Jumat, 25 Januari 2019
Bacaan
Alkitab: Kisah Para Rasul 21:17-25
Tetapi mengenai bangsa-bangsa lain, yang telah menjadi percaya, sudah kami
tuliskan keputusan-keputusan kami, yaitu mereka harus menjauhkan diri dari
makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang
yang mati dicekik dan dari percabulan. (Kis 21:25)
Pornos dan Moichos (21): Keputusan yang Konsisten
Ternyata berita bohong (hoaks) dan
fitnah bukan hanya terjadi di zaman modern seperti sekarang ini. Sekitar 2.000
tahun yang lalu, pada masa gereja mula-mula, sudah ada banyak hoaks dan fitnah
yang bersebaran. Jika kita konsisten mengikuti membaca Alkitab, maka kita akan
tahu bahwa ada jeda yang cukup lama antara peristiwa di Kisah Para Rasul pasal
15 dan 21, dimana dalam jeda tersebut (mungkin sekitar beberapa tahun), Paulus
dan rekan-rekan sepelayanannya sudah memberitakan Injil ke banyak daerah kepada
bangsa-bangsa non Yahudi.
Dalam Kisah Para Rasul pasal 21,
konteks peristiwa pada waktu itu adalah ketika Paulus hendak ke Yerusalem,
meskipun ia sudah mengerti bahwa ia akan ditangkap dan menderita di Yerusalem.
Tetapi Paulus tetap teguh pada pendiriannya karena ia mengerti kehendak Tuhan
secara khusus bagi dirinya. Ketika Paulus dan rekan-rekannya tiba di Yerusalem,
semua saudara menyambut dengan gembira (ay. 17). Paulus pun mengunjungi para
pemimpin jemaat (antara lain Yakobus) dan para penatua di Yerusalem (ay. 18).
Paulus menceritakan apa yang ia lakukan selama beberapa waktu tersebut di
antara bangsa-bangsa lain (ay. 19).
Mendengar cerita Paulus tersebut, semua
orang yang hadir memuji dan memuliakan Allah. Para pemimpin dan penatua di
Yerusalem juga berkata bahwa ribuan orang Yahudi menjadi percaya kepada Yesus
dan mereka semua tetap rajin memelihara hukum Taurat (ay. 20). Kita harus
mengerti bahwa masa itu adalah masa awal pembentukan jemaat mula-mula. Sedang
terjadi transisi dari kekristenan sebagai salah satu bagian dalam agama Yahudi
menjadi suatu “agama” baru. Karena Yesus sendiri lahir sebagai orang Yahudi dan
pada awalnya juga sebagian besar pengikutnya adalah maka tentu kebanyakan orang
yang percaya di dalam jemaat mula-mula juga adalah orang Yahudi.
Sebagian orang Yahudi yang mendengar
khotbah Tuhan Yesus (atau mendengar khotbah murid-murid-Nya setelah peristiwa
Tuhan Yesus naik ke surga), akhirnya menjadi percaya dan mengakui bahwa Yesus
adalah Mesias. Mereka mungkin mereka belum sepenuhnya mengakui Yesus adalah
Tuhan atau Kurios atau salah satu
pribadi di dalam lembaga Elohim. Itulah sebabnya kata percaya di sini
sebenarnya tidaklah sama dengan percaya yang seharusnya. Hal ini tentu dapat
dipahami karena orang Yahudi tersebut masih menjalankan dan memelihara hukum
Taurat mereka. Mereka masih menyangka bahwa hukum Taurat tetap harus
dipelihara, seperti menjauhi makanan yang tidak kosher, mempersembahkan korban bakaran, termasuk memelihara tradisi
sunat bagi laki-laki.
Itulah sebabnya di kalangan orang
Yahudi (bahkan termasuk di kalangan orang Yahudi yang sudah “percaya”), mereka
mendengar isu dan berita bahwa Paulus mengajar
orang-orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain (di luar daerah
Israel) untuk melepaskan hukum Taurat. Mereka mendengar berita yang menyatakan
bahwa Paulus melarang orang menyunatkan anak-anaknya dan hidup menurut adat
istiadat Yahudi (ay. 21). Ini adalah berita bohong atau hoaks. Paulus memang
mengajarkan kepada orang non Yahudi bahwa mereka tidak wajib bersunat, tetapi
yang sudah terlanjur disunat, tidak perlu menghilangkan tanda-tanda sunatnya (1
Kor 7:18). Hal itu mungkin sekali diputarbalikkan oleh segelintir oknum Yahudi
yang tidak suka dengan Paulus. Akibatnya berita besar tersebar di antara
kalangan orang Yahudi bahwa Paulus telah menista agama Yahudi.
Hal ini telah menjadi perhatian bagi
para pemimpin jemaat waktu itu. Oleh karena itu Yakobus menyarankan agar Paulus
membawa 4 orang yang sedang bernazar untuk beribadah ke Bait Allah. Dengan
demikian diharapkan orang dapat melihat bahwa Paulus tetap menjalankan adat
istiadat Yahudi (sebagai orang Yahudi) dan tidak berniat mengubahnya meskipun
ia sudah menjadi orang Kristen (ay. 22-24). Dalam hal ini mengingat kekristenan
masih berada di awal pembentukannya, maka masih ada sedikit dualisme antara
orang Kristen dari kelompok Yahudi dan orang Kristen dari kelompok non Yahudi. Namun
demikian, para pemimpin jemaat (yang notabene sebagian besar adalah berasal
dari kelompok orang Yahudi), tidak mewajibkan orang Kristen non Yahudi untuk
disunat. Mereka hanya diminta untuk menjauhkan diri dari makanan yang
dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang yang mati
dicekik dan dari percabulan (ay. 25).
Patut dibayangkan kondisi kota
Yerusalem ketika ada informasi bahwa Paulus (orang yang dianggap sudah menista
agama Yahudi) akan datang ke Yerusalem. Kekristenan pada masa itu berada di
ambang perpecahan, antara orang Kristen dari kelompok Yahudi dan dari kelompok
non Yahudi. Apa yang dilakukan pemimpin jemaat (seperti Petrus atau Yakobus)
pada waktu itu? Apakah mereka akan menerbitkan “fatwa” baru bahwa orang Kristen
(baik Yahudi maupun non Yahudi) sebaiknya disunat seperti yang tertulis dalam
hukum Taurat guna meredam kemungkinan konflik yang akan terjadi?
Ternyata jawabannya adalah tidak.
Pemimpin jemaat di Yerusalem tetap pada keputusan semula bahwa orang Kristen
non Yahudi tidak wajib disunat. Mereka hanya dianjurkan untuk menjauhkan diri dari
makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang
yang mati dicekik dan dari percabulan. Konsistensi ini patut diacungi jempol
karena di dalam tekanan maupun kondisi yang tidak kondusif, para pemimpin tetap
konsisten menyatakan apa yang wajib dan apa yang tidak wajib, apa yang mayor
dan apa yang minor.
Memang dalam beberapa kasus dibutuhkan
dinamisitas yang tinggi dari seorang pemimpin. Akan tetapi, patut dihargai
bahwa terkait dengan keputusan sidang pimpinan jemaat di Yerusalem, hal
tersebut tetap menjadi suatu anjuran yang konsisten dan tidak diubah-ubah demi
kepentingan segelintir orang. Para pemimpin jemaat pada waktu itu sangat
berhati-hati dalam mengambil keputusan sehiingga keputusan yang diambil bisa
tetap diterapkan dengan konsisten. Mereka bukan para pemimpin yang plin-plan
dan berubah-ubah sesuai dengan arah angin. Perkataan dan keputusan mereka
sungguh-sungguh dapat dipegang sehingga jemaat tidak dibuat bingung.
