Jumat, 16 Juli 2021

Makna Keterhilangan (13): Sampai Kembali ke Rumah Bapa

 Jumat, 16 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:20

Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. (Luk 15:20)

 

Makna Keterhilangan (13): Sampai Kembali ke Rumah Bapa

 

Setelah anak bungsu melakukan dua kali kepergian yang salah (kepergian pertama yaitu pergi dari rumah bapanya ke negeri yang jauh, dan kepergian kedua yaitu pergi ke majikan yang memiliki peternakan babi), maka pada akhirnya ia melakukan kepergian yang benar. Alkitab menuliskan bahwa si anak bungsu bangkit dan memutuskan untuk pergi kepada bapanya (ay. 20a). Ia meninggalkan negeri yang jauh itu, meninggalkan majikan yang memiliki peternakan babi, hanya demi satu tujuan, yaitu rumah bapanya. Si anak bungsu tidak menggunakan kata “kembali” ke rumah ayahnya, melainkan “pergi” kepada bapanya. Hal ini sangat mungkin disebabkan karena ia sudah menyadari posisinya yang sudah tidak memiliki hak apa-apa lagi sebagai anak bapanya. Ia merasa bahwa sangat mungkin ia tidak dianggap keluarga lagi oleh ayahnya, kakaknya, dan orang-orang di rumah ayahnya itu. Akan tetapi, saat ini rumah bapanya adalah satu-satunya solusi supaya ia dapat tetap hidup. Jika ternyata ia ditolak di rumah ayahnya sendiri, maka setidaknya ia dapat bekerja sebagai orang upahan di sana untuk menyambung hidupnya.

Ia kemudian berjalan selangkah demi selangkah. Saya cukup yakin bahwa di pikiran anak bungsu itu, waktu seakan berputar kembali. Ia mungkin ingat bagaimana dahulu ia pergi meninggalkan ayahnya dengan membawa harta. Ia tidak memedulikan perasaan ayahnya dan kakaknya. Ia merasa yakin dan jumawa bahwa dengan harta yang banyak yang ia miliki, ia akan sukses di negeri orang. Akan tetapi itu adalah keputusan yang keliru. Sekarang ia kembali melewati jalan yang pernah ia lewati namun dengan arah yang berbeda dan keadaan yang berbeda. Dahulu ia pergi dengan senyum dan uang yang banyak, sekarang ia kembali wajah yang murung tanpa harta di tangannya. Bahkan sangat mungkin selama perjalanan ia sangat lapar dan harus mengemis untuk sekedar mengisi perutnya yang lapar.

Akhirnya, si anak bungsu sampai di perbatasan wilayah rumah bapanya. Ketika ia masih jauh, ternyata ayahnya telah melihatnya sejauh yang ia mampu lihat (ay. 20b). Kemudian tergeraklah hati ayahnya oleh belas kasihan. Ia tahu bahwa anak bungsunya sudah melakukan keputusan yang mengecewakannya. Akan tetapi, sang ayah adalah ayah yang bijaksana dan penuh belas kasihan. Sang ayah kemudian berlari mendapatkan anak bungsu itu lalu merangkul dan mencium dia (ay. 20c). Sang ayah sangat bahagia ketika tahu bahwa anak bungsunya masih hidup dan selamat, meskipun dengan keadaan yang sangat jauh berbeda dengan kondisi sebelumnya.

Mungkin ada di antara yang kita bertanya, mengapa sang ayah tidak mencari anaknya di negeri yang jauh? Atau paling tidak ia mencoba mencari tahu kondisi anaknya yang sedang merantau itu? Bukankah sang ayah memiliki banyak uang dan mampu untuk membayar orang untuk memperhatikan anaknya? Dalam hal ini persoalannya tidak terletak pada uang yang banyak dan kekuasaan yang ia miliki.  Ada tatanan dalam diri sang ayah karena ia tidak dapat menghentikan kehendak bebas anaknya, terlebih kehendak anaknya di luar wilayah rumahnya.

Hal ini sebenarnya memiliki prinsip yang sama dengan kisah di dalam perumpamaan mengenai domba yang hilang dan dirham yang hilang. Kita telah belajar bahwa jika domba yang hilang tersebut sudah mati sebelum ditemukan sang gembala, maka sudah tidak ada lagi solusi menyelamatkan domba tersebut. Atau jika dirham yang hilang itu ternyata berada di luar rumah (apalagi sudah di dalam dompet orang lain), maka perempuan tersebut tidak akan mampu menemukan dirham yang hilang itu. Demikian juga dengan anak bungsu yang hilang. Apabila ia mati di negeri yang jauh (entah karena kelaparan atau hal lain), atau sudah menjadi penjaga babi, maka sang ayah tidak akan bisa mendapatkan anak bungsunya kembali. Barulah ketika si anak bungsu memutuskan untuk kembali dan telah masuk dalam wilayah rumahnya, maka sang ayah dapat berlari menyambut dan memeluknya.

Demikian pula dengan tatanan yang dimiliki Allah sebagai Bapa kita di surga. Jika kita bertindak sembarangan seperti anak bungsu itu, maka kita dapat benar-benar terhilang. Ini bukan berarti Allah tidak Maha Kuasa dalam menyelamatkan manusia. Tentu Allah tidak ingin ada manusia yang binasa. Akan tetapi, dengan memberikan kehendak bebas kepada manusia, Allah menciptakan suatu tatanan, bahwa manusia dapat memilih apakah mereka mau melakukan apa yang menyenangkan hati Allah, atau menyenangkan diri sendiri. Manusia telah mengerti apa yang baik dan apa yang jahat, sehingga setiap keputusan yang manusia ambil, sesungguhnya akan berdampak pada nasib kekal mereka.

Pada akhirnya, setiap manusia (tidak hanya orang non-Kristen, tetapi juga orang Kristen), harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan tahta pengadilan Allah (Rm 14:12). Tidaklah mengherankan bahwa pada hari penghakiman nanti, akan banyak orang-orang Kristen (karena mereka menyebut Yesus sebagai Tuhan) yang akan ditolak masuk ke dalam Kerajaan Allah. Hal ini karena mereka telah memilih apa yang jahat dalam hidup mereka, meskipun di dalam gereja, mereka terlihat seperti orang-orang yang saleh dan rajin melayani (Mat 7 :21-23). Oleh karena itu, gereja harus mulai mengajarkan keselamatan bukan hanya sebagai suatu titik balik, melainkan sebagai sebuah garis panjang, dimana kita harus tekun dan setia dalam mengerjakan keselamatan itu, untuk dapat kembali pulang ke Rumah Bapa, sehingga kita dapat diterima masuk ke dalam Rumah Bapa kita yang di surga.

 

Bacaan Alkitab: Lukas 15:20

15:20 Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

Sabtu, 10 Juli 2021

Makna Keterhilangan (12): Titik Balik Pertobatan

 Sabtu, 10 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:17-19

Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa  terhadap sorga dan terhadap bapa (Luk 15:18)


Makna Keterhilangan (12): Titik Balik Pertobatan

 

Kita telah belajar bahwa dalam kesesakan yang dialaminya, si anak bungsu kemudian mengambil sebuah keputusan yang tidak tepat. Ia tidak mengingat akan rumah bapanya dan tidak berpikir untuk pergi ke rumah bapa. Sebaliknya, ia memilih untuk pergi kepada seorang majikan di negeri itu, dan ditugaskan untuk menjaga babi. Dalam keadaannya yang sangat terjepit, ia sangat kelaparan tetapi tidak ada yang memberikan makanan babi kepada dirinya. Akhirnya ia kemudian baru sadar akan keadaannya tersebut (ay. 7a).

Seringkali Tuhan mengizinkan kita untuk berada dalam titik terendah di hidup kita. Tuhan mengizinkan masalah demi masalah kita hadapi untuk mengikis kesombongan dan keangkuhan diri kita. Terkadang Tuhan izinkan masalah yang sangat besar sehingga kita tidak dapat mengandalkan harta kita, jabatan kita, dan koneksi kita. Akibatnya kita kemudian baru teringat akan Tuhan ketika kita dalam keadaan genting tersebut. Di situlah berkat abadi yang Tuhan sediakan bagi kita dalam masalah hidup kita. Kita seharusnya bersyukur ketika kita mengalami kondisi genting, karena mungkin saja kita diingatkan kepada rumah Bapa kita di surga.

Dalam perenungannya, si anak bungsu kemudian teringat akan kondisi bapanya yang sangat kaya. Ia teringat akan orang upahan bapanya yang jumlahnya sangat banyak, dengan makanan yang melimpah dan tidak berkekurangan (ay. 17b). Tidak hanya bapanya yang berkelimpahan, bahkan orang upahan yang bekerja di tempat bapanya pun menikmati kelimpahan makanan. Tetapi, ia yang adalah anak sah dari ayahnya/bapanya justru kelapran di negeri asing (ay. 17c).

Di situlah kemudian ia tersadar akan kesalahannya. Ia sadar akan kesalahan fatal yang telah ia lakukan terhadap ayahnya. Ia kemudian bertekad untuk bangkit dan pergi kepada bapanya (ay. 18a). Selama ini ia telah pergi ke banyak tempat. Pertama, ia pergi dari rumah bapanya ke negeri yang jauh. Kedua, ketika kelaparan melanda, ia pergi kepada seorang majikan untuk mencari solusi. Tetapi kedua keputusan kepergiannya itu ternyata tidaklah bijaksana. Kemudian ia bertekad untuk pergi ke rumah bapanya. Sebenarnya ia tidaklah pergi ke rumah bapanya, melainkan ia sedang pulang kembali ke rumah bapanya. Namun ia sadar bahwa ia sudah tidak layak lagi sebagai anak (ay. 19a). Oleh karena itu, ia bertekad untuk pergi (dan bukannya pulang) untuk meminta maaf kepada bapanya (ay. 18b), dan berharap ia dapat diterima sebagai salah satu orang upahan bapanya (ay. 19b). Baginya, lebih baik menjadi orang upahan bapanya daripada menjadi orang upahan majikan babi.

Keterhilangan adalah keadaan ketika seseorang tidak ada di tempat yang semestinya. Keterhilangan juga adalah keadaan ketika kita jauh dari rumah Bapa kita. Keterhilangan juga adalah keadaan ketika kita salah mengambil keputusan sehingga kita nyaris kehilangan kodrat kita. Namun dibalik itu semua, jika kita masih diberikan kesempatan untuk bertobat, maka sedalam-dalamnya keterhilangan kita, kita masih memiliki potensi untuk kembali dari keterhilangan kita. Si anak bungsu ini sangat nyaris terhilang. Jika ia mati di negeri orang, atau sudah sampai memakan makanan babi dan menjadi sama dengan babi, maka ia mungkin sudah tidak sadar akan keterhilangannya. Tetapi dalam keadaan yang terjepit, si anak bungsu masih teringat akan rumah bapanya. Keadaan kehilangan segala sesuatu membuat ia sadar akan keputusan salah yang selama ini ia lakukan. Akibatnya, ia mulai mengalami pertobatan, dengan titik baliknya adalah ketika ia nyaris disamakan menjadi babi.

Akan tetapi kondisi ini barulah titik awal dari pertobatan. Ia masih harus menjalani langkah demi langkah dalam proses pertobatannya. Ia masih harus menempuh perjalanan panjang ke rumah ayahnya dengan kondisi tanpa uang dan tanpa makanan. Ia masih harus berjuang untuk sampai ke rumah ayahnya dengan selamat. Ia pun harus siap menerima risiko ketika ia ditolak oleh ayahnya atau oleh kakaknya ketika ia telah tiba di rumah ayahnya. Akan tetapi, langkah awal si anak bungsu ini sudah sangat baik. Tetapi langkah awal tidak ada artinya tanpa langkah-langkah selanjutnya. Setiap langkah pun tidak akan ada artinya tanpa konsistensi dan keteguhan hati. Kesetiaan berjalan langkah demi langkah akan sangat menentukan seseorang untuk dapat mencapai garis akhir yang menjadi tujuan utama.

  

Bacaan Alkitab: Lukas 15:17-19

15:17 Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan.

15:18 Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa  terhadap sorga dan terhadap bapa,

15:19 aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.

Jumat, 09 Juli 2021

Makna Keterhilangan (11): Nyaris Kehilangan Kodrat

 Jumat, 9 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:16

Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya. (Luk 15:16)


Makna Keterhilangan (11): Nyaris Kehilangan Kodrat

 

Kita telah belajar sampai dengan saat ini bahwa ada beberapa makna keterhilangan dari ketiga perikop yang kita telah pelajari selama ini. Keterhilangan dapat dimaknai sebagai tidak berada di tempat yang semestinya, sesat, dan lain sebagainya. Akan tetapi, salah satu makna keterhilangan yang paling berbahaya adalah keterhilangan kodrat. Adalah bahaya jika seorang manusia sudah tidak lagi mengerti akan kodratnya sebagai manusia. Ketika manusia sudah kehilangan kodratnya sebagai manusia, maka hal itu akan sangat berbahaya karena segala macam moral, budi pekerti, dan agama sudah tidak akan berpengaruh lagi.

Setelah menghadapi kondisi krisis, maka si anak bungsu pergi kepada seorang majikan dan kemudian si anak bungsu disuruh untuk menjaga babinya. Pekerjaan sebagai penjaga babi adalah suatu pekerjaan yang sangat hina, dan mungkin hanya akan menjadi suatu alternatif terakhir bagi orang Yahudi mengingat babi adalah hewan yang haram. Dalam pekerjaannya yang baru ini, si anak bungsu kemudian merasa lapar. Mungkin ketika ia melamar pekerjaan tersebut, ia sudah kehabisan uang dan makanan sehingga tidak sempat makan pagi atau makan siang. Ketika itulah ia sangat lapar dan ingin makan, sehingga ia sampai pada satu titik dimana ia ingin mengisi perutnya dengan makanan babi (ay. 16a).

Kata “ingin” dalam ayat ini dalam bahasa aslinya adalah epethymei (ἐπεθύμει) dari akar kata epithumeó (ἐπιθυμέω) yang menunjukkan suatu nafsu atau keinginan yang sangat tinggi akan sesuatu hal. Bisa jadi hal ini menunjukkan bahwa si anak bungsu sudah sangat lapar dan sangat ingin memakan sesuatu. Bahkan sesungguhnya jika ada yang mau memberikan makanan babi kepadanya, maka tanpa ragu ia akan memakannya, sekalipun itu adalah ampas yang bukan makanan manusia secara umum. Sayangnya, tidak ada orang yang mau memberikan makanan babi itu kepada si anak bungsu.

Bayangkan jika seorang manusia sudah tidak peduli lagi akan makanan apa yang dapat ia makan. Bahkan si anak bungsu akan bersedia makan makanan babi sekalipun (yang adalah makanan bagi hewan haram). Hal ini seakan-akan sudah melampaui batas kemanusiaan yang wajar. Tetapi inilah yang dialami oleh si anak bungsu. Dahulu ia adalah seorang yang terhormat, anak dari seorang ayah yang terhormat pula. Ia memiliki banyak hewan ternak seperti kambing, domba, lembu, dan lain sebagainya. Jika ia lapar, ia dapat menyuruh salah satu orang upahan bapanya untuk menyiapkan makanan. Bahkan mungkin ia dapat memakan jenis makanan yang enak dan mengenyangkan. Akan tetapi, karena ia salah mengambil keputusan, maka harta miliknya habis sama sekali, dan ia bahkan harus makan makanan babi untuk dapat bertahan hidup. Secara sederhana, kita dapat melihat bahwa dengan memakan makanan yang sama, maka saat itu, si anak bungsu sudah hampir kehilangan kodratnya sebagai manusia dan “nyaris” menjadi sama seperti babi.

Hal inilah yang cukup berbahaya bagi manusia jika ia tidak sadar akan kodratnya dan kemudian meninggal kodratnya tersebut. Terlebih bagi orang percaya yang sebenarnya berkodrat sebagai anak-anak Allah. Bayangkan jika ada manusia yang berkodrat sebagai anak-anak Allah, namun kemudian kehilangan kodrat yang mulia itu. Hal ini sudah dialami oleh Adam dan Hawa, yang kemudian terusir dari Taman Eden karena melanggar perintah Allah. Kita juga dapat melihat bagaimana Esau tidak menyadari kodratnya sebagai anak sulung Ishak dan kemudian menjual hak kesulungannya dengan harga yang sangat murah.

Demikian juga kita harus mengingat kodrat kita supaya kita jangan sampai terhilang dan kehilangan kodrat tersebut. Kita adalah orang-orang yang sudah ditebus dengan darah Yesus yang sangat mahal. Oleh karena itu seharusnya kita sudah mati dari kodrat manusia lama kita, dan mengenakan kodrat ilahi yang baru melalui karya penebusan Yesus di atas kayu salib. Jangan sampai kita terhilang dan kehilangan kodrat ilahi tersebut. Jangan sampai kita terjerat oleh dosa, keinginan dunia, percintaan dunia, dan hal apapun yang dapat membuat kita melupakan dan meninggalkan kodrat kita tersebut. Belajarlah dari kisah anak bungsu ini, supaya kita jangan melakukan kesalahan yang sama seperti yang si anak bungsu ini lakukan.

 

Bacaan Alkitab: Lukas 15:16

15:16 Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorangpun yang memberikannya kepadanya.

Kamis, 08 Juli 2021

Makna Keterhilangan (10): Keputusan dalam Keputusasaan

 Kamis, 8 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:15

Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. (Luk 15:13)


Makna Keterhilangan (10): Keputusan dalam Keputusasaan

 

Saya yakin bahwa para pembaca renungan ini pasti pernah mengalami suatu keadaan dimana kita berada dalam posisi yang terjepit. Kita mengalami suatu kesesakan, bahkan suatu keputusasaan dimana kita seakan-akan tidak dapat menemukan solusi atau jalan keluar dari masalah kita tersebut. Dalam kondisi yang sudah putus asa tersebut, sering kali kita melakukan keputusan tanpa berpikir panjang. Tentu hal itu dapat dimaklumi karena kondisi yang sudah menekan dan mendesak kita. Dalam kondisi yang kritis tersebut, kita sering lupa bertanya kepada Tuhan dan seringkali langsung mengambil keputusan yang ternyata kurang tepat.

Demikian pula dengan yang dialami oleh si anak bungsu ini. Dengan kondisi yang sudah terjepit, tidak ada uang dan harta lagi, teman-teman yang meninggalkan dirinya, serta posisi yang jauh dari siapa-siapa, maka mau tidak mau ia harus melakukan sesuatu untuk menyambung hidup. Si anak bungsu ini telah menghambur-hamburkan uang hasil menjual hak miliknya secara sembrono, dan dengan demikian ia sedang menabur apa yang telah dituainya.

Dalam kondisi seperti ini, ia mengambil keputusan untuk pergi. Sayangnya, bukannya ia pergi kembali ke rumah ayahnya, ia justru pergi ke orang lain yaitu seorang yang disebut sebagai majikan di negeri itu (ay. 15a). Saya juga tidak mengerti mengapa ia tidak pergi kepada teman-temannya yang selama ini pernah ia traktir. Namun sangat mungkin bahwa si bungsu ini belum mengerti banyak tentang realitas kehidupan. Ia berpikir bahwa dengan sering mentraktir orang lain, maka orang tersebut akan menjadi sahabat dekat. Memang uang dan harta dapat dikatakan sebagai “mamon yang tidak jujur” (Luk 16:11). Justru “mamon yang tidak jujur” itu dapat menyingkapkan kejujuran, yaitu melihat manakah orang yang mau menjadi sahabat hanya karena uang, dan manakah mereka yang menjadi sahabat dengan tulus.

Sayangnya, keputusan yang diambil dalam keputusasaan oleh si anak bungsu ini kurang tepat. Oleh sang majikan (yang mungkin adalah orang non-Yahudi), ia justru disuruh ke ladang untuk menjaga babi miliknya (ay. 15b). Dalam konteks perumpamaan Yesus yang ditujukan kepada ahli Taurat dan orang Farisi (yang notabene adalah orang Yahudi), maka hampir pasti keluarga dalam perumpamaan ini (sang ayah, anak sulung, dan anak bungsu) adalah orang Yahudi. Sehingga, ketika ia disuruh untuk menjaga babi, sebenarnya ia sedang mempertaruhkan iman Yahudinya dimana dalam agama Yahudi itu babi dianggap haram.

Hal ini menunjukkan bahwa keputusan si anak bungsu yang diambil dalam kondisi kesesakan dan keputusasaan justru menjadi kurang tepat. Ia yang dahulu adalah anak dari keluarga Yahudi yang terhormat (dan mungkin juga dari keluarga berada), kini harus menjadi seorang penjaga babi. Mungkin karena kondisi yang sangat mendesak, ia tidak sempat memikirkan alternatif lainnya sehingga ia buru-buru mengambil keputusan. Memang keputusan ini adalah keputusan yang kurang tepat. Akan tetapi, pada akhirnya kita akan melihat bagaimana Allah dapat membuat keputusan ini menjadi suatu titik tolak bagi si anak bungsu untuk bertobat dan kembali ke jalan yang benar.

Dalam hal ini saya tidak menganjurkan kita untuk mengambil keputusan dengan tergesa-gesa atau tanpa berpikir panjang. Dalam kondisi kesesakan sekalipun, kita harus belajar untuk mencari wajah Tuhan dan kehendak-Nya dalam hidup kita. Bahkan sebenarnya, dalam segala kondisi (baik dalam kesesakan maupun dalam kenyamanan), kita harus senantiasa mencari kehendak-Nya untuk kita lakukan. Memang betul bahwa Allah sanggup mengubah kondisi yang tidak baik menjadi kondisi yang baik. Akan tetapi, sebisa mungkin, janganlah kita membawa diri kita ke dalam masalah dengan salah mengambil keputusan. Alangkah baiknya jika dalam setiap hal, dari hal kecil sampai hal besar, kita dapat sungguh-sungguh mempertimbangkan perasaan Allah setiap kita mengambil keputusan. Sehingga kita dapat belajar menjadi anak-anak Allah yang berkenan di hadapan-Nya.

 

Bacaan Alkitab: Lukas 15:15

15:15 Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya.

Senin, 05 Juli 2021

Makna Keterhilangan (9): Pertaruhan yang Keliru

Senin, 5 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:14

Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. (Luk 15:13)


Makna Keterhilangan (9): Pertaruhan yang Keliru

 

Salah satu keuntungan ketika kita hidup dalam keluarga atau persaudaraan adalah adanya orang-orang yang dapat men-support kita ketika kita dalam keadaan yang kurang mengenakkan. Tentu, hal ini tidak selamanya berlaku karena bisa jadi kita juga bertemu dengan orang-orang yang “mengganggu” kita dalam keluarga atau persaudaraan tersebut. Oleh karena itu, kita pun sebaiknya juga tetap selektif dalam menjalin persaudaraan atau persahabatan dengan orang lain. Tetapi terlepas dari itu semua, keluarga dapat dikatakan sebagai tempat yang aman bagi seseorang, khususnya ketika ada masalah yang datang.

Hal ini tidak berarti bahwa seseorang tidak harus keluar dari “zona nyaman” mereka dan harus tetap tinggal di zona nyaman. Ada masa-masa tertentu dimana kita harus berani keluar dari zona nyaman kita. Ada kalanya kita harus rela berjauhan dari orang-orang yang selama ini mendukung kita supaya kita dapat mandiri. Hal ini bisa saja terjadi ketika kita harus sekolah/kuliah/bekerja di luar kota/luar negeri. Atau seseorang menerima panggilan untuk pergi ke suatu tempat bagi pekerjaan Tuhan.

Sebenarnya, keputusan yang dilakukan oleh anak bungsu ini dapat kita pahami dari sudut pandang manusia pada umumnya. Mungkin saja ia ingin mencoba untuk mandiri dan lepas dari bayang-bayang ayahnya. Akan tetapi, jika mau jujur, ada 1 kesalahan utama si anak bungsu yang menyebabkan proses “keluar dari zona nyamannya” ini menjadi bumerang bagi dirinya. Hal itu adalah ketika ia meminta semua hak yang menjadi miliknya dan pergi dari rumah ayahnya, sebagaimana telah kita bahas di dalam renungan-renungan sebelumnya.

Kita dapat membayangkan, jika si anak bungsu ini menyampaikan keinginannya untuk mencoba mandiri kepada ayahnya, pastilah sang ayah akan merestuinya. Ia akan memberikan sejumlah modal kepada anak bungsu ini untuk mencoba usahanya di tempat lain. Tetapi karena anak bungsu ini meminta apa yang menjadi haknya, kemudian menjual semuanya itu, dan pergi ke tempat yang jauh serta berfoya-foya, maka hal itu menjadi masalah ketika ada hal yang tidak terduga menimpa dirinya.

Alkitab menuliskan kalimat “Setelah dihabiskannya semuanya…”, yang dapat diartikan bahwa segala hak miliknya yang telah ia jual dan dijadikan uang/emas, telah ia habiskan semuanya (ay. 14a). Ya, terlepas dari keinginan untuk mandiri, ternyata membawa uang dalam jumlah banyak dan pergi ke tempat yang baru dapat membuat seseorang terlena dan menjadi boros. Akibatnya semua hartanya habis hanya untuk hal-hal yang tidak produktif. Harta yang sangat banyak itu dapat habis dan karena ia tidak memiliki cadangan lagi (semua hak miliknya sudah diminta dari ayahnya), maka ia menjadi melarat dan jatuh miskin. Ditambah lagi dengan bencana kelapran di negeri itu (yang tidak pernah ia duga sebelumnya), yang mungkin membuat harga-harga naik dan semakin mempercepat habisnya harta milik si anak bungsu (ay. 14b).

Kita dapat simpukan bahwa apa yang dilakukan oleh si anak bungsu ini tidak tepat. Ia memang ingin mandiri dan keluar dari zona nyamannya. Tetapi ia telah mempertaruhkan semua harta miliknya di tempat yang salah. Ia telah mengambil suatu pertaruhan yang salah, yang pada akhirnya nyaris membuat dirinya hilang untuk selama-lamanya. Hartanya sudah habis tanpa ada cadangan. Secara de facto (dan juga de jure), sebenarnya anak bungsu ini sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Jika ia kembali ke ayahnya pun, ia sudah tidak berhak atas apapun, belum ditambah lagi rasa malu yang mungkin ia miliki. Hal ini adalah akibat dari suatu pertaruhan yang keliru, terlebih anak bungsu ini melakukan pertaruhan seluruh miliknya di tempat yang salah, yang kemudian mencelakakan dirinya

 

Bacaan Alkitab: Lukas 15:14

15:14 Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat.

Kamis, 01 Juli 2021

Makna Keterhilangan (8): Pergi untuk Terhilang

 Kamis, 1 Juli 2021

Bacaan Alkitab: Lukas 15:13

Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. (Luk 15:13)


Makna Keterhilangan (8): Pergi untuk Terhilang

 

Dalam ayat sebelumnya kita telah melihat bagaimana pada akhirnya sang ayah membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka (yaitu sang ayah, anak sulung, dan anak bungsu). Kita tidak tahu berapa besarnya persentase pembagian di antara mereka, apakah semua mendapat 1/3, ataukah anak sulung mendapat jatah 2 kali lipat dibanding adiknya, lalu apakah sang ayah juga masih mendapat bagian atau tidak. Namun menurut pendapat saya pribadi, adalah mungkin jika kekayaan sang ayah dibagi 3, dimana anak sulung mendapatkan jatah 2 bagian namun belum diberikan kepada anak sulung itu (pada umumnya anak sulung menerima bagian 2 kali lipat dibandingkan dengan anak yang lain), sementara anak bungsu menerima 1 bagian yang kemudian langsung dengan sah menjadi miliknya.

Sangatlah mungkin bahwa kekayaan yang diberikan itu tidak hanya dalam bentuk uang, melainkan mungkin juga dalam bentuk tanah, rumah, ladang, ternak, dan barang-barang lainnya. Alkitab menuliskan bahwa anak bungsu itu menjual seluruh bagian yang menjadi hak miliknya tersebut beberapa hari setelah ia menerimanya (ay. 13a). Mungkin ia membutuhkan waktu untuk menjual segala harta yang diterima sebagai “warisan” atau haknya itu untuk menjadi uang atau emas yang dapat dibawanya. Alkitab juga tidak mengatakan kepada siapa ia menjual harta miliknya tersebut. Bisa jadi ia menjualnya kepada orang lain, tetapi ada kemungkinan juga ia menjualnya kepada keluarga besarnya, atau bahkan kepada sang ayah sendiri (mungkin ia membeli tanah, rumah, ternak, dan lain sebagainya dan menukarnya dengan uang emas). Ingat bahwa setelah pembagian tersebut, harta sang ayah (yang nantinya akan menjadi bagian anak sulung) masih minimal sebesar 2/3 dari total harta awalnya.

Jika memang benar bahwa sang ayah yang membeli kembali (buyback) harta yang menjadi milik anak bungsu, maka kita dapat merasakan kesedihan yang dialami oleh sang ayah pada waktu itu. Tanah, rumah, ladang, dan lainnya adalah milik sang ayah, yang tentu saja sang ayah ingin agar harta atau “usaha” tersebut dapat diteruskan oleh kedua anaknya. Akan tetapi si anak bungsu sudah tidak peduli lagi dengan harta tersebut dan memilih untuk menjualnya untuk mendapatkan uang. Ia tidak lagi menganggap segala kenangan yang mungkin ia pernah rasakan dengan harta tersebut (misal: rumah dimana ia lahir, ladang dimana ia pernah bermain, dsb.) adalah sesuatu yang sangat berharga. Ia sudah tidak pernah membayangkan perasaan ayahnya.

Alkitab menuliskan bahwa setelah si anak bungsu menjual seluruh bagiannya itu (menjadi uang atau emas yang mudah dibawa), ia kemudian pergi meninggalkan ayahnya dan pergi ke negeri yang jauh (ay. 13b). Di sinilah sebenarnya letak kehilangan yang pertama. Ia sudah tidak peduli dengan perasaan ayahnya, kakaknya, dan dengan segala kenangan indah yang ia pernah rasakan. Ia memilih untuk pergi dari rumah dan keluarga yang selama ini telah membesarkannya. Saya tidak tahu apakah kira-kira si anak bungsu ini berpamitan dengan ayah, kakak, keluarganya yang lain, serta para hamba yang selama ini melayaninya. Kalaupun iya, sangat mungkin si anak bungsu tidak meneteskan air mata sama sekali sedangkan sang ayah pasti sedih melepas kepergian anak bungsunya tersebut. Namun nasi telah menjadi bubur. Keputusan si anak bungsu sudah bulat bahwa ia akan meninggalkan ayahnya dan pergi ke negeri yang jauh.

Seperti kebanyakan orang pada umumnya, ketika mereka memegang uang dalam jumlah banyak, pasti ada kecenderungan untuk boros. Kita di Indonesia mengenal hal ini dengan istilah “Orang Kaya Baru atau OKB”. Salah satu ciri dari OKB adalah membeli barang-barang yang sebenarnya tidak ia butuhkan, pergi ke tempat-tempat baru untuk berkenalan dengan orang lain, menunjukkan kekayaannya dengan cara mentraktir atau membelikan barang kepada orang lain. Hal ini juga yang dilakukan oleh si anak bungsu itu dengan cara memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.

Kita dapat melihat bahwa si anak bungsu ini adalah anak yang sangat egois. Yang ada di pikirannya adalah “hartaku”, “milikku”, “kepunyaanku”, dan lain sebagainya. Ia tidak pernah memikirkan orang lain, bahkan perasaan ayahnya sendiri. Orang seperti anak bungsu ini pastilah juga tidak pernah memikirkan perasaan Allah. Ia akan hidup suka-suka sendiri, hanya memikirkan kepentingannya sendiri, bahkan cenderung membangun “kerajaannya” sendiri di bumi ini. Ia akan bertindak sebagai “raja” bagi hidupnya sendiri, apa yang ia suka inginkan, itulah yang ia lakukan. Inilah tanda awal bahwa seseorang sedang terhilang di dalam dunia, yaitu ketika ia hanya fokus kepada apa yang menjadi keinginan dan kesenangannya sendiri, dan pergi dari tempat yang seharusnya ia tinggal. Ketika seseorang pergi dari tempat yang seharusnya atau yang sebenarnya, di situlah ia akan mulai menjadi orang yang terhilang.

 

Bacaan Alkitab: Lukas 15:13

15:13 Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya.