Senin, 30 September 2013

Menempatkan Tuhan pada Posisi Tertinggi



Selasa, 1 Oktober 2013
Bacaan Alkitab: Matius 10:37-39
Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” (Mat 10:37)


Menempatkan Tuhan pada Posisi Tertinggi


Beberapa waktu yang lalu, gembala sidang saya menekankan tentang pentingnya menempatkan Tuhan pada posisi tertinggi dalam kehidupan kita. Atau dengan kata lain, kita memberi nilai tinggi bagi Tuhan. Maksudnya adalah demikian: Dalam hidup kita, kita pasti memiliki prioritas atau hal-hal yang dianggap lebih penting daripada hal lainnya. Masalahnya, seringkali justru Tuhan tidak kita tempatkan pada urutan nomor 1 alias yang paling diprioritaskan, tetapi seringkali Tuhan justru tidak masuk 10 besar. Seringkali Tuhan kalah dengan pekerjaan kita, studi kita, pacar kita, uang kita, isteri kita, anak kita, keluarga kita, orang tua kita, karir kita, dan lain sebagainya.

Apa kata Tuhan sendiri mengenai hal ini?

Tuhan Yesus dalam suatu pengajarannya menyampaikan kebenaran yang cukup mengejutkan, khususnya bagi kita yang suka menomorduakan atau bahkan menomorsepuluhkan Tuhan dalam hidup kita. Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (ay. 37). Jadi Tuhan Yesus tidak ingin kita mengasihi orang tua kita atau mengasihi anak-anak kita lebih daripada kita mengasihi Tuhan.

Apakah itu mungkin? Bukankah secara manusia kita pasti memiliki dorongan untuk mengasihi orang tua kita dan anak-anak kita? Bahkan di budaya timur pun, keluarga pasti dinomorsatukan ketimbang hal lain seperti pekerjaan misalnya. Orang Indonesia pun banyak yang menganggap keluarga adalah segala-galanya, atau keluarga jauh lebih penting daripada hal-hal lainnya.

Memang hal itu benar. Jika kita membandingkan keluarga (orang tua, pasangan dan anak-anak) dengan hal lain di dunia ini, saya sangat mendukung jika ada orang yang memposisikan keluarga sebagai prioritas. Tetapi ingat bahwa kita tidak membandingkan hal-hal yang ada di dunia ini saja. Kita juga memiliki Tuhan, dan kita harus menempatkan Tuhan pada posisi yang seharusnya. Dimanakah posisi Tuhan yang seharusnya? Dalam ayat 37 tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa Tuhan harus menjadi yang terutama, bahkan lebih utama dari hal lainnya termasuk keluarga kita sendiri. Jika tidak? Tuhan Yesus sendiri menyatakan dengan jelas: kita tidak layak bagi Tuhan (ay. 37b).

Ada 1 hal lagi yang menyebabkan kita tidak layak bagi Tuhan, yaitu ketika kita tidak memikul salib kita masing-masing (ay. 38). Apa itu memikul salib? Ini bukan berarti kita harus memikul salib dari kayu seperti apa yang dilakukan Yesus ketika akan disalib. Ini berbicara tentang beban yang memang harus kita alami dan kita tanggung ketika kita memutuskan untuk mengiring Tuhan. Memikul salib bukan berbicara tentang hal yang enak-enak saja atau berbicara tentang penderitaan yang diakibatkan oleh kesalahan kita. Memikul salib adalah menderita bukan karena kesalahan kita, tetapi menderita karena kita berbuat benar dan karena kita menjadi pengikut Tuhan. Masing-masing orang memiliki salibnya masing-masing. Kita tidak perlu iri dengan salib orang lain, karena Tuhan jauh lebih tahu kapasitas kita dalam memikul salib. Tuhan sudah menyesuaikan salib kita dengan kemampuan kita untuk memikulnya.  

Terakhir juga adalah kebenaran yang tidak kalah pentingnya. Tuhan Yesus mengingatkan bahwa siapa yang mempertahankan nyawanya, justru ia akan kehilangan nyawanya. Sebaliknya, siapa yang kehilangan nyawanya karena Tuhan, maka ia akan memperolehnya kembali (ay. 39). Ini juga berbicara tentang prioritas. Apakah kita menganggap nyawa kita atau kehidupan kita jauh lebih berharga daripada Tuhan? Memang hal ini mungkin tidak akan dialami oleh seluruh anak Tuhan. Namun sejarah membuktikan bahwa penganiayaan  terhadap anak-anak Tuhan masih terjadi dan terus terjadi di berbagai penjuru dunia. Ketika hal itu dihadapkan kepada kita, mana yang akan kita pilih? Menyangkal Tuhan dan tetap hidup? Atau tetap beriman kepada Tuhan dan mati dibunuh? Saat hal itu terjadi pada kita, ingatlah selalu ayat ini. Tidak masalah jika kita mati di dunia ini demi Tuhan, karena kita akan mendapatkan kehidupan kekal di surga kelak. Tetapi jika kita memilih untuk menyangkal Tuhan agar kita tetap hidup, maka Tuhan pun akan menyangkal kita pada penghakiman terakhir.

Ini adalah kebenaran yang tidak mudah. Bahkan mungkin kebanyakan pendeta tidak berani menyampaikan kebenaran ini kepada jemaatnya. Akan tetapi, suka atau tidak suka,  ini adalah kebenaran yang sejati. Tuhan harus kita utamakan dan kita prioritaskan di atas segala-galanya. Tuhan harus menjadi yang nomor 1 di atas orang tua kita, pasangan kita, anak-anak kita, pekerjaan kita, bahkan di atas hidup kita. Memang tidak mudah dan pasti banyak tantangan. Tetapi percayalah, ketika kita sudah mampu melakukannya, kita akan melihat bahwa segala jerih payah kita di dalam Tuhan tidak akan pernah berakhir sia-sia.


Bacaan Alkitab: Matius 10:37-39
10:37 Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
10:38 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.
10:39 Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.

Lebih Sulit Jika Sendirian



Senin, 30 September 2013
Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 4:7-12
Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka.” (Pkh 4:9)


Lebih Sulit Jika Sendirian


Beberapa waktu yang lalu, gereja saya memiliki seorang pelayan Tuhan khususnya sebagai worship leader (WL) yang luar biasa. Ia dulu adalah mahasiswi sekolah tinggi theologi (sekarang sudah lulus), dan dulu, setiap kali ia menjadi WL, saya selalu antusias karena menurut saya ia melayani dengan talenta dan juga dengan kesungguhan hati. Saya yang juga mengambil bagian dalam pelayanan sebagai seorang keyboardist beberapa kali melayani bersama dia dan memang saya akui ia memiliki jiwa pelayanan yang luar biasa pada waktu itu.

Akan tetapi, sayangnya ia jatuh dalam “kecelakaan” alias ia hamil di luar nikah hingga melahirkan seorang anak. Ayah dari anak tersebut bukanlah anak Tuhan sehingga si WL tersebut memutuskan untuk membesarkan anaknya seorang diri dan menjadi seorang single parent hingga saat renungan ini saya tulis. Setelah anaknya sudah berusia 6 bulan dan sudah disapih, ia pun kembali diberi kesempatan untuk menjadi WL. Saya sendiri berharap bahwa pelayanannya akan menjadi pelayanan yang “hebat”. Akan tetapi ternyata pelayanannya pada ibadah minggu kemarin tidaklah terlalu mengesankan. Pemilihan lagunya menurut saya kurang pas. Nada dasar yang diambil kurang tepat. Koordinasi dengan pemusik juga kurang baik, dan beberapa hal lainnya yang menurut saya seakan-akan membuat level pelayanannya menurun.

Memang saya sendiri belum tentu bisa lebih baik dari dirinya, tetapi ketika saya membicarakan hal ini dengan isteri saya, ia pun mengiyakan pendapat saya. Saya kemudian membandingkan kondisi yang sama dengan kondisi isteri saya ketika isteri saya menjadi WL beberapa waktu yang lalu, ketika anak saya juga sudah berusia 1 tahun.