Saya sendiri pernah bertemu dengan
seorang pendeta yang di suatu waktu menyatakan bahwa pernikahan salah satu
jemaatnya dengan orang luar gereja adalah sah di mata hukum dan di mata Tuhan
karena sudah diberkati di gereja dan telah didaftarkan ke catatan sipil,
meskipun pernikahan mereka diawali dengan “kecelakaan”. Namun beberapa waktu kemudian,
pendeta tersebut berkata bahwa pernikahannya tidak sah di mata Tuhan karena
orang luar gereja itu kembali ke kebiasaannya yang lama. Hal ini tentu saja
dapat membingungkan jemaat apalagi jemaat yang awam. Nyatanya ternyata jemaat
tadi menikah lagi dengan orang dalam gereja dengan cara yang sama: “kecelakaan”
dahulu sebelum menikah. Jadi, sampai saat ini ada banyak jemaat yang
bertanya-tanya, sebenarnya apa sih ukuran pernikahan itu bisa dikatakan sah
atau tidak? Lalu apakah bisa pernikahan yang dahulu dibilang sah kemudian
menjadi tidak sah? Hal apa yang membuat suatu pernikahan menjadi tidak sah
lagi?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu
sebenarnya adalah hal minor yang terjadi karena melalaikan hal-hal yang mayor.
Andaikata penekanan terhadap anjuran bapa-bapa gereja mula-mula masih konsisten
ditekankan, yaitu salah satunya adalah menjauhi percabulan, gereja (pendeta dan
jemaat) tidak akan disibukkan dengan urusan sah atau tidaknya suatu pernikahan.
Pernikahan di dalam gereja akan menjadi pernikahan yang suci dan kudus, dan
bahkan bisa menjadi contoh maupun teladan bagi orang-orang di sekitar mereka
termasuk bagi mereka yang belum percaya.
Dalam hal ini saya tidak menyalahkan
pendeta karena mungkin saja ia menghadapi tekanan yang luar biasa sehingga
muncul pernyataan yang tidak konsisten. Saya pun ketika berada dalam posisinya
sangat mungkin juga akan melakukan hal yang sama. Akan tetapi, apa yang dapat saya
pelajari dari kasus di atas adalah bahwa ketika kita betul-betul menyadari mana
hal yang mayor dan mana hal yang minor, maka kita pasti akan berusaha
memprioritaskan hal-hal yang mayor untuk dilakukan. Kita harus belajar untuk
konsisten dalam belajar kebenaran, konsisten dalam menyampaikan kebenaran, serta
konsisten dalam melakukan kebenaran.
Bacaan
Alkitab: Kisah Para Rasul 21:17-25
21:17
Ketika kami tiba di Yerusalem, semua saudara menyambut kami dengan suka hati.
21:18 Pada
keesokan harinya pergilah Paulus bersama-sama dengan kami mengunjungi Yakobus;
semua penatua telah hadir di situ.
21:19
Paulus memberi salam kepada mereka, lalu menceriterakan dengan terperinci apa
yang dilakukan Allah di antara bangsa-bangsa lain oleh pelayanannya.
21:20
Mendengar itu mereka memuliakan Allah. Lalu mereka berkata kepada Paulus:
"Saudara, lihatlah, beribu-ribu orang Yahudi telah menjadi percaya dan
mereka semua rajin memelihara hukum Taurat.
21:21
Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang
Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa,
sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan
jangan hidup menurut adat istiadat kita.
21:22 Jadi
bagaimana sekarang? Tentu mereka akan mendengar, bahwa engkau telah datang ke
mari.
21:23 Sebab
itu, lakukanlah apa yang kami katakan ini: Di antara kami ada empat orang yang
bernazar.
21:24
Bawalah mereka bersama-sama dengan engkau, lakukanlah pentahiran dirimu
bersama-sama dengan mereka dan tanggunglah biaya mereka, sehingga mereka dapat
mencukurkan rambutnya; maka semua orang akan tahu, bahwa segala kabar yang
mereka dengar tentang engkau sama sekali tidak benar, melainkan bahwa engkau
tetap memelihara hukum Taurat.
21:25
Tetapi mengenai bangsa-bangsa lain, yang telah menjadi percaya, sudah kami
tuliskan keputusan-keputusan kami, yaitu mereka harus menjauhkan diri dari
makanan yang dipersembahkan kepada berhala, dari darah, dari daging binatang
yang mati dicekik dan dari percabulan."