih dalam keserakahan. Mereka adalah orang-orang yang terkutuk!

Sabtu, 28 September 2019

Pornos dan Moichos (43): Tercermin dari Doa dan Keinginan yang Tidak Tepat


Sabtu, 28 September 2019
Bacaan Alkitab: Yakobus 4:1-4
Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah. (Yak 4:4)


Pornos dan Moichos (43): Tercermin dari Doa dan Keinginan yang Tidak Tepat


Jika dalam dua renungan sebelumnya kita telah melihat bagaimana Yakobus menggunakan kata moicheuó  dan kata porné dalam konteks perzinahan, percabulan maupun pelacuran, maka dalam ayat ini kita akan melihat bagaimana Yakobus menggunakan kata moichalis (μοιχαλίς) yang dalam yang diluar konteks perzinahan secara jasmani. Kata ini secara harafiah berarti adulteress, that is a married woman who commits adultery (seorang pezinah wanita, seorang wanita yang sudah menikah namun melakukan perzinahan). Namun demikian, dalam Perjanjian Baru, ayat ini seringkali digunakan secara figuratif untuk menggambarkan suatu ‘perzinahan rohani’, yaitu orang yang tidak setia dengan Allah yang benar, yang juga menyembah obyek lain. Hal ini bisa dilihat dalam ayat-ayat lain yang menggunakan kata ini (sebagaimana telah kita bahas dalam renungan-renungan sebelumnya), antara lain Mat 12:39, Mat 16:4, Mrk 8:38, dan Rm 7:38 (meskipun di ayat terakhir ini, konteksnya masih sedikit berhubungan dengan makna harafiah dari kata tersebut).

Yakobus memulai penjelasannya dengan pernyataan tentang adanya sengketa dan pertengkaran di antara jemaat (ay. 1a). Pertengkaran dan sengketa tersebut muncul karena adanya hawa nafsu di dalam diri manusia yang kemudian muncul dan saling berjuang atau saling bersaing satu sama lain (ay. 1b). Saya mencoba membayangkan, kira-kira hawa nafsu apa yang mungkin muncul dalam jemaat mula-mula? Jika yang dimaksud adalah hawa nafsu secara seksual, mungkin hal itu cukup kecil kemungkinannya, karena sejak awal diajarkan bahwa jemaat harus hidup kudus termasuk dalam perkawinan. Kemungkinan besar orang dewasa di jemaat pada waktu itu sudah memiliki pasangan (suami/istri) masing-masing. Kalaupun ada hawa nafsu terkait ini mungkin di antara para pemuda yang memperebutkan wanita untuk dijadikan istri. Dan menurut pendapat saya, kemungkinan hal itu menimbulkan sengketa dan pertengkaran yang luas adalah kecil.

Sangat besar hawa nafsu yang dimaksud oleh Yakobus dalam ayat ini adalah mengenai kedunawian. Lebih spesifik lagi, hal ini mungkin saja terkait dengan uang/harta serta kedudukan atau posisi di dalam jemaat. Hal ini nampak dari ayat selanjutnya, dimana Yakobus menulis bahwa jemaat menginginkan sesuatu dan tidak memperolehnya, lalu orang itu bisa membunuh (ay. 2a). Membunuh di sini mungkin tidak hanya membunuh secara fisik (menghilangkan nyawa orang) tetapi juga membunuh secara karakter (merusak nama baik orang, mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, dan lain sebagainya). Hal ini juga terlihat dari kalimat selanjutnya yang menulis bahwa ada orang-orang yang tidak mencapai tujuan atau ambisi pribadinya, lalu ia menjadi iri hati dan bertengkar serta berkelahi (ay. 2b).

Apakah yang sebenarnya mereka ingini dan apakah tujuan mereka? Menurut pendapat saya, hal itu sangat mungkin adalah suatu kedudukan di dalam jemaat yang juga dalam beberapa kasus, ujung-ujungnya juga adalah uang dan kekayaan dunia. Dan fakta serta sejarah gereja menunjukkan bahwa konflik di dalam gereja sudah muncul ribuan tahun lalu, sehingga berujung pada perpecahan dan pembentukan aliran/sinode gereja yang baru. Konflik juga muncul hingga saling menyebutkan bahwa pendapat lain adalah sesat, bahkan hingga ke tindakan mengucilkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Yang lebih parah lagi, konflik juga dapat berujung pada perintah membunuh orang yang memiliki pandangan yang berbeda.

Namun pada akhirnya Yakobus menuliskan bahwa mereka tidak memperoleh apa-apa karena mereka tidak berdoa (ay. 2c). Kita juga dapat melihat dari sejarah bahwa konflik yang terjadi di dalam lingkungan orang Kristen pada akhirnya juga tidak menghasilkan apa-apa. Katakanlah ada konflik yang berujung saling mengucilkan lalu salah satu pihak keluar dan membentuk aliran gereja baru. Apakah hasil akhirnya? Tidak ada manfaat dari konflik yang ada. Lebih baik jika memang sudah berbeda pandangan, salah satu pihak keluar baik-baik sehingga tidak muncul konflik yang dapat menyeret hingga jemaat awam. Lebih sedihnya lagi, konflik yang terjadi dapat diliput oleh media sehingga justru memberikan kesan negatif terhadap bagaimana kehidupan orang Kristen di mata orang lain.

Perlu diperjelas mengenai makna doa dalam ayat 2 dan ayat 3 ini. Yakobus menulis bahwa mereka tidak menerima apa-apa karena tidak berdoa (ay. 2c), atau mereka tidak menerima apa-apa meskipun mereka sudah berdoa karena mereka salah berdoa (ay. 3a). Doa adalah suatu dialog dengan Allah. Oleh karena itu, doa harusnya memberi kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak (dalam hal ini manusia dan Allah) untuk memiliki pikiran dan perasaan yang sama, sehingga pada ujungnya ada kesamaan kehendak yang terjadi. Tentu karena Allah adalah pribadi yang sempurna, maka doa seharusnya menjadi sarana bagi kita untuk berjuang memiliki pikiran dan perasaan Allah, sehingga kita dapat mengerti kehendak Allah supaya kita dapat melakukannya dalam hidup kita masing-masing.

