Rabu,
31 Juli 2019
Bacaan
Alkitab: 2 Korintus 12:19-21
Aku
kuatir, bahwa apabila aku datang lagi, Allahku akan merendahkan aku di depan
kamu, dan bahwa aku akan berdukacita terhadap banyak orang yang di masa yang
lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari kecemaran, percabulan dan
ketidaksopanan yang mereka lakukan. (2 Kor 12:21)
Pornos dan Moichos (31): Sulitnya untuk Bertobat
Suka
atau tidak suka, pertobatan adalah hal yang sulit. Kita tidak berbicara
mengenai pertobatan dari percintaan dunia, atau pertobatan dari kesombongan.
Jangankan bertobat atas hal-hal yang kelihatan abstrak dan tak terlihat seperti
itu. Ketika kita bertobat dari kesalahan yang terlihat (misal: suka berkata
kasar, mencuri, memukul orang), itu saja sangat sulit untuk dilakukan.
Paulus
dengan kasihnya berusaha menasehati jemaat di Korintus supaya bertobat. Dia
menulis 2 surat kepada jemaat di Korintus dengan total pasal sebanyak 26 pasal,
paling banyak di antara jemaat-jemaat di kota lainnya. Hal itu menunjukkan
bahwa jemaat Korintus mendapat tempat penting di dalam hati Rasul Paulus.
Surat-suratnya penuh dengan ketegasan, namun juga terkadang lembut seperti
seorang Bapa yang sedang mendidik anaknya.
Bacaan
Alkitab kita pada hari ini merupakan bagian akhir dari surat 2 Korintus, yang
berarti bahwa Paulus sedang menulis beberrapa kalimat terakhirnya kepada jemaat
Korintus. Dalam bagian akhir ini, Paulus berkata bahwa mungkin selama ini
jemaat Korintus menyangka bahwa Paulus dan rekan-rekan sepelayannya sedang
berusaha untuk membela diri di hadapan jemaat (ay. 19a). Mungkin saja ada
pandangan bahwa Paulus sedang berusaha membela posisinya sebagai seorang rasul
yang berwibawa.
Saya
rasa, pemikiran ini cukup dapat saya maklumi, mengingat sejak dahulu (bahkan
hingga kini) memang ada orang-orang tertentu yang sering menjual nama Tuhan
bagi kepentingan dirinya sendiri. Tidak jarang orang yang terlihat rohani
sekalipun sebenarnya sedang tidak membangun kerajaan Allah di dunia ini, tetapi
justru memanfaatkan Allah untuk membangun “kerajaannya” sendiri.
Namun
menghadapi kecurigaan, tuduhan, bahkan mungkin fitnah dari sebagian jemaat di
Korintus, Paulus tetap tenang dan tetap bersikap bijaksana. Paulus menulis
bahwa di hadapan Allah dan demi Kristus, segala hal yang dilakukan Paulus bagi
jemaat di Korintus bukanlah untuk kepentingannya sendiri, melainkan semata-mata
hanya untuk membangun iman mereka (ay. 19b). Dalam ayat-ayat sebelumnya juga
disebutkan bagaimana Paulus sama sekali tidak mencari untung dari jemaat
Korintus. Paulus melayani jemaat Korintus (dan juga jemaat lain) dengan
memberikan hidupnya, bukan melayani hemaat untuk menikmati hidup.
Dalam
ayat selanjutnya, Paulus sama sekali tidak mempermasalahkan tuduhan maupun
fitnah yang harus ia terima dalam pelayanannya tersebut. Ia hanya memiliki satu
kekuatiran terhadap jemaat Korintus, yaitu bahwa ketika ia dating kembali, ia
tidak mendapati jemaat Korintus seperti yang ia inginkan (ay. 20a). Hal ini
menunjukkan bahwa Paulus kuatir bahwa segala jerih lelahnya untuk mendidik jemaat
Korintus supaya memiliki pola pikir yang benar bisa menjadi sia-sia jika mereka
tidak bertumbuh secara proporsional.
Maksudnya,
jika Paulus terus menerus belajar mengenai kebenaran dan belajar untuk hidup
dalam kebenaran tersebut, sementara jemaat tidak mau belajar dan akhirnya
“berhenti belajar” dan masuk ke dalam zona nyaman, maka ketika mereka bertemu
lagi, posisi keduanya tidak akan berada di dalam level yang sama. Paulus sudah
masuk ke level yang lebih tinggi lagi, tetapi jemaat tetap berada di level yang
rendah. Jika demikian, mereka tidak akan dapat lagi saling memahami. Di mata
Paulus, jemaat Korintus tidak seperti yang diingini, sementara di mata jemaat,
Paulus sudah berbeda dengan Paulus yang dahulu mereka kenal (ay. 20b).
Kekuatiran
Paulus nampak sangat nyata dengan bagaimana Paulus mengutip hal-hal yang sangat
mungkin masih terjadi dalam jemaat di Korintus: perselisihan, iri hati, amarah,
kepentingan diri sendiri, fitnah, bisik-bisikan, keangkuhan, dan bahkan
kerusuhan (ay. 20c). Jelas bahwa jemaat Korintus menghadapi masalah yang tidak
sederhana. Mungkin hal tersebut disebabkan karena belum adanya kesehatian dan
kesamaan pola pikir, sehingga masih ada perselisihan, bahkan iri hai di antara
mereka. Bayangkan jika para pemimpin jemaat di Korintus saling iri satu dengan
yang lain, maka pada akhirnya khotbah hanya diisi dengan amarah, saling
menjatuhkan, fitnah, dan lain sebagainya. Ujung-ujungnya, jemaat juga yang akan
menjadi korban karena bisa terjadi “perang” atau kerusuhan di dalam jemaat.
Paulus
juga kuatir bahwa apabila ia dating kembali ke kota Korintus, Allah akan
merendahkan dirinya di depan jemaat Korintus (ay. 21a). Kalimat ini digunakan
Paulus untuk menunjukkan bagaimana nanti Paulus dapat dipandang “gagal” oleh
Allah dalam mendidik jemaat Korintus karena mereka tidak mau bertobat. Paulus
akan berdukacita terhadap orang-orang yang dahulu berbuat dosa dan hingga saat
ini belum bertobat (ay. 21b). Harapan Paulus dan tentu juga keinginan Tuhan
adalah supaya semua orang diselamatkan. Namun proses keselamatan ini bergantung
pada respon manusia yang harus memilih apakah mereka masih hidup dalam dosa,
ataukah sudah bertobat dan meninggalkan dosa-dosanya yang dahulu pernah mereka
perbuat.
Hari
ini kita akan melihat setidaknya ada 3 jenis dosa yang umum dilakukan oleh
orang-orang di dalam jemaat Korintus. Dosa-dosa ini tentu saja terkait dengan
kondisi dan latar belakang kota Korintus sendiri dimana mereka hidup, mungkin
sejak masa kecilnya. Suka atau tidak suka, kondisi lingkungan pastilah
berpengaruh terhadap masyarakat yang hidup di dalamnya. Hal itu pasti akan
mempengaruhi secara fisik maupun non fisik, termasuk kebiasaan, pola pikir, dan
nilai-nilai yang mereka pandang penting.
Ada
tiga hal yang menjadi concern Paulus dalam ayat ini yaitu: kecemaran, percabulan, dan ketidaksopanan
(ay. 21c). Saya berpendapat bahwa hal ini sedikit banyak pasti terkait dengan
kondisi di kota Korintus, yang antara lain terdapat kuil dengan praktik
pelacuran di dalamnya. Kata “kecemaran” misalnya, dalam bahasa aslinya
menggunakan kata akatharsia (ἀκαθαρσία). Kata ini bermakna kecemaran (uncleanness) atau ketidakmurnian (impurity). Kata ini dapat bermakna kecemaran secara fisik semisal kotor karena
sampah, kotoran, atau hal yang najis (bandingkan dengan Mat 23:27 yang di
Alkitab kita diterjemahkan dengan kata “kotoran”, namun juga dapat bermakna
kecemaran secara moral/non fisik, seperti kecemaran dari hawa nafsu,
keduniawian, kemewahan, atau ketamakan (misal: Ef 4:19). Kata yang sama juga
digunakan untuk motivasi atau maksud-maksud yang tidak murni (1 Tes 2:3).
Saya
sendiri berpendapat bahwa maksud kata “kecemaran” di ayat 21 ini lebih
berbicara tentang bagaimana pengaruh dan nilai-nilai duniawi yang selama ini
dianut oleh sebagian besar penduduk Korintus, dapat masuk ke dalam jemaat
Korintus. Hal ini sudah kita bahas dalam renungan-renungan terdahulu, misalnya
bagaimana ada jemaat yang tinggal dengan istri ayahnya, melakukan percabulan
yang tidak pantas, dan lain sebagainya. Belum lagi dari sifat-sifat perselisihan
dan iri hati yang mungkin selama ini menjadi salah satu kebiasaan yang terjadi
di kota tersebut. Semua merujuk kepada satu kesimpulan, bahwa jemaat di kota
Korintus memiliki kerawanan untuk tercemar akan nilai-nilai yang buruk, bahkan
yang jahat, yaitu yang tidak sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki.
Kata
kedua yang akan kita bahas adalah “percabulan”, yang dalam bahasa aslinya
adalah porneia (πορνεία). Hal ini sudah kita bahas secara khusus dalam serial
renungan ini, dan kita dapat melihat
bagaimana jemaat Korintus sangat mudah jatuh pada dosa yang satu ini. Namun
untuk hal ini, saya mencoba melihat dari sudut pandang yang lain. Sebenarnya
jika kita tahu dimana titik lemah kita, maka kita akan lebih mudah untuk
memperbaiki dan menjaganya supaya titik tersebut tidak lagi menjadi titik lemah
kita. Sebagai contoh, seorang atlet badminton yang menyadari bahwa ia lemah di
dalam pertahanan, maka ia seharusnya akan lebih banyak melakukan latihan
bertahan untuk menutupi kelemahannya (disamping tentu ia juga harus
meningkatkan aspek lainnya).
Dalam
hal percabulan, tentu seharusnya mereka
tahu bahwa hal itu dapat menjadi suatu titik lemah mereka yang harus mereka
perbaiki. Namun demikian, sangat mungkin bahwa pemimpin jemaat yang dipercaya
untuk memimpin dan menggembalakan jemaat Korintus, tidak peka terhadap hal ini.
Mereka mungkin tidak sadar bahwa hal itu dapat membuat celah yang menyeret
banyak jemaat ke dalam percabulan. Sebagai contoh, orang tua yang dahulu
memiliki latar belakang hamil sebelum menikah, seharusnya menjaga anak-anaknya
supaya tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang mereka lakukan dahulu.
Namun pada kenyataannya, lebih banyak orang tua macam ini yang justru tidak
menjaga titik lemahnya, khususnya membentengi anak-anaknya, sehingga pada
akhirnya ketika anak-anaknya dewasa, mereka justru mengulangi kesalahan yang
sama seperti yang dilakukan orang tuanya. Sedihnya, hal ini dianggap sebagai
suatu hal yang wajar. Orang tua berpikir: “Wajar anak saya seperti itu, karena
dahulu saya pun juga melakukan hal yang sama”. Sebaliknya anak berpikir:
“Selama ini orang tua saya tidak pernah mengingatkan, sehingga saya pikir hal
itu wajar-wajar saja saya lakukan, toh apa yang saya tidak lebih buruk dari apa
yang orang tua saya lakukan”. Hal ini juga yang mungkin terjadi di dalam jemaat
Korintus, sehingga Paulus harus kembali menekankan hal ini dalam akhir suratnya
kepada jemaat di Korintus.
Kata
ketiga adalah “ketidaksopanan” yang dalam bahasa aslinya digunakan kata aselgeia (ἀσέλγεια). Kata ini memiliki
makna licentiousness, wantonness, outrageous
conduct, conduct shocking to public decency, a wanton violence, violent spite
which rejects restraint and indulges in lawless insolence, lasciviousness (ketidaksenonohan, kenakalan, kelakuan yang tidak patut, kelakuan yang
mengejutkan terhadap kesopanan umum, tindakan kekerasan yang sewenang-wenang,
dendam dan kekerasan yang tidak terkendali yang dilakukan sesuka hati serta dengan keangkuhan yang melanggar hukum,
tindakan yang menimbulkan nafsu birahi). Kata “ketidaksopanan” ini
sangat mungkin terkait dengan 2 kata sebelumnya, sehingga kemungkinan memiliki
makna melakukan tindakan yang menimbulkan nafsu birahi, selain tindakan nakal
atau kekerasan secara umum.
Jadi,
jemaat Korintus tidak hanya menghadapi ancaman dari nilai-nilai duniawi yang
selama ini dianut oleh sebagian besar penduduk Korintus, antara lain praktik
percabulan yang sudah merusak sendi kehidupan keluarga serta sikap-sikap tidak
sopan yang tidak patut karena melanggar norma-norma umum. Hal ini tentu akan
berdampak kepada karakter jemaat Korintus yang harus dapat berjuang melawan
hal-hal yang jahat. Mereka setiap hari tinggal dan hidup di tengah-tengah
masyarakat yang sudah cemar, sehingga ketika Paulus menekankan kekudusan, maka
itu bukanlah hal yang terlihat sederhana. Perjuangan dan peperangan rohani
harus mereka lakukan setiap hari supaya dapat berkenan di hadapan Allah.
Bagi
mereka yang dahulu sudah pernah jatuh ke dalam dosa, seperti dosa percabulan,
maka akan sangat sulit untuk dapat sungguh-sungguh bertobat. Mungkin mereka pun
akan jatuh bangun dalam pertobatan mereka. Akan ada pengaruh buruk yang terus
menerus mencoba menjatuhkan orang percaya yang hendak bertobat, sehingga
dibutuhkan komitmen yang kuat dan kerja keras dalam melakukan pertobatan tersebut.
Itulah sebabnya, Paulus sangat kuatir bahwa banyak jemaat Korintus akan berguguran.
Namun barang siapa yang mampu bertahan sampai akhir pasti akan memperoleh
mahkota yang abadi.
Bacaan
Alkitab: 2 Korintus 12:19-21
12:19
Sudah lama agaknya kamu menyangka, bahwa kami hendak membela diri di depan
kamu. Di hadapan Allah dan demi Kristus kami berkata: semua ini,
saudara-saudaraku yang kekasih, terjadi untuk membangun iman kamu.
12:20 Sebab
aku kuatir, bahwa apabila aku datang aku mendapati kamu tidak seperti yang
kuinginkan dan kamu mendapati aku tidak seperti yang kamu inginkan. Aku kuatir
akan adanya perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, fitnah,
bisik-bisikan, keangkuhan, dan kerusuhan.
12:21
Aku kuatir, bahwa apabila aku datang lagi, Allahku akan merendahkan aku di
depan kamu, dan bahwa aku akan berdukacita terhadap banyak orang yang di masa
yang lampau berbuat dosa dan belum lagi bertobat dari kecemaran, percabulan dan
ketidaksopanan yang mereka lakukan.