Selasa, 06 November 2018

Pornos dan Moichos (19): Membedakan Mana Hal yang Minor dan Hal yang Mayor


Selasa, 6 November 2018
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 15:1-21
Tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah. (Kis 15:20)


Pornos dan Moichos (19): Membedakan Mana Hal yang Minor dan Hal yang Mayor


Saya pernah sempat beribadah di sebuah gereja dimana pendeta di gereja tersebut sering berkata: “Kita harus tidak boleh memayorkan hal-hal yang minor dan tidak boleh meminorkan hal-hal yang mayor”. Terkait kalimat tersebut, saya sangat setuju. Masalahnya adalah kita sering tidak mengerti apa saja hal-hal yang mayor dan apa saja hal-hal yang minor. Banyak orang Kristen yang tidak mengerti hal ini sehingga justru sering salah mengidentifikasi mana hal yang minor dan mana hal yang mayor. Akibatnya kehidupan orang Kristen seringkali tidak memancarkan keagungan Tuhan dan bahkan kehidupan orang Kristen justru lebih parah dari kehidupan orang-orang non Kristen.

Dalam sejarah perkembangan gereja khususnya jemaat mula-mula setelah kenaikan Tuhan Yesus ke surga, terjadi juga perdebatan di kalangan jemaat dan juga pemimpin umat mengenai sunat. Karena orang-orang Kristen pada awalnya juga berasal dari orang-orang Yahudi, ada sekelompok orang yang mengajarkan bahwa jika orang Kristen tidak disunat menurut adat istiadat Yahudi yang diwariskan oleh Musa, maka mereka tidak dapat diselamatkan (ay. 1). Bagi kita yang hidup di zaman modern ini mungkin tidak paham betul mengenai kondisi saat itu. Akan tetapi bisa dibayangkan bahwa ajaran ini pada waktu itu sangatlah populer dan viral. Akibatnya, banyak pro dan kontra akan ajaran tersebut.

Mereka yang pro berpendapat bahwa Tuhan Yesus lahir sebagai manusia dari orang Yahudi, disunat pada hari ke-8, dan juga pernah berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat tetapi untuk menggenapinya. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa hukum Taurat tetap berlaku di dalam kekristenan, termasuk sunat yang merupakan tanda perjanjian antara Allah dengan bangsa Israel juga harus tetap dilaksanakan (ay. 5).

Mereka yang kontra (seperti Paulus dan Barnabas) mengatakan bahwa sunat atau tidak itu bukanlah suatu kewajiban. Mereka yang sudah terlanjur disunat tidak boleh menghilangkan tanda-tanda tersebut, tetapi yang belum disunat pun tidak wajib disunat (1 Kor 7:18). Mereka mencoba memberi pengertian bahwa perjanjian sunat adalah perjanjian antara Allah dengan Abraham dan keturunannya secara jasmani, sementara orang percaya adalah keturunan Abraham secara rohani. Justru yang penting adalah sunat hati, bukan sunat secara jasmani (Rm 2:25-29, 4:9-12, dan sebagainya).

Paulus dan Barnabas akhirnya pergi ke Yerusalem untuk membahas hal ini guna mewakili kelompok yang kontra tadi guna membahasnya dengan rasul-rasul di Yerusalem (ay. 2-4). Karena perdebatan yang cukup sengit, maka para rasul bersidang untuk membahas hal tersebut (ay. 6). Sidang tersebut berlangsung cukup alot, hingga Petrus (sebagai salah satu rasul yang dianggap paling terkemuka dan menjadi pemimpin jemaat pada waktu itu), menyampaikan pendapatnya bahwa Allah telah menerima orang-orang non Yahudi untuk menjadi umat-Nya, bahkan memberikan Roh Kudus kepada mereka (merujuk kepada peristiwa Kornelius, seorang kepala pasukan Romawi yang menerima Roh Kudus). Oleh karena itu, kekristenan tidak dapat lagi dipandang sebagai salah satu sekte dalam agama Yahudi (dimana keselamatan hanya diberikan kepada orang Yahudi yang percaya), tetapi kekristenan harus bersifat umum dan terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang suku, ras dan golongan (ay. 7-8). Petrus lebih lanjut menekankan bahwa iman jauh lebih penting daripada perkara sunat, sehingga para pemimpin jemaat tidak boleh meletakkan suatu kuk pada murid-murid/jemaat-jemaat yang tidak perlu (ay. 9-10). Petrus juga menekankan jika ia percaya bahwa hanya oleh kasih karunia Tuhan maka mereka semua dan orang-orang lain akan diselamatkan (ay. 11).

Sesudah itu, Paulus dan Barnabas juga menceritakan peristiwa yang mereka alami, dimana mereka menyaksikan banyak orang non Yahudi juga menjadi percaya bahkan menerima Roh Kudus (ay. 12). Apa yang Paulus dan Barnabas saksikan di hadapan orang banyak pada sidang di Yerusalem tersebut menunjukkan bahwa Tuhan juga mencurakan Roh Kudus kepada orang non Yahudi dan tidak hanya bagi orang Yahudi saja. Ini berarti bahwa seharusnya segala adat istiadat Yahudi yang hanya bersifat lahiriah semata seharusnya tidak lagi bisa diterima di dalam kekristenan. Tentu dalam hal ini kita harus cerdas membedakan mana ajaran Yahudi yang bisa diadopsi dalam Kekristenan dan mana ajaran Yahudi yang harus ditinggalkan.
Kemudian Yakobus sebagai salah satu rasul yang terkemuka dan juga dipandang sebagai salah satu pemimpin jemaat pada waktu itu akhirnya berdiri dan menarik kesimpulan bahwa Tuhan ingin memanggil suatu umat yang taat kepada-Nya, tidak hanya dari keturunan Daud (bangsa Israel/Yahudi) tetapi juga dari seluruh bangsa yang mau dan bersedia taat kepada-Nya (ay. 13-18). Di sini jelas bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, bukan hanya dosa orang Yahudi, atau dosa sebagian dunia saja (Yoh 1:29).

Kita harus mencoba memahami kondisi pada saat tersebut dimana kekristenan sedang diuji untuk menentukan sikap dan arahnya, apakah hanya sebatas menjadi salah satu “sekte” dalam agama Yahudi, atau berkembang dan menjadi suatu gerakan baru yaitu jalan hidup yang membawa orang-orang mengenal Allah yang benar. Oleh karena itu, keputusan apapun yang diambil dalam sidang di Yerusalem ini akan menentukan arah kekristenan di masa yang akan datang. Dapat dibayangkan betapa berat dampak dari keputusan yang diambil tersebut, yang tentu saja sebenarnya wajib tetap kita pelihara hingga saat ini. Dan pada akhirnya, arah yang diambil oleh Yakobus adalah keputusan yang tidak menyulitkan orang yang hendak beribadah kepada Allah yang benar (ay. 19).

Hasil keputusan sidang di Yerusalem itu menyebutkan bahwa ada 4 anjuran utama bagi orang Kristen yaitu:
  •         Menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala;
  •         Menjauhkan diri dari percabulan;
  •         Menjauhkan diri dari daging binatang yang mati dicekik; dan
  •         Menjauhkan diri dari darah (ay. 20).

Jika agama (seperti agama Yahudi) pada umumnya penuh dengan hukum dan aturan-aturan ibadah (misal: jangan makan ini, puasa pada hari tertentu, harus disunat, dan lain sebagainya), maka kekristenan sebenarnya tidaklah demikian. Kekristenan adalah jalan hidup (way of life) dan bukan sekedar agama. Oleh karena itu, kekristenan sebenarnya tidaklah identik dengan hukum-hukum tertulis yang bersifat lahiriah seperti agama Yahudi. Namun dalam perikop ini, kita melihat seakan-akan ada aturan hukum yang bersifat mengikat orang Kristen. Namun sebenarnya ini hanya bersifat anjuran, himbauan dan arahan yang tidak mengatur secara rinci seperti syariat. Keempat kalimat di atas tersebut tidak disusun dalam hukum yang rinci seperti: “Tidak boleh makan makanan yang telah dicemarkan berhala, yaitu makanan yang sudah disajikan kepada dewa-dewa lain selain Allah Semesta Alam, kecuali dalam keadaan terpaksa dimana tidak ada makanan lagi dan jika makanan tersebut tidak dimakan maka orang itu akan mati..., dan seterusnya”. Anjuran tersebut hanya sederhana tetapi memiliki makna yang dalam, dan sebenarnya semangat ini juga sudah ada sejak zaman Musa (ay. 21). Ini menunjukkan bahwa kekristenan memang mengadopsi sebagian ajaran agama Yahudi yang dipandang relevan bagi jemaat di masa itu dan bahkan hingga masa kini. Kata “menjauhkan” dalam bahasa aslinya adalah apechesthai (ἀπέχεσθαι) dari akar kata phulassó (φυλάσσω) yang dapat berarti to guard, protect, keep watch over, keep secure, keep what is entrusted (menjaga, melindungi, mengawasi, mengamankan, menjaga sesuatu yang dipercayakan). Jelas bahwa kata “menjauhkan” ini harus diusahakan dan dikerjakan dengan serius oleh yang menerima perintah, dalam hal ini seluruh jemaat atau umat percaya.

Sekilas kita membaca bahwa keempat anjuran tersebut terutama berkaitan dengan makanan (3 aturan) dan seks (1 aturan). Ini berbicara mengenai keinginan daging, yang terutama adalah nafsu makan dan nafsu seksual (1 Yoh 2:16). Bagaimanapun juga keinginan daging memang akan lebih terlihat nyata dibandingkan keinginan mata (yaitu materialisme, konsumerisme, dan sebagainya). Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai 3 anjuran terkait makanan. Cukuplah disimpulkan dengan sederhana bahwa kita harus makan dengan bertanggung jawab, yaitu dengan bahan makanan yang sehat. Ini dapat dilihat dari anjuran untuk menjauhi daging binatang yang mati dicekik dan dari darah. Saya rasa hal ini pun dapat dibuktikan dari sudut pandang keilmuan medis, dimana sebaiknya binatang disembelih daripada hanya dicekik (mati karena tidak dapat bernafas/kehabisan oksigen). Darah binatang pun juga dapat menjadi sumber penyakit jika tidak diolah dengan benar. Anjuran yang ada memang tidak mempermasalahkan makanan yang halal dan yang haram. Tetapi bagi umat Perjanjian Baru, kita perlu juga memperkarakan makanan yang kita masuk supaya membuat tubuh kita sehat. Daging kambing yang halal menurut Taurat, jika diperlukan harus kita anggap haram jika kita menderita kolesterol. Jadi kekristenan tidak mengatur kehalalan atau keharaman suatu makanan dalam suatu hukum tertentu, tetapi kita yang harus dapat mengendalikan keinginan daging yaitu nafsu makan kita supaya tubuh kita sehat dan memuliakan nama Tuhan.

