Rabu, 29 Februari 2012

Apa yang Dilakukan Yesus demi Menyelamatkan Satu Jiwa


Sabtu, 3 Maret 2012
Bacaan Alkitab: Markus 5:1-20
Yesus tidak memperkenankannya, tetapi Ia berkata kepada orang itu: "Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau!"” (Mrk 5:19)


Apa yang Dilakukan Yesus demi Menyelamatkan Satu Jiwa


Seperti apa yang saya tulis beberapa bulan yang lalu, sangat jarang seseorang mau bertindak seperti gembala yang meninggalkan 99 dombanya demi mencari satu domba yang hilang. Apalagi di zaman sekarang ini, sangat jarang seseorang, bahkan seorang hamba Tuhan sekalipun, yang mau “membayar harga” demi menyelamatkan seseorang dari jerat Iblis. Hari ini kita akan belajar bagaimana Tuhan Yesus mau “membayar harga” demi membebaskan satu orang dari tangan Iblis.

Kisah ini dimulai ketika Yesus mengajak murid-muridNya untuk pergi ke seberang danau Galilea (Mrk 4:35). Saat itu murid-muridNya pun tidak tahu apa maksud Tuhan untuk mengajak mereka pergi ke seberang danau, apalagi saat itu mereka pun mengalami taufan sehingga perahu mereka nyaris tenggelam (Mrk 4:37). Akhirnya Yesus pun meredakan angin ribut itu dan tiba di seberang danau, yaitu di daerah orang Gerasa (ay. 1).

Ketika Yesus turun, datanglah seseorang yang kerasukan roh jahat kepada Yesus dan murid-muridNya (ay. 2). Orang ini, mungkin karena begitu berbahayanya, mungkin dibiarkan tinggal sendirian di kuburan (ay. 5), karena tidak ada orang lain yang mampu mengikat orang yang kerasukan itu. Bahkan dikatakan bahwa walaupun orang tersebut telah diikat dengan rantai sekalipun, tetapi orang tersebut mampu mematahkan rantai tersebut (ay. 3-4).

Orang yang kerasukan setan ini pun berlari kepada Yesus dan menyembahNya (ay. 6). Agak aneh memang mengapa orang yang kerasukan setan ini mampu menyembah Tuhan, namun menurut saya ini menunjukkan bahwa Yesus sebagai Anak Allah memiliki kuasa yang jauh lebih besar daripada setan atau iblis, walaupun jumlah iblis itu banyak sekali (ay. 9). Kuasa itu pulalah yang diberikan Tuhan kepada murid-muridNya, termasuk kita yang hidup di masa sekarang ini (Kis 1:18). Saat itu, Yesus tahu bahwa orang tersebut kerasukan roh jahat, sehingga Yesus mengusir roh jahat itu keluar dari tubuh orang itu (ay. 8). Roh jahat tersebut tidak mau begitu saja pergi, karena kemungkinan roh jahat itu adalah roh jahat yang menguasai daerah Gerasa (ay. 10), sehingga akhirnya setelah “bernegosiasi”, Yesus pun mengizinkan roh jahat itu pindah ke babi-babi yang ada di daerah tersebut (ay. 11-12).

Pada zaman itu, bangsa Yahudi adalah bangsa yang memegang teguh hukum Taurat, sehingga mereka tidak akan makan babi, walaupun bangsa Romawi yang menjajah tanah Yudea tidak menganggap babi sebagai sesuatu yang haram. Kemungkinan besar babi-babi ini dimiliki oleh orang-orang non Yahudi yang mencoba beternak babi dan menjualnya kepada orang-orang non Yahudi, termasuk orang-orang Romawi yang memang suka makan daging babi. Saat itu, roh-roh jahat keluar dari tubuh orang itu dan pindah ke babi-babi itu sehingga mengakibatkan babi-babi tersebut terjun ke dalam danau (ay. 13). Alkitab mengatakan bahwa jumlah babi yang terjun tersebut berjumlah kira-kira 2.000 ekor, dan jika kita asumsikan satu roh jahat masuk ke satu babi, maka ada sekitar 2.000 roh jahat yang sebelumnya ada di tubuh orang tersebut.

Tentu saja para penjaga babi, dan juga para pemilik peternakan babi tersebut tidak suka dengan apa yang Yesus lakukan, karena mereka pun mengalami kerugian yang cukup besar. Jika diasumsikan harga babi mencapai Rp500.000,00 per ekor saja (saya tidak tahu harga babi yang sebenarnya, jadi hanya menggunakan perkiraan), maka kerugian yang dialami pemilik peternakan babi tersebut adalah sekitar Rp1 miliar. Itulah sebabnya orang-orang di daerah Gerasa tersebut, yang melihat bahwa orang yang kerasukan roh jahat tadi telah disembuhkan oleh Yesus dan melihat bagaimana babi-babi tadi terjun ke danau (ay. 15-16), mendesak Yesus untuk meninggalkan daerah mereka (ay. 17).

Apa yang Yesus lakukan selanjutnya? Yesus beserta murid-muridNya pun naik perahu kembali ke tempat mereka sebelumya (ay. 18). Dan orang yang tadinya kerasukan roh jahat itu, walaupun meminta agar dirinya dapat mengikut Yesus, namun Yesus memiliki maksud lain, yaitu menceritakan apa yang ia alami kepada orang-orang di daerahnya (ay. 19). Tuhan ingin agar orang tersebut “memberitahukan kepada mereka (orang-orang lain) segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atas dirinya dan bagaimana Tuhan telah mengasihani dirinya”. Dengan kata lain Tuhan ingin agar orang tersebut juga menyampaikan kabar baik tersebut kepada orang lain, dan akhirnya orang tersebut pun mau melakukannya (ay. 20).

Jika kita perhatikan, bahwa Yesus menyeberang danau Galilea, melewati angin ribut dan taufan, dan tiba di daerah Gerasa hanya untuk melepaskan orang yang kerasukan roh jahat tersebut, kemudian pulang kembali ke daerah asalnya. Apakah pengorbanan yang dilakukan Yesus itu sebanding dengan hasilnya? Bagaimana mungkin Yesus menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyeberang danau dan kembali lagi hanya untuk menyelamatkan satu orang saja? Apalagi Yesus mengizinkan 2.000 ekor babi mati hanya agar roh-roh jahat yang ada dalam diri orang tersebut mau keluar dari tubuh orang tersebut. Layakkah orang tersebut dinilai dengan babi senilai sekitar Rp1 miliar?

Kadang-kadang saya pun masih belum paham sepenuhnya apa yang Tuhan Yesus pikirkan saat itu. Tetapi satu hal yang saya tangkap adalah bahwa Tuhan Yesus sangat peduli akan keselamatan jiwa seseorang, dan akan sangat bersukacita jika ada satu jiwa yang diselamatkan. Kita pun harus belajar dari Tuhan Yesus, bahwa Ia pun rela mengorbankan waktu dan babi senilai sekitar Rp1 miliar hanya untuk menyelamatkan satu jiwa saja. Begitu berharganya satu jiwa di pandangan Tuhan. Sikap itulah yang harus kita miliki. Mungkin kita belum dapat bertidak seperti Yesus, tidak apa-apa, yang penting kita pun (termasuk saya juga) harus sama-sama belajar bahwa keselamatan itu tidak ternilai harganya. Kita yang sudah diselamatkan, wajib menjaga keselamatan itu dan tidak menukarnya dengan “harga yang murah”. Demikian juga di sisi lain, kita pun harus berusaha semaksimal mungkin menjangkau jiwa-jiwa bagi Tuhan, terutama orang-orang yang kita kasihi. Jiwa mereka pasti sangat berharga di hadapan Tuhan, oleh karena itu, minimal kita harus tekun mendoakan orang-orang yang belum mengenal Tuhan. Ingat, Tuhan Yesus saja berani “bayar harga” untuk satu orang yang tidak Ia kenal sebelumnya, masakan kita tidak mau mendoakan orang-orang terdekat kita yang belum diselamatkan?



Bacaan Alkitab: Markus 5:1-20
5:1 Lalu sampailah mereka di seberang danau, di daerah orang Gerasa.
5:2 Baru saja Yesus turun dari perahu, datanglah seorang yang kerasukan roh jahat dari pekuburan menemui Dia.
5:3 Orang itu diam di sana dan tidak ada seorang pun lagi yang sanggup mengikatnya, sekalipun dengan rantai,
5:4 karena sudah sering ia dibelenggu dan dirantai, tetapi rantainya diputuskannya dan belenggunya dimusnahkannya, sehingga tidak ada seorang pun yang cukup kuat untuk menjinakkannya.
5:5 Siang malam ia berkeliaran di pekuburan dan di bukit-bukit sambil berteriak-teriak dan memukuli dirinya dengan batu.
5:6 Ketika ia melihat Yesus dari jauh, berlarilah ia mendapatkan-Nya lalu menyembah-Nya,
5:7 dan dengan keras ia berteriak: "Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus, Anak Allah Yang Mahatinggi? Demi Allah, jangan siksa aku!"
5:8 Karena sebelumnya Yesus mengatakan kepadanya: "Hai engkau roh jahat! Keluar dari orang ini!"
5:9 Kemudian Ia bertanya kepada orang itu: "Siapa namamu?" Jawabnya: "Namaku Legion, karena kami banyak."
5:10 Ia memohon dengan sangat supaya Yesus jangan mengusir roh-roh itu keluar dari daerah itu.
5:11 Adalah di sana di lereng bukit sejumlah besar babi sedang mencari makan,
5:12 lalu roh-roh itu meminta kepada-Nya, katanya: "Suruhlah kami pindah ke dalam babi-babi itu, biarkanlah kami memasukinya!"
5:13 Yesus mengabulkan permintaan mereka. Lalu keluarlah roh-roh jahat itu dan memasuki babi-babi itu. Kawanan babi yang kira-kira dua ribu jumlahnya itu terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya.
5:14 Maka larilah penjaga-penjaga babi itu dan menceriterakan hal itu di kota dan di kampung-kampung sekitarnya. Lalu keluarlah orang untuk melihat apa yang terjadi.
5:15 Mereka datang kepada Yesus dan melihat orang yang kerasukan itu duduk, sudah berpakaian dan sudah waras, orang yang tadinya kerasukan legion itu. Maka takutlah mereka.
5:16 Orang-orang yang telah melihat sendiri hal itu menceriterakan kepada mereka tentang apa yang telah terjadi atas orang yang kerasukan setan itu, dan tentang babi-babi itu.
5:17 Lalu mereka mendesak Yesus supaya Ia meninggalkan daerah mereka.
5:18 Pada waktu Yesus naik lagi ke dalam perahu, orang yang tadinya kerasukan setan itu meminta, supaya ia diperkenankan menyertai Dia.
5:19 Yesus tidak memperkenankannya, tetapi Ia berkata kepada orang itu: "Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau!"
5:20 Orang itu pun pergilah dan mulai memberitakan di daerah Dekapolis segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya dan mereka semua menjadi heran.


Bahayanya jika Tidak Ada Pemimpin


Jumat, 2 Maret 2012
Bacaan Alkitab: Hakim-Hakim 21:24-25
Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hak 21:25)


Bahayanya jika Tidak Ada Pemimpin


Setelah bangsa Israel keluar dari Mesir di bawah pimpinan Musa dan masuk ke tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua, bangsa Israel mengalami keadaan yang memprihatinkan, terlebih ketika Yosua telah tiada. Bangsa Israel tidak memiliki pemimpin yang sanggup memimpin seperti Musa dan Yosua, sehingga mereka cenderung untuk bertindak sendiri-sendiri. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah tidak adanya sosok yang mampu mengingatkan bangsa Israel untuk tetap setia beribadah kepada Tuhan, yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir dan memberikan tanah Kanaan kepada mereka.

Namun, permasalahan utama bangsa Israel saat itu adalah bahwa masih ada bangsa-bangsa asli Kanaan yang tidak ditumpas seluruhnya oleh suku-suku Israel. Kita dapat melihat nama-nama bangsa asli Kanaan yang tidak ditumpas oleh suku-suku Israel dalam Hak 1:16-36. Bangsa-bangsa asli Kanaan itulah yang menjadi “duri dalam daging” bagi bangsa Israel, dan menyebabkan mereka mulai jatuh dalam penyembahan berhala, yaitu kepada dewa-dewa yang disembah bangsa-bangsa sekitarnya, termasuk bangsa-bangsa asli Kanaan yang tidak dihalau tersebut. Jika kita mau membaca seluruh kitab Hakim-Hakim, maka kita dapat menemukan begitu sering bangsa Israel jatuh dalam penyembahan berhala, bangsa lain menindas mereka, kemudian mereka berseru-seru kepada Tuhan, Tuhan mengutus hakim-hakim untuk memimpin bangsa Israel mengalahkan bangsa lain itu, namun setelah sang hakim mati, bangsa Israel kembali jatuh ke dalam penyembahan berhala. Begitu seterusnya hingga zaman hakim-hakim berakhir. Saya pun berpikir, apa sebab bangsa Israel begitu mudah jatuh ke dalam kesalahan yang sama?

Saya berpikir, jawabannya ada pada dua ayat terakhir dari kitab ini. Ternyata suku-suku Israel lebih mementingkan daerah kekuasaannya dan tidak mau bertindak sebagai satu kesatuan yaitu bangsa Israel (ay. 24). Kita dapat melihat bahwa setelah Yosua membagi-bagikan tanah Kanaan kepada suku-suku Israel, kedua belas suku Israel cenderung lebih mengutamakan kepentingan suku-suku mereka sendiri dan bersikap acuh kepada suku lainnya. Tidak adanya figur seperti Musa dan Yosua yang mampu menyatukan suku-suku Israel. Jika kita perhatikan dalam seluruh kitab Hakim-hakim, hampir semua hakim yang bangkit, hanya mampu menyatukan beberapa suku Israel saja. Bahkan sempat terjadi peperangan antara suku Benyamin dengan suku-suku lainnya yang mengakibatkan suku Benyamin nyaris punah (Hak 19:1-21:23).

Hal tersebut secara lebih jelas dinyatakan dalam ayat selanjutnya. Dikatakan bahwa pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel (ay. 25a). Sebetulnya yang bangsa Israel butuhkan bukan sosok raja secara kedudukan, tetapi sosok orang yang mampu bertindak seperti raja, yaitu orang yang memiliki kemampuan untuk menyatukan seluruh bangsa Israel. Inilah yang hilang di antara bangsa Israel sejak kematian Yosua. Apa yang terjadi, Alkitab dengan jelas menyatakan setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri (ay. 25b).

Apa yang dapat kita pelajari hari ini adalah bagaimana sekumpulan orang membutuhkan pemimpin yang dapat menyatukan orang-orang yang berada dalam kumpulan tersebut. Hal ini berlaku baik di pekerjaan, komunitas tempat tinggal kita, pemerintahan, maupun juga dalam pekerjaan Tuhan. Bagaimana dengan komunitas orang-orang percaya tempat kita beribadah, baik di Gereja maupun di persekutuan? Sudahkah kita bersyukur dan mendukung pemimpin-pemimpin kita di sana? Ataukah saat ini tidak ada sosok pemimpin yang mampu menyatukan komunitas orang-orang percaya kita? Bagian kita adalah mendukung pemimpin, dan jika memang Tuhan memberikan karunia kepada kita, barangkali Tuhan pun memilih kita untuk menjadi salah seorang pemimpin di komunitas kita itu. Yang penting adalah, seorang pemimpin yang benar haruslah memiliki visi yang dari Tuhan untuk dapat memimpin dengan baik. Oleh karena itu, marilah kita berdoa agar pemimpin-pemimpin kita benar-benar takut akan Tuhan dan bertindak sesuai dengan visi atau kehendak Tuhan, karena jika tidak ada visi dari Tuhan, maka rakyat akan bertindak sendiri-sendiri dan menjadi liar atau susah diatur (Ams 29:18).


Bacaan Alkitab: Hakim-Hakim 21:24-25
21:24 Pada waktu itu pergilah orang Israel dari sana, masing-masing menurut suku dan kaumnya; mereka masing-masing berangkat dari sana ke milik pusakanya.
21:25 Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.



Selasa, 28 Februari 2012

Motivasi Memberitakan Injil


Kamis, 1 Maret 2012
Bacaan Alkitab: Filipi 1:15-19
Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.” (Filipi 1:15)


Motivasi Memberitakan Injil


Dahulu, pada saat saya masih bersekolah di tingkat SMA, saya bersama beberapa orang teman saya merintis persekutuan doa di SMA saya. Saya waktu itu bersekolah di sebuah SMA Katolik, namun waktu itu saya merindukan ada wadah persekutuan untuk orang-orang Kristen Protestan, karena walaupun masih sama-sama percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi ada perbedaan yang cukup signifikan antara agama Kristen Protestan dengan Kristen Katolik. Saat itu motivasi saya adalah agar ada wadah bagi murid-murid Kristen untuk bersekutu bersama-sama. Sesekali apabila ada gereja yang mengadakan acara khusus, biasanya kami saling datang ke acara tersebut.

Akan tetapi ternyata ada salah satu teman saya yang tidak memiliki motivasi atau visi yang sama dengan saya. Ia ternyata “memanfaatkan” wadah persekutuan tersebut untuk membawa jiwa-jiwa agar menjadi jemaat gerejanya. Memang sudah seharusnya sih mengajak orang lain untuk datang beribadah ke gereja, tetapi saya merasa seharusnya ia mengajak orang-orang lain yang belum percaya Tuhan untuk menjadi jemaat di gerejanya, dan bukannya mengajak orang Kristen lain yang sudah berjemaat untuk pindah menjadi jemaat di gerejanya.

Saya tidak mau mengatakan apa denominasi gereja teman saya itu, tetapi saat itu saya merasa bahwa ajarannya agak-agak aneh. Tidak boleh berpacaran, dan jika berpacaran pun harus atas persetujuan pendeta/pembimbing rohani, lebih menekankan pada karunia bahasa Roh, dan yang paling aneh ya menurut saya mereka justru mengajak orang-orang yang sudah punya gereja untuk menjadi anggota gerejanya. Dan ternyata bukan hanya saya yang berpendapat seperti itu, banyak teman-teman saya di sekolah lain yang juga diajak ke gerejanya dengan cara seperti itu.

Memang sejak zaman Paulus pun, sudah ada banyak motivasi seseorang memberitakan Injil kepada orang lain. Ada yang memberitakan Injil karena dengki dan perselisihan, dan ada juga yang karena maksud baik (ay. 15). Saya sendiri masih bingung tentang bagaimana memberitakan injil karena dengki dan perselisihan. Tetapi kemungkinan adalah mereka memberitakan Injil agar orang tersebut percaya kepada Kristus dan menjadi jemaat dibawah sang pemberita Injil tersebut. Atau mungkin saja mereka memberitakan Injil agar nama merekalah yang lebih terkenal dibandingkan dengan nama Paulus. Mungkin inilah yang dimaksud Paulus dengan memberitakan Injil karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas (ay. 17).

Terkait dengan motivasi memberitakan Injil ini, Paulus pun tidak keberatan, selama yang penting adalah Kristus diberitakan kepada orang lain, dan semakin banyak orang akan dapat mendengar tentang kabar keselamatan tersebut (ay. 18). Paulus bersukacita selama apa yang disampaikan adalah Injil yang benar dan bukan “Injil yang palsu” atau ajaran-ajaran sesat. Mengapa Paulus bisa bersukacita? Karena Paulus sadar bahwa ketika Injil diberitakan, berarti ada orang yang mendengar keselamatan dan akan diselamatkan. Bagi Paulus, tidak ada kabar yang lebih membuatnya bersukacita dibandingkan dengan mendengar ada orang yang diselamatkan karena kasih Kristus (ay. 19).

Walaupun mengabarkan Injil dengan motivasi yang kurang pas juga diperbolehkan, alangkah baiknya kita yang telah percaya akan kebenaran Firman Tuhan juga mengabarkan Injil dan memberitakan kabar baik dengan motivasi yang benar. Apakah motivasi yang benar itu? Menurut saya, motivasi yang paling baik untuk memberitakan Injil adalah karena kasih (ay. 16). Sama seperti Tuhan telah mengutus Yesus Kristus ke dunia untuk menyelamatkan kita karena kasihNya, dan sama seperti Yesus rela mati di atas kayu salib karena kasihNya, maka kita pun juga harus memiliki motivasi yang sama, yaitu karena kita mengasihi orang-orang yang belum mengenal Tuhan.


Bacaan Alkitab: Filipi 1:15-19
1:15 Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.
1:16 Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil,
1:17 tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.
1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita,
1:19 karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus.

Siapa yang Dikutuk Tuhan ketika Manusia Jatuh ke dalam Dosa?


Rabu, 29 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Kejadian 3:9-19
Lalu firman-Nya kepada manusia itu: "Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu.” (Kej 3:17)


Siapa yang Dikutuk Tuhan ketika Manusia Jatuh ke dalam Dosa?


Mungkin sudah banyak dari kita yang membaca tentang kisah penciptaan manusia, dan bagaimana manusia jatuh ke dalam dosa setelah memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat. Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, Tuhan Allah telah berfirman kepada manusia, bahwa “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas,  tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej 2:16-17). Perintahnya sudah jelas, bahwa buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu tidak boleh dimakan. Hanya satu larangan yang Tuhan berikan kepada manusia, tetapi satu-satunya larangan itu pulalah yang dilanggar.

Akibat dari pelanggaran manusia itu akhirnya manusia pun terpisah dari Allah. Ketika Allah memanggil manusia, justru manusia menjadi takut dan bersembunyi di hadapan Allah (ay. 9-10). Pada waktu itu, manusia (Adam) belum mengakui bahwa ia melanggar larangan Tuhan tersebut. Justru Tuhanlah yang berinisiatif untuk bertanya kepada manusia, “Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?” (ay. 11). Sejak itulah manusia pun mempunyai ilmu “ngeles”, yaitu menyalahkan orang lain karena kesalahannya. Adam pun menyalahkan Hawa karena Hawa memberikan buah itu kepada Adam (ay. 12). Hawa, yang selanjutnya ditanya Tuhan, juga menyalahkan ular karena memperdaya dirinya (ay. 13).

Jika kita berada dalam posisi Tuhan Allah, bagaimanakah kita bertindak? Apa yang akan kita lakukan dalam kondisi sepert itu? Selama ini saya pun mengira bahwa saat itu Tuhan mengutuk manusia karena manusia jatuh dalam dosa, sehingga dunia ini pun penuh dengan penderitaan yang harus kita alami. Tetapi baru beberapa waktu yang lalu saya sadar, bahwa sebenarnya Tuhan tidak pernah mengutuk manusia sekalipun waktu itu manusia (Adam dan Hawa) melanggar perintah Tuhan. Jadi, siapa saja yang dikutuk Tuhan saat itu?

Pertama, Tuhan mengutuk ular (ay. 14-15), sehingga ular pun akan menjalar dengan perut dan memakan debu tanah. Tuhan pun akan mengadakan permusuhan antara keturunan ular dan keturunan manusia, dimana ular akan meremukkan tumitnya, dan keturunan manusia akan meremukkan kepala ular. Hal ini merupakan gambaran dari peperangan antara Iblis dengan manusia, dimana nantinya Yesus (yang lahir dari keturunan manusia) akan menang atas Iblis.

Selanjutnya, Tuhan memang berfirman kepada perempuan (Hawa) bahwa perempuan akan melahirkan dengan susah payah dan kesakitan (ay. 16a). Jika kita mencermati Firman ini, bisa saja perempuan “ngeles” lagi, ah kalau begitu saya tidak mau hamil dan melahirkan saja biar tidak sakit. Akan tetapi, ternyata Firman Tuhan tersebut di satu sisi menyatakan bahwa perempuan akan berahi kepada suaminya (ay. 16b). Artinya bahwa walaupun sakit, tetapi perempuan juga tetap saja akan memiliki keinginan untuk hamil dan memiliki anak. Itulah kodrat seorang wanita yaitu bahwa ia akan sangat ingin untuk memiliki seorang anak, walau harus kesakitan dan susah payah dalam melahirkan. Sampai saat ini saya belum menemukan adanya seorang wanita yang sama sekali  tidak ingin memiliki anak, bahkan saya sendiri pernah menemukan adanya seorang wanita yang sampai melakukan “kebohongan” dan “tipu muslihat” agar dapat memiliki anak dari orang yang sudah menjadi suami orang lain.

Kita dapat melihat bahwa Firman Tuhan bagi perempuan itu bukanlah sebuah kutuk. Tidak ada kata-kata kutuk dalam ucapan Tuhan kepada perempuan tersebut. Dalam kasus perempuan dan ular, memang kalau kita mau jujur, kedua-duanya salah, tetapi Tuhan lebih memilih untuk mengutuk ular daripada mengutuk manusia.

Kutuk yang kedua juga bukan ditujukan kepada manusia (Adam). Walaupun Adam yang salah karena mendengarkan perkataan isterinya dan memakan buah dari pohon yang terlarang itu, tetapi Tuhan justru mengutuk tanah karena dosa Adam (ay. 17a). Pertama kali saya membaca ini, saya berpikir, apa tidak salah ya? Adam yang salah kok malah jadi tanah yang dikutuk Tuhan? Tetapi semakin saya membacanya, semakin saya yakin, bahwa memang Tuhan mengutuk tanah karena dosa Adam. Tanah yang dikutuk sehingga Adam pun akan bersusah payah mencari rejeki dari tanah (ay. 17b), dan akan muncul semak-semak duri dan rumput-rumput duri, serta tumbuh-tumbuhan di ladang akan menjadi makanan bagi manusia (ay. 18). Manusia akan bekerja keras untuk makan, hingga nantinya akan kembali ke tanah, karena manusia juga berasal dari tanah (ay. 19).

Kondisi manusia setelah jatuh ke dalam dosa memang sangat memprihatinkan. Bandingkan dengan kondisi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Tidak ada semak dan rumput duri, dan bahkan tidak ada tumbuh-tumbuhan di ladang (Kej 2:5). Manusia pun diberikan Tuhan makanan berupa tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan yang berbiji (Kej 1:29). Hal ini ditegaskan kembali bahwa manusia diberi kebebasan untuk memakan buah apa saja yang ada di pohon, kecuali buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat (Kej 2:16). Dahulu, manusia tinggal memetik buah yang tumbuh dan memakannya, tetapi sejak jatuh dalam dosa, manusia harus bersusah payah untuk mencari makanannya.

Ini bukan kutuk Tuhan. Tuhan tidak pernah mengutuk manusia walaupun manusia telah jatuh ke dalam dosa. Ular dan tanahlah yang dikutuk Tuhan, bukan manusia, walaupun dari kutuk tersebut muncul konsekuensi bagi manusia. Setiap dosa memang mendatangkan konsekuensi bagi manusia, dan konsekuensi itulah yang harus kita tanggung sampai saat ini. Tetapi dari bacaan Alkitab kita pada hari ini, kita dapat melihat bahwa Tuhan begitu mengasihi manusia, hingga memutuskan untuk tidak mengutuk manusia. Bahkan karena begitu Tuhan mengasihi manusia, Tuhan memberikan anakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Tuhan telah memberikan Yesus Kristus kepada kita, dan oleh kematian Yesus di atas kayu salib, Ia menebus segala dosa dan kutuk kita (Gal 3:13). Demikian besar kasih Allah kepada manusia. Pertanyaannya, sudahkah kita bersyukur atas kasih Allah itu, dan sudahkah kita juga mengasihi Allah karena Allah juga telah terlebih dulu mengasihi kita?


Bacaan Alkitab: Kejadian 3:9-19
3:9 Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau?"
3:10 Ia menjawab: "Ketika aku mendengar, bahwa Engkau ada dalam taman ini, aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi."
3:11 Firman-Nya: "Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?"
3:12 Manusia itu menjawab: "Perempuan yang Kautempatkan di sisiku, dialah yang memberi dari buah pohon itu kepadaku, maka kumakan."
3:13 Kemudian berfirmanlah TUHAN Allah kepada perempuan itu: "Apakah yang telah kauperbuat ini?" Jawab perempuan itu: "Ular itu yang memperdayakan aku, maka kumakan."
3:14 Lalu berfirmanlah TUHAN Allah kepada ular itu: "Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu.
3:15 Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya."
3:16 Firman-Nya kepada perempuan itu: "Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu."
3:17 Lalu firman-Nya kepada manusia itu: "Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu:
3:18 semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu;
3:19 dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu."

Senin, 27 Februari 2012

Waktu untuk Melayani Tuhan


Selasa, 28 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Bilangan 8:22-26
Inilah yang berlaku bagi orang Lewi: setiap orang yang berumur dua puluh lima tahun ke atas wajib bertugas, supaya ia bekerja pada Kemah Pertemuan.” (Bil 8:23)


Waktu untuk Melayani Tuhan


Coba kita hitung, jika usia hidup kita rata-rata adalah 75 tahun, berapa banyak waktu yang telah kita gunakan untuk melayani Tuhan? Okelah, jika kita belum melayani dan hanya merupakan jemaat biasa yang hanya datang sekali seminggu ke Gereja dengan asumsi sekali ibadah hanya 2 jam, maka selama 75 tahun usia kita, kita hanya menghabiskan 75 x 52 x 2 jam = 7800 jam. Itu sama saja dengan 325 hari. Bandingkan dengan usia kita yang mencapai 75 tahun atau setara dengan 27.375 hari. Jumlah ibadah kita tersebut hanyalah 1,19% dari kehidupan kita. Apakah kita sudah merasa cukup dengan memberikan waktu 1,19% tersebut kepada Tuhan?

Beberapa orang mengatakan bahwa seharusnya kita memberikan minimal 10% waktu kita untuk Tuhan, hal ini terkait dengan konsep persepuluhan yang wajib kita berikan kepada Tuhan. Orang lain pun mengatakan bahwa seharusnya kita memberikan 100% waktu kita untuk Tuhan. Ya, memang seluruh waktu kita bahkan seluruh hidup kita pun seharusnya kita gunakan untuk memuliakan nama Tuhan, tetapi berapa banyak sih waktu yang seharusnya kita gunakan untuk melayani Tuhan?

Alkitab tidak memberi jawaban yang pasti tentang hal ini, tetapi Alkitab memberi contoh bagaimana seorang Lewi (yang merupakan suku Israel yang dipilih untuk melayani Tuhan sebagai imam), seharusnya menjalankan tugas pelayanannya. Seorang Lewi mulai melayani Tuhan di Kemah Pertemuan pada usia 25 tahun (ay. 24) hingga berusia 50 tahun (ay. 25). Ini berarti, jika diambil rata-rata usia manusia adalah 75 tahun, maka orang Lewi melayani Tuhan selama 25 tahun atau sepertiga dari masa hidupnya. Angka ini bukan angka ideal sebenarnya, karena memang ini adalah patokan bagi orang Lewi yang memang memiliki kewajiban untuk melayani Tuhan. Walaupun demikian, kita dapat menarik beberapa pelajaran dari Firman Tuhan ini.

Pertama, walaupun pelayanan orang Lewi dimulai pada usia 25 tahun, tetapi sesungguhnya orang Lewi sudah mempersiapkan diri mereka sebelum usia 25 tahun. Hal ini secara implisit dapat terlihat dari ayat lainnya dalam Taurat yaitu “haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ul 6:7). Ini berarti bahwa sejak masa kanak-kanak, bangsa Israel (terutama orang Lewi) juga sudah mendapatkan pengajaran hukum-hukum Allah sehingga nanti ketika usia 25 tahun tiba, mereka sudah siap melayani.

Kedua, Usia 25 s.d. 50 tahun merupakan usia produktif yang seharusnya dipakai untuk melayani Tuhan. Memang saat ini usia 18 tahun pun seseorang sudah dapat dianggap dewasa, tetapi kalau kita mau jujur, kebanyakan usia dimana seseorang mulai produktif adalah usia 25 tahun ke atas. Dan setelah 50 tahun, suka atau tidak suka, performa seseorang pun mulai turun seiring berjalannya usia. Ini berarti, pelayanan orang Lewi dilakukan pada usia produktif, agar mereka dapat melayani Tuhan dengan sebaik-baiknya. Berapa banyak di antara kita yang tidak mau memberi yang terbaik bagi Tuhan? Begitu kita akan pensiun barulah kita aktif melayani?

Ketiga, Orang Lewi yang berusia di atas 50 tahun, walaupun mereka sudah tidak wajib melayani Tuhan, tetapi mereka dapat tetap melayani Tuhan, walaupun di bidang yang agak berbeda dari sebelumnya. Apa yang dilakukan orang-orang Lewi di atas 50 tahun dikatakan sebagai membantu saudara-saudaranya (yang berusia 25 s.d. 50 tahun tersebut) melayani di Kemah Pertemuan. Usia tua bukan halangan untuk melayani, tetapi memang ada beberapa hal harus diubah, seperti misalnya, lebih banyak memberi dukungan dan bantuan serta arahan kepada orang-orang yang lebih muda, mengurangi kegiatan pelayanan yang membutuhkan fisik prima, dan lain sebagainya.

Inti dari bacaan Alkitab kita adalah terus melayani di usia berapapun kita berada. Adakah kita masih muda? Kita bisa melatih diri kita untuk melayani dari hal-hal yang sederhana. Adakah kita sedang di usia produktif? Kita bisa melayani Tuhan dengan semangat dan fisik yang prima. Adakah kita sudah melewati usia produktif? Kita dapat memberi saran dan arahan serta mendukung pelayanan orang lain, minimal dalam doa. Yang jelas, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melayani, karena Tuhan sudah lebih dulu melayani kita.


Bacaan Alkitab: Bilangan 8:22-26
8:23 TUHAN berfirman kepada Musa:
8:24 "Inilah yang berlaku bagi orang Lewi: setiap orang yang berumur dua puluh lima tahun ke atas wajib bertugas, supaya ia bekerja pada Kemah Pertemuan,
8:25 tetapi jika ia berumur lima puluh tahun haruslah ia dibebaskan dari pekerjaan itu, sehingga tak usah ia bekerja lebih lama lagi.
8:26 Ia boleh membantu saudara-saudaranya di Kemah Pertemuan dalam menjalankan tugas mereka, tetapi tidak usah lagi ia menjabat pekerjaan itu. Demikianlah harus kaulakukan kepada orang Lewi mengenai tugas mereka."

Kamis, 23 Februari 2012

Kepala atau Ekor?


Senin, 27 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Ulangan 28:11-14
TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia.” (Ul 28:13)


Kepala atau Ekor?


Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan SMS dari salah seorang teman saya yang bekerja di perusahaan tempat saya bekerja dulu. Isi dari SMS itu adalah mengabarkan bahwa salah seorang sahabat saya telah naik pangkat menjadi setingkat asisten manajer di perusahaan tempat saya bekerja dulu. Mendengar itu, saya sangat bersukacita, dan langsung mengucapkan selamat kepada sahabat saya itu. Saya teringat masa-masa dulu, dimana awalnya saya dan dia masih belum memiliki kendaraan sendiri dan masih harus menumpang mobil teman saya yang lain, kemudian ketika saya mendapatkan jatah sepeda motor, saya sering mengantarkan sahabat saya pulang, dan akhirnya ketika sahabat saya memiliki mobil, justru saya yang sering menumpang mobilnya. Saya juga menjadi teringat masa-masa di mana sahabat saya itu mulai merintis karir dari staf, kemudian pindah bagian dan menjadi kepala seksi, lalu sekarang sudah menjadi seorang asisten manajer. Saya dan dirinya dulu sering ditempatkan pada bagian yang saling terkait, sehingga saya pun paham bagaimana karakternya di dalam pekerjaan dan di luar pekerjaan, sehingga boleh dikatakan, saat itu saya mungkin salah satu orang yang cukup mengerti dan mengenal dirinya luar dalam.

Satu hal yang membuat saya bangga adalah bahwa ia tetap setia mengiring Tuhan dan justru semakin setia mengiring Tuhan. Ia mengambil pelayanan dari nol, hingga terakhir yang saya dengar, ia melayani di bidang tarik suara, menjadi choir, singer, worship leader, dan bahkan sempat menjadi solis pada acara-acara kebaktian yang cukup besar. Saya melihat kehidupannya sebagai contoh nyata dari bacaan Alkitab kita pada hari ini.

Saya yakin bahwa banyak di antara kita yang sudah sering membaca ayat-ayat ini, bahkan sering mengimani dan mengamini ayat-ayat tersebut. Memang tidak akan ada orang yang akan menolak berkat. Tetapi kebanyakan orang-orang hanya melihat berkatnya saja, tetapi tidak melihat apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan berkat tersebut. Syarat utama yang Tuhan berikan kepada bangsa Israel agar mereka diberkati sebenarnya cukup sederhana, yaitu “mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya” (ay. 13b – 14). Tetapi sebenarnya apa yang disyaratkan Tuhan itu tidak sesederhana seperti apa yang kita lihat.

Pertama, mendengarkan perintah Tuhan (ay. 13b). Tuhan ingin agar kita dengar-dengaran akan apa yang Tuhan perintahkan kepada kita. Mendengar suara Tuhan itu tidak dapat dilakukan secara instan, perlu ada harga yang harus kita bayar. Kita harus memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, barulah kita dapat mendengar suara Tuhan dengan sungguh-sungguh. Beranikah kita bayar harga untuk memiliki waktu khusus kita dengan Tuhan, atau mungkin jam tidur kita berkurang karena kita bersekutu dengan Tuhan setiap malam dan pagi hari?

Kedua, melakukan dengan setia (ay. 13b). Tidak hanya cukup mendengar, tetapi kita pun harus melakukan apa yang Tuhan perintahkan itu. Tidak hanya cukup melakukan, kita pun harus melakukannya dengan setia. Kita tidak bisa hanya melakukan 1 ayat tetapi melalaikan 10 ayat yang lainnya. Semua perintah Tuhan harus kita lakukan, walaupun itu bertentangan dengan keinginan kita. Maukah kita membayar harga mengalahkan keinginan kita demi melakukan apa yang Tuhan inginkan dalam kehidupan kita?

Ketiga, tidak menyimpang ke kiri dan ke kanan (ay. 14a). Setiap manusia diciptakan Tuhan dengan memiliki tujuah dalam kehidupannya, bagaikan sebuah anak panah yang harus dilepaskan menuju sasarannya. Ketika kita menyimpang dari sasaran yang telah Tuhan tetapkan tersebut, itu sudah dapat dikatakan sebagai dosa. Dosa bukanlah melakukan apa yang salah menurut Alkitab, tetapi dosa pun juga dapat berarti menyimpang dari apa yang seharusnya kita lakukan. Ketika Tuhan telah menetapkan sasaran bagi kita, maukah kita terus berjalan lurus menuju sasaran tersebut, seberapa pun kerasnya badai yang menghadang kita sepanjang perjalanan?

Keempat, tidak mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya (ay. 14b). Memang ayat ini secara kontekstual berbicara tentang berhala-berhala dan dewa-dewa mengingat bangsa Israel sangat sering  jatuh ke dalam penyembahan berhala. Tetapi di sisi lain hal ini juga dapat berarti bahwa kita tidak boleh menjadikan hal-hal lain sebagai “allah” kita. Apakah itu pekerjaan kita, kekayaan kita, kepintaran kita, atau apapun juga, kita harus ingat bahwa Tuhanlah Allah kita, dan Tuhanlah yang empunya berkat itu, sehingga kita tidak boleh mendukakan hati Tuhan dan membuatNya cemburu dengan cara menomorduakan Tuhan dalam kehidupan kita.

Jujur saja, keempat hal di atas sangat berat untuk dilakukan, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Lagipula, ada janji Tuhan yang indah ketika kita mau taat dan bayar harga kepada Tuhan. Tuhan akan memberkati buah kandungan kita (lambang dari keluarga), hasil ternak dan bumi (ay. 11), Tuhan akan memberi berkat bagaikan hujan yang tercurah kepada kita, memberkati pekerjaan kita sehingga kita akan menjadi kaya, dan memberi pinjaman kepada orang lain (ay. 12), dan Tuhan pun akan mengangkat kita menjadi kepala dan bukan ekor, membuat kita selalu naik dan tidak turun (ay. 13a).

Sungguh indah janji Tuhan bagi kita, tetapi kita harus ingat bahwa memang ada harga yang harus dibayar ketika kita mau menikmati janji Tuhan itu. Saya melihat sahabat saya yang luar biasa diberkati dalam pekerjaannya tersebut, di sela-sela kesibukannya, ia pun tetap mau memberikan waktu untuk Tuhan dengan berlatih untuk pelayanannya, mengikuti ibadah demi ibadah, seminar demi seminar, serta ikut dalam komunitas kelompok sel, dan juga masih meluangkan waktu untuk menulis beberapa tulisan yang memberkati orang lain. Tidak heran Tuhan begitu senang dan memberkati sahabat saya tersebut. Jadi, jika kita mau bayar harga, Tuhan akan menjadikan kita sebagai kepala. Pilihan ada pada kita, apakah kita mau menjadi kepala atau mau menjadi ekor.



Bacaan Alkitab: Ulangan 28:11-14
28:11 Juga TUHAN akan melimpahi engkau dengan kebaikan dalam buah kandunganmu, dalam hasil ternakmu dan dalam hasil bumimu -- di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu untuk memberikannya kepadamu.
28:12 TUHAN akan membuka bagimu perbendaharaan-Nya yang melimpah, yakni langit, untuk memberi hujan bagi tanahmu pada masanya dan memberkati segala pekerjaanmu, sehingga engkau memberi pinjaman kepada banyak bangsa, tetapi engkau sendiri tidak meminta pinjaman.
28:13 TUHAN akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan pada hari ini kaulakukan dengan setia,
28:14 dan apabila engkau tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri dari segala perintah yang kuberikan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain dan beribadah kepadanya."

Sabar Menanti


Minggu, 26 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Kidung Agung 2:1-7
Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!” (Kid 2:7)


Sabar Menanti


Judul renungan kita hari ini bukanlah nama sebuah rumah makan Padang, juga bukan merupakan tulisan yang sering kita lihat di bagian belakang dari sebuah truk. Ya, memang tidak mudah bagi manusia untuk dapat bersikap sabar, ketika seakan-akan apa yang kita ingin miliki ada di depan mata. Seringkali ketidaksabaran kita justru membuat kita mengambil apa yang bukan milik kita, ataupun mengambil apa yang seharusnya belum boleh kita ambil. Padahal, mungkin saja akan menjadi lebih baik jika kita dapat menahan diri dan sabar menunggu saatnya.

Apa yang saya bicarakan dalam paragraf sebelumnya memang terkait dengan bacaan Alkitab kita hari ini. Hari ini saya ingin menulis tentang kitab Kidung Agung, sebuah kitab yang sepertinya cukup membuat risih bagi orang-orang yang membacanya. Tetapi kitab Kidung Agung juga merupakan bagian dari Alkitab, dan pastilah ada hal-hal yang dapat kita pelajari dari ayat-ayat di kitab Kidung Agung ini.
Saya sendiri bukan ahli kitab Kidung Agung, tetapi kita dapat melihat bahwa kitab Kidung Agung berisi tentang percakapan antara mempelai pria, mempelai wanita, dan teman-temannya. Mempelai wanita menggambarkan dirinya sebagai bunga mawar dari Saron, dan bunga bakung di lembah (ay. 1). Mempelai pria pun memuji mempelai wanita yang seperti bunga bakung di antara duri-duri, yang dapat berarti bahwa bagi mempelai pria, tidak ada yang seindah mempelai wanita (ay. 2). Selanjutnya, mempelai wanita pun memuji mempelai pria dengan mengibaratkannya seperti pohon apel di antara pohon-pohon lain di hutan (ay. 3).

Banyak penafsiran terhadap ayat-ayat ini, tetapi saya melihat bahwa dalam ayat-ayat di atas, hal tersebut menggambarkan bagaimana seorang pria dan wanita yang telah berkomitmen untuk menikah (karena Kidung Agung menggunakan istilah “mempelai”), harus mengenakan kacamata kuda, yang artinya, pasangannya itulah yang terbaik bagi dirinya, dan sudah bukan saatnya lagi untuk membanding-bandingkan dengan orang lain. Sering kali kita masih terjebak dalam membanding-bandingkan pasangan kita dengan orang lain. Mungkin tidak terlalu masalah ketika kita masih berpacaran, karena saat berpacaran pun merupakan proses untuk saling mengenal, dan masih memungkinkan untuk berpisah ketika ada ketidakcocokan. Tetapi setelah menikah, sudah tidak boleh lagi ada keinginan untuk “melihat” atau “melirik” orang lain. Komitmen suatu pernikahan adalah komitmen seumur hidup.

Selanjutnya, kita dapat melihat bagaimana mempelai perempuan bersukacita karena mempelai pria telah membawanya ke rumah pesta (ay. 4), bagaimana mempelai perempuan menikmati makanan yang ada di pesta tersebut (ay. 5), dan bagaimana mempelai pria memperlakukan dirinya dengan penuh kasih sayang (ay. 6). Sebuah gambaran akan kehidupan suami isteri yang indah bukan? Hal tersebut tentu sangat diidam-idamkan setiap pasangan yang akan menikah. Tetapi jika kita perhatikan ayat 7, maka ada peringatan yang disampaikan oleh mempelai perempuan kepada teman-temannya, sesama puteri-puteri di Yerusalem, yaitu “Jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya (sebelum waktunya)”.

Apa yang dikatakan oleh mempelai wanita ini ada benarnya juga. Saya melihat di masa-masa saat ini, banyak orang yang melakukan apa yang seharusnya belum boleh mereka lakukan pada saat berpacaran. Mereka “mencicip” apa yang seharusnya akan mereka nikmati nanti, setelah diberkati dalam pernikahan kudus. Padahal ada dampak di balik itu semua, bahwa pastinya sukacita yang seharusnya mereka rasakan akan berkurang karena sebagian telah mereka rasakan sebelumnya.

Memang tidak mudah bagi setiap anak muda untuk menahan diri dari godaan ini. Tetapi jika kita mengaku bahwa kita sungguh mengasihi pasangan kita, maka kita pun seharusnya dapat menahan diri kita untuk tidak melakukan apa yang belum boleh atau tidak boleh kita lakukan. Dalam 1 Korintus 13:4, dikatakan pertama kali tentang kasih, yaitu “kasih itu sabar”. Sabar merupakan dasar utama dari kasih. Kita dapat belajar dari Abraham, yang harus menunggu puluhan tahun sebelum Tuhan memberikan Ishak kepadanya. Kita dapat belajar dari banyak tokoh Alkitab lain yang juga sabar dalam menunggu janji-janji Tuhan. Kita harus sabar menunggu saatnya, karena segala sesuatu pasti indah pada waktuNya (Pkh 3:11).


Bacaan Alkitab: Kidung Agung 2:1-7
2:1 Bunga mawar dari Saron aku, bunga bakung di lembah-lembah.
2:2 -- Seperti bunga bakung di antara duri-duri, demikianlah manisku di antara gadis-gadis.
2:3 -- Seperti pohon apel di antara pohon-pohon di hutan, demikianlah kekasihku di antara teruna-teruna. Di bawah naungannya aku ingin duduk, buahnya manis bagi langit-langitku.
2:4 Telah dibawanya aku ke rumah pesta, dan panjinya di atasku adalah cinta.
2:5 Kuatkanlah aku dengan penganan kismis, segarkanlah aku dengan buah apel, sebab sakit asmara aku.
2:6 Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku.
2:7 Kusumpahi kamu, puteri-puteri Yerusalem, demi kijang-kijang atau demi rusa-rusa betina di padang: jangan kamu membangkitkan dan menggerakkan cinta sebelum diingininya!


Iman dan Kasih dalam Keluarga


Sabtu, 25 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Kolose 3:18-21
Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.” (Kol 3:18)


Iman dan Kasih dalam Keluarga


Saya teringat akan ayat-ayat yang diberikan oleh hamba Tuhan yang melayani bimbingan pranikah kami. Saat itu, salah satu ayat yang diberikan kepada kami adalah Kolose 3:18-21 ini. Memang kalau dipikir-pikir, mungkin ada di antara kita yang bertanya, mengapa sih harus ada bimbingan pranikah jika kita ingin menikah di gereja? Mengapa tidak seperti agama-agama lain dimana mereka pun bisa langsung menikah, asalkan ada mas kawin dan penghulu saja?

Keluarga merupakan unsur penting dalam kehidupan orang percaya. Sama seperti dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga merupakan unsur terkecil pembentuk komunitas orang percaya. Masihkah kita ingat apa mujizat pertama Tuhan Yesus? Ya, Tuhan Yesus melakukan mujizatNya pertama kali dalam acara perkawinan di Kana (Yoh 2:1-11). Itu berarti Tuhan Yesus sangat peduli terhadap keluarga, sehingga Ia pun mengadakan mujizat agar acara perkawinan (simbol terbentuknya keluarga) tersebut tidak menjadi rusak hanya gara-gara mereka kehabisan anggur.

Inti dari keluarga Kristen adalah iman dan kasih. Dengan anggota keluarga inti yaitu suami, isteri, dan anak, maka hubungan antar anggota keluarga pun tetap harus didasarkan pada iman dan kasih itu sendiri. Ayat 18 dari bacaan Alkitab kita hari ini mengatakan bahwa Isteri harus tunduk kepada suami (bukti kasih), sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan (berdasarkan iman). Ayat selanjutnya juga menunjukkan bagaimana penerapan kasih dalam keluarga, yaitu suami pun harus mengasihi isteri dan jangan berlaku kasar terhadap isteri (ay. 19). Ayat 20 juga mengatakan bahwa anak-anak pun juga harus mentaati orang tua (bukti kasih), karena itulah yang indah di dalam Tuhan (berdasarkan iman). Di satu sisi, orang tua (dalam ayat ini diwakili oleh bapa), juga harus mengasihi anak-anaknya sebagai bukti kasih agar jangan tawar hatinya (ay. 21).

Keluarga kristen merupakan miniatur dari surga itu sendiri. Di surga, Tuhan akan digambarkan sebagai mempelai pria, dan jemaatNya digambarkan sebagai mempelai wanita (Ef 5:31-32).  Bahkan, di surga nanti pun akan diadakan “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:9), yang merupakan saat dimana Tuhan nanti akan bertemu dengan jemaatNya. Itulah mengapa Tuhan sangat peduli terhadap keluarga, dan tak terhitung banyaknya ayat lain yang membahas tentang prinsip-prinsip keluarga Kristen, bahkan hal-hal praktis yang langsung dapat diaplikasikan pada keluarga Kristen.

Oleh karena itu, sudah selayaknya kita yang hidup di dunia ini menyadari pentingnya menjaga keluarga kita masing-masing, mengisinya dengan kasih setiap hari, agar keluarga kita boleh menjadi keluarga yang diberkati dan memuliakan nama Tuhan. Ingatlah, bahwa walaupun kita sendiri belum menikah, kita pun masih menjadi anggota keluarga yaitu sebagai anak. Sudahkah kita melaksanakan kewajiban kita sebagai anak? Saya sangat terharu mendengar cerita salah seorang sahabat saya yang berjanji untuk setiap tahunnya mengajak ibunya (karena ayahnya sudah dipanggil Tuhan terlebih dahulu) untuk pergi ke luar negeri. Hal ini dia lakukan karena ia ingin membahagiakan orang tuanya yang telah mendidiknya hingga menjadi berhasil seperti sekarang ini.

Demikian juga bagi kita yang telah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Memang ada banyak cara untuk mengatur dan membina keluarga, dan saya pun tidak berada dalam posisi untuk mengatakan cara tertentu adalah salah, atau cara tertentu adalah benar. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa pedoman membangun keluarga yang paling baik adalah ketika kita membangun keluarga dalam Firman Tuhan. Sepanjang kita mendasarinya dengan Firman Tuhan, maka keluarga kita akan diberkati. Banyak contoh dalam Alkitab tentang keluarga-keluarga yang diberkati, dan saya yakin keluarga kita pun pasti akan diberkati sepanjang kita memegang prinsip-prinsip Alkitab dalam kehidupan keluarga kita, salah satunya adalah seperti apa yang dibahas dalam renungan hari ini, yaitu memiliki iman dan kasih dalam keluarga. Ketika ada iman dan kasih dalam keluarga, saya sangat yakin bahwa keluarga tersebut pasti mengalami berkat dan penyertaan Tuhan senantiasa.


Bacaan Alkitab: Kolose 3:18-21
3:18 Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
3:19 Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.
3:20 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.
3:21 Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.


Rabu, 22 Februari 2012

Pelangi sebagai Tanda Perjanjian


Jumat, 24 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Kejadian 9:12-17
Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi.” (Kej 9:13)


Pelangi sebagai Tanda Perjanjian


Beberapa waktu yang lalu saya melihat pelangi dengan busur yang besar. Kebetulan memang saya melihat pelangi tersebut bukan di Jakarta. Rasanya memang sudah sangat lama saya tidak pernah melihat pelangi di atas kota Jakarta, apakah karena sudah terlalu banyak gedung bertingkat di Jakarta, atau mungkin karena udara Jakarta yang sudah tidak bersih lagi. Entah apa jawabannya, tetapi pada saat melihat pelangi tersebut, saya kembali teringat bacaan Alkitab yang menjelaskan tentang pelangi tersebut.

Pelangi merupakan tanda perjanjian pertama yang diadakan Tuhan dengan manusia (ay. 12). Sejak manusia jatuh ke dalam dosa dan diusir keluar dari Taman Eden, selanjutnya kehidupan manusia semakin rusak dan bobrok. Dosa semakin berkembang dan tidak ada lagi yang mengingat Tuhan dan hidup benar menurut jalan Tuhan selain daripada Nuh dan keluarganya (Kej 6:9). Oleh karena itu Tuhan akhirnya memusnahkan manusia selain keluarga Nuh dengan cara menurunkan hujan dan air bah, sehingga seluruh kehidupan di muka bumi ini lenyap. Ketika air bah tersebut telah surut, Tuhan kemudian membuat perjanjian antara diriNya sendiri dan manusia (yang diwakili Nuh sekeluarga). Tetapi memang dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa sebenarnya Tuhan pun sedang mengikat perjanjian antara Tuhan dan manusia, karena manusia yang ada di muka bumi pun tinggal keluarga Nuh saja, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut memang benar-benar diadakan antara Tuhan dan seluruh manusia.

Tanda perjanjian Tuhan dengan manusia adalah pelangi, yaitu busur Tuhan yang diletakkan di awan (ay. 13-14). Pelangi merupakan tanda bagi Tuhan untuk mengingat bahwa Tuhan telah berjanji tidak akan mengirimkan air bah untuk memusnahkan segala yang hidup (ay. 15). Dengan kata lain, pelangi merupakan tanda bahwa ada keselamatan yang ditawarkan Tuhan kepada manusia. Pada saat Tuhan akan memusnahkan bumi dengan air bah, Tuhan sudah memberi banyak kesempatan kepada manusia untuk bertobat, tetapi manusia tidak mau mendengarkan sehingga Tuhan hanya memberikan keselamatan kepada segelintir orang yang percaya kepadaNya, yaitu kepada Nuh dan keluarganya. Jadi pelangi tersebut adalah tanda perjanjian antara Tuhan dengan manusia, bahkan dengan segala makhluk yang ada di bumi (ay. 16-17).

Demikian juga pada saat ini, Tuhan pun telah memberikan AnakNya yang tunggal, Yesus Kristus, untuk turun ke dunia, mati di kayu salib, untuk menebus dosa-dosa kita sebagai manusia. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Ajakan keselamatan oleh Tuhan adalah universal. Semua orang yang mau percaya kepada Yesus, akan mendapatkan keselamatan dan hidup yang kekal. Namun, sudahkah banyak orang yang percaya kepada Yesus?

Melalui bacaan kita hari ini kita diingatkan bagaimana Tuhan dapat menggunakan pelangi sebagai tanda perjanjian antara Tuhan dengan manusia. Sama seperti pelangi, Yesus sendiri pun juga merupakan jaminan dari perjanjian yang lebih kuat, yaitu perjanjian keselamatan antara Tuhan dengan manusia (Ibr 7:22). Syaratnya hanya percaya kepada Yesus, maka kita akan diselamatkan (Kis 16:31). Sudahkah kita diselamatkan? Jika ya, sudahkah kita membagikan keselamatan itu kepada orang lain juga? Ingatlah akan pelangi, yang ditaruh Tuhan di langit agar Tuhan dan seluruh manusia pun dapat melihatnya. Sama juga dengan kewajiban kita yang telah menerima perjanjian dengan Tuhan melalui Yesus, kita juga harus berusaha agar banyak orang dapat melihat keselamatan yang Tuhan anugerahkan kepada setiap manusia yang percaya kepadaNya.


Bacaan Alkitab: Kejadian 9:12-17
9:12 Dan Allah berfirman: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, yang bersama-sama dengan kamu, turun-temurun, untuk selama-lamanya:
9:13 Busur-Ku Kutaruh di awan, supaya itu menjadi tanda perjanjian antara Aku dan bumi.
9:14 Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu tampak di awan,
9:15 maka Aku akan mengingat perjanjian-Ku yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup, segala yang bernyawa, sehingga segenap air tidak lagi menjadi air bah untuk memusnahkan segala yang hidup.
9:16 Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi."
9:17 Berfirmanlah Allah kepada Nuh: "Inilah tanda perjanjian yang Kuadakan antara Aku dan segala makhluk yang ada di bumi."

Menjadi Teladan


Kamis, 23 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Titus 2:7-8
Dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu.” (Tit 2:7)


Menjadi Teladan


Setiap orang tentunya memiliki sosok yang dikagumi dan diidolakan. Bahkan sosok tersebut sering kali menjadi acuan bagi kita untuk menjadi panutan dan teladan dalam kehidupan kita. Mungkin saja sosok tersebut adalah orang tua kita, pendeta kita, atau orang-orang terdekat kita. Terkait tentang renungan yang saya tulis ini, saya memiliki teladan dalam sosok seorang hamba Tuhan di salah satu gereja besar di Jakarta. Beliau adalah wakil gembala sidang di gereja tersebut, karena gembala sidangnya adalah seorang pemimpin sinode gereja besar se-Indonesia. Salah satu ciri khas gereja tersebut adalah bahwa khotbah di setiap jam ibadah hari minggu selalu diisi oleh gembala sidangnya, dan andaikata gembala sidang tersebut berhalangan, maka biasanya diisi oleh hamba-hamba Tuhan dari luar gereja. Intinya, selama saya beribadah di gereja tersebut, saya belum pernah melihat wakil gembala sidang tersebut menyampaikan khotbah pada ibadah hari minggu, walau saya yakin pasti beliau sudah pernah menyampaikan khotbah pada ibadah-ibadah pemuda, tengah minggu, atau ibadah-ibadah lainnya.

Apa yang saya lihat adalah bagaimana wakil gembala sidang tersebut memiliki sikap yang sangat rendah hati. Pakaian yang dikenakan tidak pernah terlihat mewah, ia hidup sederhana, dan walau ia sangat jarang berkhotbah di hari minggu, tetapi ia selalu menulis renungan harian yang dimuat dalam tabloid gereja yang dibagikan kepada jemaat setiap minggunya. Awalnya saya melihat bahwa tulisan-tulisannya cukup sederhana, tetapi ketika saya memutuskan untuk menulis renungan harian juga di blog saya, saya baru menyadari betapa beratnya menulis renungan untuk setiap hari. Tidak mudah menemukan ilham dalam menulis renungan setiap hari, tetapi beliau mampu menulis tanpa putus satu hari pun sepanjang saya beribadah di gereja tersebut. Luar biasa bukan, bahkan jika kita perhatikan, suatu renungan harian, baik itu renungan dalam negeri maupun luar negeri pasti ditulis oleh beberapa orang, dan hal itu memotivasi saya untuk mengikuti teladan beliau dalam menulis renungan. Jika wakil gembala sidang tersebut, yang sudah cukup tua dan berumur saja masih dapat menulis renungan setiap hari, mengapa saya tidak bisa? Itu memotivasi saya untuk mengikuti teladan beliau, selain juga karena saya melihat sikap rendah hati dan sederhana yang beliau tunjukkan dalam pelayanan dan kehidupan beliau.

Apa yang disampaikan Paulus dalam suratnya kepada Titus, juga menunjukkan bagaimana menjadi teladan adalah sikap yang penting dalam kehidupan orang percaya. Paulus ingin Titus menjadi teladan bagi orang lain, bukan dalam hal berbuat salah atau berbuat dosa, melainkan menjadi teladan dalam berbuat baik (ay. 7a). Apa saja perbuatan-perbuatan baik yang Paulus harapkan kepada Titus?

Pertama, Paulus ingin agar Titus jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaran (ay. 7b). Pengajaran di sini menunjukkan pelayanan Titus ke dalam jemaat Tuhan. Titus sebagai salah seorang hamba Tuhan tentunya harus memberikan pengajaran yang baik kepada jemaat yang dilayaninya. Oleh karena itu Paulus ingin agar Titus menjadi teladan melalui pengajaran yang disampaikan. Pengajaran yang jujur, artinya adalah apa yang diajarkan oleh Titus pun harus juga dilakukan oleh Titus sendiri. Tidak mungkin seorang hamba Tuhan menyampaikan Firman “Jangan berbohong” sementara ia sendiri masih suka berbohong. Selain itu Titus juga diharapkan untuk menyampaikan pengajaran yang sungguh-sungguh. Dalam hal ini, sungguh-sungguh berarti serius dan tegas. Apa yang diajarkan kepada jemaat haruslah sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan. Jika memang masih ada dosa dalam jemaat, seorang hamba Tuhan yang baik harus berani menegur, dan bukannya membiarkan. Jemaat harus dibawa naik ke level pemahaman bahwa sudah saatnya mereka mengiring Tuhan dengan sungguh-sungguh dan tidak bermain-main lagi.

Kedua, Paulus juga ingin agar Titus sehat dan tidak bercela dalam pemberitaannya (ay. 8a). Pemberitaan di sini menunjukkan pelayanan Titus ke luar jemaat, yaitu memberitakan Injil kepada orang-orang yang belum mengenal kasih Kristus. Pemberitaan yang dilakukan haruslah pemberitaan yang sehat, yaitu yang berdasarkan kepada kebenaran Firman Tuhan dan ajaran-ajaran yang benar. Fokus pemberitaan Injil harulah terletak pada Injil itu sendiri, kepada kasih Allah dan pengorbanan Kristus, dan bukan berfokus kepada sang pemberita Injil atau pada hal-hal lainnya. Selain itu, Paulus mengharapkan agar dalam memberitakan Injil, Titus tidak bercela dalam pemberitaan tersebut. Tidak bercela ini dapat berarti bahwa apa yang diberitakan oleh Titus memang benar-benar kebenaran dan tidak ada satu kata pun yang tidak sesuai dengan Firman Tuhan.

Dengan demikian, diharapkan Titus akan menjadi teladan, bukan hanya ke dalam yaitu kepada jemaat yang dilayani, tetapi juga keluar, yaitu kepada orang-orang luar yang belum mengenal Kristus. Seringkali gereja dan orang-orang percaya hanya berfokus pada menjadi teladan bagi jemaat, tetapi lupa bahwa di kehidupan di luar gereja, orang percaya pun perlu menjadi teladan dalam kehidupannya. Bagaimana mungkin orang yang belum mengenal Kristus mau percaya kepada Kristus ketika mereka melihat bahwa orang-orang yang mengaku orang Kristen justru hidupnya tidak benar? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Kristus ketika orang-orang Kristen justru menjadi preman, menjadi koruptor, menjadi bandar narkoba, dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya? Tentunya hal ini akan menjadi celah bagi “lawan-lawan” kita yang akan mengatakan bahwa orang Kristen pun justru lebih buruk keadaanya daripada orang non Kristen (ay. 8b)

Memang sulit untuk menjadi teladan dan berdampak secara besar. Tetapi saya rindu masing-masing dari kita, mulai dari apa yang Tuhan percayakan, belajar menjadi teladan baik di dalam dan luar jemaat. Di dalam jemaat, belajar dari hal-hal kecil yang Tuhan percayakan bagi kita. Jika kita telah melayani, mari kita melayani dengan benar, datang tepat waktu dan mempersiapkan diri. Demikian juga dalam kehidupan kita di luar jemaat. Mungkin di keluarga kita masih ada anggota keluarga kita yang belum percaya, atau mungkin di sekolah, di kantor, di lingkungan tetangga kita juga ada orang-orang yang belum percaya, mari kita menjadi teladan dalam perkataan dan tingkah laku kita, sehingga orang lain yang melihat kita juga melihat kasih Allah dalam diri kita. Lakukan mulai dari hal yang sederhana, dan jadilah teladan dalam berbuat baik.


Bacaan Alkitab: Titus 2:7-8
2:7 dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu,
2:8 sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.

Senin, 20 Februari 2012

Firman yang Berkuasa


Rabu, 22 Februari 2012
Bacaan Alkitab: Matius 7:28-29
“sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.” (Mat 7:29)


Firman yang Berkuasa


Salah seorang hamba Tuhan yang cukup terkenal pernah berkata sepert ini, “Gereja seharusnya menjadi tempat bagi orang-orang yang mengalami permasalahan untuk mendapatkan jawaban. Ketika orang-orang yang memiliki banyak beban dan masalah datang ke gereja, seharusnya mereka pulang dengan jawaban dari Tuhan. Itulah sebabnya seluruh liturgi ibadah, terutama Firman Tuhan yang disampaikan, haruslah mampu menjawab kebutuhan dari setiap orang yang datang ke gereja”. Saat pertama kali saya mendengarnya, wow, apa mungkin ya? Bagaimana mungkin seorang hamba Tuhan harus menyampaikan Firman yang mampu memberikan jawaban atas setiap masalah yang dialami setiap orang yang datang ke gereja? Kalau jemaatnya hanya 10 orang sih mungkin masih bisa. Lha, kalau jemaatnya saja sudah ratusan atau ribuan orang, bagaimana?

Saya tidak menyatakan bahwa pendapat hamba Tuhan itu benar atau salah, tetapi saya mau kita semua melihat bagaimana Tuhan Yesus mengajar dan menyampaikan Firman Tuhan. Pada zaman dimana Tuhan Yesus hidup, para imam, ahli Taurat, dan orang-orang Farisi memegang peranan penting dalam pengajaran Hukum Taurat kepada bangsa Yahudi. Pada umumnya para imam dan ahli-ahli Taurat mengajar di rumah ibadah Yahudi. Apa yang terjadi dengan pengajaran Hukum Taurat pada saat itu? Alkitab tidak mengatakan apa yang salah dengan pengajaran ahli-ahli Taurat, melainkan Alkitab membandingkan bagaimana reaksi orang banyak ketika Yesus mengajar. Orang-orang takjub ketika mendengar Yesus mengajar (ay. 28). Bahkan bagian Alkitab lainnya mengatakan bahwa para alim ulama pun takjub mendengarkan Yesus ketika mereka bertanya jawab denganNya di Bait Allah, padahal usia Yesus pada saat itu baru 12 tahun (Luk 2:42, 46-47).

Apa yang membuat perkataan Yesus menjadi luar biasa? Memang Yesus adalah Tuhan sehingga Yesus tentu mengerti seluruh Firman Tuhan. Tetapi selain itu, kita dapat melihat bahwa Tuhan Yesus mengajar sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti para ahli Taurat (ay. 29). Apa maksud mengajar sebagai orang yang berkuasa? Menurut pendapat saya, ini berarti bahwa Firman yang disampaikan, bukan hanya sekedar kata-kata biasa, melainkan Firman yang disampaikan mengandung kuasa Ilahi, yang mampu menjawab kebutuhan dari orang-orang yang mendengarNya.

Lalu, bagaimana agar Firman yang disampaikan adalah Firman yang berkuasa? Jawabannya adalah dengan doa dan ketekunan. Setiap hamba-hamba Tuhan yang akan menyampaikan Firman Tuhan tentunya harus memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan. Seseorang yang mengaku bahwa dirinya adalah hamba Tuhan tentunya harus benar-benar mengenal Tuhan dan melakukan apa yang Tuhan inginkan. Seorang hamba Tuhan harus memilki kehidupan doa yang intens dengan Tuhan. Yesus sendiri juga memiliki kehidupan doa yang intens dengan Allah BapaNya, bahkan sebelum menyampaikan Firman Tuhan, Yesus pun senantiasa berdoa kepada Allah Bapa (Mrk 1:35).

Firman yang berkuasa hanya akan terjadi jika hamba Tuhan tersebut mempersiapkan Firmannya dengan sebaik-baiknya. Bisa saja seorang hamba Tuhan, karena ia sudah sering berkhotbah, maka ia hanya mempersiapkan Firman seadanya dan menyampaikan Firman tersebut. Mungkin saja Firman tersebut terlihat bagus di luar, tetapi sesungguhnya Firman Tuhan itu seperti Firman yang kehilangan kuasanya. Terlihat bagus dan indah dalam kata-kata dan cara penyampaiannya, tetapi tidak memiliki kuasa di dalamnya. Itulah sebabnya penting bagi hamba Tuhan untuk mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh sebelum menyampaikan kebenaran Firman Tuhan.

Mungkin ada di antara kita yang bertanya, “Kan saya juga bukan pendeta yang berkhotbah, nggak ada hubungannya sama saya dong?”. Jawaban saya, tentu saja ada. Kuasa yang dimaksud tidak hanya terkait dengan seorang pendeta yang berkhotbah, melainkan juga harus ada dalam setiap pelayanan yang kita ambil. Seorang pemimpin pujian misalnya, akan memiliki pelayanan yang penuh kuasa jika ia memiliki kehidupan rohani yang baik, mempersiapkan lagu-lagunya dengan baik, melatih dirinya dengan baik sehingga ia memiliki kepemimpinan dan vokal yang baik sehingga jemaat bisa merasakan hadirat Tuhan melalui setiap pujian yang dinaikkan. Demikian juga dengan para pemusik, pendoa, bahkan penulis renungan seperti saya. Perlu ada persiapan jasmani dan rohani agar pelayanan apapun yang kita lakukan juga memiliki kuasa dan dapat menjadi berkat bagi orang lain.

Lalu, jika kita sama sekali belum melayani, apa yang harus kita lakukan? Saran saya cukup sederhana, bagi kita yang sama sekali belum mengambil pelayanan, kita dapat melakukan hal yang paling sederhana, yaitu mendoakan hamba-hamba Tuhan yang melayani, entah itu pemimpin pujian, pemusik, penerima tamu, dan terlebih hamba Tuhan yang akan menyampaikan khotbahnya, agar Firman Tuhan yang disampaikan adalah Firman Tuhan yang penuh kuasa, sehingga orang-orang yang datang juga bisa mendapatkan jawaban Tuhan dalam Firman Tuhan tersebut. Hal yang paling sederhana yang kita bisa lakukan adalah berdoa bagi para hamba-hamba Tuhan yang melayani kita. Sudahkah kita melakukannya?


Bacaan Alkitab: Matius 7:28-29
7:28 Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya,
7:29 sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.