Rabu, 31 Januari 2018

Apakah Kasih Itu?

Rabu, 31 Januari 2018
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:1-7
Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku. (1 Kor 13:3)


Apakah Kasih Itu?


Bicara tentang kasih, maka hal ini seakan-akan menjadi suatu hal yang umum dan biasa dalam kekristenan. Sejak kecil kita sudah diajarkan mengenai definisi kasih seperti yang telah dituliskan di dalam 1 Korintus pasal 13 ini: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu (ay. 4-8). Bahkan ketika saya menikah di gereja, pendeta di gereja saya meminta saya dan istri saya berlutut di depan altar, kedua tangan kami sama-sama diletakkan di atas Alkitab yang dibuka pada pasal 13 dari kitab 1 Korintus ini, lalu pendeta tersebut mendoakan kami berdua dalam pemberkatan nikah yang kudus.

Ya memang benar bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, dan seterusnya. Definisi ini terlihat sudah sangat lengkap dan menjadi semacam definisi acuan bagi orang Kristen. Apalagi jika dihubungkan dengan kasih Tuhan atau kasih Allah, atau definisi bahwa Allah adalah kasih. Orang Kristen pun diajarkan untuk menunjukkan kasih bahkan kepada musuh kita, sehingga kita tidak boleh membalas orang yang melakukan kejahatan terhadap kita. Kira-kira begitulah gambaran mengenai kasih yang selama ini dipahami oleh sebagian besar orang Kristen.

Saya sendiri tidak menentang Paulus dan mengatakan bahwa definisi Paulus ini salah. Saya juga menyetujui bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, dan seterusnya sebagaimana yang ditulis oleh Paulus. Saya juga tidak akan membahas definisi dari masing-masing kata (sabar, murah hati, tidak cemburu, dan lain-lain) secara mendalam. Saya hanya akan mengajak para pembaca untuk melihat definisi kasih secara sedikit lebih luas dengan melihat ayat-ayat sebelumnya (yaitu ayat 1 s.d. 3).

Dalam ayat 4 s.d. 7, kita mengerti bahwa kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, dan sebagainya. Mari kita melihat apa-apa saja yang ditulis dalam ayat-ayat sebelumnya, yaitu ayat 1 s.d. 3. Dalam ayat 1 Paulus menulis bahwa sekalipun ia dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika ia tidak memiliki kasih, maka ia sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (ay.1). Paulus adalah salah satu manusia yang sangat cerdas, sehingga ia dapat dipakai Tuhan untuk menulis berbagai surat-surat yang menjadi dasar iman Kristen dalam Perjanjian Baru. Tentu bukan perkara sulit jika ia juga telah menguasai bahasa-bahasa lain selain bahasa Ibrani maupun bahasa Yunani.

Tetapi Paulus berkata bahwa sekalipun ia dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia (dan juga menguasai bahasa malaikat), maka semua itu tidak akan berguna jika ia tidak memiliki kasih. Kasih apakah yang dimaksud di sini? Kasih di sini bisa menunjuk pada karakter yang penuh kasih (misal: kesabaran, kelemahlembutan, dan lain sebagainya). Namun karena konteks ayat 1 ini berkata bahwa penguasaan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat itu sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing (yang menunjuk pada benda yang mengeluarkan bunyi tetapi tanpa arti), maka bisa jadi kasih yang dimaksud di ayat 1 ini berbicara tentang kasih yang tidak mencari keuntungan diri sendiri tetapi harus mencari keuntungan orang lain.

Sekilas memang terlihat seperti itu. Namun demikian, saya mengajak para pembaca renungan ini untuk menjadi lebih cerdas dan tidak terlalu terpaku pada definisi di ayat 4 s.d. 7 tersebut. Oleh karena itu kita perlu melihat ayat 2 dan ayat 3 untuk mendapatkan pemahaman yang lebih lengkap dan komprehensif mengenai apakah kasih itu.

Dalam ayat 2 Paulus menambahkan bahwa sekalipun ia mempunyai karunia untuk bernubuat, mengetahui segala rahasia, memiliki seluruh pengetahuan, memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi tanpa kasih, ia sama sekali tidak berguna (ay. 2). Jika pada ayat 1 Paulus menulis mengenai kondisi dimana ia memilki kemampuan berbahasa yang luar biasa (dan bisa jadi menjadi sangat terhormat di pandangan manusia), maka di ayat 2 ini Paulus menunjukkan bahwa ia bisa saja memiliki segala macam karunia roh (antara lain bernubuat, membuat mujizat yaitu iman yang memindahkan gunung, dan lain sebagainya), tetapi ia bisa tidak mempunyai kasih.

Hal ini akan membuat sebagian pembaca Alkitab menjadi bingung. Karena Paulus menyebutkan sejumlah karunia roh tetapi di sisi lain justru menyatakan bahwa karunia roh itu bisa dimiliki tanpa buah roh yaitu tanpa adanya kasih. Bukankah ini menjadi sebuah hal yang aneh dan sukar dijelaskan? Bagaimana bisa seseorang punya iman untuk memindahkan gunung dan bahkan bernubuat tetapi tidak punya kasih? Apakah karunia roh dapat terpisah dengan buah roh? Apakah kasih yang dimaksud di dalam ayat ini?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita melihat ayat 3. Dalam ayat ini Paulus menulis bahwa sekalipun ia membagi-bagikan segala sesuatu yang ia punya dan bahkan menyerahkan tubuhnya untuk dibakar (atau menyerahkan tubuhnya untuk mati), tetapi jika ia tidak mempunyai kasih, maka sedikitpun tidak ada faedahnya bagi dirinya (ay. 3). Bayangkan jika ada seseorang yang menjual seluruh miliknya atau seluruh hartanya, bukankah itu gambaran dari seseorang yang murah hati? Bayangkan jika ada seseorang yang menyerahkan tubuhnya dan rela mati dengan cara dibakar, bukankah itu gambaran dari seseorang yang sabar dan yang tidak mencari keuntungan diri sendiri? Lalu mengapa Paulus menulis bahwa ada orang-orang yang melakukannya tetapi tidak mempunyai kasih? Apakah kasih itu?

Dalam hal ini, kita harus mencoba melihat bahwa kasih tidak hanya sekedar sabar, murah hati, tidak cemburu, dan lain sebagainya. Jika ayat lain dalam Alkitab menulis bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), maka tentu kasih yang dimaksud ini adalah kasih yang dimiliki oleh Allah itu sendiri. Dalam hal ini, saya harus tegas mengaatakan bahwa seseorang bisa saja sabar, tetapi ia tidak memiliki kasih. Seseorang bisa saja tidak cemburu, tetapi ia tidak memiliki kasih. Seseorang bisa saja tidak sombong, tetapi ia tidak memiliki kasih. Sebaliknya orang yang memiliki kasih pastilah sabar, tidak cemburu, tidak sombong, dan seterusnya.

Oleh karena itu kasih harus dipandang sebagai karakter Allah yang harus diusahakan oleh manusia, yaitu manusia yang sudah mengenal Allah dengan benar. Percuma orang Kristen mengaku diri sebagai orang yang penuh kasih tetapi ternyata ia tidak mengenal Allah dengan benar. Kasih yang dipahami orang itu hanya sebatas definisi kasih secara umum atau sebatas definisi kasih yang juga dikenal oleh orang-orang beragama lain.

Jadi apakah kasih itu? Jika boleh saya membuat definisi, kasih adalah kesesuaian terhadap kehendak Allah. Orang hanya dapat dikatakan memiliki kasih (tentu dalam hal ini kasih yang benar) jika dan hanya jika ia melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Allah. Orang yang bertindak di luar kehendak Allah tentu tidak dapat dikatakan memiliki kasih, meskipun hal tersebut dipandang baik di mata manusia lain atau di mata masyarakat pada umumnya. Kita harus memiliki kasih yang benar sehingga kita juga dipandang berkenan oleh Allah yang adalah kasih.

Oleh karena itu, jika kita melihat ayat 1, kita dapat menemukan bahwa dapat berkata-kata dalam semua bahasa manusia dan bahkan bahasa malaikat adalah baik, tetapi jika tanpa kasih (yang artinya tanpa kesesuaian dengan kehendak Allah), maka semua perkataan kita akan menjadi sia-sia dan tidak membangun. Kita sama saja dengan gong yang berbunyi nyaring tanpa makna. Orang-orang yang mendengarnya tidak akan dibangun imannya karena perkataan kita. Jika demikian, bukankah perkataan kita menjadi sia-sia? Itulah sebabnya Paulus sendiri juga menulis dalam suratnya bahwa ia lebih suka berkata-kata dengan 5 kata yang dapat dimengerti untuk mengajar orang lain daripada beribu-ribu kata dengan bahasa roh (1 Kor 14:19). Konteks dari ayat tersebut dapat dibaca dalam ayat-ayat sebelumnya, yang juga masih merupakan sambungan dari pasal 13.

Jadi dalam hal ini, Paulus ingin menekankan bahwa perkataan kita harus penuh kasih dan tidak hambar (Kol 4:6). Maksudnya adalah semua perkataan kita harus memancarkan perkataan Tuhan atau selaras dengan pikiran dan perasaan Tuhan sendiri. Kita tidak boleh berkata-kata supaya terlihat pintar dan terhormat di mata manusia tetapi justru perkataan kita tidak membangun orang atau tidak sesuai dengan isi hati Tuhan. Hal ini secara khusus merupakan tantangan bagi setiap pengkhotbah/pembicara/pendeta, karena mereka harus membuat kata-kata mereka di atas mimbar untuk dapat sesuai dengan kehendak Tuhan. Orang bisa saja belajar teori khotbah dan menyampaikan khotbah yang enak didengar. Tetapi menjadi persoalan apakah khotbah tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan dan berkenan di hadapan Tuhan?

Dalam ayat 2, kita melihat bagaimana Paulus menggambarkan kondisi orang-orang yang memiliki sejumlah karunia roh, seperti bernubuat, mengetahui segala rahasia, memiliki seluruh pengetahuan, bahkan memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung. Akan tetapi, ternyata semua hal itu menjadi sia-sia jika orang tersebut tidak memiliki kasih. Apakah maksudnya?

Kita telah mempelajari bahwa kasih adalah kesesuaian terhadap kehendak Allah. Jadi di sini meskipun ada orang yang memiliki karunia roh dan terlihat hebat di mata orang (apalagi di mata jemaat), tetapi ia juga perlu memiliki kasih. Karunia roh memang bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dalam jemaat tentu dengan tujuan untuk membangun jemaat. Namun demikian, ketika karunia itu tidak dipakai sebagaimana mestinya, maka terjadi penyimpangan di sini. Karunia roh harus dipakai untuk membangun jemaat dan bukan untuk hanya membangun diri sendiri, apalagi hanya digunakan untuk membangun citra diri.

Oleh karena itu, banyak orang Kristen yang terjebak untuk mengejar karunia roh tetapi melalaikan buah roh. Karunia roh adalah karunia yang bisa diberikan Roh Kudus kepada orang percaya. Namun karunia roh belum tentu bersifat permanen. Sementara itu buah roh adalah suatu hal logis yang dihasilkan oleh setiap orang percaya yang sudah dewasa. Buah roh ini sebenarnya bersifat permanen, berbeda dengan karunia roh yang bisa tidak permanen. Contoh hal ini adalah bisa saja orang Kristen memiliki karunia untuk membuat mujizat, tetapi ada kalanya karunia tersebut tidak dapat dilakukan terus menerus (karena mujizat pun harus dilakukan sesuai dengan kehendak Allah). Tetapi buah roh adalah bersifat permanen. Karakter yang penuh kasih, kesabaran, kelemahlembutan, penguasaan diri, dan lain sebagainya akan muncul ketika seseorang dewasa rohani dan terus bertumbuh hingga matang dengan sempurna.

Sayangnya masih banyak orang Kristen yang lebih melihat bahwa karunia roh lebih tinggi daripada buah roh. Ingat bahwa orang bisa memiliki karunia roh tetapi tidak memiliki buah roh. Sebaliknya orang yang memiliki buah roh tidak akan mempersoalkan apakah ia memiliki karunia roh atau tidak, karena ia tahu bahwa ketika ia sudah hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, maka Tuhan dapat dengan mudah memberikan karunia yang dibutuhkan kepada dirinya. Tuhan tahu bahwa orang-orang yang dewasa dan memiliki buah roh pasti tahu bahwa mereka harus menggunakan karunia roh (dan segala apa yang mereka miliki) sesuai dengan apa yang ia mau. Jika orang-orang dewasa seperti ini diberikan karunia roh, maka mereka tentu tidak akan menyalahgunakan karunia tersebut.

Dalam ayat 3, kita melihat hal yang lebih ekstrem lagi. Paulus menyebutkan bahwa sekalipun ia membagi-bagikan semua hartanya dan bahkan menyerahkan tubuhnya sendiri untuk dibakar, tetapi tanpa kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagi dirinya. Dalam dunia ini banyak orang yang bisa memberikan sebagian dari harta miliknya kepada orang lain untuk membantu orang lain. Bahkan ada juga beberapa orang yang ekstrem dan berani menjual segala sesuatunya untuk dibagi-bagikan kepada orang lain. Tindakan ini juga dilakukan oleh jemaat mula-mula yang menjual harta miliknya dan dibagikan kepada sesama jemaat (Kis 2:45). Namun demikian, ternyata ditulis bahwa meskipun seseorang menjual seluruh harta miliknya dan membagi-bagikan kepada orang lain, tetapi mereka bisa melakukannya tanpa memiliki kasih.

Lebih ekstrem lagi, Paulus menulis bahwa meskipun ia menyerahkan tubuhnya sendiri untuk dibakar, tetapi tanpa kasih semua sia-sia. Apakah maksudnya ini? Bukankah orang yang rela mati (bagi orang lain) pasti orang yang sabar dan murah hati? Mungkinkah orang dengan tingkatan seperti ini tidak memiliki kasih di dalam hidupnya? Jika kasih dimaknai secara dangkal atau disamakan dengan definisi kasih secara umum (seperti yang ada di agama-agama lain), maka hal itu sangat mungkin terjadi.

Ada orang-orang tertentu yang rela mati bagi orang lain. Di pandangan masyarakat pada umumnya, orang seperti itu adalah orang yang luar biasa memiliki kasih. Akan tetapi, menjadi pertanyaan apabila definisi kasih diartikan sebagai kesesuaian terhadap kehendak Allah, maka bahkan kematian kita pun harus sesuai dengan kehendak Allah. Itulah kasih yang benar.

Tidak heran bahwa Tuhan Yesus pernah nyaris dilempari batu oleh orang-orang Yahudi tetapi Tuhan Yesus lewat begitu saja dan tidak mati saat itu juga (Yoh 8:59, 10:31-39). Tuhan Yesus memang akan mati dan harus mati untuk menjadi Juruselamat dan menebus dosa manusia, namun kematian-Nya harus menggenapi nubuatan dalam Kitab Suci. Tuhan Yesus harus mati disalib dan bukan mati konyol karena dilempar batu. Petrus pun demikian, ia pernah ditangkap tetapi dilepaskan oleh malaikat Tuhan (Kis 12:1-19). Akan tetapi sejarah gereja mencatat bahwa pada akhirnya Petrus pun harus mati dengan kepala terbalik.

Hal yang sama terjadi kepada Paulus yang sudah beberapa kali nyaris mati bahkan nyaris mati dibunuh. Tetapi Paulus tahu bahwa ia harus mati sesuai dengan kehendak Tuhan. Oleh karena itu dalam beberapa kesempatan Paulus pun mau melarikan diri (Kis 9:23-25) maupun dikawal oleh pasukan Romawi supaya tidak dibunuh orang Yahudi (Kis 23:12-35). Akan tetapi ia tetap berani datang ke Yerusalem meskipun ia tahu bahwa ada risiko ia akan ditangkap (Kis 21:10-14). Sekilas terlihat ada kontradiksi bagaimana Paulus siap untuk pergi ke Yerusalem meskipun ia tahu akan ditangkap oleh orang-orang Yahudi, tetapi setelah ditangkap, ia meminta perlindungan dari pasukan Romawi supaya tidak dibunuh orang Yahudi di tengah jalan. Mengapa Paulus seakan-akan menjadi pengecut seperti itu?

Supaya kita lebih cerdas, kita harus melihat konteks peristiwa yang dialami oleh Paulus sebelum memutuskan bersedia dikawal oleh pasukan Romawi. Dalam ayat sebelumnya dikatakan bahwa Tuhan datang berdiri di sisinya dan berkata kepadanya: "Kuatkanlah hatimu, sebab sebagaimana engkau dengan berani telah bersaksi tentang Aku di Yerusalem, demikian jugalah hendaknya engkau pergi bersaksi di Roma" (Kis 23:11). Oleh karena itu, adalah kehendak Tuhan supaya Paulus pergi bersaksi di Roma. Jadi jika Paulus mendengar info rencana pembunuhan dirinya dan bersikap pasrah begitu saja, maka itu pun adalah pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Jika Paulus mati dibunuh ketika ia hendak dihadapkan ke Makhamah Agama, maka itu bukanlah kasih, karena kasih yang sejati (atau kasih yang benar) adalah kesesuaian terhadap kehendak Allah.

Oleh karena itu, sangatlah dini jika kita mengatakan diri kita memiliki kasih ketika kita mau memberikan uang kepada pengemis, atau mau menjual barang milik kita dan menyerahkannya untuk gereja. Semua hal harus dalam kontrol dan tuntunan Tuhan. Jika Tuhan berkata kepada kita: “Berikan uang sekian kepada si A”, maka ketika kita menaati suara Tuhan tersebut, barulah itu dikatakan sebagai kasih. Tetapi jika Tuhan tidak menyuruh kita, namun kita menjual mobil kita dan memberikan seluruh uang bagi pembangunan gereja, itu tidak dapat dikatakan kasih di pandangan Tuhan, meskipun kebanyakan orang (termasuk pendeta) akan berkata bahwa kita memiliki kasih yang besar. Belajarlah memiliki kasih yang benar, yaitu kesesuaian terhadap kehendak-Nya. Belajarlah peka untuk mendengar suara-Nya dan mengerti kehendak-Nya. Belajarlah memiliki kerelaan untuk melakukan kehendak-Nya, sesulit apapun itu. Maka barulah kita dapat dipandang sebagai orang yang memiliki kasih yang benar di hadapan Tuhan.



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:1-7
13:1 Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
13:2 Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna.
13:3 Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku.
13:4 Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong.
13:5 Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain.
13:6 Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
13:7 Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.

Selasa, 30 Januari 2018

Tidak Menjamah Orang yang Diurapi Tuhan



Selasa, 30 Januari 2018
Bacaan Alkitab: 1 Samuel 26:7-11
Tetapi kata Daud kepada Abisai: "Jangan musnahkan dia, sebab siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?" (1 Sam 26:9)


Tidak Menjamah Orang yang Diurapi Tuhan


Kalimat seperti judul renungan kita hari ini mungkin cukup sering terdengar di kalangan orang Kristen. Kalimat tersebut biasa keluar dari mulut seorang pendeta, gembala sidang, pengkhotbah, bahkan lulusan sekolah Alkitab. Terdapat beberapa kali kalimat yang hampir mirip dengan judul renungan ini muncul dalam Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Mungkin suatu saat nanti kita juga perlu membahas dan membuat serial renungan mengenai orang yang diurapi atau bahkan mengenai urapan/pengurapan dalam Alkitab.

Salah satu ayat mengenai orang yang diurapi ada dalam bagian bacaan Alkitab kita hari ini. Latar belakang peristiwa ini adalah ketika Daud sedang lari dari kejaran Saul karena Daud dianggap berpotensi mengancam tahta kerajaan yang sedang diduduki Saul. Pada suatu waktu ketika sedang memburu Daud, Saul dan para tentara sedang beristirahat/tidur pada waktu malam. Saul tidur di tengah-tengah perkemahan dan para perwira dan prajurit-prajurit berbaring di sekelilingnya (ay. 7).

Daud dan Abisai datang ke perkemahan Saul tersebut dan dengan mudah sudah berada di dekat Saul tanpa ada orang yang menyadarinya. Saat itu Abisai berkata kepada Daud bahwa Allah telah menyerahkan musuhnya (yaitu raja Saul) ke dalam tangan Daud, dan meminta ijin untuk menikam Saul dengan tombaknya (ay. 8). Bahkan Abisai berkata bahwa cukup hanya dengan 1 tikaman tombak saja, Saul pasti mati dan kemudian Daud dapat dengan mudah menjadi raja atas Israel.

Akan tetapi Daud menolak usul Abisai tersebut. Ia tahu bahwa Allah-lah yang telah menunjuk Saul menjadi raja atas Israel. Daud tahu pula bahwa Allah juga telah menunjuk dirinya menjadi Raja Israel menggantikan Saul (meskipun pada waktu itu Saul masih hidup). Oleh karena itu Daud berkata supaya Abisai jangan membunuh Saul (ay. 9a). Ada kalimat selanjutnya yang sering digunakan oleh sejumlah pendeta/pengkhotbah/pembicara sebagai kalimat sakti yaitu: “sebab siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?” (ay. 9b). Persoalannya, seringkali ayat tersebut tidak dilihat sesuai konteksnya.

Konteks peristiwa tersebut adalah dalam masa Perjanjian Lama, atau lebih tepatnya lagi adalah dalam masa awal berdirinya kerajaan Israel yang dipimpin oleh seorang raja. Sebelum Saul naik menjadi raja pertama bagi orang Israel, bangsa Israel dipimpin oleh hakim-hakim. Sebelumnya, bangsa Israel dipimpin oleh Musa dan Yosua. Selain itu selama ini orang-orang yang diurapi dalam masa Perjanjian Lama hanyalah para imam (Kel 30:30-33, Kel 40:12-15). Ketika bangsa Israel mulai tinggal menetap di tanah Kanaan, mereka sebenarnya masih dipimpin oleh seorang imam (atau imam besar), seperti Imam Eli dan juga Samuel. Selama ini mereka adalah imam-imam yang memang diurapi untuk menjadi pemimpin bagi bangsa Israel (baik secara jasmani dan rohani).

Namun ketika bangsa Israel menginginkan dipimpin oleh seorang raja (seperti bangsa-bangsa lain), maka pada awalnya Samuel gusar, karena itu dapat dikatakan sebagai suatu “kudeta” terhadap jabatan para imam. Namun Tuhan menghibur hati Samuel dan berkata kepadanya bahwa bukan Samuel yang ditolak bangsa Israel, tetapi Tuhanlah yang mereka tolak (1 Sam 8:7). Sejak itu, muncul jabatan baru yang juga menerima pengurapan yaitu jabatan raja. Seorang raja Israel harus diurapi karena mereka adalah seorang pemimpin Israel juga, sama seperti para imam. Desain awal jabatan raja adalah raja dan imam sama-sama merupakan pemimpin jasmani dan rohani, namun bedanya raja dapat mewakili bangsa Israel ketika berdialog dengan bangsa-bangsa di luar negeri, sementara imam lebih cenderung mengurusi urusan dalam negeri. Itulah sebabnya seorang raja juga harus diurapi sama seperti imam yang diurapi.

Dalam perkembangannya, ternyata pola pembagian seperti ini mulai bergeser, karena seorang raja hanya mengurusi persoalan jasmani sementara imam mengurusi urusan-urusan rohani. Akibatnya terjadi pemisahan tugas dan fungsi raja dan imam. Namun secara tradisi, seorang raja tetap harus diurapi, meskipun makna pengurapannya tersebut menjadi nyaris tak berarti, karena ternyata cukup banyak raja Israel (dan juga Yehuda) yang pada akhirnya bertindak melawan Tuhan.

Kembali lagi kepada konteks Saul dan Daud pada waktu itu, Saul adalah orang awam pertama (selain para imam) yang mendapatkan pengurapan dari Tuhan. Daud sendiri adalah orang awam kedua (setelah Saul) yang menerima pengurapan. Oleh karena itu posisi mereka kedua-duanya cukup unik. Daud sendiri sangat menghargai Saul yang merupakan orang awam pertama yang diijinkan diurapi Tuhan. Oleh karena itu perkataan Daud di sini harus dilihat dalam konteks dan latar belakang tersebut. Keistimewaan Saul bukan hanya terletak pada fakta bahwa ia diurapi oleh Tuhan, tetapi karena ia adalah orang awam pertama yang diurapi. Dalam masa-masa selanjutnya, kita melihat bahwa pengurapan terhadap raja memiliki makna yang nyaris tidak ada artinya selain hanya seremonial belaka. Itulah sebabnya kalimat “jangan menjamah/mengusik orang yang diurapi Tuhan” yang merujuk kepada sebenarnya hanya muncul di awal-awal kerajaan Israel (contoh: 1 Taw 6:22 yang dikutip dalam Mzm 105:15, sebagai mazmur yang ditulis Daud, serta peristiwa di dalam 1 Sam 24 dan 1 Sam 26). Dalam masa-masa selanjutnya, frasa tersebut tidak ditemukan lagi di dalam Alkitab.

Jika kita melanjutkan membaca perikop kita hari ini, kita akan menemukan bahwa konteks “sebab siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi Tuhan, dan bebas dari hukuman” adalah bahwa jika Daud membunuh Saul, maka itu adalah pelanggaran terhadap hukum Taurat ke-6 yang berbunyi: “Jangan membunuh” (Kel 20:13). Ingat bahwa hukum Taurat berlaku bagi orang Israel (khususnya kepada sesama orang Israel), dan tidak berlaku kepada musuh-musuh mereka (seperti orang Filistin, orang Amalek, dan lain sebagainya). Sehingga jika Daud membunuh Saul, maka ia melanggar hukum Taurat dan mendatangkan hukuman bagi dirinya.

Sebenarnya, jika Saul mati maka hal itu akan menguntungkan Daud karena ia akan naik sebagai raja. Ingat bahwa secara de jure Daud sudah diurapi sebagai raja Israel, tetapi secara de facto Daud hanyalah seorang pelarian yang dikejar-kejar oleh raja Israel yang sedang berkuasa. Daud dapat saja membunuh Saul dan kemudian naik menjadi raja, tetapi Daud memilih untuk tidak melakukannya. Daud tahu bahwa jika ia telah diurapi sebagai raja Israel, meskipun Saul masih menjadi raja Israel, maka hal tersebut tinggal menunggu waktu Tuhan. Dalam hal ini nampak iman Daud yang luar biasa dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum meskipun hal itu dapat menggenapi nubuatan Tuhan atas dirinya. Daud memilih menyerahkan kepada Tuhan untuk membuat waktu yang tepat baginya untuk naik tahta. Oleh karena itu kalimat Daud di ayat 10 ini sangat luar biasa: “Tuhan akan membunuh dia (Saul), entah karena sampai ajalnya dan ia mati (mati karena sudah waktunya, atau karena sudah lanjut usianya), atau karena ia berperang dan mati di sana” (ay. 10). Daud tidak mau menjamah Saul dan kemudian menyuruh Abisai untuk mengambil tombak dan kendi di dekat Saul kemudian pergi tanpa mengangkat tangan melawan Saul (ay. 11). Nyatanya, kita kemudian tahu bahwa Tuhan membuat Saul mati ketika ia pergi berperang melawan orang Filistin (1 Sam 31:1-7).

Oleh karena itu, adalah suatu hal yang lucu jika banyak pendeta/pembicara/pengkhotbah menyampaikan firman tentang “jangan mengusik/menjamah orang yang diurapi Tuhan”, seakan-akan mereka adalah orang-orang spesial yang telah diurapi Tuhan. Jika kita memperhatikan bahwa kalimat “jangan mengusik/menjamah orang yang diurapi Tuhan” di dalam Alkitab hanya diucapkan/ditulis oleh Daud. Dan Daud tidak mengatakan hal itu untuk melindungi dirinya atau jabatannya sebagai raja. Daud mengucapkan hal itu untuk mengingatkan dirinya supaya tidak menjamah Saul (yang adalah orang awam pertama yang diurapi oleh Tuhan) dan tidak berbuat dosa bagi dirinya sendiri.

Sementara itu konteks pengurapan di zaman Perjanjian Baru sangatlah berbeda dengan masa Perjanjian Lama. Kita harus mencoba belajar, apakah di masa Perjanjian Baru ini ada orang-orang khusus yang diurapi Tuhan ataukah semua orang percaya diurapi Tuhan? Di sini kita harus tekun belajar kebenaran firman Tuhan khususnya firman Tuhan di dalam Perjanjian Baru. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan membuat kita cerdas dan tidak mudah ditipu dan disesatkan oleh orang-orang yang menggunakan ayat Alkitab tanpa melihat konteks dan latar belakang.

Jadi saya setuju bahwa kita memang tidak boleh menjamah/mengusik orang yang diurapi Tuhan. Tetapi persoalannya, siapakah orang yang diurapi Tuhan tersebut? Bahkan dengan tegas saya menyatakan bahwa kita pun tidak boleh menjamah atau mengusik orang lain, termasuk orang-orang yang bukan orang Kristen atau orang beragama lain. Kita tidak boleh merugikan orang lain dan berbuat jahat kepada orang lain. Jika kita merugikan orang lain, bagaimana orang tersebut bisa mengenal Tuhan Yesus yang benar, yang katanya penuh kasih, sementara orang Kristen tidak menunjukkan kehidupan yang penuh kasih? Jika demikian, nama Tuhan akan dihujat karena perbuatan kita.

Jadi persoalan kalimat “jangan menjamah/mengusik orang yang diurapi Tuhan” sebenarnya sudah tidak relevan lagi dikhotbahkan di atas mimbar gereja. Apalagi jika khotbah itu hanya disampaikan untuk mengesankan bahwa para pendeta/pembicara/pengkhotbah adalah orang-orang spesial yang diurapi Tuhan dan jemaat bukan orang-orang yang diurapi Tuhan. Itu adalah penyesatan yang luar biasa karena membangun semacam kasta di dalam gereja. Padahal firman Tuhan jelas berkata bahwa kita adalah imamat yang rajani (1 Ptr 2:9), sehingga dapat dikatakan bahwa kita semua adalah imam-imam kerajaan, sehingga tidak perlu adanya suatu “perantara” antara orang percaya dengan Tuhan. Semua kita dapat berhubungan langsung dengan Tuhan, dan di mata Tuhan tidak ada posisi atau jabatan-jabatan gerejawi tertentu yang membuat mereka lebih dekat dengan Tuhan dibanding jemaat.

Kedekatan seseorang dengan Tuhan hanya ditentukan oleh tingkat kekudusan hidup dan kerelaan untuk melakukan kehendak Bapa dengan sempurna. Orang yang menjaga kekudusan hidup dan mau melakukan kehendak Bapa tentu akan lebih dekat dengan Tuhan meskipun orang itu tidak menduduki jabatan tertentu di dalam gereja. Sementara itu meskipun ada orang yang menjadi seorang pendeta, namun jika ia tidak menjaga kekudusan hidup dan menolak melakukan kehendak Bapa, maka ia sedang hidup jauh dari jalan Tuhan. Di sini harus dipahami bahwa tidak ada jabatan tertentu dalam gereja yang membuat doa seseorang lebih didengar atau tidak. Kita juga tidak boleh berpikir bahwa jika didoakan pendeta tertentu maka doanya akan semakin manjur. Setiap kita dapat langsung ebrurusan dengan Tuhan tanpa menggunakan perantara, sama seperti keselamatan kita masing-masing adalah urusan kita pribadi lepas pribadi dengan Tuhan sendiri.



Bacaan Alkitab: 1 Samuel 26:7-11
26:7 Datanglah Daud dengan Abisai kepada rakyat itu pada waktu malam, dan tampaklah di sana Saul berbaring tidur di tengah-tengah perkemahan, dengan tombaknya terpancung di tanah pada sebelah kepalanya, sedang Abner dan rakyat itu berbaring sekelilingnya.
26:8 Lalu berkatalah Abisai kepada Daud: "Pada hari ini Allah telah menyerahkan musuhmu ke dalam tanganmu, oleh sebab itu izinkanlah kiranya aku menancapkan dia ke tanah dengan tombak ini, dengan satu tikaman saja, tidak usah dia kutancapkan dua kali."
26:9 Tetapi kata Daud kepada Abisai: "Jangan musnahkan dia, sebab siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?"
26:10 Lagi kata Daud: "Demi TUHAN yang hidup, niscaya TUHAN akan membunuh dia: entah karena sampai ajalnya dan ia mati, entah karena ia pergi berperang dan hilang lenyap di sana.
26:11 Kiranya TUHAN menjauhkan dari padaku untuk menjamah orang yang diurapi TUHAN. Ambillah sekarang tombak yang ada di sebelah kepalanya dan kendi itu, dan marilah kita pergi."