Terkait dengan makanan yang dipersembahkan kepada berhala, secara medis dan nutrisi tentu hal ini tidak menjadi masalah. Namun hal tersebut berpotensi menjadi “batu sandungan” bagi orang lain, terlebih bagi orang yang imannya lemah (Rm 14:1-2 & 20-21). Dari ayat-ayat tersebut kemungkinan sekali pada waktu itu orang percaya masih merupakan jemaat yang awal dengan iman yang juga masih bervariasi. Ada kemungkinan juga banyak orang percaya yang berasal dari orang Yahudi, dan mereka sangat “anti” terhadap praktik penyembahan dewa-dewa kafir yang dilakukan oleh bangsa lain seperti bangsa Yunani dan bangsa Romawi. Mereka tidak akan mau menyentuh makanan yang sudah “dipersembahkan” kepada dewa lain kepada Elohim Yahweh.

Namun jika kita melihat dalam bahasa aslinya, ada kemungkinan bahwa ketiga anjuran tersebut  juga bisa bermakna lain dan tidak hanya sekedar terkait dengan makanan. Dalam bahasa aslinya, kata-kata di ayat 20 adalah sebagai berikut:

  • Kata “makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala”, dalam bahasa aslinya adalah tōn alisgēmatōn tōn eidōlōn (τῶν ἀλισγημάτων τῶν εἰδώλων). Kata alisgēmatōn memiliki akar kata alisgéma (ἀλίσγημα) yang dapat berarti pollution, polluted thing (especially food), things contaminated (pencemaran, sesuatu yang tercemar (khususnya makanan), sesuatu yang terkontaminasi). Tercemar atau terkontaminasi dari apa? Kata eidōlōn memiliki makna berhala, tuhan yang palsu. Memang frasa tersebut dapat bermakna makanan yang “tercemar” karena telah dipersembahkan kepada berhala. Namun jika mau jujur, frasa ini juga dapat berarti kita harus menjauhkan diri dari pencemaran terhadap berhala. Mungkin ada di antara kita yang berkata: “Kan kita menyembah Tuhan Yesus, tidak menyembah patung, dewa, atau berhala lain”. Tapi kita yang sudah mulai  belajar kebenaran tentu tidak akan sulit untuk menyimpulkan bahwa berhala tidak selalu memiliki bentuk patung dewa atau patung lain. Berhala adalah hal-hal yang menjadi prioritas atau sesuatu yang kita beri nilai tinggi atau sesuatu yang kita idolakan dan banggakan. Jika mau jujur, banyak hal yang mungkin bisa menjadi berhala bagi kita: uang, kekayaan, kedudukan, nama baik, harga diri, dan apapun yang tidak membuat Tuhan menjadi satu-satunya yang terutama dalam hidup kita. Kita harus waspada dan menjauhkan diri dari polusi-polusi itu yang akan mencemari hidup kita dan hubungan kita dengan Tuhan.
  • Kata “daging binatang yang mati dicekik”, dalam bahasa aslinya adalah pniktou (πνικτοῦ) dari akar kata pniktos (πνικτός) yang dapat bermakna strangled, throttled, suffocated, an animal deprived of life without shedding its blood, an animal choked to death (dicekik, mati lemas, binatang yang diambil nyawanya tanpa menumpahkan darahnya, binatang yang dicekik sampai mati). Memang hal ini sangat mungkin terkait dengan makanan, tetapi hal ini juga bicara tentang praktik-praktik penyembelihan binatang yang tidak patut. Kebanyakan budaya di dunia ini telah mempraktikkan cara penyembelihan hewan yang baik, namun memang sebagian kecil kebudayaan yang membunuh binatang dengan cara yang “kurang pantas” seperti mencekik, menenggelamkan, dan lain sebagainya. Mungkin saja pada waktu itu ada praktik membunuh binatang dengan mencekik untuk kemudian dipersembahkan kepada dewa-dewa tertentu dan kemudian dimakan bersama. Jadi hal ini juga bisa diartikan supaya orang percaya tidak mengikuti kebiasaan-kebisaan orang lain (kemungkinan besar khususnya orang Romawi atau Yunani) yang tidak patut ditiru.
  • Kata “darah” dalam bahasa aslinya adalah haimatos (αἵματος) dari akar kata haima (αἷμα) yang secara harafiah berarti darah atau penumpahan darah. Darah di sini tidak harus merujuk pada darah hewan/binatang, tetapi juga digunakan untuk merujuk darah manusia secara umum. Jadi kata darah di sini selain dapat diartikan tidak boleh memakan darah, juga dapat diartikan tidak boleh membunuh atau menumpahkan darah orang lain. Ingat bahwa pada waktu itu orang Kristen hidup di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi yang memang memiliki budaya kekerasan yang cukup tinggi. Jika belajar sejarah gereja, orang Romawi tidak segan-segan memancung orang Kristen, menyiksa hingga mati, bahkan membuat orang Kristen menjadi makanan hewan-hewan buas. Anjuran untuk menjauhkan diri dari darah selain dapat berarti menjauhkan diri dari makanan yang mengandung darah, namun juga dapat berarti menjauhkan diri dari penumpahan darah, bahkan tidak boleh membalas penumpahan darah dengan penumpahan darah.

Cukuplah penjelasan di atas sebagai suatu kemungkinan yang patut menjadi pertimbangan, karena sebagian kata-kata dalam ayat 20 tersebut juga dapat memiliki makna selain makanan. Namun karena fokus kita adalah mengenai kata pornos, maka kita juga perlu melihat anjuran ke-4 yaitu supaya kita menjauhi percabulan.

Jika 3 hal sebelumnya dapat diperdebatkan apakah memang hanya terkait makanan atau juga memiliki makna lainnya yang tersirat, maka untuk anjuran supaya umat percaya menjauhi percabulan sebenarnya juga dapat memiliki makna yang tersurat maupun tersirat. Kata percabulan dalam ayat ini menggunakan kata porneias (πορνείας) dari akar kata porneia (πορνεία) yang secara sederhana dapat diartikan sebagai fornication, whoredom (percabulan, persundalan), tetapi secara metafora dapat juga bermakna idolatry (pemujaan berhala, pemberhalaan).

Jika mau jujur, makna sederhana dari keempat anjuran di ayat 20 ini adalah mengenai pengendalian makan/minum dan seks. Secara ringkas hal itu berarti bahwa umat percaya dianjurkan untuk menjauhi makanan/minuman yang tidak sehat serta kehidupan seks yang tidak sehat pula. Jika mau jujur, hal ini sudah mulai langka dikhotbahkan di gereja-gereja pada masa kini. Jarang ada gereja yang dengan tegas berkata: “Kita harus menjaga pola makan kita supaya tubuh kita sehat dan memuliakan Tuhan”. Lebih banyak gereja yang sekarang berkata: “Tuhan memberikan kita karunia untuk menikmati, jadi kita boleh makan apa saja yang penting kita doakan sebelum makan supaya apapun makanan yang masuk ke mulut kita menyehatkan”. Gereja tidak mengajarkan jemaat untuk hidup bertanggung jawab dari hal kecil, yaitu dari makanan dan minuman.

Terkait dengan percabulan (porneia), saat ini jika mau jujur, semakin jarang gereja yang menyuarakan hidup suci dan menjaga kekudusan seks (baik sebelum menikah maupun setelah menikah). Hamil sebelum menikah serta praktik kawin cerai menjadi hal yang dipandang wajar di dalam jemaat. Bahkan tidak jarang hal semacam itu justru dilakukan oleh para “petinggi” gereja (pendeta, majelis, diaken, dan keluarga mereka). Sangat sulit mencari teladan di antara para pemimpin gereja yang dapat dicontoh terkait kehidupan seksual yang suci dan kudus ini. Gereja seperti menutup mata atas tantangan yang dihadapi oleh generasi muda di gereja (pemuda, remaja, sekolah minggu) dan tidak pernah mengajarkan tentang kesucian hidup dalam hal seks kepada orang-orang muda. Begitu mereka salah melangkah dan terlibat dalam percabulan, maka gereja dengan entengnya berkata: “Nasi sudah menjadi bubur, yang penting sekarang bagaimana bubur itu bisa menjadi enak”. Gereja menjadi tumpul dan tidak berdaya, apalagi jika yang tersandung kasus percabulan adalah keluarga “petinggi” gereja.

Jika terkait hal jasmani saja anjuran para rasul tersebut sudah tidak lagi diperhatikan gereja, bagaimana jika ayat 20 tersebut dikaitkan dengan hal rohani? Nyaris tidak ada gereja-gereja yang mau berlelah-lelah memberitakan Injil yang benar supaya orang percaya tidak terikat dengan pemberhalaan. Di masa saat ini, berhala paling kuat adalah materialisme, dimana orang percaya dapat dengan mudah mencintai dunia sehingga mereka tidak lagi mau berjuang sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Jemaat berselingkuh dalam percabulan dengan percintaan dunia, meskipun Alkitab jelas mengatakan bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah (Yak 4:4). Perkataan para rasul sekitar 2.000 tahun yang lalu hanya sebatas kata-kata belaka tanpa adanya usaha dari sebagian besar orang percaya untuk menghidupinya di masa modern saat ini.

Saat ini, banyak gereja lebih suka mengkhotbahkan hal-hal minor lainnya seperti kesembuhan, berkat jasmani, perlindungan Tuhan, doa yang dijawab, dan lain sebagainya. Mereka melupakan bahkan mengabaikan hal yang mayor, yang sudah digumulkan dalam sebuah sidang oleh bapa-bapa gereja sekitar 2.000 tahun yang lalu. Hal yang mayor adalah kita menjaga diri kita dari makanan yang haram dan tidak sehat, serta dari percabulan. Hal yang mayor adalah kita menjaga diri kita supaya tidak tercemar oleh hal-hal yang menjadi berhala yang dapat mendukakan hati Tuhan (menjaga kekudusan, menjaga perasaan Tuhan, dan lain sebagainya). Sayangnya, semakin ke sini semakin sedikit gereja yang menyuarakan hal-hal yang mayor, dan mereka lebih suka menyibukkan diri dengan hal-hal yang minor. Tidak jarang karena hal-hal yang minor itu ada banyak perdebatan antar gereja dan pendeta, bahkan sampai timbul perpecahan di antara umat Tuhan.


Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 15:1-21
15:1 Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan."
15:2 Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di Yerusalem untuk membicarakan soal itu.
15:3 Mereka diantarkan oleh jemaat sampai ke luar kota, lalu mereka berjalan melalui Fenisia dan Samaria, dan di tempat-tempat itu mereka menceriterakan tentang pertobatan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Hal itu sangat menggembirakan hati saudara-saudara di situ.
15:4 Setibanya di Yerusalem mereka disambut oleh jemaat dan oleh rasul-rasul dan penatua-penatua, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang Allah lakukan dengan perantaraan mereka.
15:5 Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa."
15:6 Maka bersidanglah rasul-rasul dan penatua-penatua untuk membicarakan soal itu.
15:7 Sesudah beberapa waktu lamanya berlangsung pertukaran pikiran mengenai soal itu, berdirilah Petrus dan berkata kepada mereka: "Hai saudara-saudara, kamu tahu, bahwa telah sejak semula Allah memilih aku dari antara kamu, supaya dengan perantaraan mulutku bangsa-bangsa lain mendengar berita Injil dan menjadi percaya.
15:8 Dan Allah, yang mengenal hati manusia, telah menyatakan kehendak-Nya untuk menerima mereka, sebab Ia mengaruniakan Roh Kudus juga kepada mereka sama seperti kepada kita,
15:9 dan Ia sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman.
15:10 Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk, yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri?
15:11 Sebaliknya, kita percaya, bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga."
15:12 Maka diamlah seluruh umat itu, lalu mereka mendengarkan Paulus dan Barnabas menceriterakan segala tanda dan mujizat yang dilakukan Allah dengan perantaraan mereka di tengah-tengah bangsa-bangsa lain.
15:13 Setelah Paulus dan Barnabas selesai berbicara, berkatalah Yakobus: "Hai saudara-saudara, dengarkanlah aku:
15:14 Simon telah menceriterakan, bahwa sejak semula Allah menunjukkan rahmat-Nya kepada bangsa-bangsa lain, yaitu dengan memilih suatu umat dari antara mereka bagi nama-Nya.
15:15 Hal itu sesuai dengan ucapan-ucapan para nabi seperti yang tertulis:
15:16 Kemudian Aku akan kembali dan membangunkan kembali pondok Daud yang telah roboh, dan reruntuhannya akan Kubangun kembali dan akan Kuteguhkan,
15:17 supaya semua orang lain mencari Tuhan dan segala bangsa yang tidak mengenal Allah, yang Kusebut milik-Ku demikianlah firman Tuhan yang melakukan semuanya ini,
15:18 yang telah diketahui dari sejak semula.
15:19 Sebab itu aku berpendapat, bahwa kita tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah,
15:20 tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.
15:21 Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota, dan sampai sekarang hukum itu dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah ibadat."

Kamis, 06 September 2018

Pornos dan Moichos (18): Membuktikan Bukan Keturunan dari Zinah


Kamis, 6 September 2018
Bacaan Alkitab: Yohanes 8:37-47
[Kata Yesus kepada mereka:] "Kamu mengerjakan pekerjaan bapamu sendiri." Jawab mereka: "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah." (Yoh 8:41)


Pornos dan Moichos (18): Membuktikan Bukan Keturunan dari Zinah


Di masyarakat yang menjunjung tinggi kebudayaan seperti di Indonesia, status “anak haram” masih sangat sering menjadi suatu stigma negatif. Banyak orang akan malu dan bahkan marah jika ada orang lain yang mengungkit statusnya sebagai seorang “anak haram”. Definisi anak haram secara sederhana adalah anak yang lahir dari suatu hubungan pernikahan yang tidak sah, bisa karena hamil duluan sebelum menikah, atau karena adanya hubungan perzinahan dari salah satu atau kedua pihak.

Apa yang saya kemukakan di atas juga terjadi pada zaman Tuhan Yesus menjadi manusia di bumi, sekitar 2.000 tahun yang lalu. Jika kita memperhatikan konteks kejadian di Injil Yohanes pasal 8, kita akan merasakan suatu suasana tegang dan genting antara Tuhan Yesus dengan kelompok ahli Taurat dan orang Farisi. Hal ini dimulai dari “penjebakan” para ahli Taurat dan orang Farisi terhadap Tuhan Yesus yang gagal total, hingga kemudian Tuhan Yesus menyampaikan beberapa perkataannya yang cukup keras yang membuat telinga para ahli Taurat dan orang Farisi tidak nyaman.

Salah satunya adalah kalimat Tuhan Yesus yang menunjukkan ironi ketika mereka adalah keturunan Abraham, tetapi mereka justru berusaha untuk membunuh Tuhan Yesus (ay. 37a). Alasan mereka hendak membunuh Tuhan Yesus adalah karena firman yang disampaikan tidak beroleh tempat di dalam diri mereka (ay. 37b). Padahal apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus adalah sesuai dengan kehendak Bapa. Tidak ada firman yang Tuhan Yesus sampaikan yang tidak berasal dari Bapa (ay. 38). Namun demikian, mereka telah menolak firman yang disampaikan Tuhan Yesus dan sama sekali tidak bisa membuka hati untuk menerima firman tersebut. Respon kelompok ini sangat berbeda dengan respon orang-orang kecil yang dengan sukacita menerima firman kebenaran tersebut.

Itulah mengapa Tuhan Yesus menunjukkan suatu perbandingan yang bertolak belakang: katanya mereka adalah keturunan Abraham (yang adalah bapa orang beriman), tetapi respon mereka sangat jauh dari iman yang benar, minimal seperti iman yang ditampilkan oleh Abraham. Kita tahu bahwa Abraham senantiasa taat terhadap suara Allah dan langsung melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. Akan tetapi para ahli Taurat dan orang Farisi yang katanya adalah keturunan Abraham, justru tidak mau mendengar suara Allah yang disampaikan melalui firman Tuhan Yesus Kristus. Bukankah ini adalah suatu ironi?

Mendengar perkataan Tuhan Yesus tadi, mereka kemudian menjawab: “Bapa kami ialah Abraham” (ay. 39a). Ini adalah suatu perkataan sekaligus pernyataan yang menunjukkan bahwa mereka sangat marah ketika seakan-akan disindir bahwa kehidupan mereka tidak seperti kehidupan Abraham. Padahal kenyataannya hidup mereka sangat jauh dari teladan hidup yang ditunjukkan oleh Abraham sebagaimana dicatat dalam kitab suci mereka.

Oleh karena itu, Tuhan Yesus sampai berkata bahwa: “Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham” (ay. 39b). Ini menunjukkan bahwa klaim mereka bahwa mereka adalah keturunan Abraham sama sekali tidak nampak dalam kualitas hidup mereka. Terlebih mereka ingin membunuh orang yang menyampaikan kebenaran dari Allah (ay. 40a). Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Abraham tidak mungkin berusaha membunuh orang yang menyampaikan kebenaran kepadanya, apalagi kebenaran yang dari Allah (ay. 40b). Dalam segenap hidupnya, sama sekali Abraham tidak pernah punya niatan untuk membunuh orang lain, bahkan mengambil apa yang bukan haknya pun tidak dilakukannya. Satu-satunya usaha Abraham untuk membunuh orang lain adalah ketika ia hendak mempersembahkan Ishak, anaknya yang ia kasihi, atas perintah dari Allah sendiri. Oleh karena itu Tuhan Yesus berkata dengan tegas dan terus terang kepada mereka: “Kamu mengerjakan pekerjaan bapamu sendiri” (ay. 41a).

Kalimat itu sepintas biasa saja bagi kita yang hidup saat ini. Tetapi jika kita sungguh-sungguh membayangkan kondisi percakapan Tuhan Yesus dengan para ahli Taurat dan orang Farisi waktu itu, sangat mungkin percakapan itu diiringi dengan tingkat emosi dan tensi yang tinggi. Ucapan Tuhan Yesus di ayat 41 tersebut hendak menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak berhak mengklaim sebagai keturunan Abraham (yaitu mengakui Abraham sebagai bapa mereka). Mereka punya “bapa” mereka sendiri dan jelas “bapa” yang dimaksud Tuhan Yesus pasti bukan Abraham. Kalimat ini juga secara tidak langsung Tuhan Yesus hendak menyatakan bahwa mereka tidak pantas menjadi anak/keturunan Abraham. Mereka lebih pantas menjadi anak/bangsa keturunan orang lain.

Oleh karena itu para ahli Taurat dan orang Farisi langsung merespon pernyataan Tuhan Yesus langsung dengan keras: "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah” (ay. 41b). Perhatikan pilihan kata yang mereka gunakan, yaitu “tidak dilahirkan dari zinah” untuk merespon pernyataan Tuhan Yesus tersebut. Padahal Tuhan Yesus sebelumnya tidak pernah berkata bahwa mereka adalah bangsa yang dilahirkan dari zinah. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang “pikirannya bersumbu pendek”, sehingga respon mereka pun menjadi seperti itu.

Kata “zinah” dalam ayat 41 tersebut dalam bahasa aslinya menggunakan kata porneias (πορνείας) dari akar kata porneia (πορνεία). Kata ini tidak muncul dalam ayat-ayat sebelumnya (dalam konteks percakapan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus di pasal ini). Kata ini kemungkinan dipilih oleh para ahli Taurat dan orang Farisi untuk menunjukkan bahwa hubungan antara bangsa Israel/Yahudi dengan Allah (Elohim Yahwe) adalah suatu hubungan yang eksklusif, ibarat suatu pernikahan yang sakral. Oleh karena itu, mereka pun masih membanggakan status mereka sebagai “bangsa pilihan Allah” (bahkan sampai saat ini).

Terkait dengan status bangsa pilihan ini, kita harus menyadari bahwa bangsa Israel adalah bangsa pilihan di Perjanjian Lama, yang membawa dua tujuan utama, yaitu: 1) menyimpan pengenalan akan Allah yang benar; dan 2) sebagai bangsa dimana Mesias akan dilahirkan. Artinya adalah jika ada orang bertanya, Allah mana yang benar? Maka kita harus jujur mengatakan bahwa Allah yang benar adalah Allah yang menyatakan diri-Nya kepada bangsa Israel. Kita dapat mengenal Allah yang benar dari kitab-kitab Perjanjian Lama dimana Allah menyatakan dirinya kepada Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, Daud, dan lain sebagainya. Itulah mengapa di Perjanjian Lama Allah selalu disebutkan sebagai “Allah Abraham, Ishak, dan Yakub” karena memang Allah yang benar adalah Allah yang menyatakan diri mereka kepada keturunan 3 orang tersebut (bukan yang lain). Selain itu Tuhan Yesus juga harus lahir sebagai manusia dari bangsa Israel (khususnya dari suku Yehuda) untuk memenuhi nubuatan yang tertulis dalam Perjanjian Lama. Itulah sebabnya dari bangsa-bangsa kuno di daerah Timur Tengah, hanya bangsa Israel yang masih bertahan hingga saat ini dengan tata cara agama yang dibawa hingga saat ini, sedangkan bangsa-bangsa lain seperti bangsa Filistin, bangsa Edom, bangsa Moab, dan lain sebagainya juga sudah musnah. Bangsa-bangsa lain yang masih eksis pun tidak ada yang membawa agamanya hingga saat ini (misal: bangsa Mesir). Oleh karena itu, bangsa Israel dan agama Yahudi memang harus tetap ada hingga saat ini meskipun sudah mengalami beberapa kali bencana dan pembuangan, tetapi pada akhirnya mereka akan tetap dapat eksis dan kembali ke daerahnya.

Kita tidak perlu memperdebatkan persoalan mengenai bangsa Israel sebagai bangsa pilihan. Mereka memang adalah bangsa pilihan dalam konteks Perjanjian Lama. Akan tetapi kita juga adalah umat pilihan di Perjanjian Baru. Peran bangsa Israel sebenarnya sudah “selesai” ketika Tuhan Yesus sudah mati di atas kayu salib. Oleh karena itu sejak kebangkitan-Nya, sebenarnya tidak ada lagi keistimewaan sebagai bangsa Israel. Semua orang kini dapat mengenal Allah yang benar dan dapat menjadi umat pilihan Allah, sepanjang mereka mau hidup dalam pimpinan Tuhan.

Kembali ke konteks perikop kita hari ini, para ahli Taurat dan orang Farisi mengklaim bahwa mereka adalah keturunan yang sah dari Allah (karena faktor historis mereka sebagai bangsa pilihan Allah). Mereka bahkan berkata bahwa mereka adalah anak-anak Allah (karena mengaku bahwa Bapa mereka adalah Allah sendiri). Akan tetapi Tuhan Yesus menyampaikan bahwa ketika seseorang mengaku sebagai anak Allah (atau mengakui Allah sebagai Bapa mereka), maka ada suatu konsekuensi logis yang menyertainya. Ketika kita memanggil Allah sebagai Bapa, maka kita harus mengasihi Tuhan Yesus dan mau mendengar suara Tuhan, karena Tuhan Yesus datang dan keluar dari Allah sendiri (ay. 42a). Tuhan Yesus adalah satu-satunya utusan Allah Bapa yang diutus untuk memberitakan jalan keselamatan (ay. 42b). Hal ini juga dengan jelas dikatakan kembali oleh Tuhan Yesus bahwa hidup yang kekal adalah ketika seseorang mengenal satu-satunya Allah yang benar dan juga mengenal Yesus Kristus yang telah diutus Bapa (Yoh 17:3).

Ketika seseorang mengaku bahwa ia percaya kepada Allah, bahkan mengaku sebagai anak-anak Allah, atau sampai memanggil Allah sebagai Bapa, maka tidak bisa tidak, hidupnya harus berpadanan dengan karakter Allah Bapa. Tidak mungkin orang bisa mengaku sebagai anak-anak Allah tetapi memusuhi apa yang diutus oleh Allah. Ada suatu perbedaan antara mengaku sebagai anak-anak Allah dengan benar-benar menjadi anak-anak Allah. Semua orang pasti mengaku bahwa agamanya yang paling benar, Allahnya paling benar, dan mereka adalah anak-anak Allah yang benar. Akan tetapi, benarkah hidup mereka menunjukkan bahwa mereka adalah anak-anak Allah? Apakah ada karakter Allah yang agung dan mulia dalam kehidupan mereka?

Mau tidak mau, jika kita mengaku sebagai anak-anak Allah maka kita harus belajar bahasa Allah, dalam hal ini belajar firman dengan benar supaya kita mengerti pikiran, perasaan dan kehendak Allah serta dapat melakukannya dalam kehidupan kita di dunia ini. Kita harus dapat menangkap firman Tuhan yaitu suara Tuhan (ay. 43). Firman yang mana yang harus kita dengar? Tentu kita harus mendengar firman Kristus (rhēmatos Christou) yang dapat menumbuhkan iman yang benar dalam hidup kita. Firman Kristus di sini adalah firman yang diucapkan oleh Tuhan Yesus yaitu apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus sebagaimana tercatat dalam keempat Injil, serta tulisan-tulisan para rasul di Perjanjian Baru yang menjelaskan lebih lanjut mengenai ajaran Kristus tersebut. Hal ini bukan berarti Perjanjian Lama menjadi tidak penting, tetapi kurikulum umat percaya seharusnya adalah di Perjanjian Baru dan kita harus lebih banyak membaca Alkitab dari Perjanjian Baru.

Kepada para ahli Taurat dan orang Farisi pada waktu itu, Tuhan Yesus telah menyampaikan begitu banyak kebenaran kepada mereka. Namun demikian, mereka juga tidak dapat percaya kepada-Nya (ay. 45). Padahal tidak ada ajaran Tuhan Yesus yang mengajarkan mengenai hal yang salah. Tuhan Yesus tidak pernah mengajarkan untuk berbuat dosa. Tuhan Yesus bahkan mengajarkan kasih yang sejati, dan juga melakukan banyak mujizat dan tanda-tanda heran. Namun demikian mereka juga masih belum dapat percaya kepada-Nya (ay. 46). Mengapa demikian?

Jelas bahwa penyebabnya adalah mereka tidak pernah menghargai status mereka sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka hanya mengakui status itu secara nalar atau secara historis, namun tidak pernah sungguh-sungguh memperkarakan apakah hidup mereka sudah pantas menjadi bangsa pilihan Allah. Oleh karena itu,  meskipun secara tidak langsung Tuhan hendak menunjukkan bahwa jika mereka tidak dapat hidup menurut standar Allah, maka mereka bukanlah anak-anak Allah yang sah. Mereka adalah anak, tetapi anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah atau lahir dari perzinahan (porneias). Apa buktinya? Buktinya adalah ketika mereka lebih suka melakukan keinginan “bapa” mereka yaitu iblis.

Dalam hal ini iblis sangat cerdik. Kepada bangsa Israel/Yahudi iblis tidak mengajarkan mereka untuk berbuat hal yang jahat. Iblis mengajarkan bahwa mereka harus menaati hukum dengan ketat, tetapi jangan sampai mereka memahami kehendak Bapa dan melakukannya. Iblis mengajarkan bahwa jika mereka melakukan hukum dengan ketat sampai kepada hal yang terkecil, maka itu sudah cukup untuk menjadi anak-anak Allah. Padahal menjadi anak-anak Allah bukan hanya meyakini sejarah panggilan nenek moyang, bukan hanya secara nalar meyakini bahwa mereka adalah anak-anak Allah, akan tetapi bagaimana dalam setiap hal, mereka membuktikan dalam hidupnya bahwa mereka melakukan segala sesuatu bagi kemuliaan Allah. Dalam hal ini tepat apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus bahwa iblis adalah bapa segala dusta, yaitu bagaimana iblis menipu manusia dengan membuat manusia seakan-akan menjadi baik, tetapi tidak melakukan kehendak Bapa dengan sempurna (ay. 44). Hal ini sama ketika di Taman Eden iblis menggoda Hawa supaya memakan buah terlarang dengan iming-iming yang palsu.

Oleh karena itu, kita sungguh-sungguh perlu memperkarakan apakah kita sudah sah menjadi anak-anak Allah atau sebenarnya masih menjadi anak-anak yang tidak sah (hasil zinah). Siapakah bapa kita yang sesungguhnya? Apakah Allah yang menjadi Bapa kita ataukah iblis yang menjadi bapa kita? Sebagai anak-anak Allah yang sah, kita seharusnya mewarisi karakter Allah dalam hidup kita yang mau tidak mau harus terpancar dari kehidupan kita. Jika kita benar-benar adalah anak-anak Allah, maka kita seharusnya dapat menangkap frekuensi Allah, sehingga kita memiliki kepekaan untuk mendengar suara-Nya dengan benar. Kita akan dapat membedakan manakah firman yang benar-benar berasal dari Allah dan manakah firman yang bukan berasal dari Allah (ay. 47). Dalam hal ini, kita perlu menilai tetapi tidak boleh menghakimi. Jika kita tidak mau menilai, maka kita pun akan mudah disesatkan oleh klaim pihak-pihak tertentu yang mengatasnamakan Tuhan. Anak-anak Allah yang benar tentu akan dapat membedakan manakah suara yang dari Allah dan manakah suara manusia yang bukan berasal dari Allah, manakah firman yang mengandung kebenaran yang murni dan manakah yang bukan. Dari sikap selektif tersebut maka anak-anak Allah akan semakin bercahaya dan memiliki karakter Bapa seiring dengan pertumbuhan rohani dan pengenalan akan kebenaran yang semakin komprehensif.



Bacaan Alkitab: Yohanes 8:37-47
8:37 "Aku tahu, bahwa kamu adalah keturunan Abraham, tetapi kamu berusaha untuk membunuh Aku karena firman-Ku tidak beroleh tempat di dalam kamu.
8:38 Apa yang Kulihat pada Bapa, itulah yang Kukatakan, dan demikian juga kamu perbuat tentang apa yang kamu dengar dari bapamu."
8:39 Jawab mereka kepada-Nya: "Bapa kami ialah Abraham." Kata Yesus kepada mereka: "Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham.
8:40 Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham.
8:41 Kamu mengerjakan pekerjaan bapamu sendiri." Jawab mereka: "Kami tidak dilahirkan dari zinah. Bapa kami satu, yaitu Allah."
8:42 Kata Yesus kepada mereka: "Jikalau Allah adalah Bapamu, kamu akan mengasihi Aku, sebab Aku keluar dan datang dari Allah. Dan Aku datang bukan atas kehendak-Ku sendiri, melainkan Dialah yang mengutus Aku.
8:43 Apakah sebabnya kamu tidak mengerti bahasa-Ku? Sebab kamu tidak dapat menangkap firman-Ku.
8:44 Iblislah yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu. Ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab di dalam dia tidak ada kebenaran. Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.
8:45 Tetapi karena Aku mengatakan kebenaran kepadamu, kamu tidak percaya kepada-Ku.
8:46 Siapakah di antaramu yang membuktikan bahwa Aku berbuat dosa? Apabila Aku mengatakan kebenaran, mengapakah kamu tidak percaya kepada-Ku?
8:47 Barangsiapa berasal dari Allah, ia mendengarkan firman Allah; itulah sebabnya kamu tidak mendengarkannya, karena kamu tidak berasal dari Allah."

Minggu, 02 September 2018

Pornos dan Moichos (17): Hukuman terhadap Perempuan yang Kedapatan Berzinah


Senin, 3 September 2018
Bacaan Alkitab: Yohanes 8:1-11
Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?" (Yoh 8:3-5)


Pornos dan Moichos (17): Hukuman terhadap Perempuan yang Kedapatan Berzinah


Perlu dipahami bahwa sejak zaman Taurat (bahkan sejak zaman atau masa pra-Taurat), perzinahan adalah suatu dosa yang dipandang sangat hina sehingga kebanyakan orang merasa bahwa pelakunya (jika tertangkap basah) harus dihukum berat. Akibatnya sejumlah kebudayaan atau kepercayaan merasa bahwa mereka adalah yang paling benar ketika hukuman atas dosa perzinahan ini adalah hukuman yang paling berat. Dalam hukum Taurat saja, sangat jelas bahwa orang yang terlibat dalam perzinahan akan dihukum mati dengan cara dilempari batu (Im 20:10, Ul 22-22-24). Dalam sejarah manusia di abad pertengahan pun, hukuman yang dijatuhkan juga tidak kalah mengerikan, biasanya dimulai dengan pemotongan alat kelamin dan selanjutnya disiksa dan dibunuh dengan kejam. Menjadi persoalan bagi kita saat ini, apakah hukuman atas perzinahan tersebut masih relevan bagi kita saat ini?

Menjawab persoalan tersebut memang tidak mudah. Jika kita hanya melihat secara deontologis, maka kita bisa terjebak pada suatu sikap yang kaku, misalnya: perzinahan harus dihukum mati; atau sebaliknya: perzinahan tidak boleh dihukum mati. Masing-masing akan mengeluarkan argumennya, yang satu mengutip hukum Taurat, dan yang satu lagi akan mengutip ucapan Tuhan Yesus dalam perikop ini. Karena perikop ini juga dapat mengandung banyak perdebatan, maka saya pun harus membahas ayat-ayat di perikop ini dengan lebih mendalam, dalam konteks tindakan zinah yang dimaksud dalam perikop ini.

Perikop ini dimulai ketika sebelumnya orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ingin menangkap Tuhan Yesus yang pada saat itu sedang datang ke Yerusalem. Mereka ingin menangkap dan membunuh Tuhan Yesus karena banyak orang menganggapnya sebagai Mesias, sementara mereka tahu bahwa Yesus hanyalah anak tukang kayu. Oleh karena itu, Tuhan Yesus dianggap sebagai seorang penista agama Yahudi yang pantas dihukum mati.

Dari konteks dan latar belakang ini, maka kejadian di perikop ini adalah ketika Tuhan Yesus sudah berada di Bait Allah pada pagi-pagi benar setelah sebelumnya bermalam di bukit Zaitun (ay. 1-2a). Dikatakan bahwa seluruh rakyat (atau sejumlah besar rakyat) datang kepada-Nya unduk mendengar pengajaran-Nya. Dikatakan bahwa Tuhan Yesus duduk dan mengajar mereka (ay. 2b). Jadi dapat digambarkan bahwa Tuhan Yesus mengajar mereka sambil duduk, dan kemungkinan besar rakyat yang mendengar pengajaran-Nya juga mendengarkan sambil duduk.

Saat sedang mengajar itulah, para ahli Taurat dan orang Farisi membawa kepada Tuhan Yesus seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Kata “zinah” di ayat ini adalah moicheia (μοιχεία) yang secara umum berarti adultery (perzinahan). Dalam renungan-renungan sebelumnya kita telah melihat bahwa moicheia adalah voluntary sexual intercourse between a married person and a person who is not his or her spouse (hubungan seksual yang dilakukan secara sukarela/tanpa paksaan antara seorang yang sudah menikah dan orang lain yang bukan pasangannya).

Jadi dalam hal ini, kita tidak dapat sepenuhnya memastikan apakah perempuan ini adalah perempuan yang sudah menikah dan melakukan perzinahan dengan orang lain yang bukan suaminya, atau perempuan ini adalah orang yang melakukan perzinahan dengan laki-laki yang sudah menjadi suami orang lain. Walaupun demikian, dalam satu renungan yang saya tulis beberapa bulan yang lalu, kemungkinan besar bahwa perempuan ini adalah orang yang sedang melakukan perzinahan dengan suami orang lain (atau bahkan suami-suami orang lain). Hal ini saya dasarkan dari sikap ahli Taurat dan orang Farisi yang sangat yakin bahwa mereka sedang kedapatan berbuat zinah. Kata “kedapatan” dalam ayat ini menunjukkan bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi itu sendiri yang menangkap basah perzinahan yang dilakukan oleh perempuan tersebut. Artinya, mereka benar-benar menjadi saksi akan tindakan perzinahan yang dilakukan perempuan tersebut, entah dengan cara menjebak si perempuan dan kemudian menangkap basah, atau mungkin bahkan dengan cara menyewa perempuan tersebut beramai-ramai sebelum kemudian menuduhnya dengan tuduhan perzinahan. Jika pilihan kedua yang terjadi, maka perempuan itu pun juga tidak akan berani menyalahkan para ahli Taurat dan orang Farisi karena secara kedudukan (politis dan agama) mereka adalah orang-orang yang terhormat.

Para ahli Taurat dan orang Farisi tersebut menempatkan perempuan itu di tengah-tengah (kemungkinan besar di tengah-tengah Tuhan Yesus dan rakyat banyak yang sedang mendengarkan-Nya) lalu berkata kepada Tuhan Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah” (ay. 4). Kata “tertangkap basah” di ayat 4 ini memiliki akar kata yang sama dengan kata “kedapatan” dalam ayat 3. Kata “zinah” yang dipakai di ayat 4 ini adalah moicheuomenē (μοιχευομένη) dari akar kata moicheuó (μοιχεύω) dengan makna yang serupa dengan kata “zinah” di ayat 3. Perbedaannya adalah kata moicheia merupakan kata benda sedangkan kata moicheuó merupakan kata kerja.

Kata moicheuomenē di ayat 4 ini dalam bahasa aslinya menggunakan bentuk kata verb – present participle middle/passive – nominative feminime singular (kata kerja – kala kini, partisipatif, menengah/pasif – nominatif feminim tunggal). Jadi jelas bahwa perempuan tersebut benar-benar sedang tertangkap basah ketika ia sedang melakukan perzinahan. Agak menarik melihat permainan kata yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli Taurat tersebut dalam kalimatnya: yaitu perempuan yang tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Mungkinkah perempuan tersebut berbuat zinah sendirian? Bukankah pasti ada laki-laki (atau sekumpulan laki-laki) yang juga seharusnya tertangkap basah ketika sedang berbuat zinah dengan perempuan tersebut? Mengapa para ahli Taurat dan orang Farisi tidak membawa juga laki-laki yang melakukan perzinahan tersebut?

Lebih lanjut kalimat yang diucapkan oleh para ahli Taurat dan orang Farisi itu adalah: “Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian (yang melakukan perzinahan). Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” (ay. 5). Jelas bahwa mereka hendak membenturkan Tuhan Yesus dengan hukum Taurat di muka orang banyak. Jika Tuhan Yesus terpancing dan mengatakan: “Ya, lempari perempuan itu dengan batu”, maka Tuhan Yesus akan ditangkap pasukan Romawi karena menyuruh membunuh orang lain tanpa pengadilan yang sah. Ingat bahwa pada waktu itu bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi dan bangsa Romawi pun memiliki aturan dan hukumnya sendiri.

Jika Tuhan Yesus terpancing dan mengatakan “Tidak boleh dilempari batu”, maka rakyat banyak akan menganggap Tuhan Yesus menentang hukum Taurat dan bisa jadi rakyat banyak akan menganggapnya sebagai penista hukum Taurat. Jika Tuhan Yesus juga sampai bertanya: “Mana buktinya?”, maka mereka bisa saja mengatakan bahwa mereka melihat sendiri (atau mungkin saja juga melakukannya sendiri) dan Tuhan Yesus dianggap tidak berkuasa. Pertanyaan ini sungguh adalah pertanyaan jebakan yang sudah dipikirkan dengan matang dengan satu tujuan: yaitu untuk menjebak Tuhan Yesus. Hal ini nampak pada ayat selanjutnya dimana dikatakan bahwa mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya (ay. 6a).

Ingat bahwa pada waktu itu Tuhan Yesus sedang duduk sambil mengajar rakyat banyak (yang kemungkinan besar juga mendengarkan dengan posisi duduk). Pada waktu itu para ahli Taurat dan orang Farisi datang kepada Tuhan Yesus dan melemparkan perempuan yang berzinah tersebut di hadapan Tuhan Yesus. Sangat mungkin para ahli Taurat dan orang Farisi berdiri di sekeliling Tuhan Yesus sambil berteriak-teriak untuk meminta jawaban dari Tuhan Yesus. Apakah yang Tuhan lakukan pada saat itu? Alkitab menulis bahwa  Tuhan Yesus kemudian membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah (ay. 6b).

'Dalam renungan hari ini, saya tidak akan menekankan pada apa yang kemungkinan ditulis oleh Tuhan Yesus di tanah tersebut. Ketika para ahli Taurat dan orang Farisi terus menerus menanyakan hal itu kepada-Nya, maka Tuhan Yesus kemudian bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (ay. 7). Kemudian Tuhan Yesus pun kembali duduk, membungkuk dan menulis lagi di tanah (ay. 8). Jika kita dapat membayangkan kondisi saat itu, dapat dibayangkan betapa genting dan tegangnya kondisi saat itu. Tuhan Yesus yang awalnya sedang duduk dan mengajar orang banyak, tiba-tiba disela oleh sekelompok ahli Taurat dan orang Farisi yang membawa seorang perempuan dan meletakkannya di depan Tuhan Yesus sambil berteriak-teriak meminta keputusan Tuhan Yesus atas perempuan ini, apakah boleh dilempari batu atau tidak. Bisa dibayangkan beberapa rakyat akan berdiri dan mencoba melihat keadaan di depan, dan mulai bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Kemudian Tuhan Yesus berkata (kemungkinan besar juga dengan suara yang keras): “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu” dan kemudian duduk lagi. Suasana tegang ini tentu dirasakan oleh rakyat banyak, dan tentu saja oleh perempuan yang tertangkap basah berzinah tersebut.

