Kamis, 29 September 2011

Yang Telah Dipersatukan, Tidak Dapat Diceraikan

Sabtu, 1 Oktober 2011

Bacaan Alkitab: Matius 19:1-6

“… Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mat 19:6b)

Yang Telah Dipersatukan, Tidak Dapat Diceraikan

Hari ini, tanggal 1 Oktober 2011, adalah pernikahan seseorang yang sangat spesial bagi saya. Dia dapat dikatakan sebagai teman, sahabat, adik, bahkan anak rohani saya. Setelah berpacaran selama beberapa tahun, akhirnya ia mengambil keputusan untuk menikah dengan wanita pilihannya. Sungguh, saya sangat berbahagia dengan keputusan yang telah ia ambil, dan saya berdoa agar rumah tangganya yang baru ini tetap disertai Tuhan dalam kondisi apapun sehingga ia tetap dapat memimpin bahtera rumah tangganya melewati berbagai badai kehidupan yang ada di depan.

Pernikahan adalah salah satu kehendak Tuhan bagi manusia. Sejak manusia diciptakan di Taman Eden, Allah sudah merencanakan bahwa seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej 2:24). Kalimat yang sama dikutip lagi oleh Tuhan Yesus ketika orang Farisi datang kepadaNya dan menanyakan apakah mereka boleh menceraikan isteri dengan alasan apapun (ay. 3). Memang dahulu Musa pernah memberikan peraturan bahwa seorang laki-laki dapat menceraikan isterinya (Ul 24:1-4), sehingga orang Farisi mencoba untuk menjebak Yesus dengan pertanyaan mereka tadi.

Tapi apa jawaban Yesus sungguh luar biasa. Tuhan Yesus mengatakan bahwa dari semula Tuhanlah yang menciptakan manusia laki-laki dan perempuan, dan ketika mereka bersatu menjadi satu daging (dalam hal ini berarti menikah), itu pun adalah rencana Allah (ay. 4-5). Pernikahan bukanlah inisiatif dari manusia, tetapi dari Allah. Sama seperti Allah yang berinsiatif untuk menjadikan Hawa sebagai pasangan Adam, demikian juga Allah tetap menjadi pihak yang berinisiatif dalam sebuah pernikahan.

Oleh karena pernikahan adalah inisiatif Allah, maka tidak ada yang dapat menggugat apa yang Allah telah lakukan. Oleh karena itu, penting bagi setiap orang yang mau menikah untuk benar-benar meyakini bahwa orang yang nantinya akan menjadi pasangan mereka tersebut memang benar-benar pasangan yang diberikan Allah kepada mereka. Dengan kata lain, pernikahan hanya bisa terjadi jika ada kehendak Allah untuk mempersatukan kedua orang tersebut. Dan sekali pernikahan telah terjadi, maka di hadapan Allah, kedua orang tersebut telah dianggap menjadi satu, dan tidak boleh ada yang menceraikan apa yang telah dipersatukan oleh Allah (ay. 6).

Prinsip ini sebenarnya tidak hanya berlaku dalam pernikahan, tetapi juga dalam setiap hal. Apa yang telah disatukan Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia. Apa yang telah diberikan oleh Allah, tidak ada manusia yang dapat mengambilnya kembali, dan tentunya berlaku sebaliknya. Bukankah kita sering kali kuatir tentang masa depan kita? Kita sering bertanya “Mengapa sampai saat ini doa-doaku belum dijawab?” atau “Mengapa hingga umur saya yang sekarang ini saya belum menikah?”. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya kita serahkan kembali kepada Tuhan. Yakinlah bahwa jika Tuhan telah menetapkan sesuatu bagi kita, kita hanya tinggal mengimaninya dan menunggu waktu Tuhan saja untuk mendapatkan jawaban doa-doa tersebut. Ingatlah bahwa jika Tuhan telah berkata “ya”, maka apapun keadaan kita, apapun usaha orang lain, apapun hal yang terjadi, tidak akan mampu membuat Tuhan berubah dan mengatakan “tidak”.

