Jumat, 09 Agustus 2019

Pornos dan Moichos (33): Tidak Patut Dilakukan oleh Mereka yang Mengaku sebagai Anak-anak Allah

Sabtu, 10 Agustus 2019
Bacaan Alkitab: Efesus 5:1-4
Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut saja pun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. (Ef 5:3)


Pornos dan Moichos (33): Tidak Patut Dilakukan oleh Mereka yang Mengaku sebagai Anak-anak Allah


Bicara tentang teladan, integritas, dan konsistensi, hal ini menjadi hal yang semakin langka ditemukan dalam diri. Mengapa saya menulis seperti ini, karena kalau mau jujur, di gereja kita sendiri saja, kita sudah sangat sulit menemukan sosok orang yang bisa kita teladani. Tidak jarang para pelayan gereja, aktivis, pemain musik, worship leader, bahkan pendeta sekalipun tidak bisa diteladani secara utuh. Belum lagi bicara mengenai integritas dan konsistensi, hampir-hampir kita tidak dapat menemukan orang yang bisa memberikan contoh bagaimana hidup dalam integritas secara konsisten dari waktu ke waktu.

Memang tidak ada manusia yang sempurna dalam segala hal. Akan tetapi menurut saya, paling tidak mereka yang sudah mengaku sebagai orang Kristen, mengaku sebagai anak-anak Allah, bahkan mengaku sebagai hamba Tuhan dan “juru bicara Tuhan”, mereka seharusnya sudah memiliki standar hidup yang lebih tinggi dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dapat diteladani. Memang mereka tidak bisa sempurna dalam segala hal, tetapi seorang harus bisa memberi teladan, minimal memberi insipirasi kepada orang lain melalui kehidupannya yang baik, jika kita mengaku sebagai anak-anak Allah.

Menjadi anak-anak Allah bukan hanya sekedar status yang kita yakini di pikiran atau nalar kita saja. Menjadi anak-anak Allah artinya kita menjadikan Allah sebagai Bapa kita. Sebagai anak-anak Allah, kita harus belajar untuk menurut terhadap apa yang Bapa inginkan. Kehendak Bapa harus menjadi satu-satunya hal yang kita kerjakan. Percuma saja kita mengaku di mulut sebagai anak-anak Allah, menyebut Allah dengan sebutan “Bapa”, berdoa dengan mengucapkan doa Bapa kami, akan tetapi hidup kita tidak menjadi penurut-penurut Allah (ay. 1).

Sebagai penurut-penurut Allah, maka kita harus hidup di dalam kasih karena Allah sendiri adalah kasih (ay. 2a). Lebih lanjut, hal itu juga harus kita lakukan karena Tuhan Yesus juga telah memberi teladan dalam hal mengasihi. Tuhan Yesus telah mengasihi kita (dan bahkan mengasihi seluruh dunia) dengan cara menyerahkan diri-Nya untuk mati menebus dosa kita semua (ay. 2b). Hidup-Nya telah menjadi persembahan dan korban yang harum di hadapan Allah Bapa (ay. 2c). Dalam hal ini, kita wajib meneladani Tuhan Yesus yang ketika dalam rupa manusia, Ia berjuang untuk melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikannya hingga akhir.

Kita tidak boleh hanya kagum terhadap karya penyelamatan Yesus di atas kayu salib, yaitu ketika Ia berkorban sampai mati bagi penebusan dosa manusia. Akan tetapi, kita harus dapat menghayati bagaimana Yesus berjuang sejak masa kecilnya (masa kanak-kanak) untuk berkenan kepada Allah Bapa, bersedia untuk dibaptis, melakukan bagian pelayanan-Nya selama hidupnya yang sekitar 33,5 tahun sejak kelahiran-Nya di Betlehem, ke Nazaret, hingga ke bukit Golgota dan mati di sana. Jelas bahwa perjuangan Yesus dimulai dari kehidupan-Nya sehari-hari, sehingga Ia bisa berkenan di hadapan Allah, dan bahkan Allah sendiri menyatakan bahwa Ia adalah Anak-Nya yang dikasihi.

Jelas dalam hal ini Tuhan Yesus telah memberikan suatu teladan bagi kita, yaitu suatu hidup yang penuh dengan integritas dalam perkataan, perbuatan, bahkan pemikiran, serta adanya suatu konsistensi hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela sepanjang hidupnya. Jelas bahwa Tuhan Yesus berjuang untuk berkenan kepada Allah Bapa selama hidup-Nya sebagai manusia. Hal ini pula yang harus kita peragakan dalam kehidupan kita. Dan jika kita memiliki kehidupan seperti hidupnya Tuhan Yesus, maka pasti kehidupan kita juga akan menginspirasi orang lain yang ada di sekitar kita.

Secara praktis, Paulus menuliskan bahwa hidup orang percaya, yaitu mereka yang mengaku diri sebagai anak-anak Allah haruslah mencerminkan kehidupan yang kudus, sama seperti Allah adalah kudus adanya. Terkadang orang Kristen menggampangkan hal ini, karena mereka menganggap bahwa darh Tuhan Yesus mampu menghapus dosa yang dilakukan. Akibatnya, tidak jarang orang Kristen memiliki kehidupan yang tidak memuliakan Tuhan, tetapi justru memalukan nama Tuhan. Tidak jarang orang-orang yang memiliki nama-nama bercorak Kristen justru menjadi pelaku kejahatan, bahkan kejahatan yang dikatakan memalukan. Tidak jarang mereka yang sudah merasa “aman” karena menyangka bahwa sebagai anak-anak Allah maka mereka akan selalu diampuni dosa-dosanya, tidak berniat untuk berjuang mengubah hidup supaya menjadi semakin berkenan di hadapan Allah. Dalam hal ini, Paulus menulis setidaknya ada tiga hal yang merupakan kejahatan, yang semuanya itu tidak patut dilakukan oleh orang-orang percaya, bahkan sekedar disebut atau diperkatakan saja sudah sangat tidak pantas. Ketiga hal itu adalah percabulan, rupa-rupa kecemaran, serta keserakahan (ay. 3a).

Kata “percabulan” dalam ayat ini menggunakan kata porneia (πορνεία), yang seperti telah kita bahas dalam renungan-renungan sebelumnya, menggambarkan suatu tingkat percabulan yang sudah sangat parah, bahkan jauh lebih parah daripada moichos/moicheuo. Kata porneia ini juga sudah disebut di dalam 2 Kor 12:21 dan Gal 5:19, yang menunjukkan bahwa kemungkinan besar surat 2 Korintus, Galatia dan Efesus ini ditulis dalam rentang waktu yang hampir berdekatan. Hal ini diperkuat dengan penggunaan kata selanjutnya yaitu rupa-rupa kecemaran (atau dalam terjemahan lain: segala kecemaran), dimana kata “kecemaran” dalam ayat ini menggunakan kata akatharsia (ἀκαθαρσία) yang juga digunakan di 2 Kor 12:21 dan Gal 5:19.

Kata ketiga yang disebut oleh Paulus adalah “keserakahan” yang dalam bahasa aslinya menggunakan kata pleonexia (πλεονεξία). Kata ini memiliki makna “covetousness, avarice, aggression, desire for advantage” (ketamakan, keserakahan, kekikiran, mengambil milik orang lain dengan kekerasan/paksaan, keinginan/bernafsu untuk mendapatkan keuntungan). Hal ini secara umum menunjukkan sikap seseorang yang selalu ingin lebih, bahkan mengingini milik orang lain dan kalau ada kesempatan, ia akan mengambil milik orang lain itu dengan cara apapun sepanjang itu dapat menguntungkan dirinya. Jelas ia tidak pernah berpikir mengenai perasaan Tuhan maupun kepentingan Tuhan. Yang ada di dalam otak orang-orang seperti ini adalah bagaimana ia bisa memperoleh keuntungan demi kepentingannya sendiri.

Oleh karena itu, jika kita mengaku sebagai anak-anak Allah, orang percaya, bahkan orang kudus atau umat yang kudus, kita tidak boleh sedikit pun memiliki karakter seperti itu. Jangankan sampai ke level karakter, melakukannya sehingga kita diperkatakan/disebutkan oleh orang lain saja sudah merupakan suatu hal yang seharusnya menohok diri kita sendiri (ay. 3b). Kata “disebutkan” di dalam ayat ini menggunakan kata onomazó (ὀνομάζω), yang dapat diartikan sebagai “to name, to give a name, to mention, to call upon the name of” (memanggil, menyebut nama, memberi nama, menyebutkan, memanggil dengan nama).

Jadi orang percaya harusnya malu apabila mereka di gereja menyanyi “Kitalah umat pemenang”, atau “Aku anak-anak Allah”, “Kitalah umat-Nya yang kudus”, dan lain sebagainya, tetapi ketika berada di luar gereja, orang lain memberi nama kita dengan sebutan lain. Sebutan lain di sini dalam artian sebutan atau sindiran karena dosa yang kita lakukan, seperti percabulan, kecemaran, bahkan keserakahan. Adalah lucu jika dalam suatu orang Kristen mengunggah status: “Bangga sebagai anak-anak Allah” tetapi orang itu hidup dalam percabulan, perzinahan, maupun perselingkuhan. Jika demikian, bisa jadi ada orang di luar gereja akan mencap orang Kristen sebagai agama yang cabul, dan pasti juga akan berpendapat: “Oh, jadi begini ya orang Kristen yang mengaku hidup sebagai anak-anak Allah. Apakah Allahnya orang Kristen adalah Allah yang cabul? Kok hidup orang Kristen seperti ini?”.

Oleh karena itu, saya agak bertolak belakang dengan kebanyakan pendeta terkait penginjilan. Banyak pendeta berkata penginjilan/misi/istilah lainnya adalah mengabarkan Injil dengan datang kepada orang lain lalu menceritakan tentang Yesus dan bertanya: “Maukah bapak/ibu menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat?”. Penginjilan yang sejati sesungguhnya jauh lebih dalam dari hal tersebut. Kita semua dipanggil untuk menginjili orang lain. Dengan cara apa? Dengan cara memiliki kehidupan yang berpadanan dengan Injil, sehingga orang di luar akan berkata: “Kalau hidup orang Kristen betul-betul mulia seperti ini, pastilah Allah yang disembah orang Kristen adalah Allah yang benar”. Sayangnya, jika saya menyampaikan tentang hal ini, pasti akan banyak orang Kristen bahkan pendeta yang mencibir pendapat ini. Padahal, jika mau jujur, mengapa jemaat mula-mula begitu banyak menjangkau jiwa-jiwa, adalah karena jemaat mula-mula benar-benar mengenakan hidup seperti Tuhan Yesus hidup, sehingga kehidupan mereka dapat dilihat, dicontoh, dan diteladani dalam hal integritas dan konsistensinya.

Jemaat mula-mula mungkin bukan orang-orang yang sukses secara karir, politik, maupun finansial. Tetapi mereka benar-benar menampilkan kehidupan manusia yang agung sebagai anak-anak Allah. Ketika mereka dianiaya, mereka tidak membalas. Ketika mereka disiksa bahkan dibunuh, mereka menyambutnya dengan sukacita. Bagaimana mungkin kehidupan yang ditampilkan ini tidak mengubah pandangan orang lain? Sejarah mencatat bahwa pada akhirnya, karena kehidupan yang ditampilkan oleh jemaat mula-mula pada akhirnya mulai menarik orang lain untuk juga menjadi orang Kristen, yaitu orang-orang yang memiliki gaya hidup seperti Kristus. Meskipun mereka sangat sering difitnah oleh kelompok-kelompok tertentu, tetapi keharuman hidup yang dipancarkan tidak akan pernah padam namun semakin berbau harum.

Selain tiga hal di ayat 3 tersebut, Paulus juga menuliskan pentingnya menjaga perkataan kita. Orang percaya haruslah juga mengeluarkan perkataan yang membangun. Mulut kita tidak boleh kita gunakan untuk mengucapkan perkataan yang kotor, yang kosong, atau yang sembrono (ay. 4a). Dalam hal ini, kata “kotor” menggunakan kata aischrotés (αἰσχρότης) yang bermakna “obscenity, indecency, baseness, dishonor” (perkataan cabul/saru, tidak senonoh, menghina, mencemari, memalukan). Sementara kata “kosong” menggunakan kata mórologia (μωρολογία) yang bermakna “foolish talking” (perkataan yang bodoh, tanpa akal sehat). Sedangkan kata “sembrono” menggunakan kata eutrapelia (εὐτραπελία) yang bermakna “ready wit, coarse jesting, low jesting, ribaldry, pleasantry, humor, facetiousness, scurrility” (jenaka, lelucon yang kasar, lelucon yang bersifat rendahan, bahasa/ejekan kasar, olok-olok, lelucon, kejenakaan, lelucon yang kasar/mesum).

Ketiga kata di ayat 4a ini hanya muncul sekali dalam Alkitab Perjanjian Baru. Oleh karena itu, kita tidak boleh terpaku akan makna harafiah dari kata-kata tersebut. Kita harus melihat secara lebih luas mengenai mengapa Paulus menggunakan kata tersebut dalam ayat ini. Dari kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya, jelas Paulus hendak menekankan adanya teladan, integritas dan konsistensi dalam perbuatan/tindakan orang percaya (ay. 3a) serta dalam perkataan orang percaya (ay. 4a). Oleh karena itu, meskipun kita selaku orang percaya tidak sampai melakukan percabulan, tetapi perkataan kita juga harus kita jaga supaya jangan ada perkataan cabul yang keluar dari mulut kita. Integritas tidak hanya bicara tentang apa yang kita katakan di atas mimbar gereja (atau di dalam gereja), tetapi  juga apakah kelakukan kita di luar gereja juga sesuai dengan apa yang kita katakan. Jangan sampai perkataan kita tidak sesuai dengan kelakuan kita, begitu pula sebaliknya. Jangan sampai perkataan dan kelakuan kita memalukan nama Tuhan. Sebaliknya, hidup kita harus benar-benar menjadi suatu bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan, bahkan yang lebih baik lagi, orang-orang di sekitar kita dapat mengucap syukur kepada Tuhan karena kehadiran kita yang membawa damai dan menjadi berkat bagi lingkungan sekitar kita (ay. 4b).



Bacaan Alkitab: Efesus 5:1-4
5:1 Sebab itu jadilah penurut-penurut Allah, seperti anak-anak yang kekasih
5:2 dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.
5:3 Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut saja pun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus.
5:4 Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono -- karena hal-hal ini tidak pantas -- tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.