Sabtu, 10
Agustus 2019
Bacaan
Alkitab: Efesus 5:1-4
Tetapi
percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut saja pun jangan di
antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. (Ef 5:3)
Pornos dan Moichos (33): Tidak Patut Dilakukan oleh Mereka yang Mengaku sebagai Anak-anak
Allah
Bicara
tentang teladan, integritas, dan konsistensi, hal ini menjadi hal yang semakin
langka ditemukan dalam diri. Mengapa saya menulis seperti ini, karena kalau mau
jujur, di gereja kita sendiri saja, kita sudah sangat sulit menemukan sosok
orang yang bisa kita teladani. Tidak jarang para pelayan gereja, aktivis, pemain
musik, worship leader, bahkan pendeta sekalipun tidak bisa diteladani secara utuh. Belum
lagi bicara mengenai integritas dan konsistensi, hampir-hampir kita tidak dapat
menemukan orang yang bisa memberikan contoh bagaimana hidup dalam integritas
secara konsisten dari waktu ke waktu.
Memang
tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Akan tetapi menurut saya,
paling tidak mereka yang sudah mengaku sebagai orang Kristen, mengaku sebagai
anak-anak Allah, bahkan mengaku sebagai hamba Tuhan dan “juru bicara Tuhan”,
mereka seharusnya sudah memiliki standar hidup yang lebih tinggi dari orang-orang
di sekitarnya, sehingga dapat diteladani. Memang mereka tidak bisa sempurna
dalam segala hal, tetapi seorang harus bisa memberi teladan, minimal memberi
insipirasi kepada orang lain melalui kehidupannya yang baik, jika kita mengaku
sebagai anak-anak Allah.
Menjadi
anak-anak Allah bukan hanya sekedar status yang kita yakini di pikiran atau
nalar kita saja. Menjadi anak-anak Allah artinya kita menjadikan Allah sebagai
Bapa kita. Sebagai anak-anak Allah, kita harus belajar untuk menurut terhadap
apa yang Bapa inginkan. Kehendak Bapa harus menjadi satu-satunya hal yang kita
kerjakan. Percuma saja kita mengaku di mulut sebagai anak-anak Allah, menyebut
Allah dengan sebutan “Bapa”, berdoa dengan mengucapkan doa Bapa kami, akan
tetapi hidup kita tidak menjadi penurut-penurut Allah (ay. 1).
Sebagai
penurut-penurut Allah, maka kita harus hidup di dalam kasih karena Allah
sendiri adalah kasih (ay. 2a). Lebih lanjut, hal itu juga harus kita lakukan
karena Tuhan Yesus juga telah memberi teladan dalam hal mengasihi. Tuhan Yesus
telah mengasihi kita (dan bahkan mengasihi seluruh dunia) dengan cara
menyerahkan diri-Nya untuk mati menebus dosa kita semua (ay. 2b). Hidup-Nya
telah menjadi persembahan dan korban yang harum di hadapan Allah Bapa (ay. 2c).
Dalam hal ini, kita wajib meneladani Tuhan Yesus yang ketika dalam rupa manusia,
Ia berjuang untuk melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikannya hingga akhir.
Kita
tidak boleh hanya kagum terhadap karya penyelamatan Yesus di atas kayu salib,
yaitu ketika Ia berkorban sampai mati bagi penebusan dosa manusia. Akan tetapi,
kita harus dapat menghayati bagaimana Yesus berjuang sejak masa kecilnya (masa
kanak-kanak) untuk berkenan kepada Allah Bapa, bersedia untuk dibaptis, melakukan
bagian pelayanan-Nya selama hidupnya yang sekitar 33,5 tahun sejak kelahiran-Nya
di Betlehem, ke Nazaret, hingga ke bukit Golgota dan mati di sana. Jelas bahwa
perjuangan Yesus dimulai dari kehidupan-Nya sehari-hari, sehingga Ia bisa berkenan
di hadapan Allah, dan bahkan Allah sendiri menyatakan bahwa Ia adalah Anak-Nya
yang dikasihi.
Jelas
dalam hal ini Tuhan Yesus telah memberikan suatu teladan bagi kita, yaitu suatu
hidup yang penuh dengan integritas dalam perkataan, perbuatan, bahkan pemikiran,
serta adanya suatu konsistensi hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela
sepanjang hidupnya. Jelas bahwa Tuhan Yesus berjuang untuk berkenan kepada Allah
Bapa selama hidup-Nya sebagai manusia. Hal ini pula yang harus kita peragakan
dalam kehidupan kita. Dan jika kita memiliki kehidupan seperti hidupnya Tuhan Yesus,
maka pasti kehidupan kita juga akan menginspirasi orang lain yang ada di sekitar
kita.
Secara
praktis, Paulus menuliskan bahwa hidup orang percaya, yaitu mereka yang mengaku
diri sebagai anak-anak Allah haruslah mencerminkan kehidupan yang kudus, sama
seperti Allah adalah kudus adanya. Terkadang orang Kristen menggampangkan hal
ini, karena mereka menganggap bahwa darh Tuhan Yesus mampu menghapus dosa yang
dilakukan. Akibatnya, tidak jarang orang Kristen memiliki kehidupan yang tidak
memuliakan Tuhan, tetapi justru memalukan nama Tuhan. Tidak jarang orang-orang
yang memiliki nama-nama bercorak Kristen justru menjadi pelaku kejahatan,
bahkan kejahatan yang dikatakan memalukan. Tidak jarang mereka yang sudah
merasa “aman” karena menyangka bahwa sebagai anak-anak Allah maka mereka akan
selalu diampuni dosa-dosanya, tidak berniat untuk berjuang mengubah hidup supaya
menjadi semakin berkenan di hadapan Allah. Dalam hal ini, Paulus menulis
setidaknya ada tiga hal yang merupakan kejahatan, yang semuanya itu tidak patut
dilakukan oleh orang-orang percaya, bahkan sekedar disebut atau diperkatakan
saja sudah sangat tidak pantas. Ketiga hal itu adalah percabulan, rupa-rupa
kecemaran, serta keserakahan (ay. 3a).
Kata “percabulan”
dalam ayat ini menggunakan kata porneia (πορνεία), yang seperti telah kita bahas dalam renungan-renungan
sebelumnya, menggambarkan suatu tingkat percabulan yang sudah sangat parah,
bahkan jauh lebih parah daripada moichos/moicheuo. Kata porneia ini juga sudah disebut di dalam 2 Kor 12:21 dan Gal 5:19, yang menunjukkan
bahwa kemungkinan besar surat 2 Korintus, Galatia dan Efesus ini ditulis dalam
rentang waktu yang hampir berdekatan. Hal ini diperkuat dengan penggunaan kata
selanjutnya yaitu rupa-rupa kecemaran (atau dalam terjemahan lain: segala
kecemaran), dimana kata “kecemaran” dalam ayat ini menggunakan kata akatharsia (ἀκαθαρσία) yang juga digunakan
di 2 Kor 12:21 dan Gal 5:19.
Kata
ketiga yang disebut oleh Paulus adalah “keserakahan” yang dalam bahasa aslinya
menggunakan kata pleonexia (πλεονεξία). Kata ini memiliki makna “covetousness,
avarice, aggression, desire for advantage”
(ketamakan, keserakahan, kekikiran, mengambil milik orang lain dengan
kekerasan/paksaan, keinginan/bernafsu untuk mendapatkan keuntungan). Hal ini secara
umum menunjukkan sikap seseorang yang selalu ingin lebih, bahkan mengingini
milik orang lain dan kalau ada kesempatan, ia akan mengambil milik orang lain
itu dengan cara apapun sepanjang itu dapat menguntungkan dirinya. Jelas ia
tidak pernah berpikir mengenai perasaan Tuhan maupun kepentingan Tuhan. Yang
ada di dalam otak orang-orang seperti ini adalah bagaimana ia bisa memperoleh
keuntungan demi kepentingannya sendiri.
Oleh
karena itu, jika kita mengaku sebagai anak-anak Allah, orang percaya, bahkan orang
kudus atau umat yang kudus, kita tidak boleh sedikit pun memiliki karakter
seperti itu. Jangankan sampai ke level karakter, melakukannya sehingga kita diperkatakan/disebutkan
oleh orang lain saja sudah merupakan suatu hal yang seharusnya menohok diri
kita sendiri (ay. 3b). Kata “disebutkan” di dalam ayat ini menggunakan kata onomazó (ὀνομάζω), yang dapat diartikan
sebagai “to name, to give a name, to mention,
to call upon the name of” (memanggil, menyebut nama,
memberi nama, menyebutkan, memanggil dengan nama).
Jadi orang
percaya harusnya malu apabila mereka di gereja menyanyi “Kitalah umat pemenang”,
atau “Aku anak-anak Allah”, “Kitalah umat-Nya yang kudus”, dan lain sebagainya,
tetapi ketika berada di luar gereja, orang lain memberi nama kita dengan
sebutan lain. Sebutan lain di sini dalam artian sebutan atau sindiran karena
dosa yang kita lakukan, seperti percabulan, kecemaran, bahkan keserakahan. Adalah
lucu jika dalam suatu orang Kristen mengunggah status: “Bangga sebagai
anak-anak Allah” tetapi orang itu hidup dalam percabulan, perzinahan, maupun perselingkuhan.
Jika demikian, bisa jadi ada orang di luar gereja akan mencap orang Kristen
sebagai agama yang cabul, dan pasti juga akan berpendapat: “Oh, jadi begini ya orang
Kristen yang mengaku hidup sebagai anak-anak Allah. Apakah Allahnya orang
Kristen adalah Allah yang cabul? Kok hidup orang Kristen seperti ini?”.
Oleh
karena itu, saya agak bertolak belakang dengan kebanyakan pendeta terkait
penginjilan. Banyak pendeta berkata penginjilan/misi/istilah lainnya adalah mengabarkan
Injil dengan datang kepada orang lain lalu menceritakan tentang Yesus dan
bertanya: “Maukah bapak/ibu menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat?”.
Penginjilan yang sejati sesungguhnya jauh lebih dalam dari hal tersebut. Kita
semua dipanggil untuk menginjili orang lain. Dengan cara apa? Dengan cara
memiliki kehidupan yang berpadanan dengan Injil, sehingga orang di luar akan
berkata: “Kalau hidup orang Kristen betul-betul mulia seperti ini, pastilah
Allah yang disembah orang Kristen adalah Allah yang benar”. Sayangnya, jika
saya menyampaikan tentang hal ini, pasti akan banyak orang Kristen bahkan pendeta
yang mencibir pendapat ini. Padahal, jika mau jujur, mengapa jemaat mula-mula
begitu banyak menjangkau jiwa-jiwa, adalah karena jemaat mula-mula benar-benar
mengenakan hidup seperti Tuhan Yesus hidup, sehingga kehidupan mereka dapat
dilihat, dicontoh, dan diteladani dalam hal integritas dan konsistensinya.
Jemaat
mula-mula mungkin bukan orang-orang yang sukses secara karir, politik, maupun
finansial. Tetapi mereka benar-benar menampilkan kehidupan manusia yang agung
sebagai anak-anak Allah. Ketika mereka dianiaya, mereka tidak membalas. Ketika
mereka disiksa bahkan dibunuh, mereka menyambutnya dengan sukacita. Bagaimana
mungkin kehidupan yang ditampilkan ini tidak mengubah pandangan orang lain? Sejarah
mencatat bahwa pada akhirnya, karena kehidupan yang ditampilkan oleh jemaat
mula-mula pada akhirnya mulai menarik orang lain untuk juga menjadi orang Kristen,
yaitu orang-orang yang memiliki gaya hidup seperti Kristus. Meskipun mereka sangat
sering difitnah oleh kelompok-kelompok tertentu, tetapi keharuman hidup yang
dipancarkan tidak akan pernah padam namun semakin berbau harum.
Selain
tiga hal di ayat 3 tersebut, Paulus juga menuliskan pentingnya menjaga
perkataan kita. Orang percaya haruslah juga mengeluarkan perkataan yang
membangun. Mulut kita tidak boleh kita gunakan untuk mengucapkan perkataan yang
kotor, yang kosong, atau yang sembrono (ay. 4a). Dalam hal ini, kata “kotor”
menggunakan kata aischrotés (αἰσχρότης) yang bermakna “obscenity, indecency,
baseness, dishonor” (perkataan cabul/saru, tidak senonoh, menghina, mencemari,
memalukan). Sementara kata “kosong” menggunakan kata mórologia (μωρολογία) yang bermakna “foolish talking” (perkataan
yang bodoh, tanpa akal sehat). Sedangkan kata “sembrono” menggunakan kata eutrapelia (εὐτραπελία) yang bermakna “ready wit, coarse jesting, low jesting, ribaldry, pleasantry,
humor, facetiousness, scurrility” (jenaka, lelucon yang kasar,
lelucon yang bersifat rendahan, bahasa/ejekan kasar, olok-olok, lelucon,
kejenakaan, lelucon yang kasar/mesum).
Ketiga
kata di ayat 4a ini hanya muncul sekali dalam Alkitab Perjanjian Baru. Oleh
karena itu, kita tidak boleh terpaku akan makna harafiah dari kata-kata
tersebut. Kita harus melihat secara lebih luas mengenai mengapa Paulus menggunakan
kata tersebut dalam ayat ini. Dari kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya, jelas
Paulus hendak menekankan adanya teladan, integritas dan konsistensi dalam
perbuatan/tindakan orang percaya (ay. 3a) serta dalam perkataan orang percaya
(ay. 4a). Oleh karena itu, meskipun kita selaku orang percaya tidak sampai
melakukan percabulan, tetapi perkataan kita juga harus kita jaga supaya jangan
ada perkataan cabul yang keluar dari mulut kita. Integritas tidak hanya bicara
tentang apa yang kita katakan di atas mimbar gereja (atau di dalam gereja),
tetapi juga apakah kelakukan kita di luar
gereja juga sesuai dengan apa yang kita katakan. Jangan sampai perkataan kita
tidak sesuai dengan kelakuan kita, begitu pula sebaliknya. Jangan sampai
perkataan dan kelakuan kita memalukan nama Tuhan. Sebaliknya, hidup kita harus
benar-benar menjadi suatu bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan, bahkan yang
lebih baik lagi, orang-orang di sekitar kita dapat mengucap syukur kepada Tuhan
karena kehadiran kita yang membawa damai dan menjadi berkat bagi lingkungan
sekitar kita (ay. 4b).
Bacaan
Alkitab: Efesus 5:1-4
5:1
Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih
5:2 dan
hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu
dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang
harum bagi Allah.
5:3
Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut saja pun jangan
di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus.
5:4 Demikian juga perkataan
yang kotor, yang kosong atau yang sembrono -- karena hal-hal ini tidak pantas
-- tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.