Kamis, 03 Juli 2025

Makna Keterhilangan (18): Iri dan Membanding-bandingkan

 Kamis, 3 Juli 2025

Bacaan Alkitab: Lukas 15:30

Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. (Luk 15:30)


Makna Keterhilangan (18): Iri dan Membanding-bandingkan


Tidak cukup hanya menyalahkan bapanya, si anak sulung juga kemudian membanding-bandingkan respon bapanya terhadap dirinya dengan respon bapanya terhadap adiknya yang baru saja datang. Sikap membanding-bandingkan ini sebenarnya cukup wajar kita temui di masa sekarang ini. Kalau kita melihat dari sudut pandang manusia, kita juga sangat paham bahwa apa yang anak sulung ungkapkan ini sebenarnya adalah sesuatu hal yang wajar. Siapa sih orang yang tidak akan marah jika ia diperlakukan berbeda dengan orang lain, khususnya jika selama ini orang tersebut sebenarnya tidak banyak menuntut.

Saya punya pengalaman pribadi dengan contoh yang agak mirip dengan kondisi di bacaan ayat Alkitab kita pada hari ini. Saya memiliki anak yang sekolah di suatu sekolah swasta. Di sekolah tersebut, besaran uang pangkal dan uang sekolah untuk masing-masing siswa tidak sama dan bisa berbeda-beda, tergantung dari kondisi orang tua, penghasilan orang tua, kepandaian anak, dan lain sebagainya. Tentu dalam penentuan besaran uang pangkal dan uang sekolah ada mekanisme negosiasi antara orang tua dengan pihak sekolah untuk menentukan besaran yang harus dibayar oleh orang tua.

Saya memilih untuk memperbesar uang pangkal dengan harapan uang bulanan yang harus dibayar menjadi lebih kecil. Orang tua lain ada yang memilih pendekatan yang berbeda, misalnya dengan uang pangkal yang kecil namun uang bulanannya lebih besar. Hal ini cukup wajar terjadi dalam kondisi umum misalnya ketika kita mengambil kredit kendaraan atau rumah, kita tinggal memilih mau membayar uang muka yang besar di awal dengan cicilan bulanan yang lebih rendah, atau uang muka yang rendah dengan cicilan bulanan yang lebih besar. Di samping itu tentu saja ada kenaikan uang bulanan setiap tahunnya yang pada umumnya menyesuaikan dengan inflasi. 

Karena saya memilih uang pangkal yang besar, otomatis uang bulanan anak saya lebih kecil. Selama 5 tahun saya menyekolahkan kedua anak saya di situ, saya tidak pernah mengajukan keringanan kepada pihak sekolah. Apabila ada kenaikan uang bulanan di tahun ajaran baru, ya sudah saya terima saja. Akan tetapi ternyata ada orang tua murid lain yang merasa uang bulanannya kemahalan, padahal sebenarnya rumah dan mobilnya saja lebih mahal dan lebih baru dari apa yang saya miliki. DIa tidak terima uang sekolah anak saya lebih kecil (saya tidak tahu darimana dia memperoleh informasi tersebut, karena sampai saat ini saja saya tidak tahu besaran uang bulanan anaknya). Dia kemudian komplain ke sekolah dan meminta keringanan, padahal besaran uang bulanan untuk tahun ajaran baru telah ditetapkan oleh pihak sekolah.

Akhirnya, pihak kepala sekolah menghubungi kami selaku orang tua murid melalui aplikasi pesan (whatsapp) yang pada intinya meminta uang sekolah anak saya dinaikkan karena ada orang tua lain yang meminta keringanan. Saya yang sudah mengetahui cerita di baliknya tidak terima dan tidak setuju dengan kebijakan sekolah yang justru merugikan saya. Saya sempat heran mengapa pihak sekolah tidak bijak dan justru “menginjak” orang tua yang selama ini tidak pernah komplain hanya karena ada orang tua lain yang komplain (padahal mungkin saja uang bulanannya lebih tinggi karena uang pangkalnya rendah).

Hal tersebut membuat saya memahami apa yang dikatakan oleh anak sulung ini. Dia protes kepada bapanya karena adiknya (anak bungsu sang bapa) yang sudah meminta hak warisannya, sudah menghabiskan hartanya (yang sebenarnya harta bapanya yang seharusnya baru dibagikan ketika sang bapa telah meninggal dunia), justru seakan-akan dibela oleh sang bapa (ay. 30a). Kalau adiknya menghabiskan hartanya untuk membeli tanah, membangun usaha, dan ternyata bangkrut, mungkin ia masih bisa menerimanya. Akan tetapi, ternyata sang kakak mendengar juga bahwa adiknya menghabiskan hartanya dengan tidak bijaksana, bahkan bersama dengan para pelacur yang ditemuinya (ay. 30b). Si anak sulung merasa bahwa selama menjadi anak bapa, ia sama sekali tidak pernah melakukan apa yang merugikan bapanya, bahkan terus bekerja keras untuk menghasilkan keuntungan bagi bapanya.

Sikap sang bapa yang menyembelih anak lembu tambun untuk anak bungsu yang telah kembali itulah yang membuat si anak sulung marah (ay. 30c). Meskipun sikap anak sulung tersebut dapat dimengerti dan dipahami, namun ada kesalahan yang dilakukan oleh anak sulung itu terhadap bapanya. Pertama, ia membanding-bandingkan kondisinya dengan adiknya. Memang benar bahwa ia adalah anak yang baik, tetapi sikap membanding-bandingkan dengan adiknya menunjukkan adanya kesombongan yang tersembunyi, meskipun mungkin sedikit. Yang kedua, ia tidak mengerti hati bapanya yang menyambut kembalinya pribadi anak bungsu kepadanya. Bapanya mungkin mengalami kerugian yang besar akibat hartanya yang hilang karena digunakan secara sembarangan oleh anak bungsunya. Akan tetapi kehadiran kembali si anak bungsu kepada sang bapa itu adalah kembalinya pribadi anak, yang mungkin tidak dapat dinilai dengan harta. Si anak sulung mungkin masih belum mengerti akan hal ini (bisa jadi karena ia belum menikah dan memiliki anak, sehingga ia belum memahami hal ini). Akan tetapi, apapun alasannya, si anak sulung seharusnya bisa memiliki frekuensi yang sama dengan ayahnya. Boleh jadi bapanya mungkin bersikap kurang adil di mata anak sulung, namun anak sulung juga harus dapat menempatkan dirinya pada sudut pandang sang bapa, yang tidak lagi memperhitungkan materi, tetapi nilai dari jiwa yang terhilang dan dapat kembali lagi. 


 


Bacaan Alkitab: Lukas 15:30

Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. (Luk 15:30)