Selasa, 6 November 2018
Bacaan
Alkitab: Kisah Para Rasul 15:1-21
Tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka menjauhkan
diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari
daging binatang yang mati dicekik dan dari darah. (Kis 15:20)
Pornos dan Moichos (19): Membedakan Mana Hal yang Minor dan Hal yang Mayor
Saya pernah sempat beribadah di sebuah
gereja dimana pendeta di gereja tersebut sering berkata: “Kita harus tidak
boleh memayorkan hal-hal yang minor dan tidak boleh meminorkan hal-hal yang
mayor”. Terkait kalimat tersebut, saya sangat setuju. Masalahnya adalah kita
sering tidak mengerti apa saja hal-hal yang mayor dan apa saja hal-hal yang
minor. Banyak orang Kristen yang tidak mengerti hal ini sehingga justru sering
salah mengidentifikasi mana hal yang minor dan mana hal yang mayor. Akibatnya
kehidupan orang Kristen seringkali tidak memancarkan keagungan Tuhan dan bahkan
kehidupan orang Kristen justru lebih parah dari kehidupan orang-orang non
Kristen.
Dalam sejarah perkembangan gereja
khususnya jemaat mula-mula setelah kenaikan Tuhan Yesus ke surga, terjadi juga
perdebatan di kalangan jemaat dan juga pemimpin umat mengenai sunat. Karena
orang-orang Kristen pada awalnya juga berasal dari orang-orang Yahudi, ada
sekelompok orang yang mengajarkan bahwa jika orang Kristen tidak disunat
menurut adat istiadat Yahudi yang diwariskan oleh Musa, maka mereka tidak dapat
diselamatkan (ay. 1). Bagi kita yang hidup di zaman modern ini mungkin tidak
paham betul mengenai kondisi saat itu. Akan tetapi bisa dibayangkan bahwa
ajaran ini pada waktu itu sangatlah populer dan viral. Akibatnya, banyak pro
dan kontra akan ajaran tersebut.
Mereka yang pro berpendapat bahwa Tuhan
Yesus lahir sebagai manusia dari orang Yahudi, disunat pada hari ke-8, dan juga
pernah berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat tetapi untuk
menggenapinya. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa hukum Taurat tetap
berlaku di dalam kekristenan, termasuk sunat yang merupakan tanda perjanjian
antara Allah dengan bangsa Israel juga harus tetap dilaksanakan (ay. 5).
Mereka yang kontra (seperti Paulus dan
Barnabas) mengatakan bahwa sunat atau tidak itu bukanlah suatu kewajiban.
Mereka yang sudah terlanjur disunat tidak boleh menghilangkan tanda-tanda
tersebut, tetapi yang belum disunat pun tidak wajib disunat (1 Kor 7:18).
Mereka mencoba memberi pengertian bahwa perjanjian sunat adalah perjanjian
antara Allah dengan Abraham dan keturunannya secara jasmani, sementara orang
percaya adalah keturunan Abraham secara rohani. Justru yang penting adalah
sunat hati, bukan sunat secara jasmani (Rm 2:25-29, 4:9-12, dan sebagainya).
Paulus dan Barnabas akhirnya pergi ke
Yerusalem untuk membahas hal ini guna mewakili kelompok yang kontra tadi guna
membahasnya dengan rasul-rasul di Yerusalem (ay. 2-4). Karena perdebatan yang
cukup sengit, maka para rasul bersidang untuk membahas hal tersebut (ay. 6).
Sidang tersebut berlangsung cukup alot, hingga Petrus (sebagai salah satu rasul
yang dianggap paling terkemuka dan menjadi pemimpin jemaat pada waktu itu),
menyampaikan pendapatnya bahwa Allah telah menerima orang-orang non Yahudi
untuk menjadi umat-Nya, bahkan memberikan Roh Kudus kepada mereka (merujuk
kepada peristiwa Kornelius, seorang kepala pasukan Romawi yang menerima Roh
Kudus). Oleh karena itu, kekristenan tidak dapat lagi dipandang sebagai salah
satu sekte dalam agama Yahudi (dimana keselamatan hanya diberikan kepada orang
Yahudi yang percaya), tetapi kekristenan harus bersifat umum dan terbuka bagi
siapa saja, tanpa memandang suku, ras dan golongan (ay. 7-8). Petrus lebih
lanjut menekankan bahwa iman jauh lebih penting daripada perkara sunat,
sehingga para pemimpin jemaat tidak boleh meletakkan suatu kuk pada
murid-murid/jemaat-jemaat yang tidak perlu (ay. 9-10). Petrus juga menekankan
jika ia percaya bahwa hanya oleh kasih karunia Tuhan maka mereka semua dan
orang-orang lain akan diselamatkan (ay. 11).
Sesudah itu, Paulus dan Barnabas juga
menceritakan peristiwa yang mereka alami, dimana mereka menyaksikan banyak
orang non Yahudi juga menjadi percaya bahkan menerima Roh Kudus (ay. 12). Apa
yang Paulus dan Barnabas saksikan di hadapan orang banyak pada sidang di Yerusalem
tersebut menunjukkan bahwa Tuhan juga mencurakan Roh Kudus kepada orang non
Yahudi dan tidak hanya bagi orang Yahudi saja. Ini berarti bahwa seharusnya
segala adat istiadat Yahudi yang hanya bersifat lahiriah semata seharusnya
tidak lagi bisa diterima di dalam kekristenan. Tentu dalam hal ini kita harus
cerdas membedakan mana ajaran Yahudi yang bisa diadopsi dalam Kekristenan dan
mana ajaran Yahudi yang harus ditinggalkan.
Kemudian Yakobus sebagai salah satu
rasul yang terkemuka dan juga dipandang sebagai salah satu pemimpin jemaat pada
waktu itu akhirnya berdiri dan menarik kesimpulan bahwa Tuhan ingin memanggil
suatu umat yang taat kepada-Nya, tidak hanya dari keturunan Daud (bangsa
Israel/Yahudi) tetapi juga dari seluruh bangsa yang mau dan bersedia taat
kepada-Nya (ay. 13-18). Di sini jelas bahwa Tuhan Yesus adalah Anak Domba Allah
yang menghapus dosa dunia, bukan hanya dosa orang Yahudi, atau dosa sebagian
dunia saja (Yoh 1:29).
Kita harus mencoba memahami kondisi
pada saat tersebut dimana kekristenan sedang diuji untuk menentukan sikap dan
arahnya, apakah hanya sebatas menjadi salah satu “sekte” dalam agama Yahudi,
atau berkembang dan menjadi suatu gerakan baru yaitu jalan hidup yang membawa
orang-orang mengenal Allah yang benar. Oleh karena itu, keputusan apapun yang
diambil dalam sidang di Yerusalem ini akan menentukan arah kekristenan di masa
yang akan datang. Dapat dibayangkan betapa berat dampak dari keputusan yang
diambil tersebut, yang tentu saja sebenarnya wajib tetap kita pelihara hingga saat
ini. Dan pada akhirnya, arah yang diambil oleh Yakobus adalah keputusan yang
tidak menyulitkan orang yang hendak beribadah kepada Allah yang benar (ay. 19).
Hasil keputusan sidang di Yerusalem itu
menyebutkan bahwa ada 4 anjuran utama bagi orang Kristen yaitu:
- Menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala;
- Menjauhkan diri dari percabulan;
- Menjauhkan diri dari daging binatang yang mati dicekik; dan
- Menjauhkan diri dari darah (ay. 20).
Jika agama (seperti agama Yahudi) pada
umumnya penuh dengan hukum dan aturan-aturan ibadah (misal: jangan makan ini,
puasa pada hari tertentu, harus disunat, dan lain sebagainya), maka kekristenan
sebenarnya tidaklah demikian. Kekristenan adalah jalan hidup (way of life) dan bukan sekedar agama.
Oleh karena itu, kekristenan sebenarnya tidaklah identik dengan hukum-hukum
tertulis yang bersifat lahiriah seperti agama Yahudi. Namun dalam perikop ini,
kita melihat seakan-akan ada aturan hukum yang bersifat mengikat orang Kristen.
Namun sebenarnya ini hanya bersifat anjuran, himbauan dan arahan yang tidak
mengatur secara rinci seperti syariat. Keempat kalimat di atas tersebut tidak
disusun dalam hukum yang rinci seperti: “Tidak boleh makan makanan yang telah
dicemarkan berhala, yaitu makanan yang sudah disajikan kepada dewa-dewa lain
selain Allah Semesta Alam, kecuali dalam keadaan terpaksa dimana tidak ada
makanan lagi dan jika makanan tersebut tidak dimakan maka orang itu akan
mati..., dan seterusnya”. Anjuran tersebut hanya sederhana tetapi memiliki
makna yang dalam, dan sebenarnya semangat ini juga sudah ada sejak zaman Musa
(ay. 21). Ini menunjukkan bahwa kekristenan memang mengadopsi sebagian ajaran
agama Yahudi yang dipandang relevan bagi jemaat di masa itu dan bahkan hingga
masa kini. Kata “menjauhkan” dalam bahasa aslinya adalah apechesthai (ἀπέχεσθαι) dari akar kata phulassó (φυλάσσω) yang dapat berarti to guard, protect, keep watch over, keep secure, keep what is entrusted
(menjaga, melindungi, mengawasi, mengamankan, menjaga sesuatu yang dipercayakan).
Jelas bahwa kata “menjauhkan” ini harus diusahakan dan dikerjakan dengan serius
oleh yang menerima perintah, dalam hal ini seluruh jemaat atau umat percaya.
Sekilas kita membaca bahwa keempat anjuran
tersebut terutama berkaitan dengan makanan (3 aturan) dan seks (1 aturan). Ini
berbicara mengenai keinginan daging, yang terutama adalah nafsu makan dan nafsu
seksual (1 Yoh 2:16). Bagaimanapun juga keinginan daging memang akan lebih
terlihat nyata dibandingkan keinginan mata (yaitu materialisme, konsumerisme,
dan sebagainya). Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai 3 anjuran
terkait makanan. Cukuplah disimpulkan dengan sederhana bahwa kita harus makan
dengan bertanggung jawab, yaitu dengan bahan makanan yang sehat. Ini dapat
dilihat dari anjuran untuk menjauhi daging binatang yang mati dicekik dan dari
darah. Saya rasa hal ini pun dapat dibuktikan dari sudut pandang keilmuan
medis, dimana sebaiknya binatang disembelih daripada hanya dicekik (mati karena
tidak dapat bernafas/kehabisan oksigen). Darah binatang pun juga dapat menjadi
sumber penyakit jika tidak diolah dengan benar. Anjuran yang ada memang tidak
mempermasalahkan makanan yang halal dan yang haram. Tetapi bagi umat Perjanjian
Baru, kita perlu juga memperkarakan makanan yang kita masuk supaya membuat
tubuh kita sehat. Daging kambing yang halal menurut Taurat, jika diperlukan
harus kita anggap haram jika kita menderita kolesterol. Jadi kekristenan tidak
mengatur kehalalan atau keharaman suatu makanan dalam suatu hukum tertentu,
tetapi kita yang harus dapat mengendalikan keinginan daging yaitu nafsu makan
kita supaya tubuh kita sehat dan memuliakan nama Tuhan.
Terkait dengan makanan yang
dipersembahkan kepada berhala, secara medis dan nutrisi tentu hal ini tidak
menjadi masalah. Namun hal tersebut berpotensi menjadi “batu sandungan” bagi
orang lain, terlebih bagi orang yang imannya lemah (Rm 14:1-2 & 20-21).
Dari ayat-ayat tersebut kemungkinan sekali pada waktu itu orang percaya masih
merupakan jemaat yang awal dengan iman yang juga masih bervariasi. Ada
kemungkinan juga banyak orang percaya yang berasal dari orang Yahudi, dan
mereka sangat “anti” terhadap praktik penyembahan dewa-dewa kafir yang
dilakukan oleh bangsa lain seperti bangsa Yunani dan bangsa Romawi. Mereka
tidak akan mau menyentuh makanan yang sudah “dipersembahkan” kepada dewa lain
kepada Elohim Yahweh.
Namun jika kita melihat dalam bahasa
aslinya, ada kemungkinan bahwa ketiga anjuran tersebut juga bisa bermakna lain dan tidak hanya
sekedar terkait dengan makanan. Dalam bahasa aslinya, kata-kata di ayat 20
adalah sebagai berikut:
- Kata “makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala”, dalam bahasa aslinya adalah tōn alisgēmatōn tōn eidōlōn (τῶν ἀλισγημάτων τῶν εἰδώλων). Kata alisgēmatōn memiliki akar kata alisgéma (ἀλίσγημα) yang dapat berarti pollution, polluted thing (especially food), things contaminated (pencemaran, sesuatu yang tercemar (khususnya makanan), sesuatu yang terkontaminasi). Tercemar atau terkontaminasi dari apa? Kata eidōlōn memiliki makna berhala, tuhan yang palsu. Memang frasa tersebut dapat bermakna makanan yang “tercemar” karena telah dipersembahkan kepada berhala. Namun jika mau jujur, frasa ini juga dapat berarti kita harus menjauhkan diri dari pencemaran terhadap berhala. Mungkin ada di antara kita yang berkata: “Kan kita menyembah Tuhan Yesus, tidak menyembah patung, dewa, atau berhala lain”. Tapi kita yang sudah mulai belajar kebenaran tentu tidak akan sulit untuk menyimpulkan bahwa berhala tidak selalu memiliki bentuk patung dewa atau patung lain. Berhala adalah hal-hal yang menjadi prioritas atau sesuatu yang kita beri nilai tinggi atau sesuatu yang kita idolakan dan banggakan. Jika mau jujur, banyak hal yang mungkin bisa menjadi berhala bagi kita: uang, kekayaan, kedudukan, nama baik, harga diri, dan apapun yang tidak membuat Tuhan menjadi satu-satunya yang terutama dalam hidup kita. Kita harus waspada dan menjauhkan diri dari polusi-polusi itu yang akan mencemari hidup kita dan hubungan kita dengan Tuhan.
- Kata “daging binatang yang mati dicekik”, dalam bahasa aslinya adalah pniktou (πνικτοῦ) dari akar kata pniktos (πνικτός) yang dapat bermakna strangled, throttled, suffocated, an animal deprived of life without shedding its blood, an animal choked to death (dicekik, mati lemas, binatang yang diambil nyawanya tanpa menumpahkan darahnya, binatang yang dicekik sampai mati). Memang hal ini sangat mungkin terkait dengan makanan, tetapi hal ini juga bicara tentang praktik-praktik penyembelihan binatang yang tidak patut. Kebanyakan budaya di dunia ini telah mempraktikkan cara penyembelihan hewan yang baik, namun memang sebagian kecil kebudayaan yang membunuh binatang dengan cara yang “kurang pantas” seperti mencekik, menenggelamkan, dan lain sebagainya. Mungkin saja pada waktu itu ada praktik membunuh binatang dengan mencekik untuk kemudian dipersembahkan kepada dewa-dewa tertentu dan kemudian dimakan bersama. Jadi hal ini juga bisa diartikan supaya orang percaya tidak mengikuti kebiasaan-kebisaan orang lain (kemungkinan besar khususnya orang Romawi atau Yunani) yang tidak patut ditiru.
- Kata “darah” dalam bahasa aslinya adalah haimatos (αἵματος) dari akar kata haima (αἷμα) yang secara harafiah berarti darah atau penumpahan darah. Darah di sini tidak harus merujuk pada darah hewan/binatang, tetapi juga digunakan untuk merujuk darah manusia secara umum. Jadi kata darah di sini selain dapat diartikan tidak boleh memakan darah, juga dapat diartikan tidak boleh membunuh atau menumpahkan darah orang lain. Ingat bahwa pada waktu itu orang Kristen hidup di bawah pemerintahan kekaisaran Romawi yang memang memiliki budaya kekerasan yang cukup tinggi. Jika belajar sejarah gereja, orang Romawi tidak segan-segan memancung orang Kristen, menyiksa hingga mati, bahkan membuat orang Kristen menjadi makanan hewan-hewan buas. Anjuran untuk menjauhkan diri dari darah selain dapat berarti menjauhkan diri dari makanan yang mengandung darah, namun juga dapat berarti menjauhkan diri dari penumpahan darah, bahkan tidak boleh membalas penumpahan darah dengan penumpahan darah.
Cukuplah penjelasan di atas sebagai
suatu kemungkinan yang patut menjadi pertimbangan, karena sebagian kata-kata
dalam ayat 20 tersebut juga dapat memiliki makna selain makanan. Namun karena
fokus kita adalah mengenai kata pornos,
maka kita juga perlu melihat anjuran ke-4 yaitu supaya kita menjauhi
percabulan.
Jika 3 hal sebelumnya dapat diperdebatkan
apakah memang hanya terkait makanan atau juga memiliki makna lainnya yang
tersirat, maka untuk anjuran supaya umat percaya menjauhi percabulan sebenarnya
juga dapat memiliki makna yang tersurat maupun tersirat. Kata percabulan dalam
ayat ini menggunakan kata porneias
(πορνείας) dari akar kata porneia (πορνεία)
yang secara sederhana dapat diartikan sebagai fornication, whoredom (percabulan, persundalan), tetapi secara
metafora dapat juga bermakna idolatry
(pemujaan berhala, pemberhalaan).
Jika mau jujur, makna sederhana dari
keempat anjuran di ayat 20 ini adalah mengenai pengendalian makan/minum dan
seks. Secara ringkas hal itu berarti bahwa umat percaya dianjurkan untuk
menjauhi makanan/minuman yang tidak sehat serta kehidupan seks yang tidak sehat
pula. Jika mau jujur, hal ini sudah mulai langka dikhotbahkan di gereja-gereja
pada masa kini. Jarang ada gereja yang dengan tegas berkata: “Kita harus
menjaga pola makan kita supaya tubuh kita sehat dan memuliakan Tuhan”. Lebih
banyak gereja yang sekarang berkata: “Tuhan memberikan kita karunia untuk
menikmati, jadi kita boleh makan apa saja yang penting kita doakan sebelum
makan supaya apapun makanan yang masuk ke mulut kita menyehatkan”. Gereja tidak
mengajarkan jemaat untuk hidup bertanggung jawab dari hal kecil, yaitu dari
makanan dan minuman.
Terkait dengan percabulan (porneia), saat ini jika mau jujur,
semakin jarang gereja yang menyuarakan hidup suci dan menjaga kekudusan seks
(baik sebelum menikah maupun setelah menikah). Hamil sebelum menikah serta
praktik kawin cerai menjadi hal yang dipandang wajar di dalam jemaat. Bahkan
tidak jarang hal semacam itu justru dilakukan oleh para “petinggi” gereja
(pendeta, majelis, diaken, dan keluarga mereka). Sangat sulit mencari teladan
di antara para pemimpin gereja yang dapat dicontoh terkait kehidupan seksual
yang suci dan kudus ini. Gereja seperti menutup mata atas tantangan yang
dihadapi oleh generasi muda di gereja (pemuda, remaja, sekolah minggu) dan
tidak pernah mengajarkan tentang kesucian hidup dalam hal seks kepada orang-orang
muda. Begitu mereka salah melangkah dan terlibat dalam percabulan, maka gereja
dengan entengnya berkata: “Nasi sudah menjadi bubur, yang penting sekarang bagaimana
bubur itu bisa menjadi enak”. Gereja menjadi tumpul dan tidak berdaya, apalagi
jika yang tersandung kasus percabulan adalah keluarga “petinggi” gereja.
Jika terkait hal jasmani saja anjuran
para rasul tersebut sudah tidak lagi diperhatikan gereja, bagaimana jika ayat 20
tersebut dikaitkan dengan hal rohani? Nyaris tidak ada gereja-gereja yang mau
berlelah-lelah memberitakan Injil yang benar supaya orang percaya tidak terikat
dengan pemberhalaan. Di masa saat ini, berhala paling kuat adalah materialisme,
dimana orang percaya dapat dengan mudah mencintai dunia sehingga mereka tidak
lagi mau berjuang sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Jemaat berselingkuh dalam
percabulan dengan percintaan dunia, meskipun Alkitab jelas mengatakan bahwa
persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah (Yak 4:4). Perkataan
para rasul sekitar 2.000 tahun yang lalu hanya sebatas kata-kata belaka tanpa
adanya usaha dari sebagian besar orang percaya untuk menghidupinya di masa
modern saat ini.
Saat ini, banyak gereja lebih suka
mengkhotbahkan hal-hal minor lainnya seperti kesembuhan, berkat jasmani,
perlindungan Tuhan, doa yang dijawab, dan lain sebagainya. Mereka melupakan
bahkan mengabaikan hal yang mayor, yang sudah digumulkan dalam sebuah sidang oleh
bapa-bapa gereja sekitar 2.000 tahun yang lalu. Hal yang mayor adalah kita
menjaga diri kita dari makanan yang haram dan tidak sehat, serta dari
percabulan. Hal yang mayor adalah kita menjaga diri kita supaya tidak tercemar
oleh hal-hal yang menjadi berhala yang dapat mendukakan hati Tuhan (menjaga
kekudusan, menjaga perasaan Tuhan, dan lain sebagainya). Sayangnya, semakin ke
sini semakin sedikit gereja yang menyuarakan hal-hal yang mayor, dan mereka
lebih suka menyibukkan diri dengan hal-hal yang minor. Tidak jarang karena
hal-hal yang minor itu ada banyak perdebatan antar gereja dan pendeta, bahkan
sampai timbul perpecahan di antara umat Tuhan.
Bacaan
Alkitab: Kisah Para Rasul 15:1-21
15:1 Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada
saudara-saudara di situ: "Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat
yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan."
15:2 Tetapi Paulus dan Barnabas dengan keras melawan dan membantah pendapat
mereka itu. Akhirnya ditetapkan, supaya Paulus dan Barnabas serta beberapa
orang lain dari jemaat itu pergi kepada rasul-rasul dan penatua-penatua di
Yerusalem untuk membicarakan soal itu.
15:3 Mereka diantarkan oleh jemaat sampai ke luar kota, lalu mereka
berjalan melalui Fenisia dan Samaria, dan di tempat-tempat itu mereka
menceriterakan tentang pertobatan orang-orang yang tidak mengenal Allah. Hal
itu sangat menggembirakan hati saudara-saudara di situ.
15:4 Setibanya di Yerusalem mereka disambut oleh jemaat dan oleh rasul-rasul
dan penatua-penatua, lalu mereka menceriterakan segala sesuatu yang Allah
lakukan dengan perantaraan mereka.
15:5 Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi
percaya, datang dan berkata: "Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan
diwajibkan untuk menuruti hukum Musa."
15:6 Maka bersidanglah rasul-rasul dan penatua-penatua untuk membicarakan
soal itu.
15:7 Sesudah beberapa waktu lamanya berlangsung pertukaran pikiran mengenai
soal itu, berdirilah Petrus dan berkata kepada mereka: "Hai
saudara-saudara, kamu tahu, bahwa telah sejak semula Allah memilih aku dari
antara kamu, supaya dengan perantaraan mulutku bangsa-bangsa lain mendengar
berita Injil dan menjadi percaya.
15:8 Dan Allah, yang mengenal hati manusia, telah menyatakan kehendak-Nya
untuk menerima mereka, sebab Ia mengaruniakan Roh Kudus juga kepada mereka sama
seperti kepada kita,
15:9 dan Ia sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan
mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman.
15:10 Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan
pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk, yang tidak dapat dipikul, baik oleh
nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri?
15:11 Sebaliknya, kita percaya, bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus
Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga."
15:12 Maka diamlah seluruh umat itu, lalu mereka mendengarkan Paulus dan
Barnabas menceriterakan segala tanda dan mujizat yang dilakukan Allah dengan
perantaraan mereka di tengah-tengah bangsa-bangsa lain.
15:13 Setelah Paulus dan Barnabas selesai berbicara, berkatalah Yakobus:
"Hai saudara-saudara, dengarkanlah aku:
15:14 Simon telah menceriterakan, bahwa sejak semula Allah menunjukkan
rahmat-Nya kepada bangsa-bangsa lain, yaitu dengan memilih suatu umat dari
antara mereka bagi nama-Nya.
15:15 Hal itu sesuai dengan ucapan-ucapan para nabi seperti yang tertulis:
15:16 Kemudian Aku akan kembali dan membangunkan kembali pondok Daud yang
telah roboh, dan reruntuhannya akan Kubangun kembali dan akan Kuteguhkan,
15:17 supaya semua orang lain mencari Tuhan dan segala bangsa yang tidak
mengenal Allah, yang Kusebut milik-Ku demikianlah firman Tuhan yang melakukan
semuanya ini,
15:18 yang telah diketahui dari sejak semula.
15:19 Sebab itu aku berpendapat, bahwa kita tidak boleh menimbulkan
kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah,
15:20 tetapi kita harus menulis surat kepada mereka, supaya mereka
menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari
percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah.
15:21 Sebab sejak zaman dahulu hukum Musa diberitakan di tiap-tiap kota,
dan sampai sekarang hukum itu dibacakan tiap-tiap hari Sabat di rumah-rumah
ibadat."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.