Ketika isteri saya menjadi WL, saya kebetulan juga menjadi keyboardist sehingga kami melayani dalam ibadah minggu yang sama. Saat itu, saya berusaha keras mengatur segala sesuatunya agar isteri saya tinggal fokus kepada pelayanannya. Mungkin isteri saya hanya bertugas memilih lagu dan menyiapkan apa yang harus dilakukan sebagai WL. Sisanya? Saya yang mengerjakan. Mulai dari menyiapkan pakaian yang akan digunakan isteri saya, memastikan anak saya ada yang menjaga, menyiapkan segala perlengkapan bagi anak saya, memastikan sound system berjalan baik (termasuk mengganti baterai seluruh mic dengan baterai baru), memastikan slide lagu sudah tepat, serta mencari nada yang pas dan memberi banyak masukan lainnya.

Ketika saya memikirkan tentang hal itu, saya diingatkan Tuhan tentang pentingnya untuk tidak menjadi seorang “single fighter”. Memang teman saya punya talenta yang luar biasa, tetapi ketika ia harus mengurus segala sesuatunya sendiri, termasuk mengurus kebutuhan anaknya sendiri (karena kesalahannya sendiri juga). Berbeda dengan isteri saya yang memiliki saya untuk membantu mengatur hal-hal yang lainnya.

Ini adalah kebenaran yang sederhana tetapi memang benar adanya. Bacaan Alkitab kita hari ini berbicara tentang nasehat sang “Pengkhotbah” yang melihat kesia-siaan, karena seseorang yang sendirian bekerja keras tanpa memiliki siapa-siapa di sampingnya (ay. 7-8). Sang Pengkhotbah tidak menyalahkan orang yang hidup sendiri, tetapi menyatakan bahwa hidup sendiri jauh lebih sulit untuk dijalani (ay. 9-11). Itulah mengapa sang pengkhotbah menyimpulkan bahwa orang yang sendirian akan lebih mudah “dikalahkan”, sedangkan jika bersama-sama tentu lebih sulit untuk dikalahkan (ay. 12).

Artinya adalah, bahwa dalam segala hal di dunia ini, termasuk dalam pelayanan, kita membutuhkan orang lain di sisi kita. Terlebih dalam pelayanan di gereja, kita harus melayani bersama-sama, dalam suatu tim, dan bukan melayani secara individual. Seperti cerita saya di atas, sehebat apapun seseorang, jika ia harus melakukan semuanya sendirian, tentu ia akan kehabisan energi dan kualitas pelayanannya pun akan menurun.
Saya tidak pernah mengatakan bahwa hidup sendiri itu salah. Karena memang terkadang ada orang-orang yang “terpaksa” hidup sendiri. Paulus misalnya, ia pun tidak pernah menikah, tetapi ia tidak melakukan pelayanan seorang diri. Ia memiliki banyak sekali anak-anak rohani yang membantu dalam pelayanannya. Tuhan Yesus pun tidak pernah menikah, tetapi Tuhan memiliki 11 murid yang selalu mengikuti diriNya dan akhirnya meneruskan pelayananNya di bumi ini. Mungkin ada juga di antara kita yang tidak menikah, atau mengalami keadaan yang hampir sama dengan WL yang saya ceritakan di atas. Itu pun tidak masalah. Tetapi ingat, bahwa ketika kita memutuskan untuk hidup sendiri, maka hal tersebut akan menjadi lebih berat jika dibandingkan dengan kita hidup berdua.


Bacaan Alkitab: Pengkhotbah 4:7-12
4:7 Aku melihat lagi kesia-siaan di bawah matahari:
4:8 ada seorang sendirian, ia tidak mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki, dan tidak henti-hentinya ia berlelah-lelah, matanya pun tidak puas dengan kekayaan; -- untuk siapa aku berlelah-lelah dan menolak kesenangan? -- Ini pun kesia-siaan dan hal yang menyusahkan.
4:9 Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka.
4:10 Karena kalau mereka jatuh, yang seorang mengangkat temannya, tetapi wai orang yang jatuh, yang tidak mempunyai orang lain untuk mengangkatnya!
4:11 Juga kalau orang tidur berdua, mereka menjadi panas, tetapi bagaimana seorang saja dapat menjadi panas?
4:12 Dan bilamana seorang dapat dialahkan, dua orang akan dapat bertahan. Tali tiga lembar tak mudah diputuskan.

Pentingnya Kata-Kata Positif Sejak Bayi Masih di Kandungan



Minggu, 29 September 2013
Bacaan Alkitab: Lukas 1:39-45
Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus.” (Luk 1:41)


Pentingnya Kata-Kata Positif Sejak Bayi Masih di Kandungan

 
Sejak isteri saya hamil anak pertama hingga saat ini hamil anak yang kedua, saya dan isteri saya berusaha selalu mengajak berbincang-bincang anak kami sejak masih dalam kandungan. Pada kehamilan anak saya yang pertama, ketika isteri saya masih memiliki waktu luang lebih banyak, sangat banyak sekali Firman Tuhan yang kami coba katakan kepada anak saya, sejak usia kandungan anak kami masih kecil. Bahkan kami membeli beberapa buku cerita tentang Alkitab, dan membacakannya setiap hari kepada anak kami yang masih dalam kandungan. Kami juga suka mengajak menyanyi lagu-lagu rohani, dan juga suka menyetel acara radio rohani agar anak kami dapat mendengar Firman Tuhan. Hasilnya tidak mengecewakan. Dalam usia yang baru sekitar 15 bulan, anak kami sudah bisa mulai menyanyikan lagu-lagu sekolah minggu, dan sudah mulai belajar berdoa.

Hal ini sebetulnya sudah sering dianalisis oleh para ahli di seluruh dunia. Bedanya, mereka merekomendasikan lagu-lagu klasik untuk meningkatkan kecerdasan anak. Saya sendiri juga menggunakan lagu-lagu klasik, tetapi tetap mengutamakan lagu-lagu rohani dan Firman Tuhan karena saya ingin anak saya juga sudah belajar tentang Firman Tuhan sejak usia dini.

Bacaan Alkitab kita hari ini juga berbicara tentang hal ini, yaitu ketika Maria sedang mengunjungi Zakharia dan Elisabet yang sedang mengandung (ay. 39-40a). Pada saat itu, usia kandungan Elisabet beberapa bulan lebih tua daripada usia kandungan Maria. Alkitab menulis bahwa Maria memberi salam kepada Elisabet (ay. 40b). Dan saat Elisabet mendengar salam Maria tersebut, anak yang ada dalam rahim Elisabet (yaitu Yohanes Pembaptis) melonjak di dalam kandungan dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus (ay. 41).

Kita tidak perlu mempermasalahkan mengapa Roh Kudus sudah disebut dalam kitab Lukas ini. Memang Roh Kudus baru diturunkan setelah peristiwa hari Pentakosta. Tetapi mengingat penulis kitab ini adalah Lukas dan memang kitab ini baru ditulis setelah hari Pentakosta, Lukas menulis Roh Tuhan sebagai Roh Kudus (istilah Roh Tuhan pada masa setelah Pentakosta sudah disebut sebagai Roh Kudus, karena Roh Kudus sudah turun setelah Pentakosta), walaupun pada saat kejadian tersebut berlangsung, memang menurut saya lebih tepat disebut sebagai Roh Tuhan.

Kembali ke inti kisah ini, Elisabet yang penuh dengan Roh Kudus pun mengucapkan kata-kata positif pula kepada Maria, yaitu “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (ay. 42-45). Memang Alkitab tidak menulis tentang reaksi Yesus yang masih berada di dalam kandungan Maria. Mungkin juga saat itu usia kandungan Maria masih cukup kecil (mungkiin di bawah 3 bulan) sehingga “lonjakan” Yesus juga tidak terasa oleh Maria.

Akan tetapi, kita dapat menarik 1 kesimpulan dari kisah ini yaitu bahwa kata-kata positif sangatlah penting bagi perkembangan anak-anak kita, bahkan selagi mereka masih ada dalam kandungan. Lihatlah bagaimana bayi Elisabet melonjak kegirangan ketika mendengar salam Maria. Padahal salam itu sebenarnya hanya salam damai sejahtera yang umum diucapkan oleh seseorang ketika bertamu ke rumah orang lain di Israel pada waktu itu. Apalagi jika yang kita ucapkan adalah kata-kata berkat, pasti hasilnya lebih baik lagi. Oleh karena itu, biasakan mengucapkan kata-kata positif kepada siapapun, dan menghindari perkataan yang sia-sia dan negatif. Khususnya kepada anak kecil bahkan sejak anak itu masih dalam kandungan ibunya, biasakan kata-kata positif dan membangun yang kita perkatakan, agar karakter anak kecil tersebut bisa menjadi positif juga.


Bacaan Alkitab: Lukas 1:39-45
1:39 Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda.
1:40 Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet.
1:41 Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus,
1:42 lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.
1:43 Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?
1:44 Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan.
1:45 Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana."

Jumat, 27 September 2013

Disiksa Iblis di Neraka?

Sabtu, 28 September 2013
Bacaan Alkitab: Wahyu 20:7-15
Dan Iblis, yang menyesatkan mereka, dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya.” (Why 20:10)


Disiksa Iblis di Neraka?


Ketika masih anak-anak, saya membayangkan neraka sebagai suatu tempat dimana orang-orang jahat masuk ke dalamnya setelah mereka mati. Ditambah dengan film-film atau cerita-cerita yang pernah saya lihat atau saya dengar, saya menggambarkan neraka dimana setelah kita mati nanti, maka kita akan disiksa oleh iblis di neraka. Kita akan menerima hukuman kekal di neraka nanti dan dihukum oleh iblis. Jadi waktu itu saya menggambarkan neraka sebagai “kerajaan iblis” dimana iblis berkuasa penuh untuk menghukum kita.

Gambaran itu masih saya bawa terus-menerus bahkan hingga saya dewasa. Bahkan ketika dewasa saya sempat membaca suatu selebaran yang ditulis oleh pendeta terkenal yang (katanya) sudah pernah ditunjukkan neraka, dan beliau menggambarkan neraka sebagai tempat orang-orang jahat disiksa oleh iblis. Tetapi ketika saya mencoba untuk mempelajari Alkitab, muncul pertanyaan dalam diri saya. Benarkah iblis menjadi penguasa neraka?

Saya menemukan jawabannya di ayat-ayat ini. Memang ayat ini menggambarkan tentang kondisi pada akhir zaman nanti, yaitu ketika Tuhan datang untuk yang kedua kalinya. Pada kitab Wahyu disebutkan bahwa Iblis akan dilepaskan dari penjaranya (ay. 7) dan menyesatkan bangsa-bangsa di seluruh bumi untuk berperang melawan orang-orang kudus (ay. 8). Namun setelah itu, iblis dan  bangsa yang berperang melawan orang-orang kudus ini akan dikalahkan oleh Tuhan (ay. 9), bahkan Iblis yang menyesatkan bangsa-bangsa tersebut juga dikalahkan dan dilemparkan ke lautan api dan belerang dan disiksa siang dan malam selama-lamanya (ay. 10).

Baru setelah itu, Tuhan turun dengan tahtaNya, dan langit serta bumi yang kita kenal sekarang ini lenyap tak berbekas (ay. 11). Kemudian semua orang mati dihakimi di depan tahta pengadilan Allah (ay. 12-13), dan maut beserta kerajaan maut juga dilemparkan ke dalam api (ay. 14), dan semua orang yang tidak ditemukan namanya di dalam kitab kehidupan itu dilemparkan juga ke lautan api (ay. 15). Jadi, kesimpulan dari ayat-ayat ini adalah baik iblis maupun orang-orang yang tidak ada di dalam kitab kehidupan (orang-orang yang menolak dan tidak percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juruselamat) sama-sama dilemparkan ke lautan api yaitu neraka (ay. 10 dan 15), serta mereka sama-sama menerima siksaan kekal di neraka.  

Alkitab merupakan satu-satunya kitab suci agama di dunia ini yang menyatakan dengan jelas bahwa iblis tidak menyiksa jiwa-jiwa di dalam neraka. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Iblis pun akan disiksa di neraka kekal. Ini berarti baik surga maupun neraka ada dalam kendali Tuhan sepenuhnya. Berbeda dengan “ajaran” lain yang menyatakan bahwa iblis berkuasa atas neraka. Jika memang iblis berkuasa di neraka, tentu hal ini akan menjadi masalah, karena neraka menjadi wilayah yang tidak dapat dikuasai oleh Tuhan.

Oleh karena itu, mengingat iblis saja nanti akan dimasukkan ke dalam neraka, sudah sepantasnya kita hidup menurut jalan Tuhan dan bukan hidup menurut jalan iblis. Sangat disayangkan apabila ada orang (apalagi orang Kristen) yang masih suka melakukan hal-hal seperti apa yang iblis lakukan. Pergi ke dukun untuk mencari kekayaan dunia, pergi ke dukun agar bisa “memelet” orang, dan lain sebagainya. Ingat bahwa cara tersebut mungkin bisa digunakan di dunia, tetapi tidak dapat membawa kita ke surga. Melakukan cara-cara iblis sama saja dengan bersekutu dengan iblis. Tidak percaya? Lihat saja kalimat iklan-iklan dukun di surat kabar. Mereka meminta uang yang disebut dengan “mahar”. Apa gunanya mahar? Bukankah mahar itu adalah syarat perkawinan? Jadi ketika kita membayar si dukun untuk ilmu-ilmu tertentu, berarti kita sudah kawin (bersekutu) dengan iblis, dan jika kita tidak bertobat, maka kita pun akan tetap bersekutu dengan iblis di dalam lautan api yang kekal.

Ingat, iblis tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari lautan api kekal tersebut. Oleh karena itu iblis akan berusaha sekeras mungkin untuk menarik banyak manusia bersama-sama dengannya masuk ke neraka. Mana pilihan kita? Ikut jalan Tuhan atau ikut jalan iblis?


Bacaan Alkitab: Wahyu 20:7-15
20:7 Dan setelah masa seribu tahun itu berakhir, Iblis akan dilepaskan dari penjaranya,
20:8 dan ia akan pergi menyesatkan bangsa-bangsa pada keempat penjuru bumi, yaitu Gog dan Magog, dan mengumpulkan mereka untuk berperang dan jumlah mereka sama dengan banyaknya pasir di laut.
20:9 Maka naiklah mereka ke seluruh dataran bumi, lalu mengepung perkemahan tentara orang-orang kudus dan kota yang dikasihi itu. Tetapi dari langit turunlah api menghanguskan mereka,
20:10 dan Iblis, yang menyesatkan mereka, dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya.
20:11 Lalu aku melihat suatu takhta putih yang besar dan Dia, yang duduk di atasnya. Dari hadapan-Nya lenyaplah bumi dan langit dan tidak ditemukan lagi tempatnya.
20:12 Dan aku melihat orang-orang mati, besar dan kecil, berdiri di depan takhta itu. Lalu dibuka semua kitab. Dan dibuka juga sebuah kitab lain, yaitu kitab kehidupan. Dan orang-orang mati dihakimi menurut perbuatan mereka, berdasarkan apa yang ada tertulis di dalam kitab-kitab itu.
20:13 Maka laut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan maut dan kerajaan maut menyerahkan orang-orang mati yang ada di dalamnya, dan mereka dihakimi masing-masing menurut perbuatannya.
20:14 Lalu maut dan kerajaan maut itu dilemparkanlah ke dalam lautan api. Itulah kematian yang kedua: lautan api.
20:15 Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu.