Kamis, 23 Mei 2013

Ketika Akhirnya Manusia Memandang Tuhan



Jumat, 24 Mei 2013
Bacaan Alkitab: Yesaya 17:7-8
Pada waktu itu manusia akan memandang kepada Dia yang menjadikannya, dan matanya akan melihat kepada Yang Mahakudus, Allah Israel.” (Yes 17:7)


Ketika Akhirnya Manusia Memandang Tuhan


Jika mau jujur, kapan terakhir kali kita berdoa dengan waktu minimal 1 jam lamanya? Atau kapan terakhir kali kita melakukan doa puasa? Atau kapan terakhir kali kita berdoa hingga meneteskan air mata? Jika kita mau jujur, sangat mungkin bahwa kita justru lebih sering berdoa atau memiliki kualitas doa yang baik ketika kita sedang mengalami masalah yang sangat berat dalam kehidupan kita. Jika hidup kita lancar-lancar saja tanpa ada masalah, maka kita mungkin tidak akan pernah berdoa kepada Tuhan. Boro-boro berdoa kepada Tuhan, ingat Tuhan saja mungkin tidak pernah, yang selama ini diingat mungkin hanyalah uang, kekayaannya, pacarnya, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu jangan salahkan jika Tuhan akhirnya “mencoba menarik perhatian kita” dengan cara memberi kita masalah yang berat. Mungkin masalah tersebut adalah dampak atau konsekuensi dari dosa yang pernah kita lakukan. Tetapi mungkin juga masalah tersebut bisa terjadi karena Tuhan ingin agar kita kembali lagi mau mencari Tuhan.

Bangsa Israel sendiri pernah mengalami kondisi seperti tersebut. Setelah kematian Raja Salomo, bangsa Israel terpecah menjadi 2 kerajaan: Kerajaan Israel (10 suku) dan Kerajaan Yehuda (2 suku). Setelah pecah menjadi 2 kerajaan ini pun keadaan tidak berubah menjadi lebih baik. Mereka jatuh ke dalam penyembahan berhala. Padahal di masa itu, ada Bait Allah yang sangat megah sebagai tempat dimana mereka seharusnya datang kepada Allah. Akan tetapi mereka justru lebih suka menyembah dewa-dewa berpatung milik bangsa-bangsa di sekitarnya. Oleh karena itu Tuhan pun marrah dan menghukum bangsa Israel hingga mereka pun ditawan oleh bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan.

Apa kata Tuhan setelah peristiwa itu terjadi? Tuhan berkata bahwa justru pada waktu itulah manusia (merujuk kepada bangsa Israel keturunan Yakub) akan memandang kepada Dia yang menjadikannya, dan matanya akan melihat kepada Yang Mahakudus, Allah Israel (ay. 7). Bahkan ayat selanjutnya Tuhan mengatakan bahwa mereka (bangsa Israel) tidak akan memandang kepada mezbah-mezbah kepada dewa-dewa yang dulu pernah dibuat oleh tangan mereka. Mereka tidak akan membuat tiang-tiang berhala, tetapi akan bertobat dan hanya akan beribadah kepada Allah saja (ay. 8). Sejarah membuktikan bahwa bangsa Yehuda menjadi sungguh-sungguh setia kepada Tuhan Allah sejak mereka dibuang ke Babel. Sekembalinya mereka dari Babel, mereka benar-benar hidup menjalankan Hukum Taurat Tuhan, walaupun hal ini akhirnya menimbulkan dampak negatif yaitu munculnya para ahli Taurat di masa Tuhan Yesus yang tidak mau percaya kepada Tuhan karena mereka menganggap diri mereka yang paling benar.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memiliki jam doa yang baik dan berkenan di hadapan Tuhan? Sudahkah kita sungguh-sungguh mencari Tuhan dengan sepenuh hati kita? Jika belum, maka bisa Tuhan akan “mengirimkan” masalah kepada kita agar dalam masalah tersebut kita mau mencari Tuhan. Ingat bahwa Tuhan pun dapat menggunakan masalah dalam kehidupan kita untuk mendidik kita dan mendatangkan kebaikan bagi kita. Mungkin ketika masalah tersebut datang, kita akan protes kepada Tuhan. Tetapi percayalah, dalam keadaan seperti itu, mungkin kita akan lebih fokus lagi memandang Tuhan, melihat kepada wajahNya dan berharap hanya kepadaNya.



Bacaan Alkitab: Yesaya 17:7-8
17:7 Pada waktu itu manusia akan memandang kepada Dia yang menjadikannya, dan matanya akan melihat kepada Yang Mahakudus, Allah Israel;
17:8 ia tidak akan memandang kepada mezbah-mezbah buatan tangannya sendiri, dan tidak akan melihat kepada yang dikerjakan oleh tangannya, yakni tiang-tiang berhala dan pedupaan-pedupaan.

Ketika Hukuman Tuhan Lebih Berat



Kamis, 23 Mei 2013
Bacaan Alkitab: 2 Samuel 12:15-18
Kemudian pergilah Natan ke rumahnya. Dan TUHAN menulahi anak yang dilahirkan bekas isteri Uria bagi Daud, sehingga sakit.” (2 Sam 12:15)


Ketika Hukuman Tuhan Lebih Berat


Kita pasti pernah mendengar bagaimana Daud jatuh ke dalam dosa yaitu ketika ia berzinah dengan Batsyeba (walaupun kemudian ia menjadi isteri Daud). Daud memang mengaku dan menyadari bahwa ia telah melakukan dosa dan bersalah di hadapan Tuhan. Lalu apa yang Tuhan lakukan kepada Daud? Tuhan menghukum Daud. Tuhan menghukum Daud dengan menulahi anak yang dilahirkan itu sehingga sakit (ay. 15). Melihat hal ini, Daud pun berupaya sekuat tenaga agar anak tersebut sembuh. Ia memohon kepada Allah, berpuasa dengan tekun dan merendahkan dirinya di hadapan Allah dengan cara berbaring di tanah (ay. 16). Yang dilakukan Daud ini cukup luar biasa, bahkan ketika para tua-tua yang ada di rumah Daud meminta agar Daud bangun dari lantai, Daud pun tidak mau. Bahkan Daud tetap ingin berpuasa dan tidak mau makan bersama-sama dengan mereka (ay. 17).

Daud berharap Tuhan mau mendengarkan dan mengabulkan permohonannya. Tetapi ternyata keputusan Tuhan tetap mutlak dan tidak berubah. Anak Daud tersebut akhirnya mati pada hari yang ketujuh (ay. 18).

Pertanyaan saya sederhana saja, mengapa Daud yang melakukan kesalahan (dosa) yaitu berzinah dengan Batsyeba dihukum Tuhan dengan sebegitu kerasnya, yaitu hingga anak dari hubungan gelapnya mati? Padahal jika kita membaca dalam Alkitab, ada banyak orang yang berzinah seperti Tamar yang bersetubuh dengan mertuanya, Yehuda, tetapi anak mereka tidak mati (Kej 38:1-30), bahkan Yesus pun lahir dari keturunan Yehuda dan Tamar tersebut (Mat 1:3). Atau contoh dalam Perjanjian Baru ketika ada perempuan yang berzinah dan dibawa kepada Yesus, akan tetapi justru perempuan itu diampuni dosanya (Yoh 8:11)?

Salah satu alasannya adalah bahwa Yehuda, Tamar, ataupun permpuan yang berzinah itu bukanlah pemimpin rakyat dan pemimpin agama. Pada saat Yehuda dan Tamar hidup, saat itu belum ada hukum Taurat. Perempuan yang berzinah itu pun mungkin sadar bahwa apa yang dilakukannya itu salah, tetapi ia pun mungkin terdesak dengan kebutuhan ekonomi. Akan tetapi posisi Daud adalah raja Israel pada waktu itu. Ia adalah pemimpin rakyat dan sekaligus “pemimpin agama” secara tidak resmi. Raja Daud menulis begitu banyak mazmur, ia memiliki pengalaman rohani bersama Tuhan yang luar biasa. Akan tetapi kesalahan yang dilakukan Daud ini seperti mencoreng namanya. Dosa ini terlalu “parah” untuk dilakukan oleh seseorang yang sudah memiliki tingkat kerohanian yang lebih tinggi. Oleh karena itu Tuhan pun tidak main-main dan menghukum Daud dengan membiarkan anaknya tersebut mati.

Apakah saat ini ada di antara kita yang memiliki level rohani yang di atas rata-rata? Mungkin kita sudah mulai melayani Tuhan, atau mungkin kita bahkan sudah mulai menjadi pemimpin jemaat? Saatnya kita tidak boleh lagi main-main dengan dosa. Kita seharusnya sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Oleh karena itu, jangan sampai kita jatuh kedalam dosa, apalagi dosa yang seharusnya sudah tidak kita lakukan. Jika kita akhirnya “kalah” dan jatuh dalam dosa, maka sangat mungkin bahwa hukuman Tuhan atas kita akan lebih berat daripada jika dosa yang sama dilakukan oleh jemaat kita, misalnya.

Mengapa demikian? Firman Tuhan dalam ayat lain mengatakan bahwa orang yang tidak mengerti Firman Tuhan dan melakukan kesalahan, ia akan menerima sedikit “hukuman” dibandingkan dengan orang yang mengerti Firman Tuhan tetapi tetap melakukan kesalahan, maka ia akan menerima lebih banyak “hukuman” (Luk 12:48). Tuhan kita memang luar biasa adil bukan? Oleh karena itu, siapapun kita, apakah hanya jemaat biasa atau pelayan Tuhan, kita seharusnya tetap menghindari untuk berbuat dosa di hadapan Tuhan. Tetapi bagi kita yang level rohaninya lebih tinggi, kita pun seharusnya memiliki kemampuan lebih tinggi juga untuk melawan dosa, dan kita seharusnya justru dapat membantu orang lain yang level rohaninya di bawah kita untuk dapat meningkatkan level rohani mereka. Ketika kita gagal dan “jatuh”, maka jemaat kita pun juga akan tergoncang dan “jatuh” juga. Kegagalan kita akan berdampak sistemik dan merugikan lebih banyak orang. Oleh karena itu, jangan sampai kita jatuh dalam dosa, jangan sampai kita kalah oleh dosa, tetapi kita harus mampu menang dan mengalahkan dosa.



Bacaan Alkitab: 2 Samuel 12:15-18
12:15 Kemudian pergilah Natan ke rumahnya. Dan TUHAN menulahi anak yang dilahirkan bekas isteri Uria bagi Daud, sehingga sakit.
12:16 Lalu Daud memohon kepada Allah oleh karena anak itu, ia berpuasa dengan tekun dan apabila ia masuk ke dalam, semalam-malaman itu ia berbaring di tanah.
12:17 Maka datanglah kepadanya para tua-tua yang di rumahnya untuk meminta ia bangun dari lantai, tetapi ia tidak mau; juga ia tidak makan bersama-sama dengan mereka.
12:18 Pada hari yang ketujuh matilah anak itu. Dan pegawai-pegawai Daud takut memberitahukan kepadanya, bahwa anak itu sudah mati. Sebab mereka berkata: "Ketika anak itu masih hidup, kita telah berbicara kepadanya, tetapi ia tidak menghiraukan perkataan kita. Bagaimana kita dapat mengatakan kepadanya: anak itu sudah mati? Jangan-jangan ia mencelakakan diri!"

Rabu, 22 Mei 2013

Mempersiapkan Diri dan Menjaga Kekudusan Sebelum Datang Menghadap Tuhan



Rabu, 22 Mei 2013
Bacaan Alkitab: Keluaran 19:14-15
Maka kata Musa kepada bangsa itu: "Bersiaplah menjelang hari yang ketiga, dan janganlah kamu bersetubuh dengan perempuan."” (Kel 19:15)


Mempersiapkan Diri dan Menjaga Kekudusan Sebelum Datang Menghadap Tuhan


Sebagai umat Kristiani yang normal, kita tentu datang ke gereja paling sedikit 1x seminggu. Ya, setiap hari Minggu minimal kita akan datang dalam ibadah untuk menghadap hadirat Tuhan. Tetapi apakah selama ini kita benar-benar mempersiapkan diri sebelum kita datang dalam ibadah tersebut? Atau justru kita hanya menganggap ibadah itu hanya sebagai suatu “acara seremonial” biasa? Jawabannya hanya kita sendiri yang tahu.

Tetapi, ketika bangsa Israel akan datang menghadap Tuhan di Gunung Sinai, Tuhan melalui Musa memberikan syarat yang luar biasa kepada bangsa Israel untuk datang menghadap Tuhan. Sebenarnya syaratnya sederhana saja, yaitu: 1) menguduskan diri dengan cara mencuci pakaiannya; dan 2) tidak bersetubuh (ay. 14-15). Mengapa bangsa Israel harus melakukan hal tersebut? Saya sendiri tidak tahu alasan yang pasti. Tetapi perintah Tuhan pasti ada tujuannya. Mungkin saja Tuhan ingin agar bangsa Israel mau merendahkan diri dan menghargai hadirat Tuhan.

Mencuci pakaian adalah gambaran bagaimana bangsa Israel harus mempersiapkan diri mereka dengan memakai pakaian yang bersih, bukan yang kotor. Hal ini bukan berarti kita harus menggunakan pakaian baru setiap kali kita beribadah di gereja. Tetapi alangkah baiknya jika kita mempersiapkan pakaian yang kita pakai, sehingga kita tidak memakai pakaian yang asal-asalan, atau yang kurang pas dan kurang cocok. Walaupun pakaian tidak berpengaruh secara langsung terhadap ibadah, tetapi apakah kita mau memakai baju tidur kita dan sandal jepit untuk datang ke gereja?

Yang kedua adalah tidak bersetubuh dengan perempuan (ingat bahwa pada masa itu yang bisa menghadap Tuhan adalah para lelaki). Saya melihat bahwa larangan ini mungkin lebih dimaksudkan untuk mengendalikan diri. Untuk apa kita menghadap Tuhan tetapi kita tidak dapat mengendalikan hati dan pikiran kita? Untuk apa kita datang ke gereja tetapi selama pendeta berkhotbah justru pikiran kita melayang kemana-mana?

Tentu “mempersiapkan diri” dan “menjaga kekudusan” ini bukan hanya urusan mencuci pakaian dan tidak bersetubuh sebelum menghadap Tuhan. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjaga kekudusan dengan cara menjauhkan diri kita dari dosa-dosa kita sebelum datang kepada Tuhan. Terlebih bagi kita yang menjadi pelayan-pelayan Tuhan, adalah sangat penting untuk “membereskan” kehidupan kita terlebih dahulu sebelum kita boleh melayani orang lain.

Memang mungkin saja tidak ada orang lain yang tahu tentang dosa yang kita lakukan selama ini. Bahkan mungkin pasangan kita, orang tua kita, atau pendeta kita tidak tahu. Tetapi Tuhan tahu segala sesuatunya. Tuhan tahu setiap dosa yang kita lakukan, bahkan ketika tidak ada orang lain yang tahu. Tuhan tahu bagaimana kita masih hidup dalam dosa padahal kita sudah melayani Tuhan di gereja. Mungkin dampaknya tidak begitu terlihat, tetapi lambat laun dosa itu akan menjalar seperti kanker dan jika kita tidak segera bertobat, maka tanpa kita sadari kita pun sudah terjerat dalam dosa tersebut.

Seberapa penting dan relevan mempersiapkan diri dan menjaga kekudusan di masa sekarang ini? Bukankah ini adalah ayat dalam Perjanjian Lama? Bagi saya, walaupun ini adalah Firman Tuhan dalam Perjanjian Lama, tetapi sebenarnya esensi Firman Tuhan ini masih dapat kita terapkan dalam kehidupan kita saat ini. Mungkin saja mempersiapkan diri dan menjaga kekudusan ini tidak hanya berbicara tentang mencuci pakaian dan tidak bersetubuh. Kita bisa saja mempersiapkan diri dan menjaga kekudusan dengan hal yang lain. Tetapi jika kita mau menerapkan prinsip tersebut (misalnya tidak bersetubuh pada malam sebelum melakukan pelayanan), itu pun tidak masalah. Patokannya adalah apakah ada damai sejahtera ketika kita melakukan hal tersebut? Apapun tindakan yang kita lakukan, persiapkan diri kita sebaik-baiknya sebelum kita datang menghadap Tuhan.



Bacaan Alkitab: Keluaran 19:14-17
19:14 Lalu turunlah Musa dari gunung mendapatkan bangsa itu; disuruhnyalah bangsa itu menguduskan diri dan mereka pun mencuci pakaiannya.
19:15 Maka kata Musa kepada bangsa itu: "Bersiaplah menjelang hari yang ketiga, dan janganlah kamu bersetubuh dengan perempuan."

Selasa, 21 Mei 2013

Tidak ada Kata Cerai dalam Kamus Tuhan



Selasa, 21 Mei 2013
Bacaan Alkitab: Markus 10:1-12
Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Mrk 10:9)


Tidak ada Kata Cerai dalam Kamus Tuhan


Saya kadang-kadang sedih melihat banyak pasangan yang sudah diberkati di gereja ternyata suatu saat bisa bercerai. Saya tidak melihat apakah dulu ketika mereka menikah, salah satu dari mereka masih belum percaya kepada Tuhan dan hanya pura-pura percaya kepada Tuhan hanya agar ia bisa menikah, atau alasan-alasan yang lainnya. Bagi saya, sekali diberkati di gereja (apapun gerejanya) dalam nama Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus, di mata Tuhan mereka sudah merupakan suami isteri yang telah dipersatukan di dalam Tuhan. Ketika mereka menikah di hadapan Tuhan, mereka pun sudah berjanji di hadapan Tuhan bahwa mereka akan selalu mengasihi hingga maut memisahkan mereka.

Ingat bahwa janji yang mereka ucapkan itu adalah janji di hadapan Tuhan. Jadi ketika suatu saat ada salah satu pihak yang mengucapkan kata “cerai”, sesungguhnya pihak tersebut sudah melanggar janji Tuhan. Di dalam kamus Tuhan, tidak ada kata “cerai”. Lalu bagaimana jika ada salah satu pihak yang meminta cerai?

Pertanyaan ini sudah diajukan oleh orang-orang Farisi sekitar 2.000 tahun yang lalu. Pada saat itu seperti biasa Yesus sedang mengajar orang banyak di daerah Yudea (ay. 1). Lalu datanglah orang Farisi dan mereka bertanya kepada Yesus, “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?” (ay. 2). Sebenarnya mereka pun menanyakan hal ini untuk mencobai Yesus. Mereka ingin agar jawaban Yesus dapat mereka gunakan menjadi “amunisi” bagi orang Farisi untuk dapat menyalahkan Yesus di hadapan Mahkamah Agama.

Akan tetapi Yesus justru balik bertanya, “Apa perintah Musa terkait hal ini?” (ay. 3). Orang-orang Farisi itu pun menjawab bahwa Musa memberi mereka izin untuk menceraikan isteri dengan membuat surat cerai (ay. 4). Mereka berpikir bahwa jawaban mereka sudah merupakan jawaban yang paling betul. Tetapi perhatikan ayat selanjutnya dimana Tuhan Yesus mengatakan bahwa walaupun memang Musa sampai memberikan izin, tetapi sebenarnya itu semua karena ketegaran hati bangsa Israel (ay. 5).

Tuhan Yesus bahkan sampai harus mengulang kisah penciptaan manusia, dimana Allah Bapa menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan (ay. 6). Laki-laki kemudian akan meninggalkan keluarganya dan bersatu dengan isterinya (perempuan), sehingga keduanya menjadi 1 daging. Mereka yang telah bersatu itu tidak dapat lagi dikatakan sebagai 2, tetapi sebagai 1 kesatuan (ay. 7-8). Oleh karena itu, prinsip pernikahan yang betul adalah bahwa pernikahan terjadi karena Allah yang berinisiatif dan apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia (ay. 9).

Allah sendiri tidak pernah mengenal istilah cerai. Allah hanya mengenal istilah dipersatukan. Dan apa yang sudah dipersatukan oleh Allah, tidak bisa diceraikan oleh Allah sendiri, apalagi manusia. Apa maksudnya hal tersebut? Di hadapan Allah, semua pasangan yang diberkati di gereja dalam nama Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus, sudah menjadi 1. Hanya ada 1 hal yang dapat memisahkan mereka, yaitu kematian. Selama belum dipisahkan oleh kematian, maka di pandangan Tuhan, mereka tetap merupakan suami dan isteri.

Lalu bagaimana jika suatu saat mereka bercerai? Memang hukum dunia (termasuk hukum Indonesia) mengizinkan adanya perceraian dengan alasan tertentu. Tetapi apapun alasannya, entah karena KDRT, karena tidak dinafkahi, karena tidak cocok, atau karena putusan pengadilan agama sekalipun, di mata Tuhan mereka tetap sah sebagai suami dan isteri. Pengadilan agama mungkin sudah memutuskan pasangan tersebut untuk bercerai, tetapi di mata Tuhan, mereka  tidak akan dapat bercerai kecuali salah satu di antara mereka sudah meninggal dunia.

Oleh karena itu Alkitab mengatakan bahwa ketika seorang laki-laki menceraikan isterinya dan kawin (menikah) dengan perempuan lain, sesungguhnya laki-laki tersebut sedang berzinah dengan wanita lain tersebut. Di sisi lain, jika seorang isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, maka di mata Tuhan ia pun juga berzinah dengan laki-laki tersebut (ay. 10-12). Bagaimana dengan pihak yang diceraikan? Menurut saya juga sama saja. Orang yang diceraikan pun ketika menikah lagi dengan orang lain, maka sesungguhnya ia sedang berzinah dengan orang tersebut.

Lalu mungkin ada di antara kita yang bertanya, “Bagaimana dong kalau saya ternyata sudah tidak cocok dengan pasangan saya? Dulu sih pas menikah kami sih cocok, tetapi ternyata lama-lama sudah tidak cocok lagi”. Ini adalah risiko. Oleh karena itu penting bagi para pemuda dan pemudi Kristen, untuk tidak sembarangan menikah di gereja. Jangan sampai kita menikah karena terpaksa, karena usia sudah kepala 3, karena hamil di luar nikah, atau karena apapun. Kita akan mempertanggungjawabkan janji nikah kita di hadapan Tuhan seumur hidup kita.

Demikian juga bagi kita yang adalah para hamba Tuhan (pendeta atau gembala sidang). Kita juga perlu menyadari hal ini sehingga kita tidak sembarangan menikahkan orang di gereja. Kita harus mengecek kesiapan calon pengantin tersebut agar tidak terjadi masalah di kemudian hari.

Ini adalah kebenaran yang sangat “keras”. Apapun alasannya, Alkitab tidak pernah mengizinkan adanya perceraian, apapun alasannya. Seburuk-buruknya pasangan kita (yang mungkin baru kita sadari setelah kita menikah), itu pun adalah dampak dan konsekuensi dari pilihan kita ketika memutuskan untuk menikahinya dahulu. Jangan salahkan Tuhan atas kesalahan kita di masa lalu. Hiduplah konsisten dengan pilihan kita.

Mungkin ada di antara kita yang berpikir bahwa cerai adalah pilihan terbaik bagi masalah kita saat ini. Percayalah, cerai hanya akan menambah masalah-masalah baru dalam kehidupan kita. Terlebih ketika kita memutuskan untuk bercerai, di mata Tuhan itu adalah dosa yang sangat besar. Pikirkan baik-baik hal ini, sehingga kita jangan sampai bercerai. Pikirkan hal ini baik-baik juga agar kita juga tidak salah menikah. Menikah hanya sekali, jangan sampai salah memilih yang berujung pada perceraian.


Bacaan Alkitab: Markus 10:1-12
10:1 Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula.
10:2 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?"
10:3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?"
10:4 Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai."
10:5 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.
10:6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,
10:7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
10:8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
10:9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
10:10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu.
10:11 Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.
10:12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah."