Rabu, 31 Juli 2019

Pornos dan Moichos (31): Sulitnya untuk Bertobat


Rabu, 31 Juli 2019
Bacaan Alkitab: 2 Korintus 12:19-21
Aku kuatir, bahwa apabila aku datang lagi, Allahku akan merendahkan aku di depan kamu, dan bahwa aku akan berdukacita terhadap banyak orang yang di masa yang lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari kecemaran, percabulan dan ketidaksopanan yang mereka lakukan. (2 Kor 12:21)


Pornos dan Moichos (31): Sulitnya untuk Bertobat


Suka atau tidak suka, pertobatan adalah hal yang sulit. Kita tidak berbicara mengenai pertobatan dari percintaan dunia, atau pertobatan dari kesombongan. Jangankan bertobat atas hal-hal yang kelihatan abstrak dan tak terlihat seperti itu. Ketika kita bertobat dari kesalahan yang terlihat (misal: suka berkata kasar, mencuri, memukul orang), itu saja sangat sulit untuk dilakukan.

Paulus dengan kasihnya berusaha menasehati jemaat di Korintus supaya bertobat. Dia menulis 2 surat kepada jemaat di Korintus dengan total pasal sebanyak 26 pasal, paling banyak di antara jemaat-jemaat di kota lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa jemaat Korintus mendapat tempat penting di dalam hati Rasul Paulus. Surat-suratnya penuh dengan ketegasan, namun juga terkadang lembut seperti seorang Bapa yang sedang mendidik anaknya.

Bacaan Alkitab kita pada hari ini merupakan bagian akhir dari surat 2 Korintus, yang berarti bahwa Paulus sedang menulis beberrapa kalimat terakhirnya kepada jemaat Korintus. Dalam bagian akhir ini, Paulus berkata bahwa mungkin selama ini jemaat Korintus menyangka bahwa Paulus dan rekan-rekan sepelayannya sedang berusaha untuk membela diri di hadapan jemaat (ay. 19a). Mungkin saja ada pandangan bahwa Paulus sedang berusaha membela posisinya sebagai seorang rasul yang berwibawa.

Saya rasa, pemikiran ini cukup dapat saya maklumi, mengingat sejak dahulu (bahkan hingga kini) memang ada orang-orang tertentu yang sering menjual nama Tuhan bagi kepentingan dirinya sendiri. Tidak jarang orang yang terlihat rohani sekalipun sebenarnya sedang tidak membangun kerajaan Allah di dunia ini, tetapi justru memanfaatkan Allah untuk membangun “kerajaannya” sendiri.

Namun menghadapi kecurigaan, tuduhan, bahkan mungkin fitnah dari sebagian jemaat di Korintus, Paulus tetap tenang dan tetap bersikap bijaksana. Paulus menulis bahwa di hadapan Allah dan demi Kristus, segala hal yang dilakukan Paulus bagi jemaat di Korintus bukanlah untuk kepentingannya sendiri, melainkan semata-mata hanya untuk membangun iman mereka (ay. 19b). Dalam ayat-ayat sebelumnya juga disebutkan bagaimana Paulus sama sekali tidak mencari untung dari jemaat Korintus. Paulus melayani jemaat Korintus (dan juga jemaat lain) dengan memberikan hidupnya, bukan melayani hemaat untuk menikmati hidup.

Dalam ayat selanjutnya, Paulus sama sekali tidak mempermasalahkan tuduhan maupun fitnah yang harus ia terima dalam pelayanannya tersebut. Ia hanya memiliki satu kekuatiran terhadap jemaat Korintus, yaitu bahwa ketika ia dating kembali, ia tidak mendapati jemaat Korintus seperti yang ia inginkan (ay. 20a). Hal ini menunjukkan bahwa Paulus kuatir bahwa segala jerih lelahnya untuk mendidik jemaat Korintus supaya memiliki pola pikir yang benar bisa menjadi sia-sia jika mereka tidak bertumbuh secara proporsional.

Maksudnya, jika Paulus terus menerus belajar mengenai kebenaran dan belajar untuk hidup dalam kebenaran tersebut, sementara jemaat tidak mau belajar dan akhirnya “berhenti belajar” dan masuk ke dalam zona nyaman, maka ketika mereka bertemu lagi, posisi keduanya tidak akan berada di dalam level yang sama. Paulus sudah masuk ke level yang lebih tinggi lagi, tetapi jemaat tetap berada di level yang rendah. Jika demikian, mereka tidak akan dapat lagi saling memahami. Di mata Paulus, jemaat Korintus tidak seperti yang diingini, sementara di mata jemaat, Paulus sudah berbeda dengan Paulus yang dahulu mereka kenal (ay. 20b).

Kekuatiran Paulus nampak sangat nyata dengan bagaimana Paulus mengutip hal-hal yang sangat mungkin masih terjadi dalam jemaat di Korintus: perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, fitnah, bisik-bisikan, keangkuhan, dan bahkan kerusuhan (ay. 20c). Jelas bahwa jemaat Korintus menghadapi masalah yang tidak sederhana. Mungkin hal tersebut disebabkan karena belum adanya kesehatian dan kesamaan pola pikir, sehingga masih ada perselisihan, bahkan iri hai di antara mereka. Bayangkan jika para pemimpin jemaat di Korintus saling iri satu dengan yang lain, maka pada akhirnya khotbah hanya diisi dengan amarah, saling menjatuhkan, fitnah, dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya, jemaat juga yang akan menjadi korban karena bisa terjadi “perang” atau kerusuhan di dalam jemaat.

Paulus juga kuatir bahwa apabila ia dating kembali ke kota Korintus, Allah akan merendahkan dirinya di depan jemaat Korintus (ay. 21a). Kalimat ini digunakan Paulus untuk menunjukkan bagaimana nanti Paulus dapat dipandang “gagal” oleh Allah dalam mendidik jemaat Korintus karena mereka tidak mau bertobat. Paulus akan berdukacita terhadap orang-orang yang dahulu berbuat dosa dan hingga saat ini belum bertobat (ay. 21b). Harapan Paulus dan tentu juga keinginan Tuhan adalah supaya semua orang diselamatkan. Namun proses keselamatan ini bergantung pada respon manusia yang harus memilih apakah mereka masih hidup dalam dosa, ataukah sudah bertobat dan meninggalkan dosa-dosanya yang dahulu pernah mereka perbuat.

Hari ini kita akan melihat setidaknya ada 3 jenis dosa yang umum dilakukan oleh orang-orang di dalam jemaat Korintus. Dosa-dosa ini tentu saja terkait dengan kondisi dan latar belakang kota Korintus sendiri dimana mereka hidup, mungkin sejak masa kecilnya. Suka atau tidak suka, kondisi lingkungan pastilah berpengaruh terhadap masyarakat yang hidup di dalamnya. Hal itu pasti akan mempengaruhi secara fisik maupun non fisik, termasuk kebiasaan, pola pikir, dan nilai-nilai yang mereka pandang penting.

Ada tiga hal yang menjadi concern Paulus dalam ayat ini yaitu: kecemaran, percabulan, dan ketidaksopanan (ay. 21c). Saya berpendapat bahwa hal ini sedikit banyak pasti terkait dengan kondisi di kota Korintus, yang antara lain terdapat kuil dengan praktik pelacuran di dalamnya. Kata “kecemaran” misalnya, dalam bahasa aslinya menggunakan kata akatharsia (ἀκαθαρσία). Kata ini bermakna kecemaran (uncleanness) atau ketidakmurnian (impurity). Kata ini dapat bermakna kecemaran secara fisik semisal kotor karena sampah, kotoran, atau hal yang najis (bandingkan dengan Mat 23:27 yang di Alkitab kita diterjemahkan dengan kata “kotoran”, namun juga dapat bermakna kecemaran secara moral/non fisik, seperti kecemaran dari hawa nafsu, keduniawian, kemewahan, atau ketamakan (misal: Ef 4:19). Kata yang sama juga digunakan untuk motivasi atau maksud-maksud yang tidak murni (1 Tes 2:3).

Saya sendiri berpendapat bahwa maksud kata “kecemaran” di ayat 21 ini lebih berbicara tentang bagaimana pengaruh dan nilai-nilai duniawi yang selama ini dianut oleh sebagian besar penduduk Korintus, dapat masuk ke dalam jemaat Korintus. Hal ini sudah kita bahas dalam renungan-renungan terdahulu, misalnya bagaimana ada jemaat yang tinggal dengan istri ayahnya, melakukan percabulan yang tidak pantas, dan lain sebagainya. Belum lagi dari sifat-sifat perselisihan dan iri hati yang mungkin selama ini menjadi salah satu kebiasaan yang terjadi di kota tersebut. Semua merujuk kepada satu kesimpulan, bahwa jemaat di kota Korintus memiliki kerawanan untuk tercemar akan nilai-nilai yang buruk, bahkan yang jahat, yaitu yang tidak sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.

Kata kedua yang akan kita bahas adalah “percabulan”, yang dalam bahasa aslinya adalah porneia (πορνεία). Hal ini sudah kita bahas secara khusus dalam serial renungan ini, dan kita dapat melihat  bagaimana jemaat Korintus sangat mudah jatuh pada dosa yang satu ini. Namun untuk hal ini, saya mencoba melihat dari sudut pandang yang lain. Sebenarnya jika kita tahu dimana titik lemah kita, maka kita akan lebih mudah untuk memperbaiki dan menjaganya supaya titik tersebut tidak lagi menjadi titik lemah kita. Sebagai contoh, seorang atlet badminton yang menyadari bahwa ia lemah di dalam pertahanan, maka ia seharusnya akan lebih banyak melakukan latihan bertahan untuk menutupi kelemahannya (disamping tentu ia juga harus meningkatkan aspek lainnya).

Dalam hal percabulan,  tentu seharusnya mereka tahu bahwa hal itu dapat menjadi suatu titik lemah mereka yang harus mereka perbaiki. Namun demikian, sangat mungkin bahwa pemimpin jemaat yang dipercaya untuk memimpin dan menggembalakan jemaat Korintus, tidak peka terhadap hal ini. Mereka mungkin tidak sadar bahwa hal itu dapat membuat celah yang menyeret banyak jemaat ke dalam percabulan. Sebagai contoh, orang tua yang dahulu memiliki latar belakang hamil sebelum menikah, seharusnya menjaga anak-anaknya supaya tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang mereka lakukan dahulu. Namun pada kenyataannya, lebih banyak orang tua macam ini yang justru tidak menjaga titik lemahnya, khususnya membentengi anak-anaknya, sehingga pada akhirnya ketika anak-anaknya dewasa, mereka justru mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan orang tuanya. Sedihnya, hal ini dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Orang tua berpikir: “Wajar anak saya seperti itu, karena dahulu saya pun juga melakukan hal yang sama”. Sebaliknya anak berpikir: “Selama ini orang tua saya tidak pernah mengingatkan, sehingga saya pikir hal itu wajar-wajar saja saya lakukan, toh apa yang saya tidak lebih buruk dari apa yang orang tua saya lakukan”. Hal ini juga yang mungkin terjadi di dalam jemaat Korintus, sehingga Paulus harus kembali menekankan hal ini dalam akhir suratnya kepada jemaat di Korintus.

Kata ketiga adalah “ketidaksopanan” yang dalam bahasa aslinya digunakan kata aselgeia (ἀσέλγεια). Kata ini memiliki makna licentiousness, wantonness, outrageous conduct, conduct shocking to public decency, a wanton violence, violent spite which rejects restraint and indulges in lawless insolence, lasciviousness (ketidaksenonohan, kenakalan, kelakuan yang tidak patut, kelakuan yang mengejutkan terhadap kesopanan umum, tindakan kekerasan yang sewenang-wenang, dendam dan kekerasan yang tidak terkendali yang dilakukan sesuka hati serta dengan keangkuhan yang melanggar hukum, tindakan yang menimbulkan nafsu birahi). Kata “ketidaksopanan” ini sangat mungkin terkait dengan 2 kata sebelumnya, sehingga kemungkinan memiliki makna melakukan tindakan yang menimbulkan nafsu birahi, selain tindakan nakal atau kekerasan secara umum.

Jadi, jemaat Korintus tidak hanya menghadapi ancaman dari nilai-nilai duniawi yang selama ini dianut oleh sebagian besar penduduk Korintus, antara lain praktik percabulan yang sudah merusak sendi kehidupan keluarga serta sikap-sikap tidak sopan yang tidak patut karena melanggar norma-norma umum. Hal ini tentu akan berdampak kepada karakter jemaat Korintus yang harus dapat berjuang melawan hal-hal yang jahat. Mereka setiap hari tinggal dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang sudah cemar, sehingga ketika Paulus menekankan kekudusan, maka itu bukanlah hal yang terlihat sederhana. Perjuangan dan peperangan rohani harus mereka lakukan setiap hari supaya dapat berkenan di hadapan Allah.

Bagi mereka yang dahulu sudah pernah jatuh ke dalam dosa, seperti dosa percabulan, maka akan sangat sulit untuk dapat sungguh-sungguh bertobat. Mungkin mereka pun akan jatuh bangun dalam pertobatan mereka. Akan ada pengaruh buruk yang terus menerus mencoba menjatuhkan orang percaya yang hendak bertobat, sehingga dibutuhkan komitmen yang kuat dan kerja keras dalam melakukan pertobatan tersebut. Itulah sebabnya, Paulus sangat kuatir bahwa banyak jemaat Korintus akan berguguran. Namun barang siapa yang mampu bertahan sampai akhir pasti akan memperoleh mahkota yang abadi.




Bacaan Alkitab: 2 Korintus 12:19-21
12:19 Sudah lama agaknya kamu menyangka, bahwa kami hendak membela diri di depan kamu. Di hadapan Allah dan demi Kristus kami berkata: semua ini, saudara-saudaraku yang kekasih, terjadi untuk membangun iman kamu.
12:20 Sebab aku kuatir, bahwa apabila aku datang aku mendapati kamu tidak seperti yang kuinginkan dan kamu mendapati aku tidak seperti yang kamu inginkan. Aku kuatir akan adanya perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, fitnah, bisik-bisikan, keangkuhan, dan kerusuhan.
12:21 Aku kuatir, bahwa apabila aku datang lagi, Allahku akan merendahkan aku di depan kamu, dan bahwa aku akan berdukacita terhadap banyak orang yang di masa yang lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari kecemaran, percabulan dan ketidaksopanan yang mereka lakukan.

Selasa, 30 Juli 2019

Pornos dan Moichos (30): Belajarlah dari Kegagalan Bangsa Israel


Selasa, 30 Juli 2019
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 10:1-11
Janganlah kita melakukan percabulan, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga pada satu hari telah tewas dua puluh tiga ribu orang. (1 Kor 10:8)


Pornos dan Moichos (30): Belajarlah dari Kegagalan Bangsa Israel


Harus dipahami bahwa sebagian besar jemaat mula-mula termasuk jemaat di kota Korintus, berasal atau diawali dari bangsa Yahudi. Memang ada sebagian jemaat yang bukan merupakan orang Yahudi, tetapi pada waktu itu, mayoritas jemaat tetap adalah orang Yahudi. Oleh karena itu, sangat wajar jika di banyak surat di dalam Perjanjian Baru, ada disinggung mengenai contoh bangsa Yahudi/Israel di dalam Perjanjian Lama. Bahkan bagi orang-orang non-Yahudi, mereka pada umumnya pernah mendengar kisah mengenai kehidupan bangsa Israel secara umum atau secara garis besar.

Dalam hal ini, Paulus di dalam perikop ini memulai tulisannya dengan kisah nenek moyang (yaitu bangsa Israel) yang telah dilindungi oleh Allah bahkan dengan cara yang ajaib yaitu melintasi laut yaitu Laut Merah atau Laut Kolsom (ay. 1). Peristiwa ini mungkin menjadi salah satu kisah yang sering dibanggakan oleh orang Yahudi, mengenai bagaimana Allah menolong mereka dari musuh mereka yaitu bangsa yang lalim dan kafir (bangsa Mesir). Terlebih dalam konteks Perjanjian Baru, dimana pada saat itu bangsa Yahudi yang merupakan keturunan langsung dari bangsa Israel di Perjanjian Lama sedang dijajah oleh bangsa Romawi. Mereka tentu sering membahas mengenai bagaimana cara Allah menyelamatkan umat pilihan-Nya di Perjanjian Lama dengan cara yang ajaib, dan tentu saja mereka juga berharap agar Allah juga dapat mengalahkan “musuh” mereka yaitu bangsa Romawi itu, sehingga bangsa Yahudi menjadi bangsa yang besar kembali.

Namun Paulus tidak meneruskan kisah keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir itu dengan sudut pandang yang biasa. Paulus menunjukkan bahwa walaupun bangsa Israel sudah ditolong Tuhan dengan cara yang ajaib, yaitu dengan membuat laut terbelah sehingga mereka dapat berjalan menyeberang di dasar laut, bahkan juga menerima makanan dan minuman dengan cara yang ajaib (manna dan air dari batu karang),  tetapi mereka semua (hampir semua kecuali Yosua dan Kaleb) pada akhirnya mati di padang gurun (ay. 2-5).

Ada apa dengan bangsa Israel waktu itu? Tidakkah Tuhan berkenan kepada mereka karena sudah membuat begitu banyak mujizat kepada mereka? Ya tentu saja Tuhan sudah merencanakan untuk menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir dan membawa mereka masuk ke dalam Tanah Perjanjian. Namun bukan karena tangan Tuhan yang kurang berkuasa membawa mereka untuk masuk ke dalam Tanah Perjanjian, melainkan karena kesalahan merekalah pada akhirnya hampir semua orang yang keluar dari Mesir harus mati di padang gurun.

Apakah kesalahan bangsa Israel hingga Tuhan begitu murka kepada mereka? Jika kita mengacu kepada tulisan Paulus dalam perikop ini, setidaknya ada 4 kesalahan utama yang dilakukan oleh bangsa Israel, yaitu:

Pertama, mereka menjadi penyembah berhala (ay. 7a). Perlu dipahami bahwa hampir semua ayat di dalam perikop ini memiliki referensi ayat di dalam Perjanjian Lama. Oleh karena itu, jika kita melihat Alkitab versi cetak yang kita miliki, kita akan menemukan bahwa ayat 7 ini memiliki referensi dalam Perjanjian Lama yaitu Kel 32:6 yang secara umum tertulis demikian: “Maka duduklah bangsa itu untuk makan dan minum; kemudian bangunlah mereka dan bersukaria.” (ay. 7b).

Jika kita membaca konteks ayat di dalam Keluaran pasal 32 tersebut, kita akan mengerti bahwa pada waktu itu bangsa Israel makan dan minum serta bersukaria bukan karena mereka bersuka atas penyertaan Allah. Pada waktu itu mereka berpesta karena mereka baru saja membuat patung lembu tuangan dan menjadikan patung itu sebagai “allah” mereka (Kel 32:1-5). Jelas bahwa hal ini adalah suatu sikap yang jahat di mata Tuhan, apalagi bangsa Israel juga telah menerima 10 Hukum yang di dalamnya termuat perintah untuk tidak membuat patung apapun dan menyembah kepadanya (Kel 20:1-5).

Kedua, mereka melakukan percabulan (ay. 8a). Kata “percabulan” yang digunakan di ayat ini adalah porneuōmen (πορνεύωμεν) dari akar kata porneuó (πορνεύω). Ingat bahwa kata ini (termasuk kata dasar dan kata turunannya) sudah sangat sering digunakan oleh Rasul Paulus di dalam kitab 1 Korintus. Sekilas kita mungkin berpikir, “Oh, mungkin waktu itu ada orang Israel yang melakukan percabulan atau perzinahan”. Namun demikian, kita melihat  bahwa bagian kedua ayat ini berbicara tentang hukuman Allah atas kesalahan mereka, sehingga pada satu hari, ada sebanyak 23.000 orang Israel yang tewas (ay. 8b).

Ayat 8 ini sebenarnya memiliki referensi di Perjanjian Lama yaitu Bil 25:1-18. Perikop tersebut berbicara mengenai dosa bangsa Israel yang menyebabkan matinya 24.000 orang (Bil 25:9). Hendaknya kita tidak mempermasalahkan selisih 1.000 orang yang disebutkan, namun marilah kita melihat esensinya, yaitu dosa atau kesalahan apakah yang dilakukan oleh bangsa Israel pada waktu itu.

Jelas bahwa dosa bangsa Israel dalam konteks ini adalah karena mereka menyembah Baal-Peor, yaitu allah yang disembah oleh orang-orang Moab. Karena perbuatan bangsa Israel (sebenarnya lebih tepatnya, sebagian bangsa Israel) inilah maka Allah menghukum mereka dengan tulah. Allah memerintahkan agar orang Israel yang masih setia kepada-Nya untuk membunuh orang Israel yang telah menyembah Baal-Peor.

Sekilas, kesalahan bangsa Israel hampir mirip dengan poin pertama, yaitu menyembah berhala atau menyembah allah lain. Namun demikian, perhatikan ayat 1 dari perikop Bilangan pasal 25 ini. Awal mula bangsa Israel mulai tergoda untuk menyembah allah lain adalah karena ketika bangsa Israel tinggal di daerah Sitim, mulailah bangsa Israel berzinah dengan perempuan-perempuan Moab (Bil 25:1). Akibat dari hal tersebut, mereka mulai terpengaruh dengan perempuan-perempuan Moab itu dan mulai mempersembahkan korban kepada Baal-Peor (Bil 25:2).

Saya tergelitik untuk mencari tahu bahasa asli dari kata “perzinahan” yang digunakan di dalam Bil 25:1 tersebut. Dalam bahasa aslinya (bahasa Ibrani), digunakan kata לִזְנ֖וֹת (liz·nō·wṯ) dari akar kata zanah (זָנָה). Saya berpendapat bahwa kata zanah dalam bahasa Ibrani ini menjadi asal mula kata zinah yang kita kenal di dalam bahasa Indonesia. Kata zanah ini dapat diterjemahkan sebagai “to commit fornication, be a harlot” (melakukan perbuatan zinah, persundalan, menjadi pelacur). Ada terjemahan bahasa Inggrisyang menggunakan kalimat “the people began to play the harlot” (mulailah bangsa itu bermain dengan para pelacur).

Saya yakin wanita-wanita dari bangsa Israel tidaklah kalah cantik dengan bangsa-bangsa lain. Saya pun tidak habis pikir bagaimana sejumlah laki-laki dari bangsa Israel bisa tergoda oleh perempuan-perempuan Moab hingga mereka sampai berbuat perzinahan. Tindakan tersebut tidak ada untungnya sama sekali, karena ternyata tindakan yang mungkin dimulai dengan sikap main-main tersebut, pada akhirnya mendatangkan konsekuensi yang tragis. Orang-orang Israel ini pada awalnya mungkin hanya menggoda perempuan-perempuan Moab, tetapi pada akhirnya mereka terperangkap dalam lubang yang mereka gali sendiri. Mereka akhirnya berpaling dari Allah (Elohim Yahweh) dan kemudian menyembah Baal-Peor. Sangat disayangkan, tindakan percabulan ini membuat mereka binasa sebelum dapat masuk ke dalam Tanah Perjanjian. Memang tidak dijelaskan apakah laki-laki yang melakukan perzinahan dengan bangsa Moab ini sudah memiliki istri (dari bangsa Israel) atau tidak. Namun yang jelas perbuatan itu jelas salah di mata Tuhan, baik bagi mereka yang belum menikah, apalagi yang sudah menikah namun justru bersundal dengan perempuan-perempuan dari bangsa asing.

Ketiga, mereka mencobai Tuhan (ay. 9a). Referensi dari ayat ini adalah ketika sebagian bangsa Israel harus mati karena dipagut ular (ay. 9b). Hal ini merujuk kepada tindakan bangsa Israel yang berkata-kata melawan Musa dan juga Allah (Bil 21:5-6). Menarik mengapa Paulus dalam Perjanijan Baru menggunakan kata “mencobai Tuhan” sementara di dalam Perjanjian Lama, lebih ditekankan mengenai ucapan bangsa Israel yang “melawan Allah”.

Untuk lebih memahami akan hal ini, kita akan mencoba melihat bahasa asli dari kata “mencobai Tuhan” ini yaitu kata ekpeirazó (ἐκπειράζω) yang merupakan gabungan dari 2 kata yaitu ek dan peirazó. Kata ekpeirazó ini juga digunakan dalam ayat lainnya seperti Mat 4:7 & Luk 4:12 (yang diucapkan Tuhan Yesus kepada iblis ketika Ia dicobai di padang gurun) serta Luk 10:25 (yang dilakukan oleh seorang ahli Taurat yang ingin mencobai Tuhan Yesus). Sementara itu kata peirazó sendiri pada dasarnya memiliki makna “to try, tempt, test” (mencoba/mencobai, menggoda, menguji). Namun demikian kata peirazó juga dapat memiliki makna tambahan antara lain “to inflict evils upon one in order to prove his character and the steadfastness of his faith” yaitu untuk menimbulkan/memunculkan kejahatan pada seseorang untuk membuktikan karakter dan keteguhan/kekuatan imannya (jika digunakan oleh Tuhan sebagai subyeknya kepada manusia sebagai obyeknya). Namun kata ini juga dapat digunakan oleh manusia (sebagai subyek) kepada Tuhan (sebagai obyek). Jika demikian, maka manusia mencobai Tuhan dengan menunjukkan ketidakpercayaannya, sebagaimana mereka mencoba untuk membuktikan apakah Tuhan memang tidak dapat dipercaya. Manusia juga dapat mencobai Tuhan dengan tindakan-tindakan yang jahat untuk menguji keadilan dan kesabaran Tuhan. Bahkan manusia dapat menantang Tuhan untuk memberi bukti dari kesempurnaan-Nya.

Tindakan mencobai Tuhan ini adalah tindakan yang sangat parah dan sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan oleh mereka yang mengaku beragama dan beriman. Dalam konteks tindakan manusia yang mencobai Tuhan, kata peirazó ini juga digunakan di ayat-ayat lain seperti Kis 5:9 (kisah Ananias dan Safira yang terkenal), Kis 15:10, dan juga Ibr 3:9. Jelas bahwa kata peirazó ini jika digunakan oleh manusia kepada Tuhan, merupakan suatu tindakan yang sangat jahat di mata Tuhan.

Jika kita melihat referensi di dalam Perjanjian Lama, maka kita menemukan bahwa ayat 9 ini terkait dengan Bil 21:5-6 yang berbunyi demikian: Lalu mereka berkata-kata melawan Allah dan Musa: "Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak." Lalu TUHAN menyuruh ular-ular tedung ke antara bangsa itu, yang memagut mereka, sehingga banyak dari orang Israel yang mati (Bil 21:5-6). Sekilas jika kita hanya membaca ayat 5-6 di atas, kita akan heran: Bukankah mereka hanya sekedar berkata-kata melawan Allah dan Musa karena mereka sudah muak dengan manna yang diberikan Allah? Apa hubungannya dengan mencobai Tuhan?

Mari kita mundur sedikit dan membaca ayat sebelumnya yaitu ayat 4. Dalam Bil 21:4 dituliskan demikian: Setelah mereka berangkat dari gunung Hor, berjalan ke arah Laut Teberau untuk mengelilingi tanah Edom, maka bangsa itu tidak dapat lagi menahan hati di tengah jalan (Bil 21:4). Perhatikan bahwa bangsa Israel setelah berangkat dari gunung Hor, kemudian kembali lagi ke arah Laut Teberau/Laut Merah/Laut Kolsom yang mereka lewati ketika keluar dari Mesir. Hal ini lebih jelas lagi dalam ayat parallel yang berbunyi demikian: Kemudian kita balik dan berangkat ke padang gurun, ke arah Laut Teberau, seperti yang difirmankan TUHAN kepadaku. Lama kita berjalan keliling pegunungan Seir (Ul 2:1). Jika kita memperhatikan perjalanan bangsa Israel, ada masa dimana Allah menyuruh bangsa Israel untuk kembali ke padang gurun padahal sedikit lagi mereka sudah masuk ke dalam Tanah Perjanjian. Hal itu adalah hukuman bagi bangsa Israel karena tidak percaya Allah akan memimpin bangsa Israel melawan para penduduk Kanaan yang bertubuh besar (hal ini dapat dibaca di keseluruhan pasal dalam Ul 1:1-46).

Jadi jelaslah bahwa pada waktu itu bangsa Israel disuruh untuk masuk ke Kanaan, dengan terlebih dahulu mengutus 12 mata-mata (seorang mata-mata dari setiap suku). Setelah mata-mata tersebut kembali, mereka justru memperoleh kabar yang menakutkan mengenai kekuatan bangsa-bangsa di Kanaan, sehingga hampir semua bangsa Israel ingin kembali lagi ke Mesir. Musa, Yosua dan Kaleb mencoba menenangkan bangsa Israel namun gagal. Akhirnya Allah murka dan berkata bahwa semua orang yang keluar dari Mesir kecuali Yosua dan Kaleb akan mati di padang gurun. Anehnya mendengar firman demikian, bangsa Israel justru malah ingin maju menyerang Kanaan meskipun saat itu Allah sudah tidak memerintahkan mereka untuk maju, dan justru memerintahkan bangsa Israel untuk kembali ke arah padang gurun/Laut Teberau (yang merupakan langkah mundur bagi mereka). Bangsa Israel kemudian dikalahkan oleh bangsa Kanaan karena mereka maju dengan kekuatan sendiri (bukan atas perintah Allah), dan kemudian berputar-putar di padang gurun selama 40 tahun lamanya sebagai hukuman atas kesalahan mereka.

Hal tersebut yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa di Bil 21:5-6 itu. Bangsa Israel saat itu sedang menjalani hukuman Tuhan yang sangat membosankan. Mereka mungkin lambat laun menjadi marah atas kebodohan dan kesalahan mereka sendiri, namun justru mencoba menyalahkan Tuhan dan Musa. Mereka tahu bahwa mereka salah dan sedang menjalani hukuman mereka (sambal menunggu kematian mereka di padang gurun). Namun mereka justru menjadi lebih berani menantang Tuhan dengan kalimat: “Mengapa kamu memimpin kami keluar dari Mesir? Supaya kami mati di padang gurun ini? Sebab di sini tidak ada roti dan tidak ada air, dan akan makanan hambar ini kami telah muak” (Bil 21:5). Oleh karena itu, dalam hal ini kesalahan bangsa Israel bukan hanya saja bersungut-sungut, tetapi jika dilihat dari konteks dan latar belakang kejadian tersebut, mereka lebih kepada mencobai Tuhan. Mereka sudah tahu akan kesalahan mereka, dan sudah menjalani sebagian hukuman mereka, tetapi di tengah-tengah hukuman tersebut mereka masih menantang Tuhan. Tidak heran pada waktu itu Tuhan begitu murka dan menghukum mereka lagi dengan hukuman tambahan, yaitu ular-ular tedung yang memagut mereka sehingga banyak di antara mereka yang mati (Bil 21:6).

Keempat, mereka bersungut-sungut (ay. 10a). Referensi ayat 10 ini dalam Perjanjian Lama adalah Bil 16:41-49 yang menceritakan mengenai peristiwa pemberontakan Korah, Datan, dan Abiram kepada Musa dan Harun. Saat itu, Tuhan begitu murka terhadap pemberontakan tersebut sehingga tanah terbuka dan orang-orang yang memberontak turun hidup-hidup ditelan bumi (Bil 16:1-40). Anehnya, keesokan hari setelah peristiwa itu, justru orang-orang Israel datang kepada Musa dan Harun di depan kemah pertemuan lalu bersungut-sungut kepada Musa dan Harun serta berkata: “Kamu telah membunuh umat Tuhan”.

Hal ini menarik dan menimbulkan pertanyaan, karena sebenarnya bukan Musa dan Harun yang membunuh Koran, Datan, Abiram, dan para pengikutnya, tetapi adalah Tuhan sendiri yang menghukum orang-orang tersebut. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa sungut-sungut orang Israel sebenarnya salah alamat dan tidak tepat. Kata bersungut-sungut dalam ayat 10 ini menggunakan kata gogguzó (γογγύζω) yang dapat berarti “to mutter, murmur, whisper, grumble (generally of smoldering discontent)” (menggerutu, bersungut-sungut, berdesus-desus, mengeluh, umumnya karena adanya ketidakpuasan yang menyala/meluap/membara).

Jadi semakin jelas bahwa pada saat itu, bangsa Israel mungkin sudah sangat merasa muak dengan cara Musa memimpin mereka yang sepertinya tidak jelas arahnya. Terkadang mereka maju, terkadang berputar, dan justru yang terakhir malah berputar-putar tidak jelas selama hampir 40 tahun (meskipun itu adalah konsekuensi dari kesalahan bangsa Israel sendiri). Dalam kondisi ketidakpuasan tersebut, peristiwa Korah, Datan, dan Abiram membuat rasa kesal dari sebagian bangsa Israel menjadi memuncak dan akhirnya mereka bersungut-sungut dan malah menyalahkan Musa. Harusnya mereka bersyukur bahwa mereka masih bisa selamat, tidak bernasib seperti Korah, Datan, dan Abiram. Namun karena tipikal bangsa Israel yang keras kepala, mereka justru melakukan tindakan yang lebih bodoh lagi.

Saat itu, Tuhan pun begitu murka, sehingga tiba-tiba saja terjadi tulah di antara bangsa Israel dimana orang Israel tiba-tiba mati begitu saja (Alkitab tidak menuliskan bahwa mereka mati karena tebasan pedang, gigitan ular, atau bahkan karena jatuh tanah yang terbuka dan menelan mereka hidup-hidup) (Bil 16:45-50). Musa kemudian memerintahkan Harun untuk membawa perbaraan dari kemah pertemuan untuk meredakan murka Tuhan. Meskipun pada akhirnya tulah tersebut berhenti, namun telah ada sekitar 14.700 orang Israel yang mati karena tulah Tuhan yang tiba-tiba tersebut.

Jadi, pelajaran apa yang harus kita ambil dari contoh bangsa Israel yang telah diberikan oleh Rasul Paulus dalam tulisannya itu? Semua hukuman tersebut telah menimpa bangsa Israel sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba (ay. 11). Singkatnya, mari berjuang mendandani manusia batiniah kita supaya hidup kita berkenan di hadapan-Nya. Jangan ulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh bangsa Israel yang mendatangkan hukuman Tuhan. Secara praktis, dalam konteks perikop ini, jemaat Korintus setidaknya harus menghindari 4 kesalahan sebagaimana yang telah dituliskan di atas: jangan menjadi penyembah berhala, jangan melakukan percabulan, jangan mencobai Tuhan, dan jangan bersungut-sungut.

Apakah kita yang hidup di masa ini harus mengingat keempat larangan tersebut? Jawabannya bisa saja adalah “Ya” dan bisa juga adalah “Tidak”. Jawaban “Tidak” dalam artian “tidak cukup” jika hanya menghindari 4 kesalahan tersebut, tetapi bahkan dalam hal-hal yang kecil kita juga sudah harus memperkarakan kehidupan kita. Jangan sampai ada kedapatan hal-hal jahat yang kita lakukan yang menyakiti hati Bapa. Ingat, kita tidak perlu jatuh dari motor untuk sadar bahwa memakai helm itu penting. Kita tidak perlu masuk rumah sakit untuk mengerti bahwa hidup sehat dan menjaga pola makan itu penting. Belajarlah dari contoh yang sudah ada, sehingga kita semakin menjadi pribadi yang lebih baik lagi (ay. 6).



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 10:1-11
10:1 Aku mau, supaya kamu mengetahui, saudara-saudara, bahwa nenek moyang kita semua berada di bawah perlindungan awan dan bahwa mereka semua telah melintasi laut.
10:2 Untuk menjadi pengikut Musa mereka semua telah dibaptis dalam awan dan dalam laut.
10:3 Mereka semua makan makanan rohani yang sama
10:4 dan mereka semua minum minuman rohani yang sama, sebab mereka minum dari batu karang rohani yang mengikuti mereka, dan batu karang itu ialah Kristus.
10:5 Tetapi sungguhpun demikian Allah tidak berkenan kepada bagian yang terbesar dari mereka, karena mereka ditewaskan di padang gurun.
10:6 Semuanya ini telah terjadi sebagai contoh bagi kita untuk memperingatkan kita, supaya jangan kita menginginkan hal-hal yang jahat seperti yang telah mereka perbuat,
10:7 dan supaya jangan kita menjadi penyembah-penyembah berhala, sama seperti beberapa orang dari mereka, seperti ada tertulis: "Maka duduklah bangsa itu untuk makan dan minum; kemudian bangunlah mereka dan bersukaria."
10:8 Janganlah kita melakukan percabulan, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga pada satu hari telah tewas dua puluh tiga ribu orang.
10:9 Dan janganlah kita mencobai Tuhan, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga mereka mati dipagut ular.
10:10 Dan janganlah bersungut-sungut, seperti yang dilakukan oleh beberapa orang dari mereka, sehingga mereka dibinasakan oleh malaikat maut.
10:11 Semuanya ini telah menimpa mereka sebagai contoh dan dituliskan untuk menjadi peringatan bagi kita yang hidup pada waktu, di mana zaman akhir telah tiba.

Senin, 29 Juli 2019

Pornos dan Moichos (29): Bukan Alasan Utama untuk Menikah


Senin, 29 Juli 2019
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 7:1-6
Tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri. (1 Kor 7:2)


Pornos dan Moichos (29): Bukan Alasan Utama untuk Menikah


Jika kita diberi pertanyaan: Apa alasan kita menikah? Apakah jawaban kita? Sebagian akan berkata: “Saya sayang kepada pasangan saya”, “Saya sudah lama berpacaran”, “Saya sudah disuruh menikah”, “Saya sudah cukup umur, takut jadi perawan/perjaka tua”, dan lain sebagainya. Namun belakangan ini saya  mengamati bahwa ada sejumlah orang yang mengemukakan alasan yang unik yaitu: “Daripada berzinah, lebih baik menikah supaya halal”.

Tanpa disadari, pemikiran tersebut juga mulai masuk ke dalam lingkungan jemaat gereja. Ada sebagian pemuda/pemudi yang berprinsip seperti itu, daripada terlalu lama berpacaran dan bisa jatuh dalam dosa perzinahan, alangkah baiknya kita menikah saja, toh kalau sudah diberkati di gereja kan sudah sah di hadapan Tuhan.

Sebenarnya pemikiran tersebut tidaklah 100 persen benar. Dalam perikop di pasal 7 ini, Paulus dengan tegas berkata bahwa tentang hal-hal yang mereka (jemaat Korintus) tuliskan kepada Paulus, adalah baik bagi laki-laki jika ia tidak kawin (ay. 1). Sekilas Paulus seakan-akan menentang perkawinan. Tetapi perlu diingat bahwa semangat Paulus ini bukanlah karena ia membenci perkawinan, tetapi harus dipandang dalam konteks yang lebih luas lagi dari pasal hingga pasal sesudahnya.

Dalam pasal sebelumnya, Paulus berbicara banyak mengenai percabulan, kondisi di jemaat Korintus dimana percabulan yang begitu parah (pornos) sudah masuk ke dalam jemaat. Paulus pada saat itu memiliki pemikiran bahwa Tuhan Yesus akan segera datang kembali, tidak lama setelah kenaikan-Nya ke surga. Hal itu nampak jelas dalam ayat-ayat selanjutnya, terutama ayat 29 yang berbunyi: “Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri” (ay. 29). Saya sendiri juga tidak tahu mengapa Tuhan tidak memberi tahu kepada Paulus bahwa Ia tidak akan datang dalam waktu dekat. Namun demikian, saya berpikir bisa saja Tuhan sengaja tidak memberitahu Paulus supaya Paulus memiliki semangat yang menyala-nyala dalam memberitakan Injil.

Saya berpendapat, bahwa spirit mengenai dekatnya hari kedatangan Tuhan yang kedua kali ini masih sangat relevan dan bahkan jauh lebih relevan bagi kita yang hidup di masa-masa akhir zaman ini. Paulus berpendapat bahwa alangkah baiknya jika seorang laki-laki tidak kawin/menikah, karena Paulus menganggap bahwa waktu kedatangan Tuhan sudah sangat dekat. Lebih baik menunda pernikahan di dunia ini demi melayani Tuhan dan kerajaan-Nya, supaya dapat diterima masuk ke dalam kerajaan surga.

Namun demikian, Paulus tidak mengatakan ini sebagai perintah yang baku. Ingat bahwa ayat-ayat kitab suci tidak boleh dipenggal-penggal seenaknya tanpa memperhatikan konteks. Betapa berbahayanya jika ada pengkhotbah yang suka memilih-milih ayat dan memenggal-menggal ayat dan hanya mengutip ayat 1, bisa-bisa semua orang yang menikah dianggap berdosa. Dalam ayat selanjutnya, Paulus berkata bahwa mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri (ay. 2). Ini adalah hal yang sangat penting yaitu supaya setiap orang memiliki pasangannya sendiri dan tidak mengambil atau mencampuri orang lain yang juga telah memiliki pasangan. Ini menunjukkan prinsip kekristenan yang dengan tegas menganut monogami, bukan poligami, poliandri, maupun kumpul kebo (tinggal Bersama seperti suami istri namun tanpa status pernikahan yang sah).

Ayat 2 ini juga dapat disalahartikan jika tidak disertai dengan pemahaman yang benar. Tanpa melihat konteksnya, maka orang dapat berkata bahwa “lebih baik menikah daripada hidup dalam percabulan”. Dalam hal ini pernikahan hanya dipandang sebagai legalisasi status untuk dapat melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Tidak sedikit orang Kristen bahkan pendeta yang masih menganut hal ini. Apalagi jika ayat ini dimaknai sebagai solusi semisal ada jemaat yang sudah melakukan hubungan seksual (bahkan sampai ada yang hamil), dan solusinya adalah mereka menikah saja supaya status mereka sudah sah sebagai di mata Tuhan, gereja, dan negara. Akibatnya, pernikahan Kristen hanya dijadikan “permainan” untuk menutupi kesalahan. Seakan-akan dikesankan, kalau dulu  berdosa karena melakukan hubungan seks sebelum nikah, maka dengan pernikahan, semua dosa itu ibaratnya sudah selesai, karena toh statusnya mereka sudah dinikahkan. Namun apakah benar kalimat Paulus ini bermakna demikian? Begitu rendahnya kah makna pernikahan jika hanya untuk melegalisasi seks semata?

Untuk itu kita perlu sedikit lebih dalam membedah ayat 2 ini supaya mendapatkan pengertian yang benar dan obyektif. Kata percabulan dalam ayat 2 ini menggunakan kata porneia (πορνεία) yang juga digunakan di pasal-pasal sebelumnya. Jelas bahwa kehidupan di kota Korintus ini mungkin sudah sangat bejat, sehingga berdampak kepada jemaat pula. Dari beberapa literatur yang saya baca, di kota Korintus ini ada kuil yang dilayani oleh para pendeta-pendeta wanita yang melacurkan diri. Di sana pelacuran dianggap sebagai suatu ibadah bagi dewa/dewi mereka. Oleh karena itu, jemaat Korintus juga sedikit banyak terkontaminasi oleh praktik semacam ini.

Oleh karena itu, alasan utama Paulus menulis surat ini (dan khususnya di pasal ini) adalah supaya jemaat Korintus tidak terlibat dalam percabulan seperti yang terjadi di kota Korintus pada umumnya. Ingat bahwa di pasal-pasal sebelumnya, sudah ada jemaat Korintus yang melakukan percabulan yang tidak pantas, yaitu tinggal dengan istri ayahnya. Oleh karena itu, mengingat bahaya percabulan yang sangat parah, baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri dan juga setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.

Kata “mempunyai” dalam bahasa aslinya adalah echetō (ἐχέτω) dari akar kata echó (ἔχω) yang secara harafiah berarti “to have, hold, possess” (mempunyai, memiliki, memegang, menyimpan, menjadikan sesuatu dalam penguasaan). Dalam konteks ini, tentu jelas maksudnya adalah dalam hal pernikahan/perkawinan, dimana masing-masing laki-laki harus mempunyai satu istri dan juga sebaliknya. Yang menarik adalah kata echetō ini (yang disebutkan 2 kali dalam ayat 2, masing-masing untuk laki-laki/suami dan perempuan/istri) merupakan kata kerja yang bersifat Verb – Present Imperative Active – 3rd Person Singular. Artinya adalah kata echetō (yag berarti mempunyai/memiliki) ini adalah suatu perintah aktif untuk masa kini yang ditujukan oleh Paulus kepada laki-laki dan perempuan dalam jemaat.

Dalam terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru, digunakan kata “baiklah setiap laki-laki mempunyai istrinya sendiri”. Hal yang sama juga ditunjukkan dalam Terjemahan Lama yaitu “hendaklah tiap-tiap laki-laki beristrikan istrinya sendiri”. Sebagian terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris juga menuliskan kalimat sebagai berikut: “each man should have his own wife” (setiap laki-laki sebaiknya mempunyai istrinya sendiri). Namun ada beberapa terjemahan Alkitab dalam bahasa Inggris yang menulis demikian: “let each man have his own wife” yang lebih menekankan sebagai suatu kata perintah agar setiap orang mempunyai pasangannya sendiri. Saya pribadi lebih menyukai versi terakhir ini karena lebih menekankan suatu perintah (imperative) yang lebih tegas kepada laki-laki dan perempuan untuk mempunyai pasangannya sendiri.

Dalam ayat 3, juga terdapat kata Verb – Present Imperative Active – 3rd Person Singular yang terdapat dalam kata “memenuhi”, dengan bahasa aslinya yaitu apodidotō (ἀποδιδότω) dari akar kata apodidómi (ἀποδίδωμι). Kata tersebut dapat bermakna menyerahkan, membayar, memberikan kembali, melunasi, memenuhi kewajiban, berbuah, dan mempertanggungjawabkan. Apakah yang harus dibayar atau dipertanggungjawabkan? Hal itu adalah suatu kewajiban atau tugas antara laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.

Kata “kewajiban” dalam bahasa aslinya adalah opheilé (ὀφειλή) yang selain berarti kewajiban, juga berarti hutang atau tugas. Oleh karena itu, dalam hubungan pernikahan ada suatu tugas dan kewajiban masing-masing pihak. Mau tidak mau, setiap pasangan yang berkomitmen masuk dalam suatu ikatan pernikahan haruslah menyadari tugas dan tanggung jawabnya. Adalah baik jika sebelum menikah, kedua calon mempelai harus ditekankan mengenai tugas dan tanggung jawabnya masing-masing. Jangan lebih banyak menekankan hak-hak atau “bagian enak” dari pernikahan, karena dibalik hak yang dapat mereka nikmati, ada kewajiban yang harus mereka lakukan juga. Tidak jarang suatu pernikahan berakhir karena adanya salah satu pihak yang tidak menyadari posisi mereka dalam arti tugas dan tanggung jawabnya dalam keluarga.

Apakah kewajiban ini? Tentu dalam konteks percabulan seperti yang dijelaskan sebelumnya, hal ini lebih berbicara mengenai hubungan seksual. Seorang suami wajib memenuhi (karena kata ini adalah kata kerja imperative/perintah) kewajibannya terhadap istrinya dan demikian sebaliknya: istri terhadap suami (ay. 3). Kewajiban itu bukanlah suatu beban, melainkan harus dianggap sebagai “hutang”. Suami “berhutang” kepada istri dan istri juga “berhutang” kepada suami. Dengan demikian, kedua belah pihak tidak mungkin tidak memenuhi kewajibannya dalam hal hubungan suami istri.

Dalam ayat selanjutnya Rasul Paulus jelas menulis bahwa seorang perempuan yang sudah menikah, tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya yang berkuasa, dan demikian pula sebaliknya (ay. 4). Kata berkuasa di sini menggunakan kata exousiazei (ἐξουσιάζει) dari akar kata exousiazó (ἐξουσιάζω) sebagai kata kerja atau dari akar kata exousia (ἐξουσία) sebagai kata benda. Kata ini selain bermakna kuasa (power), tetapi juga dapat bermakna hak khusus (right) atau otoritas (authority). Oleh karena itu, dalam hubungan pernikahan, istri harus sadar bahwa ia dengan sukarela menyerahkan hak kepada suaminya, dan begitu pula suami menyerahkan hak kepada istrinya dengan sukarela. Artinya, ketika masuk ke dalam institusi pernikahan, tidak boleh ada ego antara suami dan istri. Suami kini memiliki hak penuh atas istrinya dan demikian pula sebaliknya. Dengan demikian, seharusnya tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh suami istri dalam suatu pernikahan yang kudus. Semua hal pasti ada solusinya, apalagi jika itu hanya sekedar urusan hubungan seksual semata.

Paulus menulis demikian supaya suami tidak mencari sumber kenikmatan lain selain istrinya, dan begitu pula istri tidak mencari sumber kenikmatan lain selain suaminya. Inilah sebenarnya penekanan bahaya percabulan tadi, yaitu agar suami istri sama-sama saling menghargai dan mengerti satu sama lain, khususnya dalam hal hubungan seksual. Jika segala kebutuhan seksual terpenuhi, tidak akan ada suami atau istri yang selingkuh dan melakukan percabulan. Bahkan Paulus menegaskan bahwa suami istri tidak boleh saling menjauhi (ay. 5a). Jika terpaksa harus menjauhi pun harus dilakukan dalam 3 kondisi: 1) atas kesepakatan bersama; 2) untuk sementara waktu (tidak untuk seterusnya); dan 3) agar ada kesempatan untuk berdoa (ada alasan yang jelas).

Hal ini penting karena suka atau tidak suka, hubungan suami istri adalah salah satu hal yang penting dalam pernikahan (walaupun bukan yang terpenting). Intinya Paulus menekankan agar jemaat Korintus tidak membuka celah yang memungkinkan iblis masuk dan menguji/mencobai kita (ay. 5b). Kita harus sadar bahwa tulisan Paulus ini ditujukan kepada jemaat Korintus, yang tinggal di kota yang sudah sangat cemar dengan praktik percabulan. Sehingga tulisan Paulus ini tentu mau tidak mau harus mengungkapkan  hal ini dengan terus terang.

Sebagaian besar orang menganggap bahwa perbedaan utama orang yang sudah menikah dan belum menikah adalah kebebasan untuk melakukan hubungan seksual. Tentu hal itu tidak sepenuhnya salah. Adalah baik jika orang menjaga tubuhnya dari hubungan seksual di luar nikah dan menyimpannya hingga hari pernikahannya nanti. Dan saya pun setuju bahwa hal itu harus menjadi pembeda utama dari hubungan sebelum menikah (ketika sudah sah menjadi suami istri dalam pernikahan yang kudus, barulah dapat melakukan hubungan seksual). Namun demikian, perlu diingat bahwa hal itu bukan yang terutama dalam suatu pernikahan.

Jika di dalam ayat 5 seakan-akan Paulus mengatur mengenai bagaimana suami istri sebaiknya mengatur pola hubungan seksual mereka, tetapi sebenarnya hal itu bukanlah suatu perintah, melainkan suatu kelonggaran (ay. 6). Kata “kelonggaran” dalam bahasa aslinya adalah syngnōmēn (συνγνώμην) dari akar kata suggnómé (συγγνώμη). Kata ini hanya muncul satu kali dalam Alkitab Perjanjian Baru sehingga bukan merupakan suatu kata yang umum digunakan dalam tulisan Paulus maupun tulisan rasul-rasul lainnya. Kata ini berasal dari 2 kata: sun (bersama-sama) dan ginóskó (mengenal melalui pengalaman). Kata tersebut memang juga memiliki makna “permission, indulgence, concession” (izin, pengampunan, pemanjaan, kelonggaran). Namun terkait dengan arti harafiah dari kata tersebut, dari kata sun dan ginóskó, maka kata itu juga dapat bermakna “fellow feeling” (simpati, perasaan persahabatan).

Jadi jelaslah bahwa kelonggaran yang disampaikan Paulus ini bersifat khusus, karena berangkat dari suatu perasaan bersama sebagai seorang sahabat yang sudah mengenal dan memahami betul kondisi jemaat di Korintus. Oleh karena itu Paulus memberikan semacam “kelonggaran” atau izin kepada jemaat di Korintus jika ingin menjauhi, tetapi dengan syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas.

Ketika menulis renungan ini, saya menyadari kondisi jemaat Korintus yang unik sehingga terkadang ada tulisan Paulus yang terkesan aneh dan di luar kebiasaannya yang lain. Misal mengenai sikap perempuan yang harus memakai kerudung (1 Kor 11:6), laki-laki yang tidak boleh berambut panjang (1 Kor 11:14), perempuan yang tidak boleh berbicara dalam pertemuan jemaat (1 Kor 14:34), dan lain sebagainya. Terkadang hal itu menjadi bahan perdebatan di antara para teolog. Dahulu saya pun sempat bingung, mengapa di Alkitab ada ayat-ayat yang sepertinya sulit untuk dipahami (sebagaimana saya sampaikan di atas). Ternyata jawabanya sebenarnya sederhana: karena kondisi di jemaat Korintus adalah unik dan berbeda dengan jemaat lainnya. Oleh sebab itu, ayat-ayat dalam contoh di atas tidak bisa langsung secara mutlak dikenakan kepada jemaat di Indonesia atau jemaat di Jakarta, karena kondisi di Jakarta berbeda dengan kondisi Korintus pada waktu itu. Ayat tersebut mungkin dapat diterapkan dengan baik jika dan hanya jika kondisi di Jakarta sudah sama atau mendekati kondisi di Korintus.

Oleh sebab itu, kita tidak perlu memusingkan diri dengan perkara-perkara lahiriah seperti “apakah jemaat perempuan harus memakai kerudung saat berdoa?” atau “apakah jemaat perempuan tidak boleh berbicara saat pertemuan jemaat?”. Hal yang sama juga berlaku atas perikop dalam bagian Alkitab kita hari ini: “Apakah boleh untuk menjauhi dalam hubungan seksual?”. Jawaban atas pertanyaan di atas adalah relatif, yaitu bisa “ya” dan bisa “tidak”. Jawabannya bisa saja “ya” jika memang kondisi jemaat kita mirip atau bahkan sama dengan kondisi jemaat di Korintus pada waktu itu. Tetapi jika kondisinya jauh berbeda, mungkin lebih tepat kita berkata “tidak”, karena konteks ayat ini ditulis adalah sangat berbeda.

Namun saya rasa kita boleh setuju akan satu hal, bahwa perikop ini sama sekali tidak dapat dijadikan dasar bagi seseorang untuk menikah dengan alasan “supaya tidak berzinah”. Pernikahan Kristen bukanlah suatu alat untuk melegalisasi hubungan seks hanya untuk supaya tidak dipandang berzinah di mata manusia. Tuhan tidak dapat diperdaya dengan alasan manusia yang hatinya penuh dengan kelicikan. Memang adalah baik bagi seseorang untuk tidak menikah, dan juga baik pula bagi seseorang untuk menikah. Namun menurut pendapat saya, adalah lebih baik bagi seseorang untuk tidak menikah, daripada menikah dengan orang yang salah, atau bahkan daripada menikah dengan alasan yang tidak tepat. Hubungan seks antar suami istri memang indah, bahkan sangat indah. Namun alangkah indahnya jika hubungan seks itu dilakukan pada saat yang tepat, dan dengan orang yang tepat pula. Jangan kita mengurangi keagungan nilai suatu pernikahan hanya karena kita sudah “kebelet” untuk melakukan hubungan seksual. Dasarkan segala sesuatunya bagi kemuliaan nama Tuhan, dan perkarakan apakah dalam setiap hal yang kita lakukan (termasuk pernikahan) adalah kehendak Tuhan atau hanya sekedar untuk memuaskan keinginan dan hawa nafsu kita saja.



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 7:1-6
7:1 Dan sekarang tentang hal-hal yang kamu tuliskan kepadaku. Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin,
7:2 tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri.
7:3 Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula isteri terhadap suaminya.
7:4 Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya.
7:5 Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya Iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.
7:6 Hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran, bukan sebagai perintah.