Singkat cerita, para ahli Taurat dan orang Farisi pun pergi satu persatu dari yang tertua setelah mendengar ucapan Tuhan Yesus tersebut (dan sangat mungkin juga setelah mereka membaca apa yang Tuhan Yesus tulis di tanah) (ay. 9a). Sangat mungkin mereka malu karena mereka masih merasa berdosa. Dalam renungan saya di tanggal lain, saya menulis bahwa ada kemungkinan Tuhan Yesus menulis nama orang-orang tersebut yang telah melakukan perzinahan juga dengan perempuan tersebut. Sehingga ketika mereka berteriak-teriak menuntut perempuan tersebut dilempari batu, maka mereka pun seharusnya juga ikut dilempari batu. Akibatnya tidak ada satu pun dari mereka yang membawa perempuan tersebut ada di situ dan melempar batu pertama kali kepada si perempuan.

Menariknya, saya yakin bahwa orang banyak itu juga mendengar ucapan Tuhan Yesus kepada para ahli Taurat dan orang Farisi. Mengapa tidak ada yang melempar batu kepada perempuan tersebut? Bukankah orang banyak yang mendengar adalah orang Yahudi (karena orang non Yahudi tidak boleh masuk ke dalam Bait Allah), dan sangat mungkin ada di antara orang-orang yang mendengar itu adalah orang-orang Yahudi garis keras yang selama ini melakukan hukum Taurat. Bukankah mungkin ada beberapa orang di antara orang banyak yang melihat situasi tersebut kemudian melempar batu kepada perempuan itu karena merasa tidak berdosa? Ingat bahwa di kitab Injil ada tertulis mengenai orang muda yang berkata sudah melakukan hukum Taurat dengan baik sejak masa mudanya tanpa cacat (dalam hal ini tanpa cacat secara hukum). Tentu bisa saja ada beberapa orang di antara rakyat banyak tersebut yang merasa tidak berdosa (secara hukum Taurat) sehingga ia berani melempar batu pertama kali.

Namun karena tidak ada orang sama sekali yang mau melempar batu kepada perempuan tersebut (termasuk orang banyak), maka sangat mungkin apa yang ditulis oleh Tuhan Yesus itu adalah tulisan yang membuat para pendakwa (yaitu para ahli Taurat dan orang Farisi) menjadi malu, bahkan malu di hadapan rakyat banyak. Rakyat banyak juga menjadi penilai apakah tuntutan dan tuduhan para ahli Taurat dan orang Farisi itu tepat alamat atau salah alamat. Setelah beberapa waktu suasana diam dan hening (karena para ahli Taurat dan orang Farisi pergi satu persatu), akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya (ay. 9b).

Kemudian Tuhan Yesus bangkit berdiri dan berkata kepada perempuan tersebut: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" (ay. 10). Perempuan itu dalam posisi terduduk atau tertunduk berkata: “Tidak ada Tuan” (ay. 11a). Perhatikan jawaban Tuhan Yesus di ayat ini kepada perempuan itu: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (ay. 11b).

Jadi, setelah pembahasan perikop ini, apakah jawaban atas pertanyaan di awal renungan tadi: “Apakah hukuman terhadap perempuan yang kedapatan berzinah”? Apakah kita harus menghukum perempuan tersebut dengan hukuman mati? Ataukah kita harus membiarkan perempuan tersebut? Tentu jawaban bagi orang Kristen tidak bisa ditentukan hanya dari sudut pandang deontologis. Akan tetapi perlu dipahami lebih lanjut apakah definisi berzinah itu sendiri.

Kita sering cepat menghakimi bahwa berzinah (moichos, moicheia atau moicheuó) adalah melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang bukan pasangannya. Memang itulah definisi yang ada di kebanyakan kamus dan juga itulah definisi yang tertulis di dalam hukum Taurat. Tetapi jika kita mau konsisten mengaplikasikan hukuman di dalam hukum Taurat terhadap dosa perzinahan, maka hampir semua dari kita sudah masuk ke dalam kategori berzinah, karena Tuhan Yesus sendiri sudah menetapkan definisi berzinah yang baru, sehingga siapa saja yang memandang perempuan dan mengingininya (tergerak syahwatnya) sudah masuk ke dalam definisi berzinah (moicheuó) di Mat 5:28. Jadi jika hukum Taurat diterapkan dengan kaku hingga hari ini, maka sebagian besar dari kita mungkin saja sudah harus mati dilempar batu.

Sebaliknya, apakah kita harus mengampuni setiap dosa perzinahan yang dilakukan oleh orang lain? Bahkan ketika orang itu adalah orang terdekat kita atau mungkin suami/istri kita sendiri? Bagaimana jika ada orang yang memang sudah suka berzinah dengan siapa saja demi uang atau juga demi memuaskan hawa nafsunya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus sadar bahwa kita hidup di negara yang diatur oleh hukum. Kita di Indonesia tentu memiliki hukum negara yang mengatur mengenai perzinahan dan hukuman atas perzinahan tersebut. Di negara-negara lain (termasuk negara maju sekalipun), pasti ada hukum yang mengatur mengenai perzinahan dan hukuman atas perzinahan tersebut, meskipun antara satu dan negara lain tentu saja berbeda. Oleh karena itu, karena negara kita memang bukan negara atas dasar agama (yaitu agama Kristen), maka kita tidak boleh memaksakan aturan agama dalam kitab suci kita untuk diterapkan di hukum negara. Oleh karena itu, dalam hal ini hukum negara harus juga menjadi acuan dalam menangani kasus-kasus perzinahan, dengan mekanisme pengadilan yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Kita tidak boleh menjadi hakim dan mengadili orang lain jika kita bukan hakim atau aparat pengadilan yang sah menurut hukum.

Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan di atas juga tidak sepenuhnya mudah. Jika kasus perzinahan itu belum sampai masuk ke ranah hukum negara, maka perlu dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh penanganan kasus perzinahan tersebut. Gereja (tidak hanya pendeta tetapi juga seluruh jemaat) harus menjadi gereja yang peka akan kehendak Bapa melalui tuntunan Roh Kudus untuk mengambil keputusan yang tepat, yang tidak mendukakan hati Bapa tetapi menyenangkan hati Bapa. Terkadang keputusan yang harus diambil terkait dengan perzinahan yang dilakukan memang adalah keputusan untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk. Sayangnya banyak gereja (jemaat, majelis, dan juga pendeta) yang masih sering berpikir secara deontologis sehingga dengan keras mereka bersuara: “harus dihukum” atau “tidak harus dihukum” sehingga menimbulkan konflik yang saling melukai hati sesamanya. Ada banyak kasus perzinahan yang seharusnya diredam tetapi justru dibuka ke publik bahkan hingga ke pengadilan sehingga aib pun menjadi terbuka. Ada juga kasus perzinahan yang sudah parah (mungkin sudah bukan lagi taraf moichos tetapi sudah sampai taraf pornos) yang seharusnya ditangani secara proporsional tetapi justru didiamkan. Kesalahan dalam memahami kehendak Bapa dalam kasus-kasus perzinahan ini harus diakui dapat membuat konflik di sejumlah gereja dan jemaat.

Dalam segala hal, kita harus berusaha supaya orang dapat bertobat dan diselamatkan. Inilah inti dari jawaban Tuhan Yesus kepada perempuan yang berzinah itu di ayat 11 tadi. Tuhan Yesus tidak ingin perempuan itu mati, tetapi masih memberikan kesempatan untuk bertobat. Sehingga Ia berpesan agar perempuan tadi tidak mengulangi kesalahannya di kemudian hari. Kesempatan yang Tuhan Yesus berikan seharusnya dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh perempuan tersebut. Jika perempuan itu tidak mau  bertobat, maka ia sudah menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan, dan bukan tidak mungkin di kemudian hari ia akan mati dilempari batu. Bahkan jika ia tidak bertobat, maka ketika ia mati pun sangat mungkin ia akan ditolak untuk masuk ke dalam kerajaan surga.

Jika kasus perzinahan yang terjadi di dalam jemaat masih dipandang dapat diperbaiki (sesuai dengan taraf moichos), maka perlu dipertimbangkan (terutama dengan pertimbangan pastoral oleh gembala/pendeta sebagai pemimpin jemaat) apakah permasalahan ini harus diredam dengan tujuan pertobatan pelaku perzinahan. Tentu gereja juga harus memiliki mekanisme untuk mendisiplin jemaat supaya bertobat. Akan tetapi mekanisme disiplin itu tentu harus jelas, konsisten dan tidak pilih kasih. Jangan sampai jika yang melakukan dosa perzinahan adalah orang kaya dan/atau dekat dengan gembala maka dibela mati-matian sementara jika yang melakukan kesalahan adalah jemaat biasa atau jemaat yang miskin maka diperlakukan secara berbeda.

Di sisi lain, jika kasus perzinahan yang terjadi sudah sampai taraf pornos yang membahayakan, maka perlu dipertimbangkan juga untuk menyerahkannya kepada aparat yang berwajib. Dalam hal ini pertimbangannya adalah apakah dengan dibiarkan maka kondisi pelaku dan korban akan membaik, atau lebih baik dilaporkan ke pihak berwajib supaya pelaku tidak meresahkan jemaat dan jemaat lain tidak terancam. Tentu sekali lagi tulisan saya ini bukan sebagai patokan mana yang harus dibiarkan, dihukum oleh gereja, atau dilaporkan ke pihak berwajib. Dalam segala hal tentu kita harus bertindak dalam tuntunan Roh Kudus sesuai dengan kehendak Bapa. Oleh karena itu, mau tidak mau jemaat Tuhan harus menjadi cerdas sehingga dapat mengerti suara Tuhan. Gembala sidang atau pendeta juga harus dapat mengajar jemaat menjadi cerdas, serta memiliki pemahaman Alkitab, etika dan pertimbangan pastoral yang baik. Dengan demikian, setiap kasus tidak harus dilihat dan diselesaikan secara hitam putih, akan tetapi kita harus melihat dan menyelesaikan setiap permasalahan dari sudut pandang Tuhan, pilihan mana yang terbaik (meskipun mungkin di antara yang terburuk) yang dapat menyelamatkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa bagi kemuliaan nama Tuhan. Hal ini akan kita pelajari lebih lanjut di serial renungan ini ketika mulai membahas mengenai praktik percabulan dan perzinahan yang terjadi di jemaat mula-mula.



Bacaan Alkitab: Yohanes 8:1-11
8:1 tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun.
8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka.
8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah.
8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah.
8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?"
8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah.
8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya.
8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."

Jumat, 31 Agustus 2018

Pornos dan Moichos (16): Perintah Tuhan yang Umum dan Kehendak-Nya yang Khusus


Jumat, 31 Agustus 2018
Bacaan Alkitab: Lukas 18:18-27
“Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu.” (Luk 18:20)

Pornos dan Moichos (16): Perintah Tuhan yang Umum dan Kehendak-Nya yang Khusus


Jika ditanyakan kepada kebanyakan orang Kristen, apakah perintah Tuhan itu? Tentu kebanyakan dari kita akan menjawab bahwa perintah-Nya adalah apa yang tertulis di Alkitab. Jika ditanya lebih rinci lagi apakah perintah Tuhan, mungkin sebagian besar akan ada yang menjawab “sepuluh perintah Allah”, atau “mengasihi Tuhan dan mengasihi manusia”. Jawaban itu sebenarnya tidak salah. Namun orang Kristen yang cerdas harus dapat membedakan manakah perintah Tuhan yang bersifat umum, dan manakah kehendak Tuhan yang bersifat khusus.

Bacaan Alkitab kita pada hari ini sudah beberapa kali kita bahas dalam serial ini maupun pada kesempatan-kesempatan terdahulu. Namun kali ini saya mengajak kita semua untuk belajar melihat manakah perintah Tuhan dan manakah kehendak Tuhan.

Peristiwa ini dimulai ketika ada seorang pemimpin yang datang dan bertanya kepada Tuhan Yesus: “Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (ay. 18). Kata pemimpin hanya digunakan di kitab Lukas sedangkan dalam ayat paralel di kitab Markus hanya ditulis “seseorang” (Mrk 10:20) dan di kitab Matius ditulis sebagai “orang muda” (Mat 19:20). Jika peristiwa di ketiga kitab itu merujuk pada orang yang sama, maka bisa dikatakan orang ini adalah seorang pemimpin muda yang memiliki banyak harta. Kata “pemimpin” di ayat ini dalam bahasa aslinya menggunakan kata archón (ἄρχων) yang memiliki makna a ruler, governor, leader, leading man; with the Jews, an official member (a member of the executive) of the assembly of elders (seorang penguasa, gubernur, pemimpin; dengan orang Yahudi, seorang anggota resmi (anggota eksekutif) dari majelis tua-tua). Sangat mungkin orang ini adalah salah satu pemimpin dengan jabatan tinggih di kalangan orang Farisi.  Hal ini juga didukung dengan fakta bahwa orang tersebut berani berkata bahwa ia sudah melakuan seluruh kewajiban hukum Taurat, seperti yang umum dilakukan oleh orang Farisi (ay. 21).

Kembali ke ayat 19, kita melihat bahwa Tuhan menjawab pertanyaan orang tersebut dengan sangat bijaksana, yaitu bahwa tidak ada seorangpun yang baik selain daripada Allah saja, dan bahwa [salah satu] cara untuk memperoleh hidup yang kekal adalah dengan melakukan segala perintah Allah seperti yang ia telah ketahui (ay. 19-20). Dalam ayat 20 ini, dicantumkan beberapa contoh perintah Allah yang merupakan kutipan dari 10 hukum Taurat (Dasa titah), yaitu “jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, serta menghormati ayah dan ibu” (ay. 20). Apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus itu adalah perintah ke-6 hingga ke-10 yang merupakan perintah Tuhan yang mengatur mengenai hubungan antara manusia dengan sesamanya.

Dalam ayat 20 tersebut terdapat 1 perintah yaitu “jangan berzinah”. Sama seperti ayat paralel di kitab Injil lainnya , kata “berzinah” dalam ayat ini menggunakan kata moicheusēs (μοιχεύσῃς) dari akar kata moicheuó (μοιχεύω) yang secara ringkas memiliki makna sebagai adalah suatu hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Sebagaimana kita telah membahas dalam renungan-renungan terdahulu, bahwa kalimat “jangan berzinah” ini merupakan salah satu dari 10 perintah yang diberikan Tuhan Allah secara langsung di atas gunung Sinai kepada bangsa Israel. Jika kita mau jujur, perintah tersebut diberikan kepada bangsa Israel dan berlaku penuh bagi seluruh bangsa Israel, termasuk keturunan mereka hingga saat ini (yang kita kenal dengan bangsa Yahudi). Pertanyaannya, mampukah seseorang melakukan hukum dengan ketat dan sempurna?

Dalam jawabannya, sang pemimpin tersebut berkata kepada Tuhan Yesus: “Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku” (ay. 21). Perhatikan respon Tuhan Yesus kemudian terhadap ucapan orang tersebut. Tuhan tidak mengatakan: “Kamu masih belum sempurna menuruti hukum Taurat”. Ini dapat diartikan bahwa orang tersebut dalam hal penurutannya akan tuntutan hukum Taurat mungkin memang benar-benar sudah “sempurna”. Perlu dipahami kata “sempurna” di sini harus dipandang sebagai tidak melanggar hukum Taurat dan juga senantiasa melakukan perintah Tuhan yang tertulis di dalam hukum Taurat.

Terkait dengan hal ini, ada 1 orang lagi yang juga dapat kita pandang sudah dapat memenuhi seluruh tuntutan hukum Taurat, yaitu Paulus. Dalam suratnya kepada jemaat di kota Filipi, Paulus mengatakan bahwa tentang kebenaran dalam menaati hukum Taurat ia sama sekali tidak bercacat (Flp 3:6). Tentu tidak bercacat di sini adalah sampai pada melakukan perintah Tuhan sebagaimana yang tertulis di dalam kitab sucinya (yaitu yang berupa hukum-hukum tertulis). Jadi menurut pendapat saya, masih dimungkinkan adanya orang-orang yang bisa dibenarkan dalam hal menaati syariat agamanya (seperti makanan yang dimakan, hal berpuasa, mengenakan pakaian yang sesuai, merayakan liturgi dalam ibadah mereka). Namun semua hal ibadah secara lahiriah tersebut ternyata di mata Tuhan masih belum cukup.

Perhatikan bagaimana jawaban Tuhan Yesus di ayat 22 tersebut: “Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan” (ay. 22a). Mengapa Tuhan Yesus mengucapkan hal demikian? Bukankah secara hukum Taurat orang itu sudah bisa dipandang tak bercacat? Mengapa pula masih ada satu hal lagi yang harus ia lakukan?

Kita harus jeli melihat bahwa apa yang diucapkan oleh Tuhan Yesus ini sama sekali tidak ada acuannya di dalam kitab suci orang Yahudi. Memang betul bahwa orang Yahudi juga dituntut untuk memperhatikan orang-orang miskin, termasuk para janda dan anak yatim. Namun aturan mengenai seberapa banyak orang Yahudi harus membantu sesamanya tersebut memang tidak diatur secara rinci. Jelas bahwa jika dikaitkan dengan perintah Tuhan (yang tertulis dalam bentuk hukum atau Kitab Suci), maka orang tersebut tentu tidak bersalah. Akan tetapi, jika dilihat dari sudut pandang Tuhan, orang tersebut masih memiliki suatu “kekurangan”. Kekurangan inilah yang hendak ditunjukkan oleh Tuhan Yesus kepada orang itu, dengan cara memintanya melakukan 1 hal lagi untuk memperoleh hidup yang kekal.

Tidak mengherankan bahwa hal yang diminta oleh Tuhan Yesus adalah untuk menjual segala yang ia miliki, dan membagi-bagikan semuanya itu kepada orang-orang miskin (ay. 22b). Apakah cukup dengan menjual segala sesuatu yaitu harta miliknya? Tentu tidak. Tuhan Yesus mengatakan bahwa itu barulah langkah awal untuk memperoleh harta di surga, baru kemudian setelah itu ia harus datang kepada Tuhan Yesus dan mulai mengikuti-Nya (ay. 22c).

Jika kita perhatikan, Tuhan Yesus hendak menyampaikan kehendak Bapa-Nya supaya orang itu memperoleh hidup yang kekal. Jelas bahwa perintah-perintah di dalam Kitab Suci adalah perintah yang baik adanya. Namun sebenarnya melakukan seluruh perintah Tuhan itu belumlah cukup jika ingin sempurna sesuai standar Tuhan. Hukum Taurat memang mampu membuat orang menjadi baik, akan tetapi belum membuat orang sampai kepada level sempurna di hadapan Tuhan.

Di sini kita harus belajar menjadi orang Kristen yang cerdas. Memang betul bahwa Kitab Suci (Alkitab) adalah firman Tuhan yang adalah panduan hidup kita. Namun firman Tuhan itu adalah firman yang tertulis (logos). Logos tidak akan berdampak banyak jika hanya dibaca atau dihafal serta dipandang sebagai suatu syariat yang wajib dilakukan. Perlu adanya pembaharuan pikiran sehingga logos tersebut dapat menjadi suatu rhema yang hidup. Secara singkat, rhema adalah penerapan logos dalam kehidupan sehari-hari. Jadi jika ada tertulis “jangan berzinah”, maka perlu diperkarakan apakah yang dimaksud dengan berzinah itu. Apakah berzinah hanya dipandang ketika seseorang yang sudah menikah sampai melakukan hubungan seksual dengan orang lain? Untung Tuhan sudah memberi definisi berzinah yang lebih jelas dalam Matius pasal 5. Namun demikian, perlu dipikirkan juga misalnya jika seseorang tidak sampai melakukan hubungan seksual dan hanya berciuman, apakah itu dosa atau bukan? Tentu dalam hal ini jika hendak dicari aturan tertulisnya, mungkin tidak semua dapat termuat di dalam Alkitab.