Saya berharap bagi kita yang telah menikah, kita tetap mengingat bagaimana Tuhan telah campur tangan dalam kehidupan kita sehingga kita dapat menikah, dan sampai saat ini pun Tuhan tetap campur tangan dalam keluarga dan rumah tangga kita. Apapun persoalan rumah tangga yang kita hadapi, percayalah bahwa tidak ada yang mampu untuk menceraikan apa yang Tuhan telah persatukan. Bagi yang akan menikah, marilah kita yakin dan percaya bahwa pasangan kita adalah pasangan yang terbaik yang Tuhan berikan bagi kita, dan mantaplah menatap masa depan dengan percaya bahwa Tuhanlah yang berinisiatif membuat pernikahan ini dan Tuhan juga yang akan tetap menyertai pernikahan kita seterusnya. Bagi yang belum menikah, Tuhan mungkin masih mempersiapkan kita agar ketika saatnya nanti tiba, kita benar-benar siap untuk memasuki pernikahan tersebut. Atau mungkin memang Tuhan memanggil kita untuk tidak menikah (ay. 12). Memang kita tidak tahu masa depan kita seperti apa, namun satu hal yang kita percaya, Tuhan pasti memberikan yang terbaik bagi kita. Jika Tuhan telah membuka pintu, siapakah yang dapat menutupnya? Jika Tuhan telah mempersatukan, siapakah yang dapat menceraikan?

Bacaan Alkitab: Matius 19:1-6

19:1 Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan.

19:2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan mereka di sana.

19:3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?"

19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?

19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.

19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."

Jangan Sampai Terjadi Kekacauan

Jumat, 30 September 2011

Bacaan Alkitab: 1 Korintus 14:26-33

“Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.” (1 Kor 14:33)

Jangan Sampai Terjadi Kekacauan

Ketika saya pulang dari kantor menuju rumah, hampir setiap hari saya mengalami yang namanya kemacetan. Pada suatu waktu, saya sempat berpikir, apa sih sebenarnya penyebab kemacetan tersebut? Mengapa Jakarta ini selalu macet? Mungkin hanya pada saat lebaran saja jalanan di Jakarta agak sepi.

Saya kemudian mengamati perilaku pengguna jalan, mulai dari angkutan umum, mobil pribadi, sepeda motor, hingga pejalan kaki, hingga saya menemukan jawabannya dalam sebuah jawaban sederhana. Menurut saya, penyebab terjadinya kemacetan adalah karena masing-masing pengguna jalan tidak berada dalam posisi yang seharusnya. Angkutan umum berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang sesukanya, mobil yang pelan justru mengambil lajur paling kanan, sepeda motor yang seharusnya mengambil lajur paling kiri justru menyelip hingga ke tengah bahkan ke kanan, kendaraan yang menyerobot lampu merah, hingga penyeberang jalan yang menyeberang sesukanya.

Jika kita tidak suka adanya kemacetan atau kekacauan di sepanjang perjalanan kita menuju kantor atau menuju rumah, tentunya kita juga tidak suka adanya kekacauan di dalam jemaat. Dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus, Paulus mengingatkan jemaat Korintus untuk menciptakan suatu keteraturan dalam beribadah. Paulus tidak menginginkan adanya kekacauan dalam ibadah jemaat. Walaupun surat Paulus ini ditulis hampir 2000 tahun yang lalu, tetapi sesungguhnya inti dari tulisan ini masih relevan dalam kehidupan berjemaat kita di masa kini.

Pertama, Paulus meminta agar setiap orang dalam jemaat mempersembahkan sesuatu sesuai dengan karunia yang Tuhan telah berikan kepadanya (ay. 26a). Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa setiap orang tidak boleh hanya duduk diam dalam jemaat, tetapi harus melakukan sesuatu yang dapat membangun jemaat. Jika kita hanya dapat berdoa, maka lakukanlah bagian kita untuk berdoa. Jika kita memiliki suara yang bagus, maka mulailah ambil bagian menjadi paduan suara ataupun worship leader, dan seterusnya. Apa yang dapat kita lakukan, lakukanlah dengan sebaik-baiknya.

Kedua, apapun yang kita lakukan, bertujuan untuk membangun jemaat (ay. 26b). Setiap pelayanan yang kita lakukan, tidak boleh kita lakukan untuk kepentingan kita sendiri, atau bahkan supaya kita beroleh pujian dari orang lain. Biarlah segala kemuliaan hanya untuk Tuhan kita saja, dan jangan sampai kita mencuri kemuliaan Tuhan.

