Senin, 3 September 2018
Bacaan
Alkitab: Yohanes 8:1-11
Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang
perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Mereka menempatkan perempuan itu di
tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap
basah ketika ia sedang berbuat zinah. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan
kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu
tentang hal itu?" (Yoh 8:3-5)
Pornos dan Moichos (17): Hukuman terhadap Perempuan yang Kedapatan Berzinah
Perlu dipahami bahwa sejak zaman Taurat
(bahkan sejak zaman atau masa pra-Taurat), perzinahan adalah suatu dosa yang
dipandang sangat hina sehingga kebanyakan orang merasa bahwa pelakunya (jika
tertangkap basah) harus dihukum berat. Akibatnya sejumlah kebudayaan atau
kepercayaan merasa bahwa mereka adalah yang paling benar ketika hukuman atas
dosa perzinahan ini adalah hukuman yang paling berat. Dalam hukum Taurat saja,
sangat jelas bahwa orang yang terlibat dalam perzinahan akan dihukum mati
dengan cara dilempari batu (Im 20:10, Ul 22-22-24). Dalam sejarah manusia di
abad pertengahan pun, hukuman yang dijatuhkan juga tidak kalah mengerikan,
biasanya dimulai dengan pemotongan alat kelamin dan selanjutnya disiksa dan
dibunuh dengan kejam. Menjadi persoalan bagi kita saat ini, apakah hukuman atas
perzinahan tersebut masih relevan bagi kita saat ini?
Menjawab persoalan tersebut memang
tidak mudah. Jika kita hanya melihat secara deontologis, maka kita bisa
terjebak pada suatu sikap yang kaku, misalnya: perzinahan harus dihukum mati;
atau sebaliknya: perzinahan tidak boleh dihukum mati. Masing-masing akan
mengeluarkan argumennya, yang satu mengutip hukum Taurat, dan yang satu lagi
akan mengutip ucapan Tuhan Yesus dalam perikop ini. Karena perikop ini juga
dapat mengandung banyak perdebatan, maka saya pun harus membahas ayat-ayat di
perikop ini dengan lebih mendalam, dalam konteks tindakan zinah yang dimaksud
dalam perikop ini.
Perikop ini dimulai ketika sebelumnya
orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ingin menangkap Tuhan Yesus yang pada saat
itu sedang datang ke Yerusalem. Mereka ingin menangkap dan membunuh Tuhan Yesus
karena banyak orang menganggapnya sebagai Mesias, sementara mereka tahu bahwa
Yesus hanyalah anak tukang kayu. Oleh karena itu, Tuhan Yesus dianggap sebagai
seorang penista agama Yahudi yang pantas dihukum mati.
Dari konteks dan latar belakang ini,
maka kejadian di perikop ini adalah ketika Tuhan Yesus sudah berada di Bait
Allah pada pagi-pagi benar setelah sebelumnya bermalam di bukit Zaitun (ay. 1-2a).
Dikatakan bahwa seluruh rakyat (atau sejumlah besar rakyat) datang kepada-Nya
unduk mendengar pengajaran-Nya. Dikatakan bahwa Tuhan Yesus duduk dan mengajar
mereka (ay. 2b). Jadi dapat digambarkan bahwa Tuhan Yesus mengajar mereka
sambil duduk, dan kemungkinan besar rakyat yang mendengar pengajaran-Nya juga
mendengarkan sambil duduk.
Saat sedang mengajar itulah, para ahli
Taurat dan orang Farisi membawa kepada Tuhan Yesus seorang perempuan yang
kedapatan berbuat zinah. Kata “zinah” di ayat ini adalah moicheia (μοιχεία) yang secara umum berarti adultery (perzinahan). Dalam renungan-renungan sebelumnya kita
telah melihat bahwa moicheia adalah voluntary sexual intercourse between a
married person and a person who is not his or her spouse (hubungan seksual
yang dilakukan secara sukarela/tanpa paksaan antara seorang yang sudah menikah
dan orang lain yang bukan pasangannya).
