Kamis, 28 September 2017
Bacaan
Alkitab: Lukas 18:9-14
Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku
mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain,
bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti
pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh
dari segala penghasilanku. (Luk 11:11-12)
Persepuluhan di dalam Alkitab (18): Tidak Boleh Digunakan
untuk Meninggikan dan Membenarkan Diri
Suka atau tidak suka, saat ini
persembahan persepuluhan cukup sering digunakan sebagai suatu “tolok ukur”
apakah jemaat di suatu gereja adalah jemaat yang taat atau tidak. Suka atau
tidak suka, gereja atau pendeta biasanya lebih menghargai jemaat yang rutin
memberikan persembahan persepuluhan. Apalagi jika jemaat tersebut juga terbiasa
menulis nama di amplop persembahan persepuluhan. Tidak heran jika di sejumlah
gereja, ada kelas-kelas atau kasta-kasta tertentu dalam jemaat. Tanpa disadari,
gereja atau pendeta akan lebih memberikan perhatian kepada orang-orang yang
persembahan persepuluhannya besar. Tentu jika mereka memberikan persembahan
persepuluhan dalam jumlah besar, maka jemaat tersebut pasti memiliki
penghasilan dan kekayaan yang besar pula.
Masih terkait dengan hal tersebut,
Tuhan Yesus mengingatkan agar orang percaya jangan menganggap dirinya benar dan
memandang rendah orang lain (ay. 9). Ini sebenarnya adalah peringatan secara
umum kepada orang percaya. Namun dalam konteks lebih sempit lagi kita akan
melihat bahwa peringatan ini juga dapat diaplikasikan dalam hal memberikan
persembahan (antara lain persembahan persepuluhan).
Tuhan Yesus memberikan gambaran 2 orang
yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa: 1 orang Farisi dan 1 lagi adalah
pemungut cukai (ay. 10). Ketika orang Farisi tersebut datang ke Bait Allah, ia
berdiri dan berdoa dalam hati (ay. 10). Sebenarnya berdoa dalam hati pun sudah
jauh lebih baik daripada berdoa dengan berkoar-koar dan dengan kata-kata yang
panjang supaya didengar dan dipuji oleh orang lain (Mat 6:5-7). Namun demikian,
ingat bahwa di masa Perjanjian Baru Tuhan Yesus tidak hanya mempersoalkan apa
yang terlihat (yaitu perkataan dan perbuatan), tetapi justru yang terpenting
adalah sikap hati yang benar di hadapan Tuhan. Orang Farisi tersebut walaupun
sudah berdoa dalam hati, tetapi ternyata isi doanya tidak berkenan di hadapan
Allah.
Dalam doanya, orang Farisi tersebut
ternyata berdoa demikian: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku
tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah
dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; aku berpuasa dua kali seminggu, aku
memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku” (ay. 11-12). Kata-kata dalam
doa orang Farisi tersebut sebenarnya bisa diartikan sebagai ucapan syukur jika dipahami
dalam konteks manusia dunia yang normal. Namun demikian, ternyata di mata Tuhan
itu adalah kata-kata yang sia-sia dan merendahkan orang lain bahkan menghina
Tuhan.
Orang Farisi tersebut mengucap syukur
kepada Tuhan, tetapi dasar pengucapan syukurnya adalah karena ia berbeda dengan
semua orang lain, ia bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, dan
bukan seperti pemungut cukai (sambil memandang pemungut cukai di dekatnya
tersebut) (ay. 11). Lebih lanjut ia juga berkata bahwa ia telah berpuasa 2 kali
seminggu, bahkan ia juga telah memberikan sepersepuluh dari segala
penghasilanku (ay. 12). Ingat bahwa persembahan persepuluhan yang diatur di
hukum Taurat adalah sepersepuluh dari hasil tanah (gandum, jelai, dan
buah-buahan) serta dari hasil ternak. Di masa Perjanjian Baru, orang Farisi juga
telah membuat “aturan baru” bahwa persembahan persepuluhan juga harus dipungut
dari sayuran yang terkecil sekalipun (Mat 23:23, Luk 11:42). Namun orang Farisi
di perikop ini ternyata bertindak lebih lagi dengan memberikan sepersepuluh
dari segala penghasilannya, atau dari semua hal yang diterimanya (ay. 12). Jika
sebelumnya tidak ada aturan mengenai persembahan persepuluhan dari hal lain
selain hasil tanah dan hasil ternak, tetapi orang Farisi ini telah
melakukannya, karena ia memberikan sepersepuluh dari segala apa yang diterima
(mungkin dari gaji yang diterima sebagai orang Farisi).
Di sisi lain, pemungut cukai tersebut
berdiri jauh-jauh dari si orang Farisi, bahkan ketika ia berdoa ia tidak berani
menengadah ke langit. Ia bahkan memukul-mukul diri dan berkata: “Ya Allah,
kasihanilah aku orang berdosa ini” (ay. 13). Tentu pemungut cukai tersebut
mengerti bahwa pekerjaannya adalah pekerjaan yang hina, karena ia bekerja untuk
pihak penjajah Romawi dan mungkin saja dalam pekerjaannya ada “godaan” untuk mengambil
apa yang bukan menjadi haknya. Di mata orang Yahudi apalagi di mata orang
Farisi dan ahli Taurat, pemungut cukai adalah pekerjaan yang sangat hina.
Dari perbandingan kedua orang tersebut
(orang Farisi dan pemungut cukai), ada perbedaan yang jelas amtara kedua orang
tersebut. Di pandangan bangsa Yahudi secara umum (apalagi di pandangan para pemimpin
agama Yahudi pada waktu itu), tentu sikap orang Farisi tersebut sangat terpuji
dan terhormat. Ia dipandang sebagai orang Yahudi yang sangat luar biasa dalam
hal ibadahnya. Bagaimana tidak, ia berpuasa dua kali seminggu, bahkan
memberikan persembahan persepuluhan yang “lebih” dari apa yang diatur dalam
hukum Taurat. Bukankah ini adalah orang Farisi yang teladan di mata manusia?
Tetapi di mata Tuhan tidaklah demikian.
Tuhan lebih melihat isi hatinya daripada apa yang dilakukan oleh orang Farisi
tersebut. Secara lahiriah, orang Farisi tersebut pantas menerima pujian dari
manusia, tetapi secara batiniah, sikap orang Farisi tersebut sangat tidak
berkenan di hadapan Tuhan. Tuhan Yesus berkata bahwa ketika pulang ke rumah, pemungut
cukai tersebut pulang sebagai orang yang dibenarkan Allah, sementara orang
Farisi itu tidak (ay. 14a). Seperti inilah perbedaan penilaian manusia dengan
penilaian Allah. Sayangnya, selama ini manusia lebih mementingkan apa yang
menjadi penilaian manusia daripada apa yang menjadi penilaian Allah. Tidak
heran bahwa di hari penghakiman nanti banyak orang Kristen (bahkan mereka yang
sudah mengusir setan demi nama Tuhan dan bernubuat sekalipun), yang kaget
mendengar penilaian dari Allah. Mengapa? Karena selama hidupnya di dunia,
mereka tidak pernah memperkarakan apa yang menjadi penilaian Allah. Mereka
hanya mementingkan pandangan dan penilaian manusia, sehingga keseharian hidup
mereka dihabiskan dengan bagaimana mereka dapat menyenangkan manusia dan bukan
menyenangkan Allah.
Ingat bahwa prinsip yang benar, yang
berkenan kepada Allah adalah: “Barangsiapa
meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan” (ay. 14b). Jadi dalam segala hal kita tidak boleh meninggikan
diri sendiri. Jemaat yang memberi persembahan dan juga persembahan persepuluhan
harus mengerti prinsip ini dengan benar. Tidak ada yang melarang kita
memberikan persembahan persepuluhan (10%), atau bahkan persembahan
persembilanpuluhan (90%) ke gereja kita. Namun sikap hati kita harus benar
terlebih dahulu. Jangan karena jumlah persembahan kita paling besar maka kita
menjadi tinggi hati di hadapan Tuhan. Ingat bahwa kita dapat memberikan
persembahan persepuluhan kita itu pun karena berkat Tuhan, bukan karena kuat
dan gagah kita sendiri.
Di sisi lain, gereja dan gembala
sidang/pendeta juga harus membuat suatu mekanisme supaya tidak terjadi peluang
bagi gereja untuk membeda-bedakan antara jemaat yang persembahannya banyak
dengan jemaat yang persembahannya sedikit. Jangan sampai misalnya kepada jemaat
yang persembahannya banyak, jika jemaat tersebut masuk angin maka gembala
sidang langsung datang menjenguk di rumahnya. Sementara ada jika jemaat yang
persembahannya sedikit masuk rumah sakit dan tidak mampu membayar, maka cukup
seksi diakonia yang membesuk. Atau misalnya gereja tidak mau mengeluarkan uang
untuk membiayai pemakaman jemaat yang miskin, tetapi dengan senang hati
mengeluarkan uang untuk buah tangan ketika membesuk jemaat yang kaya. Jika
demikian yang terjadi, sesungguhnya gereja sudah memandang bulu dan membeda-bedakan
jemaat berdasarkan status sosial dan jumlah persembahan jemaatnya. Jika
demikian, gereja tanpa disadari telah menghakimi jemaat dengan pikiran yang
jahat (Yak 2:4 & 9).
Oleh karena itu, kita harus menyadari betapa
berbahayanya potensi penyelewengan yang bisa disebabkan oleh persembahan,
khususnya persembahan persepuluhan. Ada pendeta yang bisa mengerti pendapatan
jemaatnya (dengan menghitung total penghasilan jemaatnya yaitu 10 kali lipat
jumlah persembahan persepuluhannya), dan menceritakannya di depan umum atau di
depan mimbar. Bukankah ini suatu sikap yang tidak pantas dan tidak patut
dilakukan oleh pemimpin jemaat? Mungkin saja jemaat yang penghasilannya tidak
sebesar orang tersebut maka ia akan menjadi minder. Oleh karena itu, mari kita
belajar dari apa yang Tuhan Yesus ajarkan, bahwa orang Kristen tidak boleh menjadi
tinggi hati, dan apapun yang berpotensi membuat kita tinggi hati dan
merendahkan orang lain harus kita waspadai. Jika kita memberikan persembahan
persepuluhan pun, berikan dengan segala kerendahan hati, jika perlu tanpa
memberikan nama dalam amplop persembahan kita. Berilah dengan benar, maka itu
akan menjadi suatu persembahan yang menyenangkan Bapa di surga (Mat 6:1).
Bacaan
Alkitab: Lukas 18:9-14
18:9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang
rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
18:10 "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang
adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
18:11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah,
aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain,
bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti
pemungut cukai ini;
18:12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari
segala penghasilanku.
18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani
menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah,
kasihanilah aku orang berdosa ini.
18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang
dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri,
ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan
ditinggikan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.