Jumat, 25 Januari 2019

Pornos dan Moichos (21): Keputusan yang Konsisten


Jumat, 25 Januari 2019
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 21:17-25
Tetapi mengenai bangsa-bangsa lain, yang telah menjadi percaya, sudah kami tuliskan keputusan-keputusan kami, yaitu mereka harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. (Kis 21:25)


Pornos dan Moichos (21): Keputusan yang Konsisten


Ternyata berita bohong (hoaks) dan fitnah bukan hanya terjadi di zaman modern seperti sekarang ini. Sekitar 2.000 tahun yang lalu, pada masa gereja mula-mula, sudah ada banyak hoaks dan fitnah yang bersebaran. Jika kita konsisten mengikuti membaca Alkitab, maka kita akan tahu bahwa ada jeda yang cukup lama antara peristiwa di Kisah Para Rasul pasal 15 dan 21, dimana dalam jeda tersebut (mungkin sekitar beberapa tahun), Paulus dan rekan-rekan sepelayanannya sudah memberitakan Injil ke banyak daerah kepada bangsa-bangsa non Yahudi.

Dalam Kisah Para Rasul pasal 21, konteks peristiwa pada waktu itu adalah ketika Paulus hendak ke Yerusalem, meskipun ia sudah mengerti bahwa ia akan ditangkap dan menderita di Yerusalem. Tetapi Paulus tetap teguh pada pendiriannya karena ia mengerti kehendak Tuhan secara khusus bagi dirinya. Ketika Paulus dan rekan-rekannya tiba di Yerusalem, semua saudara menyambut dengan gembira (ay. 17). Paulus pun mengunjungi para pemimpin jemaat (antara lain Yakobus) dan para penatua di Yerusalem (ay. 18). Paulus menceritakan apa yang ia lakukan selama beberapa waktu tersebut di antara bangsa-bangsa lain (ay. 19).

Mendengar cerita Paulus tersebut, semua orang yang hadir memuji dan memuliakan Allah. Para pemimpin dan penatua di Yerusalem juga berkata bahwa ribuan orang Yahudi menjadi percaya kepada Yesus dan mereka semua tetap rajin memelihara hukum Taurat (ay. 20). Kita harus mengerti bahwa masa itu adalah masa awal pembentukan jemaat mula-mula. Sedang terjadi transisi dari kekristenan sebagai salah satu bagian dalam agama Yahudi menjadi suatu “agama” baru. Karena Yesus sendiri lahir sebagai orang Yahudi dan pada awalnya juga sebagian besar pengikutnya adalah maka tentu kebanyakan orang yang percaya di dalam jemaat mula-mula juga adalah orang Yahudi.

Sebagian orang Yahudi yang mendengar khotbah Tuhan Yesus (atau mendengar khotbah murid-murid-Nya setelah peristiwa Tuhan Yesus naik ke surga), akhirnya menjadi percaya dan mengakui bahwa Yesus adalah Mesias. Mereka mungkin mereka belum sepenuhnya mengakui Yesus adalah Tuhan atau Kurios atau salah satu pribadi di dalam lembaga Elohim. Itulah sebabnya kata percaya di sini sebenarnya tidaklah sama dengan percaya yang seharusnya. Hal ini tentu dapat dipahami karena orang Yahudi tersebut masih menjalankan dan memelihara hukum Taurat mereka. Mereka masih menyangka bahwa hukum Taurat tetap harus dipelihara, seperti menjauhi makanan yang tidak kosher, mempersembahkan korban bakaran, termasuk memelihara tradisi sunat bagi laki-laki.

Itulah sebabnya di kalangan orang Yahudi (bahkan termasuk di kalangan orang Yahudi yang sudah “percaya”), mereka mendengar isu dan berita bahwa Paulus mengajar orang-orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain (di luar daerah Israel) untuk melepaskan hukum Taurat. Mereka mendengar berita yang menyatakan bahwa Paulus melarang orang menyunatkan anak-anaknya dan hidup menurut adat istiadat Yahudi (ay. 21). Ini adalah berita bohong atau hoaks. Paulus memang mengajarkan kepada orang non Yahudi bahwa mereka tidak wajib bersunat, tetapi yang sudah terlanjur disunat, tidak perlu menghilangkan tanda-tanda sunatnya (1 Kor 7:18). Hal itu mungkin sekali diputarbalikkan oleh segelintir oknum Yahudi yang tidak suka dengan Paulus. Akibatnya berita besar tersebar di antara kalangan orang Yahudi bahwa Paulus telah menista agama Yahudi.