Jadi dalam hal ini, kita tidak dapat
sepenuhnya memastikan apakah perempuan ini adalah perempuan yang sudah menikah
dan melakukan perzinahan dengan orang lain yang bukan suaminya, atau perempuan
ini adalah orang yang melakukan perzinahan dengan laki-laki yang sudah menjadi
suami orang lain. Walaupun demikian, dalam satu renungan yang saya tulis
beberapa bulan yang lalu, kemungkinan besar bahwa perempuan ini adalah orang
yang sedang melakukan perzinahan dengan suami orang lain (atau bahkan
suami-suami orang lain). Hal ini saya dasarkan dari sikap ahli Taurat dan orang
Farisi yang sangat yakin bahwa mereka sedang kedapatan berbuat zinah. Kata
“kedapatan” dalam ayat ini menunjukkan bahwa para ahli Taurat dan orang Farisi
itu sendiri yang menangkap basah perzinahan yang dilakukan oleh perempuan
tersebut. Artinya, mereka benar-benar menjadi saksi akan tindakan perzinahan
yang dilakukan perempuan tersebut, entah dengan cara menjebak si perempuan dan
kemudian menangkap basah, atau mungkin bahkan dengan cara menyewa perempuan
tersebut beramai-ramai sebelum kemudian menuduhnya dengan tuduhan perzinahan.
Jika pilihan kedua yang terjadi, maka perempuan itu pun juga tidak akan berani
menyalahkan para ahli Taurat dan orang Farisi karena secara kedudukan (politis
dan agama) mereka adalah orang-orang yang terhormat.
Para ahli Taurat dan orang Farisi
tersebut menempatkan perempuan itu di tengah-tengah (kemungkinan besar di
tengah-tengah Tuhan Yesus dan rakyat banyak yang sedang mendengarkan-Nya) lalu
berkata kepada Tuhan Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia
sedang berbuat zinah” (ay. 4). Kata “tertangkap basah” di ayat 4 ini memiliki
akar kata yang sama dengan kata “kedapatan” dalam ayat 3. Kata “zinah” yang
dipakai di ayat 4 ini adalah moicheuomenē
(μοιχευομένη) dari akar kata moicheuó
(μοιχεύω) dengan makna yang serupa dengan kata “zinah” di ayat 3. Perbedaannya
adalah kata moicheia merupakan kata
benda sedangkan kata moicheuó merupakan
kata kerja.
Kata
moicheuomenē di ayat 4 ini dalam bahasa aslinya menggunakan bentuk kata verb – present participle middle/passive –
nominative feminime singular (kata kerja – kala kini, partisipatif,
menengah/pasif – nominatif feminim tunggal). Jadi jelas bahwa perempuan
tersebut benar-benar sedang tertangkap basah ketika ia sedang melakukan
perzinahan. Agak menarik melihat permainan kata yang dilakukan oleh orang
Farisi dan ahli Taurat tersebut dalam kalimatnya: yaitu perempuan yang
tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zinah. Mungkinkah perempuan tersebut
berbuat zinah sendirian? Bukankah pasti ada laki-laki (atau sekumpulan
laki-laki) yang juga seharusnya tertangkap basah ketika sedang berbuat zinah
dengan perempuan tersebut? Mengapa para ahli Taurat dan orang Farisi tidak
membawa juga laki-laki yang melakukan perzinahan tersebut?
Lebih lanjut kalimat yang diucapkan
oleh para ahli Taurat dan orang Farisi itu adalah: “Musa dalam hukum Taurat
memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian (yang
melakukan perzinahan). Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” (ay. 5). Jelas
bahwa mereka hendak membenturkan Tuhan Yesus dengan hukum Taurat di muka orang
banyak. Jika Tuhan Yesus terpancing dan mengatakan: “Ya, lempari perempuan itu
dengan batu”, maka Tuhan Yesus akan ditangkap pasukan Romawi karena menyuruh
membunuh orang lain tanpa pengadilan yang sah. Ingat bahwa pada waktu itu
bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi dan bangsa Romawi pun memiliki
aturan dan hukumnya sendiri.
Jika Tuhan Yesus terpancing dan
mengatakan “Tidak boleh dilempari batu”, maka rakyat banyak akan menganggap Tuhan
Yesus menentang hukum Taurat dan bisa jadi rakyat banyak akan menganggapnya
sebagai penista hukum Taurat. Jika Tuhan Yesus juga sampai bertanya: “Mana
buktinya?”, maka mereka bisa saja mengatakan bahwa mereka melihat sendiri (atau
mungkin saja juga melakukannya sendiri) dan Tuhan Yesus dianggap tidak
berkuasa. Pertanyaan ini sungguh adalah pertanyaan jebakan yang sudah
dipikirkan dengan matang dengan satu tujuan: yaitu untuk menjebak Tuhan Yesus.
Hal ini nampak pada ayat selanjutnya dimana dikatakan bahwa mereka mengatakan
hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk
menyalahkan-Nya (ay. 6a).
Ingat bahwa pada waktu itu Tuhan Yesus
sedang duduk sambil mengajar rakyat banyak (yang kemungkinan besar juga
mendengarkan dengan posisi duduk). Pada waktu itu para ahli Taurat dan orang
Farisi datang kepada Tuhan Yesus dan melemparkan perempuan yang berzinah
tersebut di hadapan Tuhan Yesus. Sangat mungkin para ahli Taurat dan orang
Farisi berdiri di sekeliling Tuhan Yesus sambil berteriak-teriak untuk meminta
jawaban dari Tuhan Yesus. Apakah yang Tuhan lakukan pada saat itu? Alkitab
menulis bahwa Tuhan Yesus kemudian
membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah (ay. 6b).
'Dalam renungan hari ini, saya tidak
akan menekankan pada apa yang kemungkinan ditulis oleh Tuhan Yesus di tanah
tersebut. Ketika para ahli Taurat dan orang Farisi terus menerus menanyakan hal
itu kepada-Nya, maka Tuhan Yesus kemudian bangkit berdiri lalu berkata kepada
mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang
pertama melemparkan batu kepada perempuan itu" (ay. 7). Kemudian Tuhan
Yesus pun kembali duduk, membungkuk dan menulis lagi di tanah (ay. 8). Jika
kita dapat membayangkan kondisi saat itu, dapat dibayangkan betapa genting dan
tegangnya kondisi saat itu. Tuhan Yesus yang awalnya sedang duduk dan mengajar
orang banyak, tiba-tiba disela oleh sekelompok ahli Taurat dan orang Farisi
yang membawa seorang perempuan dan meletakkannya di depan Tuhan Yesus sambil
berteriak-teriak meminta keputusan Tuhan Yesus atas perempuan ini, apakah boleh
dilempari batu atau tidak. Bisa dibayangkan beberapa rakyat akan berdiri dan
mencoba melihat keadaan di depan, dan mulai bertanya-tanya apa yang sedang
terjadi. Kemudian Tuhan Yesus berkata (kemungkinan besar juga dengan suara yang
keras): “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama
melemparkan batu kepada perempuan itu” dan kemudian duduk lagi. Suasana tegang
ini tentu dirasakan oleh rakyat banyak, dan tentu saja oleh perempuan yang
tertangkap basah berzinah tersebut.
Singkat cerita, para ahli Taurat dan
orang Farisi pun pergi satu persatu dari yang tertua setelah mendengar ucapan
Tuhan Yesus tersebut (dan sangat mungkin juga setelah mereka membaca apa yang
Tuhan Yesus tulis di tanah) (ay. 9a). Sangat mungkin mereka malu karena mereka
masih merasa berdosa. Dalam renungan saya di tanggal lain, saya menulis bahwa
ada kemungkinan Tuhan Yesus menulis nama orang-orang tersebut yang telah
melakukan perzinahan juga dengan perempuan tersebut. Sehingga ketika mereka
berteriak-teriak menuntut perempuan tersebut dilempari batu, maka mereka pun
seharusnya juga ikut dilempari batu. Akibatnya tidak ada satu pun dari mereka
yang membawa perempuan tersebut ada di situ dan melempar batu pertama kali
kepada si perempuan.
Menariknya, saya yakin bahwa orang
banyak itu juga mendengar ucapan Tuhan Yesus kepada para ahli Taurat dan orang
Farisi. Mengapa tidak ada yang melempar batu kepada perempuan tersebut?
Bukankah orang banyak yang mendengar adalah orang Yahudi (karena orang non
Yahudi tidak boleh masuk ke dalam Bait Allah), dan sangat mungkin ada di antara
orang-orang yang mendengar itu adalah orang-orang Yahudi garis keras yang
selama ini melakukan hukum Taurat. Bukankah mungkin ada beberapa orang di
antara orang banyak yang melihat situasi tersebut kemudian melempar batu kepada
perempuan itu karena merasa tidak berdosa? Ingat bahwa di kitab Injil ada
tertulis mengenai orang muda yang berkata sudah melakukan hukum Taurat dengan
baik sejak masa mudanya tanpa cacat (dalam hal ini tanpa cacat secara hukum).
Tentu bisa saja ada beberapa orang di antara rakyat banyak tersebut yang merasa
tidak berdosa (secara hukum Taurat) sehingga ia berani melempar batu pertama
kali.
Namun karena tidak ada orang sama
sekali yang mau melempar batu kepada perempuan tersebut (termasuk orang
banyak), maka sangat mungkin apa yang ditulis oleh Tuhan Yesus itu adalah
tulisan yang membuat para pendakwa (yaitu para ahli Taurat dan orang Farisi) menjadi
malu, bahkan malu di hadapan rakyat banyak. Rakyat banyak juga menjadi penilai
apakah tuntutan dan tuduhan para ahli Taurat dan orang Farisi itu tepat alamat
atau salah alamat. Setelah beberapa waktu suasana diam dan hening (karena para
ahli Taurat dan orang Farisi pergi satu persatu), akhirnya tinggallah Yesus
seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya (ay. 9b).
Kemudian Tuhan Yesus bangkit berdiri
dan berkata kepada perempuan tersebut: "Hai perempuan, di manakah mereka?
Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?" (ay. 10). Perempuan itu dalam
posisi terduduk atau tertunduk berkata: “Tidak ada Tuan” (ay. 11a). Perhatikan
jawaban Tuhan Yesus di ayat ini kepada perempuan itu: “Aku pun tidak menghukum
engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (ay. 11b).
Jadi, setelah pembahasan perikop ini,
apakah jawaban atas pertanyaan di awal renungan tadi: “Apakah hukuman terhadap
perempuan yang kedapatan berzinah”? Apakah kita harus menghukum perempuan
tersebut dengan hukuman mati? Ataukah kita harus membiarkan perempuan tersebut?
Tentu jawaban bagi orang Kristen tidak bisa ditentukan hanya dari sudut pandang
deontologis. Akan tetapi perlu dipahami lebih lanjut apakah definisi berzinah
itu sendiri.
Kita sering cepat menghakimi bahwa
berzinah (moichos, moicheia atau moicheuó) adalah melakukan hubungan seksual dengan orang lain yang
bukan pasangannya. Memang itulah definisi yang ada di kebanyakan kamus dan juga
itulah definisi yang tertulis di dalam hukum Taurat. Tetapi jika kita mau
konsisten mengaplikasikan hukuman di dalam hukum Taurat terhadap dosa
perzinahan, maka hampir semua dari kita sudah masuk ke dalam kategori berzinah,
karena Tuhan Yesus sendiri sudah menetapkan definisi berzinah yang baru,
sehingga siapa saja yang memandang perempuan dan mengingininya (tergerak
syahwatnya) sudah masuk ke dalam definisi berzinah (moicheuó) di Mat 5:28. Jadi jika hukum Taurat diterapkan dengan
kaku hingga hari ini, maka sebagian besar dari kita mungkin saja sudah harus
mati dilempar batu.
Sebaliknya, apakah kita harus
mengampuni setiap dosa perzinahan yang dilakukan oleh orang lain? Bahkan ketika
orang itu adalah orang terdekat kita atau mungkin suami/istri kita sendiri?
Bagaimana jika ada orang yang memang sudah suka berzinah dengan siapa saja demi
uang atau juga demi memuaskan hawa nafsunya? Untuk menjawab pertanyaan ini,
kita harus sadar bahwa kita hidup di negara yang diatur oleh hukum. Kita di
Indonesia tentu memiliki hukum negara yang mengatur mengenai perzinahan dan
hukuman atas perzinahan tersebut. Di negara-negara lain (termasuk negara maju
sekalipun), pasti ada hukum yang mengatur mengenai perzinahan dan hukuman atas
perzinahan tersebut, meskipun antara satu dan negara lain tentu saja berbeda. Oleh
karena itu, karena negara kita memang bukan negara atas dasar agama (yaitu
agama Kristen), maka kita tidak boleh memaksakan aturan agama dalam kitab suci
kita untuk diterapkan di hukum negara. Oleh karena itu, dalam hal ini hukum
negara harus juga menjadi acuan dalam menangani kasus-kasus perzinahan, dengan
mekanisme pengadilan yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Kita tidak
boleh menjadi hakim dan mengadili orang lain jika kita bukan hakim atau aparat
pengadilan yang sah menurut hukum.
Oleh karena itu, untuk menjawab
pertanyaan di atas juga tidak sepenuhnya mudah. Jika kasus perzinahan itu belum
sampai masuk ke ranah hukum negara, maka perlu dipertimbangkan dengan
sungguh-sungguh penanganan kasus perzinahan tersebut. Gereja (tidak hanya
pendeta tetapi juga seluruh jemaat) harus menjadi gereja yang peka akan
kehendak Bapa melalui tuntunan Roh Kudus untuk mengambil keputusan yang tepat,
yang tidak mendukakan hati Bapa tetapi menyenangkan hati Bapa. Terkadang
keputusan yang harus diambil terkait dengan perzinahan yang dilakukan memang
adalah keputusan untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk. Sayangnya
banyak gereja (jemaat, majelis, dan juga pendeta) yang masih sering berpikir
secara deontologis sehingga dengan keras mereka bersuara: “harus dihukum” atau
“tidak harus dihukum” sehingga menimbulkan konflik yang saling melukai hati
sesamanya. Ada banyak kasus perzinahan yang seharusnya diredam tetapi justru
dibuka ke publik bahkan hingga ke pengadilan sehingga aib pun menjadi terbuka.
Ada juga kasus perzinahan yang sudah parah (mungkin sudah bukan lagi taraf moichos tetapi sudah sampai taraf pornos) yang seharusnya ditangani secara
proporsional tetapi justru didiamkan. Kesalahan dalam memahami kehendak Bapa
dalam kasus-kasus perzinahan ini harus diakui dapat membuat konflik di sejumlah
gereja dan jemaat.
Dalam segala hal, kita harus berusaha
supaya orang dapat bertobat dan diselamatkan. Inilah inti dari jawaban Tuhan
Yesus kepada perempuan yang berzinah itu di ayat 11 tadi. Tuhan Yesus tidak
ingin perempuan itu mati, tetapi masih memberikan kesempatan untuk bertobat.
Sehingga Ia berpesan agar perempuan tadi tidak mengulangi kesalahannya di
kemudian hari. Kesempatan yang Tuhan Yesus berikan seharusnya dimanfaatkan
sungguh-sungguh oleh perempuan tersebut. Jika perempuan itu tidak mau bertobat, maka ia sudah menyia-nyiakan
kesempatan yang Tuhan berikan, dan bukan tidak mungkin di kemudian hari ia akan
mati dilempari batu. Bahkan jika ia tidak bertobat, maka ketika ia mati pun
sangat mungkin ia akan ditolak untuk masuk ke dalam kerajaan surga.
Jika kasus perzinahan yang terjadi di
dalam jemaat masih dipandang dapat diperbaiki (sesuai dengan taraf moichos), maka perlu dipertimbangkan
(terutama dengan pertimbangan pastoral oleh gembala/pendeta sebagai pemimpin
jemaat) apakah permasalahan ini harus diredam dengan tujuan pertobatan pelaku
perzinahan. Tentu gereja juga harus memiliki mekanisme untuk mendisiplin jemaat
supaya bertobat. Akan tetapi mekanisme disiplin itu tentu harus jelas,
konsisten dan tidak pilih kasih. Jangan sampai jika yang melakukan dosa
perzinahan adalah orang kaya dan/atau dekat dengan gembala maka dibela
mati-matian sementara jika yang melakukan kesalahan adalah jemaat biasa atau
jemaat yang miskin maka diperlakukan secara berbeda.
Di sisi lain, jika kasus perzinahan
yang terjadi sudah sampai taraf pornos
yang membahayakan, maka perlu dipertimbangkan juga untuk menyerahkannya kepada
aparat yang berwajib. Dalam hal ini pertimbangannya adalah apakah dengan
dibiarkan maka kondisi pelaku dan korban akan membaik, atau lebih baik
dilaporkan ke pihak berwajib supaya pelaku tidak meresahkan jemaat dan jemaat
lain tidak terancam. Tentu sekali lagi tulisan saya ini bukan sebagai patokan
mana yang harus dibiarkan, dihukum oleh gereja, atau dilaporkan ke pihak
berwajib. Dalam segala hal tentu kita harus bertindak dalam tuntunan Roh Kudus
sesuai dengan kehendak Bapa. Oleh karena itu, mau tidak mau jemaat Tuhan harus
menjadi cerdas sehingga dapat mengerti suara Tuhan. Gembala sidang atau pendeta
juga harus dapat mengajar jemaat menjadi cerdas, serta memiliki pemahaman
Alkitab, etika dan pertimbangan pastoral yang baik. Dengan demikian, setiap
kasus tidak harus dilihat dan diselesaikan secara hitam putih, akan tetapi kita
harus melihat dan menyelesaikan setiap permasalahan dari sudut pandang Tuhan,
pilihan mana yang terbaik (meskipun mungkin di antara yang terburuk) yang dapat
menyelamatkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa bagi kemuliaan nama Tuhan. Hal ini
akan kita pelajari lebih lanjut di serial renungan ini ketika mulai membahas
mengenai praktik percabulan dan perzinahan yang terjadi di jemaat mula-mula.
Bacaan
Alkitab: Yohanes 8:1-11
8:1 tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun.
8:2 Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang
kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka.
8:3 Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang
perempuan yang kedapatan berbuat zinah.
8:4 Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada
Yesus: "Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat
zinah.
8:5 Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari
perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?"
8:6 Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh
sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan
jari-Nya di tanah.
8:7 Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit
berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak
berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."
8:8 Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah.
8:9 Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang
demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan
perempuan itu yang tetap di tempatnya.
8:10 Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: "Hai perempuan,
di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?"
8:11 Jawabnya: "Tidak ada, Tuhan." Lalu kata Yesus: "Aku pun
tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari
sekarang."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.