Namun demikian, Tuhan kita adalah Tuhan yang Maha Cerdas. Tuhan menganugerahkan Roh Kudus sebagai sarana untuk dapat memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Itulah mengapa orang Kristen di masa Perjanjian Baru seharusnya sudah tidak memikirkan mengenai syariat yang tertulis di dalam Alkitab (khususnya di Perjanjian Lama). Satu-satunya perjuangan umat Perjanjian Baru adalah bagaimana dalam segala hidupnya, kita dapat berkenan dan menyenangkan hati Tuhan. Jangan salah, syariat Taurat dalam Perjanjian Lama itu baik. Akan tetapi, kita tidak boleh terpaku pada syarat-syarat syariat yang kaku dan tidak dinamis. Sebagai contoh, Perjanjian Lama tidak mengatur mengenai merokok, apakah halal atau haram. Namun bagi orang Perjanjian Baru, kita harus tahu bahwa tubuh kita adalah Bait Roh Kudus. Baik kita makan atau minum, atau melakukan apapun, kita harus melakukannya bagi kemuliaan nama Tuhan. Itulah bukan hanya saja dalam hal merokok, namun dalam hal apapun, umat Perjanjian Baru harus memperkarakan, apakah hal tersebut berguna dan sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak.

Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang datang kepada Tuhan Yesus adalah seorang pemimpin agama,  seorang yang tidak bercacat dan tidak bercela dalam melakukan hukum Taurat. Apakah ia sudah menjadi umat beragama yang baik? Jika ukurannya hanya sekedar menjadi umat beragama yang baik, maka pemimpin agama ini sudah mencapai standar itu. Akan tetapi jika ukurannya adalah sempurna seperti Bapa di surga adalah sempurna (Mat 5:48), maka tentu saja hukum Taurat tidak akan dapat membuat manusia menjadi sempurna. Perlu dipahami bahwa sempurnanya manusia yang dimaksud di sini tentu saja berbeda dengan kesempurnaan Allah Bapa. Akan tetapi, manusia harus berjuang semaksimal mungkin untuk memiliki pikiran dan perasaan Allah dalam dirinya, sehingga mulai dari hal yang terkecil manusia dapat mengambil keputusan yang selaras dengan kehendak Bapa di surga.

Kembali ke bacaan Alkitab kita hari ini, Tuhan dengan jelas ingin menunjukkan kepada pemimpin muda yang kaya tersebut bagaimana seharusnya ia mengikut Tuhan Yesus. Seseorang yang mau mengikut Tuhan dengan benar tidak boleh memiliki apapun yang dapat membuat hatinya menyimpang dari satu-satunya tujuan hidup, yaitu sempurna seperti Bapa di surga. Dalam hal ini hal yang dapat menghambat orang tersebut untuk hidup sempurna adalah keterikatan dan ketergantungannya dengan harta bendanya karena ia adalah seorang yang sangat kaya.

Perlu dicatat bahwa pemimpin muda yang kaya ini adalah seseorang yang sebenarnya tulus ingin hidup benar di hadapan Tuhan. Ia telah berjuang menuruti tuntutan hukum Taurat sejak masa mudanya. Namun kesempurnaan menurut standar hukum itu ternyata masih jauh dari kesempurnaan yang Tuhan kehendaki. Oleh karena itu, ia yang awalnya merasa percaya diri dengan keadaan hidupnya, kemudian menjadi sangat sedih ketika mendengar ucapan Tuhan Yesus di ayat 22, karena ia dikatakan sebagai orang yang sangat kaya (ay. 23).

Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa idealnya perintah Tuhan pasti menuntun seseorang kepada kehendak Tuhan. Seluruh perintah Tuhan dalam hukum Taurat jika dapat dipahami dengan pola pikir yang benar seharusnya membawa orang ke dalam kesucian hidup. Namun demikian, sejak zaman Perjanjian Baru (yaitu sejak Allah Anak turun menjadi manusia di bumi), maka dimulailah pekabaran Injil yaitu kabar baik. Kabar baik yang disampaikan itu adalah bagaimana manusia dapat menjadi manusia Allah, yaitu manusia yang dalam segala hal selaras, sepikiran, dan seperasaan dengan Allah. Inilah kehendak Allah yang benar itu, yang dicontohkan dalam kehidupan Tuhan Yesus Kristus selama menjadi manusia di bumi ini, hingga Ia mati di atas kayu salib.

Kita harus mengerti bahwa ucapan Tuhan Yesus yaitu orang kaya sukar masuk ke dalam kerajaan surga adalah benar adanya. Orang kaya mungkin tidak memiliki kesulitan dalam melakukan hukum Taurat. Mereka dapat dengan mudah membeli domba atau lembu sebagai korban penghapus dosa. Mereka juga bisa memberikan banyak bantuan kepada orang-orang miskin. Akan tetapi sikap hati mereka sebenarnya sudah terikat dengan harta, kekayaan, dan nafas dunia ini. Inilah yang tidak disentuh dalam hukum Taurat dan baru ditekankan dalam pengajaran Tuhan Yesus di Perjanjian Baru.
Oleh karena itu, sangat benar ucapan Tuhan Yesus bahwa orang kaya sangat sukar masuk ke dalam kerajaan surga (ay. 24). Tentu ini tidak menggambarkan suatu kemustahilan, tetapi orang kaya membutuhkan perjuangan ekstra untuk dapat mencapai taraf sempurna di hadapan Bapa. Orang miskin mungkin lebih mudah memiliki totalitas dalam mengiring Tuhan karena mereka “tidak mempunyai apa-apa” yang harus dipertahankan. Akan tetapi orang kaya memiliki harta, kekayaan, kehormatan, harga diri, posisi, jabatan, dan hal-hal lain yang tidak dapat mereka tinggalkan. Hal tersebut yang membuat orang kaya memang lebih sulit masuk kerajaan surga dibanding orang miskin, walaupun memang ada juga orang miskin yang sombong dan sok kaya, yang juga akan sulit masuk kerajaan surga jika mereka tidak bertobat.

Untuk menjelaskan hal tersebut, Tuhan Yesus menggunakan perumpamaan yang menyatakan bahwa seekor unta lebih mudah masuk lubang jarum dibanding orang kaya masuk ke dalam kerajaan Allah (ay. 25). Perlu dipahami di sini, bahwa yang dimaksud dengan “lubang jarum” di sini kemungkinan besar adalah sebuah pintu kecil di sebuah tembok dimana unta harus berjongkok dan didorong dari luar (atau ditarik dari dalam) untuk dapat melaluinya. Pada masa itu, banyak unta dipasangi dengan pelana dan berbagai macam perhiasan dan pernak pernik. Oleh karena itu, agar dapat memasuki “lubang jarum” tersebut, seekor unta harus “dilucuti” dari segala macam perhiasan, pelana, dan pernak pernik lainnya supaya dapat masuk ke dalamnya. Ini merupakan gambaran yang sangat jelas mengenai bagaimana seseorang harus meninggalkan segala sesuatu untuk menjadi murid Tuhan, termasuk di dalamnya segala kesenangan dan kenikmatan hidup, termasuk keterikatan dengan kekayaan dan dunia ini.

Bagi manusia, hal ini nyaris mustahil bahkan dapat dikatakan mustahil. Mungkinkah seseorang bisa melepaskan keterikatan dengan dunia ini selagi dirinya hidup di dunia? Bagi manusia memang hal tersebut terlihat mustahil, akan tetapi bagi Tuhan tidak ada yang mustahil (ay. 26-27). Di masa Perjanjian Baru ini Tuhan telah memberikan anugerah kepada manusia yang mau percaya kepada-Nya. Anugerah tersebut antara lain: penebusan Tuhan Yesus di atas kayu salib, pembenaran, Firman Allah yang lengkap, serta Roh Kudus sebagai penolong. Kita dapat melihat teladan Tuhan Yesus Kristus yang rela kehilangan hak dan bahkan kehilangan segala sesuatu demi ketaatan-Nya melakukan kehendak Bapa tanpa batas hingga mati di atas kayu salib. Dari Alkitab Perjanjian Baru dan juga sejarah gereja pun kita dapat belajar bagaimana jemaat mula-mula berani kehilangan segala sesuatu demi Tuhan, termasuk kewarganegaraan mereka, harta mereka, rumah mereka, keluarga mereka, bahkan nyawa mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya manusia dimungkinkan untuk sempurna, dalam hal ini melakukan apa yang menjadi kehendak Bapa di surga.

Dalam konteks perikop ini, kita telah belajar bagaimana Tuhan telah menyingkapkan kehendak Bapa secara khusus kepada pemimpin muda yang kaya tersebut. Ditinjau dari ketaatannya terhadap hukum, pemimpin muda itu tidak bercacat cela. Namun jika dilihat dari sudut pandang Allah, maka hidup orang tersebut masih belum sempurna karena masih ada “bagian” yang ia sisakan bagi dirinya sendiri, yaitu kekayaannya yang masih belum mau ia lepaskan. Oleh karena itu, ketika Tuhan memintanya untuk menjual segala harta miliknya, ia pun pergi dengan sedih. Tanpa bermaksud menghakimi, kira-kira pada hari penghakiman nanti, apakah yang akan ditanyakan Tuhan kepada orang tersebut? Apakah Tuhan akan bertanya: “Berapa banyak hukum Taurat yang sudah kau lakukan?” atau “Berapa banyak kehendak Allah yang sudah kau lakukan?”. Biarlah itu menjadi suatu peringatan bagi kita juga supaya kita hidup dengan takut dan gentar di dunia ini, yaitu dengan senantiasa ingat untuk berjuang melakukan kehendak Allah dalam hidup kita. Kehendak Allah bagi kita mungkin tidak selalu dalam kalimat: “Jual segala milikmu”. Akan tetapi, marilah kita berperkara dengan Tuhan untuk dapat menemukan kehendak Allah secara khusus dalam hidup kita, sehingga kita boleh belajar melakukannya dengan penuh sukacita, karena kita tahu itulah yang menyenangkan hati Bapa di surga.



Bacaan Alkitab: Lukas 18:18-27
18:18 Ada seorang pemimpin bertanya kepada Yesus, katanya: "Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?"
18:19 Jawab Yesus: "Mengapa kaukatakan Aku baik? Tak seorang pun yang baik selain dari pada Allah saja.
18:20 Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu."
18:21 Kata orang itu: "Semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku."
18:22 Mendengar itu Yesus berkata kepadanya: "Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku."
18:23 Ketika orang itu mendengar perkataan itu, ia menjadi amat sedih, sebab ia sangat kaya.
18:24 Lalu Yesus memandang dia dan berkata: "Alangkah sukarnya orang yang beruang masuk ke dalam Kerajaan Allah.
18:25 Sebab lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah."
18:26 Dan mereka yang mendengar itu berkata: "Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?"
18:27 Kata Yesus: "Apa yang tidak mungkin bagi manusia, mungkin bagi Allah."