Hal ini telah menjadi perhatian bagi para pemimpin jemaat waktu itu. Oleh karena itu Yakobus menyarankan agar Paulus membawa 4 orang yang sedang bernazar untuk beribadah ke Bait Allah. Dengan demikian diharapkan orang dapat melihat bahwa Paulus tetap menjalankan adat istiadat Yahudi (sebagai orang Yahudi) dan tidak berniat mengubahnya meskipun ia sudah menjadi orang Kristen (ay. 22-24). Dalam hal ini mengingat kekristenan masih berada di awal pembentukannya, maka masih ada sedikit dualisme antara orang Kristen dari kelompok Yahudi dan orang Kristen dari kelompok non Yahudi. Namun demikian, para pemimpin jemaat (yang notabene sebagian besar adalah berasal dari kelompok orang Yahudi), tidak mewajibkan orang Kristen non Yahudi untuk disunat. Mereka hanya diminta untuk menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan (ay. 25).

Patut dibayangkan kondisi kota Yerusalem ketika ada informasi bahwa Paulus (orang yang dianggap sudah menista agama Yahudi) akan datang ke Yerusalem. Kekristenan pada masa itu berada di ambang perpecahan, antara orang Kristen dari kelompok Yahudi dan dari kelompok non Yahudi. Apa yang dilakukan pemimpin jemaat (seperti Petrus atau Yakobus) pada waktu itu? Apakah mereka akan menerbitkan “fatwa” baru bahwa orang Kristen (baik Yahudi maupun non Yahudi) sebaiknya disunat seperti yang tertulis dalam hukum Taurat guna meredam kemungkinan konflik yang akan terjadi?

Ternyata jawabannya adalah tidak. Pemimpin jemaat di Yerusalem tetap pada keputusan semula bahwa orang Kristen non Yahudi tidak wajib disunat. Mereka hanya dianjurkan untuk menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Konsistensi ini patut diacungi jempol karena di dalam tekanan maupun kondisi yang tidak kondusif, para pemimpin tetap konsisten menyatakan apa yang wajib dan apa yang tidak wajib, apa yang mayor dan apa yang minor.

Memang dalam beberapa kasus dibutuhkan dinamisitas yang tinggi dari seorang pemimpin. Akan tetapi, patut dihargai bahwa terkait dengan keputusan sidang pimpinan jemaat di Yerusalem, hal tersebut tetap menjadi suatu anjuran yang konsisten dan tidak diubah-ubah demi kepentingan segelintir orang. Para pemimpin jemaat pada waktu itu sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan sehiingga keputusan yang diambil bisa tetap diterapkan dengan konsisten. Mereka bukan para pemimpin yang plin-plan dan berubah-ubah sesuai dengan arah angin. Perkataan dan keputusan mereka sungguh-sungguh dapat dipegang sehingga jemaat tidak dibuat bingung.

Saya sendiri pernah bertemu dengan seorang pendeta yang di suatu waktu menyatakan bahwa pernikahan salah satu jemaatnya dengan orang luar gereja adalah sah di mata hukum dan di mata Tuhan karena sudah diberkati di gereja dan telah didaftarkan ke catatan sipil, meskipun pernikahan mereka diawali dengan “kecelakaan”. Namun beberapa waktu kemudian, pendeta tersebut berkata bahwa pernikahannya tidak sah di mata Tuhan karena orang luar gereja itu kembali ke kebiasaannya yang lama. Hal ini tentu saja dapat membingungkan jemaat apalagi jemaat yang awam. Nyatanya ternyata jemaat tadi menikah lagi dengan orang dalam gereja dengan cara yang sama: “kecelakaan” dahulu sebelum menikah. Jadi, sampai saat ini ada banyak jemaat yang bertanya-tanya, sebenarnya apa sih ukuran pernikahan itu bisa dikatakan sah atau tidak? Lalu apakah bisa pernikahan yang dahulu dibilang sah kemudian menjadi tidak sah? Hal apa yang membuat suatu pernikahan menjadi tidak sah lagi?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sebenarnya adalah hal minor yang terjadi karena melalaikan hal-hal yang mayor. Andaikata penekanan terhadap anjuran bapa-bapa gereja mula-mula masih konsisten ditekankan, yaitu salah satunya adalah menjauhi percabulan, gereja (pendeta dan jemaat) tidak akan disibukkan dengan urusan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Pernikahan di dalam gereja akan menjadi pernikahan yang suci dan kudus, dan bahkan bisa menjadi contoh maupun teladan bagi orang-orang di sekitar mereka termasuk bagi mereka yang belum percaya.

Dalam hal ini saya tidak menyalahkan pendeta karena mungkin saja ia menghadapi tekanan yang luar biasa sehingga muncul pernyataan yang tidak konsisten. Saya pun ketika berada dalam posisinya sangat mungkin juga akan melakukan hal yang sama. Akan tetapi, apa yang dapat saya pelajari dari kasus di atas adalah bahwa ketika kita betul-betul menyadari mana hal yang mayor dan mana hal yang minor, maka kita pasti akan berusaha memprioritaskan hal-hal yang mayor untuk dilakukan. Kita harus belajar untuk konsisten dalam belajar kebenaran, konsisten dalam menyampaikan kebenaran, serta konsisten dalam melakukan kebenaran.






Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 21:17-25
21:17 Ketika kami tiba di Yerusalem, semua saudara menyambut kami dengan suka hati.
21:18 Pada keesokan harinya pergilah Paulus bersama-sama dengan kami mengunjungi Yakobus; semua penatua telah hadir di situ.
21:19 Paulus memberi salam kepada mereka, lalu menceriterakan dengan terperinci apa yang dilakukan Allah di antara bangsa-bangsa lain oleh pelayanannya.
21:20 Mendengar itu mereka memuliakan Allah. Lalu mereka berkata kepada Paulus: "Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan mereka semua rajin memelihara hukum Taurat.
21:21 Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita.
21:22 Jadi bagaimana sekarang? Tentu mereka akan mendengar, bahwa engkau telah datang ke mari.
21:23 Sebab itu, lakukanlah apa yang kami katakan ini: Di antara kami ada empat orang yang bernazar.
21:24 Bawalah mereka bersama-sama dengan engkau, lakukanlah pentahiran dirimu bersama-sama dengan mereka dan tanggunglah biaya mereka, sehingga mereka dapat mencukurkan rambutnya; maka semua orang akan tahu, bahwa segala kabar yang mereka dengar tentang engkau sama sekali tidak benar, melainkan bahwa engkau tetap memelihara hukum Taurat.
21:25 Tetapi mengenai bangsa-bangsa lain, yang telah menjadi percaya, sudah kami tuliskan keputusan-keputusan kami, yaitu mereka harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan."

Jumat, 18 Januari 2019

Pornos dan Moichos (20): Menyampaikan Keputusan dengan Terbuka

Jumat, 18 Januari 2019
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 15:22-29
"Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini: kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat." (Kis 15:28-29)


Pornos dan Moichos (20): Menyampaikan Keputusan dengan Terbuka


Sekilas, renungan hari ini tidak akan terlalu banyak membahas mengenai makna kata percabulan (porneia) di ayat 29, karena sebenarnya intinya sudah cukup banyak dijelaskan di renungan hari sebelumnya. Namun demikian, ada satu hal yang menarik dari peristiwa sidang di Yerusalam tersebut yaitu tentang bagaimana para pemimpin gereja mula-mula tersebut mengambil keputusan dan untuk selanjutnya disampaikan kepada seluruh jemaat yang ada.

Jangan dibayangkan kondisi waktu itu sama dengan kondisi saat ini, dimana informasi dapat dengan mudah dikirimkan dan diterima melalui aplikasi chatting dan media sosial. Pada masa itu, informasi harus dikirim melalui surat atau melalui orang yang dapat dipercaya. Pada waktu itu, keputusan yang diambil dalam sidang para rasul dan penatua jemaat di Yerusalem harus disampaikan kepada jemaat Tuhan, khususnya jemaat di Antiokhia (yang kemungkinan besar adalah jemaat terbesar pada waktu itu, karena di sanalah orang percaya disebut sebagai Kristen/Kristiani, yang artinya adalah pengikut Kristus).

Dalam menyampaikan keputusan tersebut, para rasul mengutus beberapa orang yang terpandang dan dapat dipercaya untuk menyampaikan keputusan hasil sidang di Yerusalem, yaitu Paulus, Barnabas, Yudas/Barsabas, dan Silas (ay. 22). Mereka adalah orang-orang yang terpandang di antara orang percaya. Tentu mereka juga adalah orang-orang yang dapat dipercayai, yang sudah terbukti dan teruji dalam pelayanan.

Kepada mereka kemudian diserahkan surat yang memuat hasil keputusan para pemimpin gereja di  Yerusalem. Jika kita melihat, surat tersebut ditujukan kepada saudara-saudara seiman (jemaat) di Antiokhia, Siria, dan Kilkia, khususnya mereka yang berasal dari bangsa-bangsa lain selain bangsa Yahudi (ay. 23). Jemaat dari bangsa non Yahudi tentu juga gelisah karena ada ajaran yang menyatakan bahwa orang percaya juga harus disunat seperti orang Yahudi (ay. 24). Untuk mengatasi kebimbangan tersebut, maka pemimpin jemaat bertindak cepat untuk mengambil keputusan dan menyampaikannya kepada jemaat melalui utusan-utusan yang dapat dipercaya (ay. 25-27).

Tidak dapat disangkal, bahwa sunat adalah tradisi turun temurun agama Yahudi yang dilakukan oleh keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub. Bedanya, agama Yahudi mewajibkan sunat bagi setiap anak laki-laki pada hari kedelapan setelah lahir sama seperti Ishak yang disunat pada hari kedelapan. Dengan pimpinan Roh Kudus, para pemimpin jemaat melalui surat ini hendak menunjukkan bahwa agama Kristen tidaklah sama dengan agama Yahudi. Kekristenan bukan merupakan salah satu “sekte” dalam agama Yahudi. Kekristenan adalah jalan hidup, artinya tidak terikat dengan hukum-hukum lahiriah (seperti hukum Taurat), tetapi terikat dengan pribadi Yesus sebagai contoh dan teladan yang harus kita ikuti jejaknya.

Sejak peristiwa ini, kekristenan tidak dapat dipandang lagi sama seperti agama-agama lain. Kekristenan memiliki posisi yang unik karena tidak ada aturan tertulis mengenai syariat seperti yang dimiliki agama Yahudi. Kekristenan tidak memiliki hukum-hukum yang rumit yang membebani orang percaya karena hal itu hanya akan membuat seseorang menjalankan hukum hanya sesuai bunyinya semata (ay. 28). Memang tetap ada suatu anjuran tetapi lebih bersifat umum dan dalam kaitannya dengan hidup kekristenan di masa-masa itu, yaitu: “menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan” (ay. 29a).

Kita tidak akan membahas banyak hal mengenai apa yang dianjurkan tersebut karena sudah dibahas dalam renungan sebelumnya. Akan tetapi saya ingin menekankan satu kalimat penutup dimana “jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik” (ay. 29b). Perhatikan bahwa sebenarnya anjuran dari hasil keputusan sidang di Yerusalem bukanlah sesuatu yang sangat penting, meskipun bisa dikatakan penting juga. Hal ini penting karena membawa kita kepada kebaikan, dan melakukan anjuran tersebut adalah suatu perbuatan baik. Tetapi bagi umat Perjanjian Baru, baik saja tidaklah cukup. Seseorang harus berjuang untuk tidak sekedar menjadi baik, tetapi sampai kepada level sempurna (Rm 12:2), sama seperti Tuhan Yesus yang telah mencapai kesempurnaan-Nya (Ibr 5:9). Namun sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbuatan baik itu pun penting, karena tidak mungkin kita bisa berjuang untuk sempurna jika kita belum mencapai level kebaikan secara umum.

Terkait dengan level kebaikan secara umum ini, kita akan sedikit memfokuskan kepada kata percabulan yang ada di ayat 29. Dalam bahasa aslinya, kata percabulan menggunakan kata porneias (πορνείας) dari akar kata porneia (πορνεία). Kita telah banyak membahas dalam renungan-renungan sebelumnya bahwa kata porneia ini menunjuk dosa percabulan yang lebih parah dibandingkan dengan kata moicheuó (μοιχεύω). Hal ini memang dapat menunjuk pada praktik perzinahan/percabulan secara harafiah (hubungan seks yang merusak hakikat pernikahan), maupun secara metafora (mencintai dunia dan tidak mencintai Tuhan).

Secara umum, perzinahan baik jasmani maupun rohani tidaklah dibenarkan dalam hampir semua kebudayaan maupun agama. Oleh karena itu, anjuran yang merupakan keputusan sidang di Yerusalem harus disampaikan secara terbuka kepada semua jemaat. Sekitar 2.000 tahun yang lalu, para pemimpin jemaat sudah menyadari pentingnya suatu standar yang sama yang harus dimiliki oleh semua orang Kristen. Untuk itulah meskipun banyak keterbatasan, mereka tetap mengusahakan agar jemaat-jemaat di kota-kota lain juga dapat mendengar dan memahami anjuran ini, supaya mereka antara lain menjauhi percabulan dan dapat menjadi teladan dalam hidupnya. Jelas bahwa umat percaya pada masa itu memiliki suatu standar kehidupan seksual yang dapat diteladani: yaitu menjauhi percabulan, dan hal ini pasti ditekankan terus dari waktu ke waktu oleh para pemimpin gereja kepada jemaat mereka.

Bayangkan jika informasi ini hanya diputuskan di Yerusalem tanpa disebarkan ke jemaat lain, bisa jadi ada sejumlah jemaat yang masih hidup dalam dosa dan tidak mengetahui bahwa apa yang ia lakukan salah. Pengumuman keputusan sidang Yerusalem ini juga ingin menunjukkan bahwa siapa jemaat yang benar dan siapa jemaat yang ikut-ikutan. Jemaat yang benar adalah mereka yang mau menaati hasil keputusan sidang tersebut sebagai keputusan tertinggi yang dibuat pada masa gereja mula-mula dalam tuntunan Roh Kudus. Ini juga akan membedakan antara jemaat asli dengan jemaat palsu/semu. Jemaat palsu/semu mungkin mengakui akan 4 anjuran tersebut, tetapi mereka menambahkan aturan-aturan lain seperti sunat, puasa, mempersembahkan korban, dan adat-adat agama Yahudi lainnya. Tetapi dengan keputusan yang diumumkan secara terbuka ini, maka jemaat dan orang banyak akan mengerti manakah jemaat yang benar dan manakah jemaat yang palsu. Mereka akan dapat melihat manakah pemimpin yang benar dan pemimpin yang palsu. Jika demikian, lalu apa aplikasinya bagi kita di masa modern ini?

Bagi saya secara pribadi, hal ini menunjukkan bahwa dinamika permasalahan di dalam suatu organisasi gereja maupun jemaat sudah terjadi sejak masa gereja mula-mula. Bahkan jika mau jujur, mereka menghadapi tantangan yang sangat berat, termasuk penganiayaan dari orang Yahudi dan orang Romawi, serta adanya doktrin-doktrin palsu yang mencoba menyusup. Namun semua itu dapat diatasi dengan suatu keputusan bersama yang dibuat oleh para pemimpin gereja di dalam pimpinan Roh Kudus. Tidak hanya bersidang dan mengambil keputusan dengan bijaksana, mereka pun juga mengumumkannya dengan terbuka supaya diketahui oleh seluruh jemaat bahkan hingga ke kota-kota lain. Saya yakin bahwa keputusan ini dijalankan secara konsekuen oleh jemaat mula-mula tanpa banyak protes. Mereka yang awalnya pro sunat pun juga menerima keputusan yang sudah diambil. Dan sampai dengan saat ini, kita melihat bahwa sunat sudah tidak lagi menjadi syarat wajib bagi penganut agama Kristen.

Dalam hal ini kita harus belajar mengakui kedewasaan para pemimpin jemaat mula-mula pada masa itu. Mereka mungkin sempat berbeda pandangan mengenai kewajiban sunat bagi umat percaya. Tetapi setelah diputuskan di dalam sidang, maka semua mengakui hasil keputusan sidang tersebut. Kita melihat bahwa sesudah peristiwa ini Alkitab tidak mencatat lagi adanya perbedaan pendapat terkait dengan sunat bagi umat Perjanjian Baru. Memang masih ada pengajaran Paulus mengenai sunat dalam surat-suratnya, tetapi tidak terkait dengan perbedaan pendapat sunat ini.

Selain itu, sikap terbuka dari pemimpin kepada jemaat membuat jemaat tidak perlu bertanya-tanya dan menebak-nebak apa sebenarnya yang sudah ditetapkan oleh para pemimpin jemaat. Ada keterbukaan yang luar biasa antara pemimpin dan jemaatnya. Pemimpin menggembalakan jemaat dengan tulus, dan sebaliknya jemaat percaya kepada pemimpinnya. Hal ini membuat jemaat dan juga pemimpinnya lebih cepat bertumbuh karena waktu mereka tidak harus tersita untuk urusan yang tidak penting. Hal ini mungkin yang dapat kita contoh dan teladani, bahwa pada masa jemaat mula-mula meskipun kondisi begitu berat dan banyak persoalan, tetapi mereka tetap fokus pada satu tujuan: berjuang untuk hidup benar dan sempurna di hadapan Bapa, sehingga setiap masalah dapat diatasi dengan kepala dingin, perbedaan pendapat dapat diselesaikan dengan tuntunan Roh Kudus, tidak habis waktu mengurusi hal-hal minor, dan yang terpenting adanya kepercayaan yang tinggi antar jemaat, antar pemimpin, serta antar pemimpin dan jemaat. Tidak ada yang disembunyikan oleh pemimpin kepada jemaat, tetapi pemimpin justru terbuka kepada jemata sehingga jemaat juga lebih cepat bertumbuh. Pemimpin tidak takut akan jemaat yang cerdas, pemimpin justru mendorong jemaat untuk menjadi cerdas sehingga siap untuk memimpin jemaat lainnya.



Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 15:22-29
15:22 Maka rasul-rasul dan penatua-penatua beserta seluruh jemaat itu mengambil keputusan untuk memilih dari antara mereka beberapa orang yang akan diutus ke Antiokhia bersama-sama dengan Paulus dan Barnabas, yaitu Yudas yang disebut Barsabas dan Silas. Keduanya adalah orang terpandang di antara saudara-saudara itu.
15:23 Kepada mereka diserahkan surat yang bunyinya: "Salam dari rasul-rasul dan penatua-penatua, dari saudara-saudaramu kepada saudara-saudara di Antiokhia, Siria dan Kilikia yang berasal dari bangsa-bangsa lain.
15:24 Kami telah mendengar, bahwa ada beberapa orang di antara kami, yang tiada mendapat pesan dari kami, telah menggelisahkan dan menggoyangkan hatimu dengan ajaran mereka.
15:25 Sebab itu dengan bulat hati kami telah memutuskan untuk memilih dan mengutus beberapa orang kepada kamu bersama-sama dengan Barnabas dan Paulus yang kami kasihi,
15:26 yaitu dua orang yang telah mempertaruhkan nyawanya karena nama Tuhan kita Yesus Kristus.
15:27 Maka kami telah mengutus Yudas dan Silas, yang dengan lisan akan menyampaikan pesan yang tertulis ini juga kepada kamu.
15:28 Sebab adalah keputusan Roh Kudus dan keputusan kami, supaya kepada kamu jangan ditanggungkan lebih banyak beban dari pada yang perlu ini:
15:29 kamu harus menjauhkan diri dari makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari percabulan. Jikalau kamu memelihara diri dari hal-hal ini, kamu berbuat baik. Sekianlah, selamat."