Persoalannya, selama ini kita hampir selalu diajarkan mengenai cara berdoa yang salah, termasuk saya sendiri. Sejak kecil saya sudah diajarkan bahwa jika berdoa harus diawali dengan menyanyi, seakan-akan menyanyi itu adalah suatu hal wajib sebelum mengucapkan kata-kata doa. Padahal menyanyi atau tidak, menaikkan lagu-lagu penyembahan atau tidak, itu bukanlah hal yang mayor. Hal yang lebih penting lagi apakah hidup kita sesungguhnya adalah penyembahan yang sejati kepada Allah atau bukan. Ketika kita berjuang dalam hidup kita untuk selalu hidup menurut kehendak-Nya, itulah penyembahan yang sejati. Kita tidak selalu butuh nyanyian sebelum berdoa, karena hidup kita sudah merupakan penyembahan, dan kapan pun kita bisa bercakap-cakap dengan Bapa.

Kesalahan lain yang umum terjadi adalah doa dijadikan sarana untuk meminta-minta. Sering kali pendeta berkata: jika doa kita belum didengar, maka berdoalah terus sampai dijawab oleh Tuhan. Ini memang ada benarnya dan ada tidaknya. Memang terkadang ada masalah dan pergumulan yang membutuhkan waktu lama untuk dapat selesai. Dalam hal ini, kita memang harus tekun dalam berdoa, yaitu dalam hal mencari tahu apakah kehendak Allah dalam hal ini, menggumulkannya dengan serius, sehingga kita siap untuk mengambil keputusan yang tepat dalam persoalan yang besar ini.

Tetapi dalam hal lain, sebenarnya doa itu adalah dialog, sehingga mungkin saja ketika kita datang dan membawa masalah kita kepada Allah, maka setelah kita berdoa kita akan sadar bahwa hal itu sebenarnya bukan masalah yang harus diselesaikan oleh-Nya dengan cara yang ajaib. Masalah itu sebenarnya adalah masalah biasa yang dapat kita selesaikan sendiri dengan hikmat Tuhan. Sebagai contoh, jika kita  sakit flu, maka kita tidak perlu berdoa terus-terusan kepada Tuhan. Kita sudah diberi hikmat, kita dapat minum obat flu secara rutin dan beristirahat, atau jika perlu datang ke dokter dan meminta nasehat. Saya tidak yakin para pendeta yang sering mengatakan kepada jemaat untuk berdoa meminta mujizat kesembuhan dari Tuhan, dirinya sendiri juga tidak pernah pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Saya bukan tidak percaya mujizat, tetapi ada tatanan Allah mengenai bagaimana kita hidup bertanggung jawab termasuk dalam kesehatan. Oleh karena itu, bisa saja di dalam doa kita diberikan hikmat untuk pergi ke dokter dan bukannya terus berdoa meminta kesembuhan. Ingat bahwa dokter dan obat-obatan juga adalah sarana Tuhan menyembuhkan diri kita.

Sedangkan kesalahan terbesar dalam berdoa yang saya temukan adalah ketika doa menjadi monolog, bukan dialog. Berapa banyak kita berdoa dengan mengucapkan kata-kata secara terus menerus dan sebelum Tuhan berbicara, kita sudah menutup doa dengan kata “Amin”? Berapa banyak kita berdoa dengan menyodorkan daftar kebutuhan dan keinginan kita kepada Tuhan dan lalu menutup doa dengan kalimat “Di dalam nama Tuhan Yesus kami percaya Tuhan mendengar, Amin”? Padahal kalimat “di dalam nama Tuhan Yesus” itu sendiri memiliki makna yang sangat dalam dan seharusnya tidak boleh diucapkan dengan sembarangan. Kita sering kali tidak memberikan waktu kepada Tuhan untuk berbicara kepada kita. Doa menjadi percakapan 1 arah tanpa memberi kesempatan Tuhan berbicara dan mungkin mengoreksi permintaan kita. Bisa kita bayangkan jika ada suami istri dan kemudian istri hanya berbicara kepada suaminya ketika ia meminta uang belanja, pakaian baru, perhiasan baru, dan lain sebagainya? Apakah itu adalah suatu hubungan yang sehat antar 2 orang?

Seringkali doa juga dijadikan sarana untuk meminta sesuatu yang bersifat duniawi, seakan-akan kebahagiaan kita diukur dari seberapa banyak harta duniawi yang kita miliki. Kita hendak memuaskan hawa nafsu kita (yaitu khususnya hawa nafsu kedudukan dan harta benda), sehingga kita menyampaikannya dalam doa. Mengapa saya tidak memasukkan hawa nafsu seksual dalam hal ini, karena hampir tidak mungkin kita berdoa: “Ya Tuhan, tolong saya supaya saya dapat pergi ke rumah selingkuhan saya dengan selamat dan tidak ketahuan istri saya. Amin”. Oleh karena itu yang sering kita ucapkan dalam doa adalah untuk memuaskan hawa nafsu kedudukan dan harta benda dunawi (ay. 3b).

Itulah sebabnya Yakobus menggunakan kata-kata: “Hai kamu, orang-orang yang tidak setia!” (ay. 4a). Kata tidak setia dalam ayat ini menggunakan kata moichalis sebagaimana telah kita bahas di awal renungan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kata moichalis tersebut digunakan secara figuratif. Memang bisa menjadi persoalan, dimana letak ketidaksetiaan yang dimaksud oleh Yakobus? Bukankah mereka tetap berdoa dan beribadah? Mereka juga tidak disebutkan menyembah allah lain atau dewa lain.

Namun demikian, Tuhan Yesus sendiri menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengasihi dan mengabdi kepada dua tuan, karena ia pasti akan cenderung untuk mengasihi salah satu dan membenci yang lain (Mat 6:24, Luk 16:13), apalagi jika harus mencintai dua suami atau dua istri. Karena itu ketika kita mencintai dunia (atau bahkan hanya bersahabat dengan dunia), ia sebenarnya sedang menjadi musuh Allah (ay. 4b). Jangankan sudah bersahabat dengan dunia, ketika kita ingin menjadi sahabat dunia (baru merupakan keinginan), kita sudah menjadi musuh Allah (ay. 4c). Betapa berbahayanya jika kita sudah menjadi musuh Allah, karena tidak mungkin Allah akan membuat kita masuk ke dalam kerajaan-Nya. Itulah sebabnya Yakobus sangat marah ketika mengetahui ada orang-orang Kristen yang mengaku mengasihi Tuhan, tetapi doa mereka tidak mencerminkan kasih mereka tersebut. Kalau orang Kristen mengasihi Tuhan dengan benar dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kekasih jiwa mereka, maka tidak mungkin ada lagi doa-doa yang dinaikkan dengan cara dan isi yang salah, dan tidak mungkin lagi ada pertengkaran atau perselisihan yang terutama disebabkan karena perebutan kekuasaan (kedudukan) dan juga disebabkan karena perebutan uang/persembahan dalam jemaat.

Di situlah letak ketidaksetiaan kebanyakan orang Kristen yang dimaksud, dimana mereka tidak sungguh-sungguh mengasihi Tuhan karena mereka juga masih mencintai dunia ini dengan segala kekayaan, kemuliaan, kesenangan dan kehormatannya. Sebenarnya hidup itu adalah pilihan. Dalam hidup ini kita harus mengambil keputusan: memilih Tuhan menjadi kekasih jiwa kita, atau memilih yang lain (dunia dan bahkan diri kita sendiri) menjadi kekasih jiwa kita. Kita harus memilih, apakah kita mau hidup untuk kepentingan Tuhan dan kerajaan-Nya, ataukah kita mau hidup untuk kepentingan diri sendiri dan kerajaan kita sendiri.

Persoalannya menjadi lebih kompleks karena setiap pilihan kita menimbulkan konsekuensi. Jika kita memilih Tuhan menjadi kekasih jiwa kita, maka kita harus memusuhi dunia dan bahkan diri kita sendiri. Kita harus berani menyangkal diri kita sendiri demi mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita. Namun jika kita memilih dunia menjadi kekasih jiwa kita, maka kita akan menjadi musuh Tuhan. Tidak ada opsi ketiga dimana kita mau mencintai Tuhan tetapi juga mencintai dunia. Di akhir zaman ini, penampian akan semakin nyata untuk menunjukkan siapakah mereka yang mengasihi Tuhan dan siapakah yang mengasihi dunia. Sudah siapkah kita memutuskan pilihan kita saat ini juga?



Bacaan Alkitab: Yakobus 4:1-4
4:1 Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?
4:2 Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa.
4:3 Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.
4:4 Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.

Rabu, 25 September 2019

Pornos dan Moichos (42): Contoh Pertobatan dengan Iman yang Benar


Kamis, 26 September 2019
Bacaan Alkitab: Yakobus 2:24-26
Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain? (Yak 2:25)


Pornos dan Moichos (42): Contoh Pertobatan dengan Iman yang Benar


Kitab Yakobus pernah disebut sebagai suatu “jerami kering” oleh Bapa-bapa gereja pada zaman reformasi. Hal ini antara lain karena Yakobus tidak hanya menekankan mengenai pentingnya iman, tetapi juga menekankan mengenai perbuatan. Tentu apa yang ditulis oleh Yakobus tidak sejalan dengan nafas reformasi yang antara lain menekankan slogan “sola gracia, sola fide, sola scriptura” (hanya oleh anugerah, hanya oleh iman, dan hanya oleh kitab suci). Walaupun demikian, harus dilihat lagi apakah pengertian iman yang dimaksud di dalam kitab Yakobus ini sama dengan iman di kitab lain (terutama di kitab Roma).

Jika kita teliti membedah ayat demi ayat di dalam kitab Yakobus dan juga kitab Roma, maka kita akan menemukan bahwa sesungguhnya definisi iman yang ada di kitab Yakobus ini berbeda dengan iman di kitab Roma. Demikian pula halnya definisi perbuatan yang ada di kedua kitab tersebut. Di dalam kitab Roma, definisi kata perbuatan adalah perbuatan menurut hukum Taurat. Tidak mungkin orang dibenarkan hanya dengan melakukan hukum Taurat. Sementara di dalam kitab Yakobus, perbuatan yang dimaksud di sini adalah perbuatan sebagai respon kita terhadap iman. Jadi iman tidak hanya sekedar keyakinan di dalam pikiran saja (yakin bahwa saya beriman), tetapi harus nampak dalam kehidupan nyata orang Kristen.

Sebagai contoh, orang yang mengaku beriman kepada Tuhan tentu tidak hanya cukup meyakini bahwa dirinya beriman dan kemudian ia boleh hidup suka-sukanya sendiri di dalam dosa. Orang yang mengaku beriman kepada Tuhan tidak boleh lagi masih hidup dalam perzinahan, percabulan, korupsi, perjudian, perampokan, dan segala jenis kejahatan lainnya. Jika demikian, maka pasti ada yang salah dengan iman tersebut. Iman yang benar akan ditunjukkan dengan perbuatan baik yang nyata dalam hidup seseorang. Dalam hal ini Yakobus menulis bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya (tindakan nyata dalam hidup seseorang) dan bukan hanya karena iman (yaitu hanya sekedar percaya dan yakin di dalam pikiran/akal seseorang saja) (ay. 24). Hal ini juga akan nampak jelas jika kita membaca ayat-ayat sebelumnya yang membahas mengenai iman Abraham yang nampak nyata dari perbuatannya.

Selain Abraham, Yakobus juga mengambil contoh lain yaitu Rahab. Kita telah membahas Rahab dalam renungan di hari-hari sebelumnya, dimana ia sebenarnya berprofesi sebagai seorang pelacur/perempuan sundal. Kata pelacur dalam ayat ini adalah porné (πόρνη) yang sebagaimana telah kita bahas dalam renungan-renungan sebelumnya merupakan kata feminim untuk pelacur atau perempuan sundal. Jadi memang Rahab adalah seorang perempuan sundal, yaitu seseorang yang dibayar untuk memuaskan nafsu orang lain. Mengapa kemudian ia bisa dibenarkan atau dipandang benar?

Menjadi menarik bahwa dalam hal ini Yakobus menuliskan perbuatan-perbuatan yang menggambarkan iman Rahab. Tidak ditulis bahwa perbuatan Rahab yang membuat ia dibenarkan adalah profesinya sebagai pelacur. Tetapi di sini dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan yang membenarkannya adalah ketika ia menyembunyikan mata-mata Israel di dalam rumahnya dan menolong mereka lolos melalui jalan yang lain (ay. 25b). Yakobus tidak bermaksud mengatakan bahwa Rahab dibenarkan karena tindakan melacurnya. Tetapi Yakobus hendak menyatakan bahwa imannya (yaitu kepercayaannya kepada Allah Israel) membuat ia berani mengambil tindakan yang berisiko (bahkan berisiko maut bagi dirinya dan keluarganya) untuk menyelamatkan mata-mata Israel tersebut.

Jika demikian, apakah kita bisa berkata bahwa: “Oh kalau begitu, kita berbuat dosa dahulu sampai puas, lalu bertobat”? Tentu tidak. Dalam hal ini kita tidak tahu latar belakang Rahab. Bisa jadi ia terpaksa menjadi pelacur karena tidak ada pilihan lain. Mungkin saja ia atau orang tuanya memiliki hutang yang besar sehingga Rahab harus mencari uang dan mau tidak mau menjadi seorang pelacur. Tetapi penekanan ayat ini adalah bahwa ketika iman seseorang muncul, maka itu akan nampak dalam perbuatan dan tindakan nyata. Mungkin saja Rahab sudah memiliki iman bahwa Allah orang Israel adalah Allah yang benar. Tetapi ketika mata-mata itu datang (dan tentu ia tahu bahwa mata-mata itu adalah orang Israel), Rahab diperhadapkan pada 3 pilihan yang sama-sama berisiko.

Pilihan pertama adalah ia langsung melaporkan mata-mata tersebut kepada tentara Yerikho, yang akan langsung menangkap mata-mata. Rahab mungkin akan diberikan penghargaan oleh Raja Yerikho, tetapi besar kemungkinan ia akan binasa ketika tentara Israel menyerang Yerikho.

Pilihan kedua adalah ia tetap menjadi pelacur, tetap melayani mata-mata itu dan kemudian bersikap sama seperti biasa. Tetapi jika demikian, besar kemungkinan ia juga akan binasa ketika tentara Israel menyerang Yerikho. Bahkan ada juga risiko ia akan ditangkap oleh tentara Yerikho karena tidak memberitahukan ada mata-mata yang datang.

Pilihan ketiga adalah ia menyambut mata-mata Israel itu, berkata bahwa sebenarnya ia juga percaya kepada Allah Israel (karena perbuatan-Nya yang dahsyat sejak membawa Israel keluar dari Mesir). Dari situ Rahab berusaha untuk menyelamatkan mata-mata tersebut dari pasukan Yerikho. Di sini tindakannya sangat berisiko, karena jika ketahuan maka ia dan mata-mata itu akan ditangkap dan mungkin akan dieksekusi. Namun di sini nampak kualitas iman Rahab yang luar biasa. Ia menunjukkan bahwa dirinya memiliki iman yang teguh dan bulat untuk percaya kepada Allah Israel.

Ketika tentara Israel menyerbu, tentu Rahab juga berharap cemas apakah ia dan keluarganya akan diselamatkan? Atau jangan-jangan ia lebih dahulu dibunuh oleh tentara Yerikho. Namun kembali lagi kepada definisi iman yang nyata disertai perbuatan, ia dbenarkan karena tindakannya yang sangat heroik bagi umat pilihan Allah di Perjanjian Lama. Itulah sebabnya, Yakobus menulis bahwa seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian juga iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (ay. 26). Perhatikan bagaimana Yakobus menulis kata jamak/plural yaitu “perbuatan-perbuatan” dan bukan hanya satu “perbuatan”. Jelas bahwa iman bukanlah sesuatu yang statis. Iman tidak hanya cukup dibuktikan dengan satu perbuatan saja, tetapi oleh perbuatan-perbuatan yang kita lakukan terus menerus selama kita hidup. Dalam hal ini Rahab tentu setelah diselamatkan dan dimasukkan ke dalam hitungan bangsa Israel, ia harus hidup dalam perbuatan-perbuatan yang nyata, misalnya dahulu ia menyembah dewa Yerikho, maka sekarang ia harus belajar tentang tata cara dan hukum orang Israel, termasuk bagaimana ia menyembah Allah Israel.

Mungkin satu-satunya pengecualian adalah orang yang disalib di sebelah salib Yesus. Orang itu sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan. Tetapi ia menunjukkan imannya melalui perkataannya kepada Yesus, dan karena iman dan perkataannya itu ia dibenarkan. Namun perlu diingat  bahwa jangan sampai kita menunggu hingga detik-detik terakhir untuk bertobat dan beriman. Kita tidak tahu kapan akhir hidup kita. Bisa saja tahun depan kita mati, atau bulan depan, minggu depan, bahkan hari ini. Oleh karena itu, selagi masih ada kesempatan, mari kita menunjukkan iman kita yang benar kepada Tuhan. Sama seperti Rahab yang bertobat dan berani mengambil risiko untuk memiliki iman yang benar (yang disertai perbuatan nyata), beranikah kita juga bertobat dan mengambil risiko untuk hidup di dalam iman yang benar, yang nampak melalui perbuatan-perbuatan kita dalam hidup sehari-hari?



Bacaan Alkitab: Yakobus 2:24-26
2:24 Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya karena iman.
2:25 Dan bukankah demikian juga Rahab, pelacur itu, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia menyembunyikan orang-orang yang disuruh itu di dalam rumahnya, lalu menolong mereka lolos melalui jalan yang lain?
2:26 Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.

Selasa, 24 September 2019

Pornos dan Moichos (41): Standar yang Tidak Dapat Dikurangi


Rabu, 25 September 2019
Bacaan Alkitab: Yakobus 2:10-12
Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga. (Yak 2:11)


Pornos dan Moichos (41): Standar yang Tidak Dapat Dikurangi


Suka atau tidak suka, sekarang ini sedang muncul tren dimana manusia melakukan sesuatu yang sebenarnya hanya bersifat parsial atau dari salah satu sisi saja, sebagai dampak dari ketidaktahuan dan kemalasan orang tersebut untuk mencari tahu apa yang benar. Sebagai contoh di dalam gereja, orang menganggap sudah beribadah ketika ia sudah datang ke gereja, menaikkan nyanyian pujian, berdoa, mendengar khotbah, memberi persembahan, dan kemudian pulang dengan keyakinan bahwa ia sudah beribadah. Atau dalam contoh yang lebih rinci lagi, seorang Kristen merasa dirinya sudah memberi kepada Tuhan ketika ia sudah memberikan persembahan persepuluhan termasuk kolekte setiap minggunya, dan ia merasa berhak untuk meminta Tuhan memberkati dirinya dengan lebih limpah lagi. Dan masih banyak hal yang dapat dijadikan contoh baik di dalam jemaat maupun di luar jemaat.

Yakobus dengan jelas menulis dalam ayat bahasan kita hari ini, yaitu barangsiapa menuruti seluruh hukum itu (yaitu hukum Taurat), tetapi mengabaikan satu bagian daripadanya, maka ia bersalah terhadap seluruh hukum Taurat tersebut (ay. 10). Sebenarnya dalam bahasa aslinya terdapat hal yang menarik sekaligus menggelitik. Dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia, kita melihat bahwa seakan-akan ada orang yang berkoar-koar menaati hukum tapi sengaja mengabaikan satu bagian hukum, sehingga hal itu dipandang sebagai suatu kesalahan.

Kata “mengabaikan” dalam bahasa aslinya adalah ptaisē (πταίσῃ) dari akar kata ptaió (πταίω) yang berarti to stumble, to fall, to sin, to err, to transgress (tersandung, terjatuh, berdosa/melanggar, salah/keliru, melanggar/melampaui batas). Jadi sebenarnya ayat 10 ini lebih tepat diterjemahkan sebab barangsiapa yang memegang hukum Taurat, tetapi ia gagal melakukan salah satu bagian dari hukum tersebut, maka ia bersalah terhadap seluruhnya. Jelas bahwa jangankan sengaja untuk tidak melakukan satu bagian hukum, bahkan ketika orang tersebut gagal (bukan karena keinginannya sendiri untuk sengaja tidak melakukan), ia pun bersalah terhadap seluruhnya.

Dalam ayat selanjutnya, Yakobus menulis bahwa siapa yang berkata “Jangan berzinah”, maka mau tidak mau ia juga harus berkata “Jangan membunuh” karena kedua hukum tersebut ada di dalam hukum yang sama yaitu di Dekalog atau Sepuluh Hukum (ay. 11a). Bahkan lebih lanjut  lagi, jika ada orang yang tidak berzinah tetapi membunuh, maka orang tersebut menjadi pelanggar hukum juga (ay. 11b). Demikian pula sebaliknya, jika ada orang yang tidak membunuh tetapi berzinah, maka ia juga menjadi pelanggar hukum.

Kata “berzinah” yang disebutkan 2 kali dalam ayat ini adalah moicheuó (μοιχεύω) yang secara konsisten merujuk kepada salah satu hukum dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:14). Jelas bahwa Yakobus ingin menunjukkan bahwa Kesepuluh Perintah Allah tersebut saling terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan tidak hanya Sepuluh Perintah Allah (Dekalog) tersebut yang saling terkait, seluruh hukum Taurat dan kitab Perjanjian Lama juga saling terkait dan tidak bisa diabaikan salah satunya. Jangankan dengan sengaja mengabaikan salah satu hukum, jika orang tersandung dan tidak sengaja mengabaikan pun maka hal itu sudah dipandang sebagai suatu pelanggaran.

Dalam hal ini menurut saya ada 2 persoalan serius yang perlu dipergumulkan: 1) Karena konteks ayat ini adalah hukum Taurat, apakah prinsip ini masih relevan bagi umat percaya yang sudah tidak lagi hidup terhadap hukum Taurat; dan 2) Bagaimana jika ada seorang pengkhotbah/pendeta/gembala sidang yang sebenarnya sudah tahu kebenaran secara utuh, tapi sengaja hanya mengajarkan sebagian saja kepada jemaat karena satu dan lain hal?

Untuk menjawab pertanyaan nomor 1, tentu prinsip ini terkait erat dengan ayat-ayat sebelumnya, dimana Yakobus menulis bahwa jika ada orang yang beribadah maupun berbuat baik, tetapi dalam jemaat ada yang memandang muka, maka orang itu sebenarnya melakukan pelanggaran. Kita lihat bahwa di ayat-ayat sebelumnya, dibahas mengenai dosa memandang muka dalam jemaat. Jika kita memperhatikan hukum Taurat, maka jelas bahwa hukum Taurat sama sekali belum mengatur mengenai hal memandang muka ini, apalagi dalam peraturan ibadah.

Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa prinsip di ayat 10 ini masih relevan juga hingga sekarang. Perbedaannya adalah bahwa contoh yang ditulis oleh Yakobus adalah contoh hidup orang Yahudi yang melakukan hukum Taurat karena prinsip mereka adalah Torah is my Law (Taurat adalah Hukumku), sedangkan bagi orang percaya, seharusnya Tuhanlah yang menjadi hukum kita (The Lord is my Law). Namun pada dasarnya prinsipnya tetap sama. Semua kehendak Tuhan harus kita laksanakan tanpa kecuali. Bedanya adalah kita sudah tidak lagi bertindak menurut hukum yang tertulis, tetapi kita harus bertindak menurut pikiran dan perasaan Kristus (Flp 2:5)

Dalam hal ini, suatu saat nanti kita akan menghadap pengadilan Tuhan, dimana kita harus mempertanggungjawabkan apa yang kita lakukan. Oleh karena itu, tentu berlaku prinsip “Yang diberi banyak, dituntut banyak”. Kita yang telah mengenal kasih Kristus tidak akan dihakimi menurut hukum Taurat, tetapi akan dihakimi menurut berapa banyak kehendak Bapa yang sudah kita lakukan. Di situ kita harus banyak belajar dari hidup Tuhan Yesus, yang telah melakukan kehendak Bapa dengan sempurna selama Ia menjadi manusia di dunia ini, sehiingga kita harus benar-benar dapat mengikuti jejak hidup-Nya dan menerapkannya dalam hidup kita masing-masing.

Sedangkan jawaban untuk pertanyaan nomor 2 adalah: hal tersebut akan menjadi urusan pendeta tersebut dengan Tuhan. Jelas bahwa Tuhan sudah menyampaikan firman-Nya kepada kita yang dapat kita baca di dalam Perjanjian Baru. Jelas bahwa standar keselamatan sudah ditetapkan oleh Tuhan dan sama sekali tidak ada potongan atau diskon sekecil apapun. Jika Tuhan Yesus berkata: “Setiap orang yang hendak mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mat 16:24), maka memang orang Kristen harus menyangkal diri dan memikul salib serta mengikut jejak-Nya. Tidak ada tolerasnsi dalam hal ini seperti misalnya: “Kalau begitu, saya minta salib yang ringan saja ya Tuhan”. Sama seperti Tuhan Yesus juga harus melalui semua hal dari Betlehem, Nazaret, hingga ke Golgota tanpa diskon/keringanan, demikianlah juga dalam hidup kita masing-masing kita harus menghadapi banyak pencobaan, ujian, dan salib-salib yang harus kita pikul tanpa adanya diskon dari Tuhan.

Menjadi menarik jika Tuhan Yesus berkata bahwa kita harus berjuang untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga (Luk 13:24), tetapi banyak pendeta yang berkata: “Masuk surga itu mudah, cukup percaya saja dan mengimani (meyakini), pasti nanti mati masuk surga”. Memang kita harus percaya kepada Tuhan Yesus dan memiliki iman kepada-Nya, tetapi bukan berarti setelah itu kita tidak perlu berjuang. Ada perjuangan dalam hidup kita yaitu menyangkal diri, memikul salib kita, dan pada akhirnya mengikuti jejak hidup-Nya. Oleh sebab itu, tanpa bermaksud menghakimi mereka yang berbeda pendapat, saya sendiri berpendapat bahwa memang masuk surga itu adalah hal yang sukar, sangat sukar, bahkan mustahil bagi manusia, tetapi tidak mustahil bagi Allah (Mrk 10:26-27). Keselamatan itu memang adalah anugerah Allah tetapi harus diresponi oleh manusia secara proporsional.

Oleh karena itu menjadi seorang pengkhotbah, pendeta, apalagi gembala siding adalah suatu hal yang sangat berat. Seringkali seorang pendeta karena belum bisa melakukan suatu bagian dari firman, maka ia dengan sengaja mengurangi porsi firman supaya jemaat tidak perlu menuntut teladan dari pendeta tersebut. Atau pendeta tersebut bisa membela diri atas kegagalannya melakukan salah satu bagian firman dengan begitu banyak ayat yang “direkayasa dan diarahkan” seakan-akan untuk menunjukkan bahwa pendeta itu melakukan apa yang benar, atau untuk membela si pendeta bahwa wajar kalau ia masih belum bisa melakukan firman tersebut.

Sebenarnya saya tahu bahwa semua orang, baik saya sendiri maupun orang lain, bahkan pendeta sekalipun memang masih harus berjuang untuk hidup sesuai firman secara konsisten. Tidak ada orang yang sudah sempurna melakukan firman di dunia ini. Namun adalah sangat salah jika khutbah di atas mimbar “dikurangi” atau “dimodifikasi” dengan tujuan untuk kepentingan pendeta, keluarganya, atau segelintir orang di dalam gereja. Standar kehidupan orang percaya yang Tuhan kehendaki sudah tertulis jelas di dalam Alkitab khususnya di Perjanjian Baru, antara lain: 1) Hidup dalam kesucian/kekudusan; 2) Merindukan kedatangan Tuhan dan Kerajaan-Nya; serta 3) Memaksimalkan talenta dan potensi selama hidup di dunia ini bagi kemuliaan nama Tuhan. Tetapi seringkali hal yang mayor dijadikan minor dan hal yang minor dijadikan mayor di atas mimbar gereja. Di situ terkadang saya merasa sedih dan tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Tidak heran bahwa di akhir zaman nanti, akan ada banyak orang yang merasa sudah beribadah kepada Tuhan, bahkan merasa sudah melayani Tuhan tetapi pada akhirnya ditolak Tuhan (Mat 7:21-23). Semoga kita tidak termasuk dalam kelompok orang-orang yang seperti itu.

Oleh sebab itu, benar sekali tulisan Yakobus bahwa kita harus berkata dan berlaku seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang (ay. 12). Sekilas terkesan bahwa kita akan dihakimi oleh hukum Taurat. Namun jika kita membaca lebih lanjut, yang dimaksud dalam ayat 12 ini adalah hukum yang memerdekakan orang. Tentu itu bukanlah hukum Taurat karena hukum Taurat adalah hukum yang menawan orang, sementara hukum yang memerdekakan orang adalah Tuhan, karena Tuhan adalah hukum kita (The Lord is my law). Itulah hukum yang sempurna, yang akan membentuk karakter kita menjadi sempurna dan membawa kita kepada kemuliaan kekal (Yak 1:25).

Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita untuk berkata: “Saya kan masih belum sempurna” atau “Saya sih sudah melakukan 90% hukum, tetapi masih ada 10% lagi yang tidak bisa saya lakukan”. Itu adalah prinsip yang salah. Melalui pimpinan dan pertolongan Roh Kudus, kita pasti dimampukan untuk hidup menurut kehendak Tuhan. Tidak boleh lagi ada alasan untuk mengurangi standar keselamatan yang sudah Allah tetapkan bagi manusia. Semaksimal mungkin kita harus hidup sesuci-sucinya di hadapan Allah, supaya suatu saat nanti, kita dapat tahan berdiri di hadapan pengadilan Allah.



Bacaan Alkitab: Yakobus 2:10-12
2:10 Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.
2:11 Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.
2:12 Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang.

Pornos dan Moichos (40): Akan Dihakimi oleh Allah


Selasa, 24 September 2019
Bacaan Alkitab: Ibrani 13:1-4
Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah. (Ibr 13:4)


Pornos dan Moichos (40): Akan Dihakimi oleh Allah


Renungan kita hari ini masih membahas ayat-ayat dari kitab Ibrani. Dalam pasal 13 ini, penulis kitab Ibrani melanjutkan dengan contoh perbuatan kasih yang harus mampu ditunjukkan oleh orang percaya. Hal ini tentu saja masih terkait dengan pembahasan kita di hari sebelumnya yang juga menggunakan ayat di pasal 12, dimana orang percaya dituntut untuk dapat hidup damai dengan semua orang. Tentu saja, selain dengan semua orang, orang percaya harus juga memiliki kasih persaudaraan (ay. 1). Kasih ini harus nyata terlebih lagi kepada saudara seiman. Adalah lucu jika orang Kristen dapat terlihat lebih mengasihi orang yang beragama lain tetapi justru kurang atau tidak mengasihi saudara-saudaranya yang seagama.

Selain kasih persaudaraan, penulis kitab Ibrani ini juga memberikan suatu saran praktis, yaitu memberi tumpangan kepada orang lain yang membutuhkan (ay. 2a). Kata “memberi tumpangan” dalam ayat ini menggunakan kata philoxenia (φιλοξενία) yang secara harafiah berarti mengasihi orang asing. Memang mengasihi orang asing ini pada waktu itu sangat  mungkin dilakukan dengan cara yang umum, yaitu memberikan tumpangan kepada mereka agar mereka dapat beristirahat. Saya tidak tahu apakah ayat ini masih relevan dengan kondisi sekarang dimana manusia semakin bertambah jahat. Namun pada dasarnya, memang kasih itu harus ditunjukkan dengan tindakan nyata. Jika 2.000 tahun yang lalu kasih ditunjukkan dengan memberi tumpangan, maka di masa sekarang ini, kasih dapat ditunjukkan dengan cara lain yang lebih relevan, yaitu kepada orang asing sekalipun, tidak hanya terbatas kepada saudara seiman.

Penulis kitab Ibrani bahkan menuliskan bahwa tanpa disadari, mungkin saja orang yang berbuat kasih tersebut sedang menjamu malaikat-malaikat (ay. 2b). Kata ini juga memang sulit dimengerti, apakah ada malaikat-malaikat yang datang menyamar? Tetapi jika di Perjanjian Lama memang banyak malaikat yang datang menemui orang-orang tertentu, dan di Perjanjian Baru juga ada tulisan mengenai malaikat yang datang dan berbicara kepada orang-orang kudus, maka tentu bukan suatu hal yang mustahil malaikat juga dapat diutus Tuhan untuk menguji tingkatan kasih yang dimiliki oleh orang percaya.

Selain itu jemaat juga diingatkan untuk selalu mengingat orang-orang hukuman, karena mereka sendiri pun sebenarnya terhitung sebagai orang-orang hukuman (ay. 3a). Kata “orang-orang hukuman” dalam Bahasa aslinya adalah desmios (δέσμιος) yang berarti one bound, a prisoner, a captive (orang yang terikat/terpasung, tahanan, tawanan). Kata ini menunjukkan kondisi orang yang tidak bebas karena ditahan oleh pemerintah Romawi pada waktu itu. Mereka sama sekali tidak ada yang memperhatikan, dan adalah salah satu tugas orang percaya untuk memperhatikan mereka.

Dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru, seakan-akan dikesankan bahwa jemaat pada waktu itu juga adalah orang-orang hukuman. Saya mencoba mencari tahu kata yang digunakan dalam bahasa aslinya yaitu syndedemenoi (συνδεδεμένοι) dari akar kata sundeó (συνδέω). Kata ini secara harafiah dapat diartikan terikat bersama (to bind together). Sehingga menurut saya, ayat ini lebih terpat dimaknai sebagai perintah untuk mengingat orang-orang yang menjadi tawanan atau tertindas, dan memiliki suatu “ikatan batin” dengan mereka. Memang mungkin juga jemaat pada waktu itu mengalami penindasan dan tekanan sehingga mereka dapat merasakan bagaimana beratnya beban yang ditanggung oleh orang-orang hukuman tersebut. Namun menurut saya, kata tersebut lebih tepat bermakna “turut merasakan” atau “turut sepenanggungan” dengan orang-orang hukuman.

Selain kepada orang-orang hukuman, jemaat juga diingatkan untuk mengingat orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang (ay. 3a). Kata ini juga dapat berarti dilukai, diperlakukan tidak adil, diperlakukan dengan salah. Hal ini menunjuk kepada orang-orang yang tidak berdaya sama sekali melawan ketidakadilan yang mereka terima. Bisa jadi orang ini adalah orang-orang yang lemah secara finansial, lemah secara politik, maupun lemah dalam hal lainnya. Jemaat diingatkan bahwa mereka masih hidup di dalam dunia, yaitu dunia yang penuh dengan orang-orang jahat, tamak, curang, dan segala bentuk kejahatan lainnya (ay. 3c). Sebenarnya, kita hanya sedang menunggu dunia yang baru, dimana Tuhan Yesus menjadi Raja dalam kerajaan-Nya yang kekal, dan tidak ada lagi dosa di dalamnya.

Penulis kitab Ibrani juga mengingatkan jemaat agar penuh hormat terhadap perkawinan dan jangan mencemarkan tempat tidur (ay. 4a). Jelas bahwa kekudusan pernikahan adalah suatu hal yang sangat sakral dan tidak patut untuk dinodai. Sejak masa Perjanjian Lama, perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan diatur dengan ketat dalam hukum Taurat. Menghormati perkawinan bukan saja tidak berselingkuh setelah menikah, tetapi juga menjaga diri supaya tidak melakukan apa yang tidak patut dilakukan sebelum pernikahan. Inilah pentingnya pendidikan karakter dan iman sejak dini supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak patut.
Satu hal yang perlu diingat adalah bahwa orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi oleh Allah (ay. 4). Terdapat 2 kata yang sudah sering kita bahas yaitu orang-orang sundal (pornos/πόρνος) dan pezinah (moichos/μοιχός). Jelas bahwa kedua jenis percabulan itu (baik moichos apalagi pornos) pasti akan dihakimi oleh Allah. Sebenarnya semua orang pun harus masuk ke dalam penghakiman Allah, termasuk orang benar sekalipun. Bedanya, orang yang melakukan pornos dan moichos berpotensi besar menerima hukuman dari Allah, apalagi jika mereka tidak bertobat dari kesalahan mereka selama masih hidup.
Sebenarnya setiap dosa pasti memiliki konsekuensi. Namun kematian Tuhan Yesus di atas kayu salib telah menghapus dosa seluruh dunia. Jika demikian, apakah semua orang bisa selamat? Tentu pertanyaan ini akan memancing perdebatan doktrinal yang tiada henti. Namun bagi saya, jika orang sungguh-sungguh bertobat dari dosa-dosanya, pastilah orang tersebut akan diampuni dosanya dan masuk ke dalam surga, seperti salah satu dari orang yang disalib di sisi Tuhan Yesus (Luk 23:43). Persoalannya adalah, dosa seksual ini (baik moichos maupun pornos) adalah dosa yang mengikat dan menagih serta membuat kecanduan. Sangat sulit bagi seseorang untuk dapat lepas dari dosa tersebut. Dibutuhkan komitmen yang kuat serta tuntunan Roh Kudus setiap hari untuk dapat mengatasi dosa ini. Jadi tanpa mengecilkan arti dosa-dosa yang lain, dosa percabulan ini sangat rawan untuk menyeret kita kepada hukuman yang kekal dalam pengadilan Allah nanti.
Di sini letak kesulitannya, karena kebanyakan orang akan berprinsip: “Sekali ini saja Tuhan, setelah itu saya akan bertobat”, atau “Nanti sebelum mati pasti saya akan bertobat”. Meskipun dosa moichos relatif lebih mudah “ditangani” daripada dosa pornos, namun jika tidak hati-hati orang yang sudah sering melakukan moichos juga akan bisa terikat sehingga akan melakukan dosa pornos. Ingat bahwa cara bekerja iblis tidaklah langsung menggoda melalui dosa besar. Iblis pasti memulai dengan dosa kecil: misalnya orang tidak akan langsung selingkuh dengan orang lain, tetapi mulai dari sms, chat, telepon, video call, bertemu, jalan bersama, hingga akhirnya tidur bersama. Jika tidak segera diakhiri, maka hal itu akan menjadi semakin parah dan dapat merusak hakekat pernikahan. Demikian juga orang yang suka datang ke tempat prostitusi, pada awalnya mungkin suka membaca cerita-cerita jorok, menonton film porno, kemudian mencoba datang ke panti pijat plus atau sejenisnya, dan pada akhirnya ketagihan hingga tidak bisa lepas dari jerat prostitusi.
Ingat bahwa semua pasti ada akhirnya. Ingat bahwa hidup ini adalah suatu anugerah dan kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemilik Hidup suatu saat nanti. Tuhan ingin agar kita memiliki hidup yang berkualitas tinggi, yang memuliakan nama-Nya dan menyukakan hati-Nya. Oleh karena itu, setiap kali kita melakukan dosa, ingatlah akan dosa kita tersebut, menyesallah dan bertobatlah. Buatlah komitmen kepada Tuhan untuk setiap hari menjadi lebih baik lagi dan lebih berkenan lagi di pemandangan-Nya. Tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni oleh Tuhan, tetapi setiap pertobatan butuh komitmen dan tindakan nyata, bukan hanya sekedar ucapan di mulut: “Saya bertobat”, tetapi kemudian kita terus berbuat dosa dan hidup dalam dosa itu lagi. Penghakiman Tuhan bukanlah penghakiman manusia di dunia ini yang masih bisa dibeli dan diselewengkan. Penghakiman Tuhan adalah penghakiman yang paling adil, dan setiap orang akan menerima apa yang patut diterimanya dalam kekekalan, sesuai dengan apa yang dilakukannya dalam hidup ini, entah baik maupun jahat (2 Kor 5:10).



Bacaan Alkitab: Ibrani 13:1-4
13:1 Peliharalah kasih persaudaraan!
13:2 Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.
13:3 Ingatlah akan orang-orang hukuman, karena kamu sendiri juga adalah orang-orang hukuman. Dan ingatlah akan orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, karena kamu sendiri juga masih hidup di dunia ini.
13:4 Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.