Ketiga, apa yang kita lakukan harus saling melengkapi jemaat lainnya (ay. 27 dan 29). Setiap jemaat memiliki karunia yang berbeda-beda sehingga kita harus saling mengisi dan melengkapi satu sama lainnya. Kita membutuhkan orang lain, dan orang lain membutuhkan kita, sehingga perlu adanya kesadaran bahwa apa yang kita lakukan haruslah dapat membantu jemaat lainnya yang membutuhkan.

Keempat, kita harus belajar untuk menahan diri jika diperlukan (ay. 28 dan 30). Kehidupan berjemaat bukan seperti kondisi di lingkungan kerja di mana setiap orang berlomba-lomba untuk menjadi pemimpin. Dalam jemaat, semua orang harus mampu memahami posisinya, dan jika memang dibutuhkan untuk diam beberapa saat, jemaat harus mampu menahan diri.

Tuhan ingin keteraturan dalam jemaat, bukan kekakuan dalam jemaat. Jemaat bebas mengekspresikan apapun yang Tuhan beri kepada mereka, namun tetap dengan memegang prinsip keteraturan, dan bukannya kekacauan. Bayangkan jika dalam suatu ibadah setiap jemaat merasa bahwa mereka mampu memberitakan Firman Tuhan, bisa-bisa semua saling berebut menjadi pengkhotbah, lalu siapa yang akhirnya menjadi pendengar Firman Tuhan? Atau jika setiap jemaat merasa dirinya memiliki suara yang paling bagus, lalu setiap jemaat menyanyikan lagu kesukaannya masing-masing, apa yang akan terjadi dalam ibadah tersebut? Bagaimana jika ada orang yang baru pertama kali datang ke ibadah dan melihat ibadah yang kacau seperti itu dapat merasakan hadirat Tuhan?

Mari kita lihat apa karunia yang Tuhan berikan dalam kehidupan kita yang dapat kita gunakan dalam kehidupan berjemaat. Jika memang kita diberi karunia untuk memperhatikan orang, manfaatkanlah itu untuk membangun jemaat. Jika memang kita diberi karunia untuk dalam hal tulis-menulis, manfaatkanlah itu untuk membuat tulisan-tulisan yang nantinya dapat menjadi berkat bagi jemaat lainnya. Apapun karunia yang Tuhan berikan bagi kita, kembangkanlah karunia itu, dan gunakan untuk membangun jemaat, pada tempat dan dengan cara yang seharusnya. Jika kita mengerti prinsip ini dan mau membangun jemaat di manapun kita masing-masing berada, pastilah Tuhan akan semakin memberkati jemaat tempat kita berada.

Bacaan Alkitab: 1 Korintus 14:26-33

14:26 Jadi bagaimana sekarang, saudara-saudara? Bilamana kamu berkumpul, hendaklah tiap-tiap orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur, yang lain pengajaran, atau penyataan Allah, atau karunia bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh, tetapi semuanya itu harus dipergunakan untuk membangun.

14:27 Jika ada yang berkata-kata dengan bahasa roh, biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang, seorang demi seorang, dan harus ada seorang lain untuk menafsirkannya.

14:28 Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah.

14:29 Tentang nabi-nabi -- baiklah dua atau tiga orang di antaranya berkata-kata dan yang lain menanggapi apa yang mereka katakan.

14:30 Tetapi jika seorang lain yang duduk di situ mendapat penyataan, maka yang pertama itu harus berdiam diri.

14:31 Sebab kamu semua boleh bernubuat seorang demi seorang, sehingga kamu semua dapat belajar dan beroleh kekuatan.

14:32 Karunia nabi takluk kepada nabi-nabi.

14:33 Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera.

Ketika Yesus Marah

Kamis, 29 September 2011

Bacaan Alkitab: Yohanes 2:13-17

“Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya.” (Yoh 2:15)

Ketika Yesus Marah

Dalam Injil, Tuhan Yesus digambarkan sebagai sosok manusia yang sempurna. Ia pintar menjawab pertanyaan dari orang Farisi dan ahli Taurat, Ia dapat menyembuhkan orang dan mengusir setan, Ia mengajar dengan perumpamaan-perumpamaan yang mampu dimengerti orang awam, Ia penuh kasih kepada orang lain, dan lain sebagainya. Namun, dalam bacaan kita kali ini, kita menemukan sosok Yesus yang sedikit berbeda dari biasanya. Ya, Yesus ternyata bisa marah juga. Walau tidak disebutkan dengan jelas bahwa Yesus marah, namun dari bacaan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa Yesus memang sedang marah besar saat itu.

Apa yang menyebabkan Yesus yang biasanya berkhotbah tentang kasih dapat marah luar biasa? Ternyata itu semua disebabkan karena Yesus melihat Bait Allah sudah dipenuhi dengan para pedagang hewan korban dan para penukar uang. Memang pada saat hari raya Paskah, orang Yahudi diwajibkan membawa hewan untuk dijadikan korban sembelihan di Bait Allah. Jika orang tersebut berasal dari kota yang jauh, memang tak mungkin membawa hewan dari kota tersebut ke Yerusalem. Bisa-bisa hewan tersebut mati di tengah jalan. Oleh karena itulah muncul para pedagang hewan yang menjajakan barang dagangannya di area Bait Allah untuk memudahkan orang Yahudi yang datang untuk mempersembahkan korban mereka.

Sepintas, sepertinya tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Namun di mata Tuhan, hal itu salah. Yesus tidak ingin Bait Allah menjadi seperti pasar. Yesus ingin agar Bait Allah tetap menjadi Bait Allah dengan tujuan semula, yaitu agar orang Yahudi dapat menyembah Allah di Bait Allah tersebut. Ketika marah itulah akhirnya Yesus membuat cambuk dari tali dan mengusir semua pedagang-pedagang tersebut dari Bait Allah (ay. 15). Bahkan meja-meja para pedagang pun dibalikkan oleh Yesus. Hal itu hanya mungkin terjadi jika Yesus marah terhadap kelakuan para pedagang tersebut.

Walaupun demikian, Alkitab menceritakan kepada kita bahwa Yesus marah bukan tanpa dasar yang jelas. Dalam ayat 17 dikatakan bahwa Yesus marah karena Ia sangat mencintai rumahNya, dalam hal ini adalah Bait Allah. Karena cintalah maka Yesus marah. Bahkan ketika marah pun Yesus memberikan solusi. Ia tidak hanya marah-marah tanpa adanya tindakan perbaikan. Ketika kondisi tidak sesuai dengan apa yang Yesus inginkan, Yesus marah tapi sekaligus bertindak dengan mengusir para pedagang-pedagang yang berjualan.

Sering kali kita marah kepada orang lain hanya karena masalah sepele. Kita marah karena isteri membuatkan teh yang terlalu manis, kita marah karena anak kita memecahkan gelas, kita marah karena anak buah kita tidak mau mendengarkan kita, dan seterusnya. Kita justru sering marah kepada orang-orang terdekat dengan kita, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya kita juga memiliki kesalahan. Kita sering memarahi orang lain dengan kata-kata yang keluar dari mulut kita, tanpa adanya tindakan dari kita untuk memperbaiki kekurangan yang terjadi.

Sesungguhnya Alkitab tidak melarang kita untuk marah. Marah adalah bagian dari emosi. Kita boleh marah, asal tidak menjadi pemarah, karena kasih itu tidak pemarah (1 Kor 13:5). Alkitab juga mengatakan bahwa ketika kita marah, jangan sampai kita berbuat dosa karena rasa marah yang ada dalam hati kita. Janganlah kita masih marah sampai matahari terbenam (Ef 4:26). Hal tersebut berarti dalam keadaan marah pun kita harus dapat mengendalikan diri kita agar kita tidak sampai berbuat dosa dalam kemarahan kita.

Salah satu peluang terjadinya dosa ketika kita marah adalah melalui kata-kata kita. Ketika kita marah, kita seringkali tidak dapat mengendalikan apa yang keluar dari mulut kita. Seringkali kita dengan spontan mengumpat ketika kita marah. Alkitab mengatakan bahwa kita harus cepat untuk mendengar tapi lambat untuk berkata-kata, dan lambat untuk marah (Yak 1:19). Dalam suratnya pun, Rasul Paulus mengatakan bahwa salah satu syarat bagi pelayan dalam pekerjaan Tuhan adalah tidak pemarah (1 Tim 3:3, Tit 1:7). Marilah kita melihat diri kita masing-masing. Adakah kita masih sering marah tanpa alasan yang jelas? Mari kita belajar menguasai diri kita, agar dalam kemarahan pun kita tidak melakukan dosa akibat kata-kata yang keluar dari diri kita, dan orang yang kita marahi juga dapat mengerti bahwa kita marah karena kita juga ingin orang yang kita marahi menjadi lebih baik lagi.

Bacaan Alkitab: Yohanes 2:13-17

2:13 Ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem.

2:14 Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ.

2:15 Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya.

2:16 Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: "Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan."

2:17 Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: "Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku."

Satu Jiwa Berharga di Mata Tuhan

Rabu, 28 September 2011

Bacaan Alkitab: Lukas 15:1-7

“Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?” (Luk 15:4)

Satu Jiwa Berharga di Mata Tuhan

Ketika saya membaca perikop ini, saya cukup terheran-heran, bagaimana mungkin seorang yang memiliki 100 domba mau meninggalkan 99 domba miliknya hanya untuk mengejar 1 domba yang hilang? Secara ilmu manajemen modern hal ini sangat tidak logis. Terlebih dengan kondisi masyarakat di kota-kota besar yang menjadi individualis, rasa-rasanya di zaman modern ini, kebanyakan orang akan membiarkan 1 domba hilang asalkan 99 domba yang dimilikinya tidak hilang. Buat apa mengejar 1 domba yang hilang dengan mengorbankan 99 domba lainnya? Tetapi itulah bedanya ajaran Yesus dengan prinsip dunia. Ketika dunia sangat memegang teguh prinsip ekonomi, Yesus mengajarkan bahwa di mata Tuhan, 1 domba itu sangat berharga.

Perumpamaan yang kita baca kali ini memiliki kesamaan dengan perumpamaan-perumpamaan lain di pasal ini, seperti misalnya perumpamaan tentang dirham yang hilang (Luk 15:8-10), serta perumpamaan tentang anak yang hilang (Luk 15:11-32). Semua perumpamaan tersebut menggambarkan bahwa di mata Tuhan, 1 jiwa sangat penting, dan sukacita akibat kembalinya 1 jiwa tersebut adalah sungguh luar biasa. Kebanyakan orang tidak mengerti akan prinsip ini, sama seperti orang Farisi dan ahli Taurat yang bersungut-sungut hanya karena Yesus makan bersama-sama dengan orang berdosa (ay. 2).

Dengan mengatakan perumpamaan ini, Yesus ingin mengubah pola pikir para orang Farisi dan ahli Taurat, di mana mereka berpikir bahwa Tuhan harusnya lebih memiliki banyak waktu dengan manusia yang “suci” seperti mereka, namun di mata Tuhan, adalah lebih baik jika Tuhan banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang berdosa yang mau bertobat. Orang Farisi dan ahli Taurat tidak mengerti tujuan kedatangan Yesus ke dunia. Mereka berpikir bahwa jika Yesus memang benar-benar Mesias, Yesus tidak mungkin bergaul dengan para pendosa. Padahal Yesus datang bukan untuk orang-orang yang telah “benar”, tetapi datang kepada orang-orang berdosa yang membutuhkan keselamatan (Mrk 2:17).

Demikianlah kita sebagai murid Yesus juga harus memiliki pandangan seperti Yesus. Bukankah kita sering seperti orang Farisi dan ahli Taurat yang tidak mengerti arti keselamatan jiwa-jiwa? Jika ada salah seorang jemaat di gereja kita yang mulai mundur, bagaimana sikap kita? Akankah kita membiarkan orang itu hilang? Ataukah kita berusaha sebisa mungkin melakukan segala sesuatu yang kita bisa lakukan agar orang tersebut dapat kembali kepada Tuhan? Ingat, di mata Tuhan, satu jiwa pun sangat berharga, bahkan dikatakan bahwa ketika ada satu orang yang bertobat, seluruh malaikat di surga akan bersukacita (ay. 7). Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki pola pikir seperti Yesus dalam kehidupan kita?

Bacaan Alkitab: Lukas 15:1-7

15:1 Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia.

15:2 Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: "Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka."

15:3 Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka:

15:4 "Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya?

15:5 Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira,

15:6 dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya serta berkata kepada mereka: Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dombaku yang hilang itu telah kutemukan.

15:7 Aku berkata kepadamu: Demikian juga akan ada sukacita di sorga karena satu orang berdosa yang bertobat, lebih dari pada sukacita karena sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan."

Selasa, 27 September 2011

Lari dari Dosa

Selasa, 27 September 2011

Bacaan Alkitab: Kejadian 39:1-12

“…Tetapi Yusuf meninggalkan bajunya di tangan perempuan itu dan lari ke luar.” (Kej 39:12b)

Lari dari Dosa

Saya kira hampir semua di antara kita pernah membaca kisah tentang Yusuf dan isteri Potifar. Yusuf sendiri ketika dibuang oleh saudara-saudaranya dan dijual kepada Potifar, akhirnya menjadi orang kepercayaan Potifar. Mengapa hal itu bisa terjadi, karena Tuhan menyertai Yusuf dan Tuhan membuat Yusuf berhasil melakukan segala sesuatu yang dikerjakannya (ay. 3). Semua hal dipercayakan kepada Yusuf, sehingga dikatakan bahwa Potifar tidak perlu mengatur apa-apa selain makanannya sendiri (ay. 6).

Selain dapat bekerja dengan baik, Yusuf pun dianugerahi wajah yang tampan dan sikap yang lembut. Wanita mana yang tidak jatuh hati kepada Yusuf, bahkan isteri Potifar pun yang pastinya secara materiil telah dicukupi, karena Potifar sendiri adalah kepala pengawal raja (Firaun) yang tentunya memiliki gaji yang cukup besar. Namun Yusuf terlalu sempurna bagi isteri Potifar sehingga ia pun menjadi berahi dengan Yusuf dan bahkan menggoda Yusuf untuk tidur dengannya.

Saya membayangkan diri saya berada dalam posisi Yusuf saat itu, dan berandai-andai apakah saya akan mampu bersikap seperti Yusuf? Ketika digoda oleh isteri Potifar, Yusuf memberikan jawaban yang luar biasa yaitu “Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada kekuasaanku, bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar kuasanya dari padaku, dan tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau isterinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?”. Yusuf sadar bahwa ia hanyalah hamba dari Potifar. Sungguhpun ia adalah hamba Potifar, tetapi Allah telah membuat Yusuf menjadi orang kepercayaan Potifar, sehingga seluruh isi rumah Potifar selain isteri Potifar ada di bawah kekuasaan Yusuf. Yusuf menyadari posisinya dan tidak mau mengambil apa yang bukan haknya. Semua itu dilakukan Yusuf karena Yusuf takut akan Allah.

Hal yang menarik adalah bahwa ketika isteri Potifar menggoda Yusuf dengan kata-kata, Yusuf belum lari, tetapi ia juga menolak dengan kata-kata (ay. 7-9). Ketika isteri Potifar mulai bertindak lebih jauh dengan tindakan yaitu memegang baju Yusuf, barulah Yusuf menolak dengan tindakan yaitu meninggalkan bajunya dan lari ke luar (ay. 12). Yusuf tidak lari ke dalam tetapi lari ke luar, menjauhi sumber dosa. Ia tidak pasif terhadap dosa, tetapi aktif menghindari dosa. Yusuf tahu kapan ia harus tetap menolak dengan kata-kata, dan tahu kapan ia harus lari ketika kata-kata penolakannya sepertinya sudah tidak didengarkan lagi oleh isteri Potifar.

Yusuf yang berani lari dari isteri Potifar agar tidak jatuh ke dalam dosa, memang harus kehilangan jabatannya sebagai kepala rumah tangga Potifar, bahkan dimasukkan ke dalam penjara. Namun akhirnya Tuhan memulihkan keadaan Yusuf, bahkan ia menjadi pemimpin bangsa Mesir. Yusuf yang dahulu adalah budak, bahkan seorang tahanan, dibuat Tuhan menjadi orang yang besar. Saya yakin apabila saat itu Yusuf tidak lari dari isteri Potifar, mungkin Yusuf tidak akan pernah bisa menjadi orang penting di Mesir.

Bagaimanakah dengan kita? Apakah selama ini kita tetap menghindari dosa? Takut akan Tuhan akan membuat kita mampu untuk melakukan apa yang benar menurut Tuhan. Ketika kita sadar Tuhan adalah Tuhan yang Maha Tahu, bahkan mengetahui apa yang kita lakukan di tempat yang tersembunyi sekalipun, kita akan berusaha untuk hidup dengan kudus di hadapan Tuhan. Hanya kita yang tahu hal-hal apa yang dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam dosa, maka, hindarilah hal-hal tersebut. Selama ini mungkin kita dapat menolak hal-hal tersebut, tetapi ketika lingkungan kita semakin menekan dan mempengaruhi kita untuk jatuh ke dalam dosa, mungkin sudah saatnya kita untuk lari dan berkata tidak kepada dosa. Lari dari dosa bukan berarti kita kalah, tetapi kita berusaha melakukan yang terbaik agar kita tidak jatuh ke dalam dosa yang akan mendukakan hati Tuhan.

Bacaan Alkitab: Kejadian 39:1-12

39:1 Adapun Yusuf telah dibawa ke Mesir; dan Potifar, seorang Mesir, pegawai istana Firaun, kepala pengawal raja, membeli dia dari tangan orang Ismael yang telah membawa dia ke situ.

39:2 Tetapi TUHAN menyertai Yusuf, sehingga ia menjadi seorang yang selalu berhasil dalam pekerjaannya; maka tinggallah ia di rumah tuannya, orang Mesir itu.

39:3 Setelah dilihat oleh tuannya, bahwa Yusuf disertai TUHAN dan bahwa TUHAN membuat berhasil segala sesuatu yang dikerjakannya,

39:4 maka Yusuf mendapat kasih tuannya, dan ia boleh melayani dia; kepada Yusuf diberikannya kuasa atas rumahnya dan segala miliknya diserahkannya pada kekuasaan Yusuf.

39:5 Sejak ia memberikan kuasa dalam rumahnya dan atas segala miliknya kepada Yusuf, TUHAN memberkati rumah orang Mesir itu karena Yusuf, sehingga berkat TUHAN ada atas segala miliknya, baik yang di rumah maupun yang di ladang.

39:6 Segala miliknya diserahkannya pada kekuasaan Yusuf, dan dengan bantuan Yusuf ia tidak usah lagi mengatur apa-apa pun selain dari makanannya sendiri. Adapun Yusuf itu manis sikapnya dan elok parasnya.

39:7 Selang beberapa waktu isteri tuannya memandang Yusuf dengan berahi, lalu katanya: "Marilah tidur dengan aku."

39:8 Tetapi Yusuf menolak dan berkata kepada isteri tuannya itu: "Dengan bantuanku tuanku itu tidak lagi mengatur apa yang ada di rumah ini dan ia telah menyerahkan segala miliknya pada kekuasaanku,

39:9 bahkan di rumah ini ia tidak lebih besar kuasanya dari padaku, dan tiada yang tidak diserahkannya kepadaku selain dari pada engkau, sebab engkau isterinya. Bagaimanakah mungkin aku melakukan kejahatan yang besar ini dan berbuat dosa terhadap Allah?"

39:10 Walaupun dari hari ke hari perempuan itu membujuk Yusuf, Yusuf tidak mendengarkan bujukannya itu untuk tidur di sisinya dan bersetubuh dengan dia.

39:11 Pada suatu hari masuklah Yusuf ke dalam rumah untuk melakukan pekerjaannya, sedang dari seisi rumah itu seorang pun tidak ada di rumah.

39:12 Lalu perempuan itu memegang baju Yusuf sambil berkata: "Marilah tidur dengan aku." Tetapi Yusuf meninggalkan bajunya di tangan perempuan itu dan lari ke luar.