Kamis, 15 Agustus 2019

Pornos dan Moichos (36): Menjauhkan Diri dari Percabulan dan Hidup dalam Pengudusan


Kamis, 15 Agustus 2019
Bacaan Alkitab: 1 Tesalonika 4:1-7
Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan (1 Tes 4:3)


Pornos dan Moichos (36): Menjauhkan Diri dari Percabulan dan Hidup dalam Pengudusan


Dari penelusuran saya selama membuat serial mengenai kata pornos dan moichos ini, saya melihat bahwa hampir semua jemaat di zaman Perjanjian Baru yang mendapatkan surat dari Paulus, sedikit banyak ada kaitannya dengan praktik percabulan di dalamnya. Salah satu yang “terparah” adalah jemaat di Korintus, dimana kita sudah membahasnya dengan lengkap dalam renungan-renungan sebelumnya. Namun demikian, jemaat di Tesalonika juga memperoleh perhatian Paulus dalam hal ini.

Paulus menulis 2 surat kepada jemaat di Tesalonika, yang pada intinya Paulus meminta jemaat tersebut untuk hidup berkenan kepada Allah (ay. 1a). Dalam pasal-pasal sebelumnya Paulus telah banyak menulis mengenai bagaimana orang percaya harus hidup dan menjauhi dosa serta hal-hal duniawi lainnya. Memang jemaat di Tesalonika telah menurutinya selama ini, tetapi Paulus meminta agar jemaat Tesalonika melakukan dengan lebih sungguh-sungguh lagi. Dalam hal ini Paulus mengingatkan jemaat agar mereka hidup berkenan bukan karena ada Paulus yang mengingatkan, atau karena sungkan dengan para pemimpin jemaat. Setiap orang harus berusaha hidup berkenan di hadapan Bapak arena mereka sadar bahwa itu memang yang seharusnya dilakukan oleh orang percaya.

Paulus sudah berusaha keras mengingatkan jemaat-jemaat di berbagai daerah untuk dapat hidup berkenan di hadapan Bapa. Paulus bahkan memberikan petunjuk-petunjuk kepada jemaat Tesalonika untuk membantu mereka hidup dalam kebenaran. Kata petunjuk dalam ayat 2 ini menggunakan kata paraggelia (παραγγελία) yang memiliki arti “a command, charge, injunction, instruction, precept, rule of living” (perintah, komando, tuntutan, keputusan, instruksi, petunjuk, pedoman, aturan hidup). Jelas bahwa di sini Paulus tidak hanya berbicara mengenai hal-hal yang bersifat samar, tetapi tentu dengan hal-hal yang bersifat jelas bahkan sangat praktis. Tidak mungkin petunjuk yang disampaikan hanyalah berupa konsep-konsep teologi, tetapi pastilah merupakan suatu petunjuk atau pedoman mengenai hal-hal yang harus dilakukan oleh jemaat dalam hidup mereka sehari-hari.

Oleh karena itu Paulus melanjutkan kalimatnya dengan menyatakan bahwa adalah kehendak Allah bagi jemaat-Nya agar mereka melakukan pengudusan diri atau hidup dalam kekudusan (ay. 3a). Kata pengudusan di sini menggunakan kata hagiasmos (ἁγιασμός) yang tidak hanya memiliki makna the process of making or becoming holy (proses untuk membuat atau menjadikan kudus), tetapi juga  bermakna set apart (dipisahkan dari yang lain). Tentu dalam hal ini Tuhan ingin membentuk suatu umat yang kudus, artinya adalah umat yang dipisahkan dari hal-hal yang biasa dan digunakan untuk hal-hal yang luar biasa, yaitu untuk memuliakan Tuhan.

Dalam Perjanjian Lama, kita melihat adanya benda-benda yang menjadi kudus, misalnya pakaian kudus (Kel 28:2), mezbah kudus( Kel 29:38), minyak urapan kudus (Kel 30:24, bahkan Bait Kudus atau Bait Suci. Semua benda yang disebutkan sebagai benda kudus adalah benda-benda yang sudah tidak lagi digunakan untuk hal-hal lain seperti pada umumnya. Minyak urapan yang kudus misalnya, sudah tidak boleh lagi digunakan untuk mengurapi orang biasa. Minyak itu hanya digunakan untuk hal-hal khusus, walaupun bahan dari minyak itu sebenarnya sama dengan minyak lainnya (minyak biasa). Demikian pula dengan kita. Ketika Tuhan menginginkan kita untuk hidup kudus, maka Tuhan ingin kita tidak lagi melakukan hal-hal yang sama dengan orang lain, tetapi kita harus hidup menurut standar Tuhan meskipun secara manusia kita mungkin masih sama dengan yang lain (masih makan 3 kali sehari, masih sekolah, masih bekerja di kantor, dan lain sebagainya). Namun dalam setiap aspek hidup kita: makan, sekolah, bekerja, dan lain sebagainya, semua kita lakukan demi kemuliaan nama Tuhan.

Itulah sebabnya Paulus menambahkan lagi apakah pengertian pengudusan dalam konteks yang lebih spesifik, dengan contoh yang jelas. Dalam hal ini Paulus mengambil contoh mengenai percabulan (porneia/πορνεία) yang menunjukkan tingkatan percabulan yang sudah sangat parah, jauh melebihi tingkatan moicheuo/moichos. Terhadap porneia ini Paulus menulis dengan tegas supaya kita menjauhinya (ay. 3b). Apakah kita cukup menjauhi percabulan, misalnya bagi para pria dengan cara meminta para wanita menutup tubuhnya dengan rapat supaya kita tidak tergoda terhadap wanita tersebut? Ataukah para pria harus pergi menyendiri di gua supaya tidak bertemu dengan lawan jenis? Ataukah supaya apan para pria harus duduk terpisah dengan wanita sehingga tidak ada godaan percabulan?

Dalam bahasa aslinya, kata “menjauhi” dalam ayat 3 ini menggunakan kata apechesthai (ἀπέχεσθαι) dari akar kata apechó (ἀπέχω) yang memiliki makna “to hold back, keep off, to be away, be distant” (menahan diri, menghindari, menjauhi, pergi dari, menjaga jarak). Paulus merasa bahwa salah satu tantangan jemaat mula-mula pada zamannya adalah mengenai praktik percabulan yang mungkin juga sudah masuk ke dalam jemaat. Kita sudah melihat hal ini terutama pada jemaat di Korintus. Namun ternyata jemaat di kota-kota lain juga memiliki permasalahan yang hampir sama, seperti Galatia, Efesus, dan juga kota Tesalonika ini. Hal ini berarti Paulus memandang percabulan sebagai hal yang berpotensi sangat  merusak jemaat, karena membuat  jemaat menjadi tidak kudus. Jika jemaat pada waktu itu masih hidup dalam percabulan, maka apa bedanya dengan orang lain pada umumnya? Jika jemaat masih hidup dalam percabulan maka kata “kekudusan” yang digaungkan oleh Paulus dan jemaat hanya akan menjadi slogan kosong biasa yang tidak memiliki makna.

Oleh karena itu, terkait dengan petunjuk yang diberikan oleh Paulus tersebut, Paulus dalam ayat selanjutnya menulis bagaimana jemaat (khususnya jemaat pria) harus hidup menjauhi percabulan. Salah satu petunjuk praktis yang disampaikan oleh Paulus adalah supaya setiap orang mengambil seorang perempuan menjadi istri mereka sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan (ay. 4). Salah satu solusi menjauhi percabulan adalah dengan cara setiap laki-laki harus memiliki seorang perempuan (bukan dua, tiga atau empat orang) menjadi istri mereka masing-masing. Mereka harus sadar akan hakikat pernikahan sehingga tidak akan mengganggu dan tergoda dengan wanita lain apalagi yang sudah menjadi istri orang lain.

Menariknya, dalam ayat 4 ini, kalimat “mengambil seorang perempuan menjadi istrimu sendiri” masih memiliki makna yang membingungkan. Dalam sejumlah terjemahan bahasa Inggris seperti NIV, KJV, NASB dan terjemahan lainnya, sama sekali tidak ada kata “perempuan” maupun “istri”. Sejumlah Alkitab terjemahan bahasa Inggris menggunakan kalimat sebagai berikut: “that each of you know how to possess his own vessel” atau “that each of you should learn to control his own body”. Jika saya melakukan terjemahan bebas, maka kalimat itu akan berbunyi demikian: “sehingga masing-masing dari antaramu harus mengerti bagaimana menguasai/mengendalikan tubuhnya/bejananya”.

Dapat dibayangkan bagaimana orang yang tidak belajar Alkitab dengan dalam dapat “terjebak” ketika membaca ayat 4 ini. Saya yakin para penerjemah LAI pada waktu membuat terjemahan Alkitab dalam bahasa Indonesia juga tidak bermaksud menyesatkan. Karena kata istri dalam ayat ini tidak menggunakan kata yang umum digunakan yaitu guné (γυνή) tetapi menggunakan kata skeuos (σκεῦος) yang selain bermakna harafiah “a vessel, implement, utensil” (wadah, bejana, peralatan, perlengkapan, barang perabot), namun juga dapat memiliki makna figuratif yaitu “specially, a wife as contributing to the usefulness of the husband” (secara khusus, menggambarkan seorang istri yang ‘menambah’ daya guna dari suaminya).

Selain kata skeuos yang sudah saya uraikan di atas, dalam ayat 4 ini juga ada suatu kata ktasthai (κτᾶσθαι) dari akar kata ktaomai (κτάομαι) yang memiliki makna harafiah berupa “to acquire, to win, to possess, to win mastery over” (memperoleh, menang, memiliki, menguasai, memenangi penguasaan atas sesuatu). Walaupun memang kata skeuos dan ktaomai ini dapat merujuk kepada peran istri sebagai “bejana atau perabot” bagi seorang suami, namun saya sendiri cenderung lebih condong memaknai ayat 4 ini dalam kaitannya bagiamana seseorang mengendalikan atau menguasai tubuhnya dalam pengertian tubuh itu sebagai suatu bejana.

Dalam konteks percabulan, memang salah satu solusi untuk menguasai diri adalah dengan cara menikahi seorang mperempuan menjadi istrinya, dan bukan dengan cara melakukan percabulan dengan para pelacur. Dalam hal ini pernikahan menjadi salah satu contoh untuk menguasai diri dan bukan satu-satunya jalan keluar untuk tidak terlibat dalam percabulan. Oleh karena itu saya secara pribadi sangat menentang jika ada orang yang mau menikah hanya karena alasan: “supaya tidak jatuh dalam dosa”, “supaya tidak berbuat percabulan”, “supaya sudah sah kalau mau berhubungan seks”, dan alasan-alasan semacam itu. Seorang yang sudah menikah sekalipun, kalau tidak bisa menguasai tubuhnya (atau bejananya) maka sangat mungkin bisa jatuh dalam dosa percabulan juga. Oleh karena itu ayat 4 ini menurut saya harus lebih dilihat dari penekanan terhadap penguasaan diri dan bukan sekedar digunakan untuk melegalisasi suatu pernikahan, supaya hidup kudus dan jauh dari percabulan. Suatu pernikahan yang dibangun atas dasar yang tidak jelas, berpotensi rusak di masa yang akan datang.

Tidak ada jaminan bahwa orang yang pernikahannya diberkati di gereja, dengan acara resepsi yang mewah maka pernikahan tersebut pasti bebas dari masalah, apalagi masalah percabulan. Itulah sebabnya Paulus menambahkan kalimat di ayat 4 (yang sering luput dari perhatian jemaat) yaitu agar jemaat melakukannya di dalam pengudusan dan penghormatan (ay. 4b). Jika kalimat sebelumnya hanya dipandang sesuai apa yang tertulis dalam Alkitab Bahasa Indonesia, maka kita mungkin hanya terpaku pada prinsip bahwa: supaya tidak jatuh dalam percabulan, maka orang sebaiknya menikah. Lalu jika seseorang sudah menikah, maka hiduplah dalam pernikahan yang disertai dengan pengudusan dan saling menghormati satu sama lain antara suami dan istri.

Prinsip tersebut memang tidak sepenuhnya salah. Hal itu juga sudah merupakan hal yang luar biasa dan sudah sangat  baik dikhotbahkan di atas mimbar, apalagi dalam acara pemberkatan nikah. Namun jika kita mau melihat kepada makna aslinya dimana kita harus menguasai diri (dan tidak harus dalam bentuk menikah, karena menikah adalah salah satu bentuk penguasaan diri tersebut), maka kita akan mengerti bahwa sesungguhnya kita harus menguasai diri kita sendiri dalam pengudusan dan penghormatan. Apa yang dimaksud dalam pengudusan dan penghormatan di ayat ini?

Kata pengudusan di ayat 4 ini menggunakan kata hagiasmos, kata yang sama yang digunakan di ayat 3 (ayat sebelumnya yang berbicara mengenai kehendak Tuhan) dan juga nanti digunakan pula di ayat 7. Jelas bahwa Tuhan ingin akita sebagai anak-anak-Nya untuk menjadi anak-anak atau umat yang kudus, yang dipisahkan dari dunia. Oleh karena itu, tentu dalam konteks menguasai diri dari percabulan, tubuh kita harus kita kuasai dengan kesadaran bahwa kita harus menjaga hidup kita sebagai hidup yang kudus. Sedangkan kata penghormatan menggunakan kata timé (τιμή) yang bermakna “a valuing, price, honor, preciousness” (nilai/penilaian, harga, kehormatan, keberhargaan). Jadi kita menguasai diri kita dalam pengudusan (misalnya dengan cara menjauhi percabulan), adalah karena kita menghormati Tuhan dan memberi nilai tertinggi bagi Tuhan. Oleh karena itu, saya secara pribadi lebih melihat ayat 4 ini dalam konteks menghormati Tuhan, dan bukan hanya sekedar menghormati pasangan kita. Tentu orang yang menghormati Tuhan dengan benar pasti juga akan menghormati orang lain (termasuk pasangannya) secara proporsional.

Dalam ayat selanjutnya hal itu akan nampak lebih jelas lagi. Dalam ayat 5 tertulis bahwa “bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah” (ay. 5). Jika ayat 4 hanya diartikan dalam penekanan pernikahan sebagai satu-satunya solusi, dan orang harus hidup dalam pengudusan dan penghormatan dengan pasangannya, maka ayat 5 ini akan menjadi lebih sulit untuk dijelaskan. Jika ayat 4 dipandang sebagai cara untuk menguasai diri supaya dapat hidup kudus di hadapan Bapa (khususnya dalam hal menjauhi percabulan), maka ayat 5 ini tidak hanya berbicara tentang konteks di dalam pernikahan saja, tetapi dalam segenap hidup kita supaya kita tidak hidup dalam hawa nafsu, karena ada banyak orang yang tidak mengenal Allah, yang masih hidup di dalam hawa nafsunya sendiri.

Kata hawa nafsu di ayat 5 ini menggunakan 2 kata yaitu pathos (πάθος) dan epithumia (ἐπιθυμία). Dua kata ini juga digunakan dalam pembahasan renungan sebelumnya terkait Kol 3:5. Namun dalam ayat 1 Tes 4:5 ini, kita akan melihat bahwa Paulus lebih menekankan mengenai pengudusan, yaitu pemisahan orang percaya dari orang-orang lain secara umum. Orang percaya harus mampu menguasai dirinya dari hawa nafsu, dan tidak bisa menyamakan diri dengan orang lain yang hidup dalam hawa nafsu sesuka diri mereka sendiri.

Ada yang menarik dalam ayat 6 ini dimana Paulus menulis supaya orang percaya dalam hal ini tidak memperlakukan saudaranya dengan tidak baik atau memperdayakannya (ay. 6a). Kata memperlakukan dengan tidak baik ini menggunakan kata huperbainó (ὑπερβαίνω) yang berasal dari gabungan 2 kata yaitu huper (ὑπέρ) yang artinya melebihi, melewati, melampaui, di atas; serta kata basis (βάσις) yang memiliki arti kaki atau berjalan. Jadi kata huperbainó secara harafiah dapat diartikan sebagai “berjalan melewati” atau “melangkahi” (to step over). Menjadi persoalan ketika kaki kita jauh melampaui daerah yang menjadi bagian kita. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai suatu pelanggaran wilayah (to transgress) karena kita melampaui batas yang telah ditentukan (to overreach).

Mengingat kata ini adalah kata yang hanya disebutkan satu kali di Alkitab Terjemahan Baru, sehingga kita memang tidak dapat membandingkan dengan penggunaan kata tersebut dalam ayat lainnya. Oleh karena itu kita sebaiknya melihat kata satunya lagi yaitu memperdayakan, yang dalam Bahasa aslinya menggunakan kata pleonekteó (πλεονεκτέω). Kata pleonekteó ini berasal dari gabungan 2 kata yaitu kata pleión (πλείων) yang berarti lebih (lebih besar, lebih banyak, lebih tinggi); dan kata echo (ἔχω) yang berarti memiliki, menyimpan, dan menguasai. Jadi kata pleonekteó ini secara harafiah dapat diartikan sebagai memiliki/menguasai lebih banyak lagi (to have more). Namun kata ini juga dapat berarti “to take advantage of, overreach, defraud” (mengambik keuntungan dari, melampaui batas, menipu, memperdaya).

Kata pleonekteó ini juga digunakan di ayat-ayat lainnya seperti 2 Kor 2:11 (beroleh keuntungan), 2 Kor 7:2 (cari untung), 2 Kor 12:17 & 18 (mengambil untung). Kata pleonekteó yang merupakan kata kerja ini erat kaitannya dengan kata pleonexia dan pleonektés yang merupakan kata benda. Kata pleonexia ini dapat berarti ketamakan, keserakahan, kekikiran, mengambil milik orang lain dengan kekerasan/paksaan, keinginan/bernafsu untuk mendapatkan keuntungan (Ef 5:3, Kol 5:3). Sementara kata pleonektés lebih menunjuk kepada orang yang melakukan tindakan pleonekteó atau yang memiliki sifat/karakter pleonexia yaitu orang yang tamak, kikir dan serakah (1 Kor 5:10-11).

Jelas bahwa kedua kata ini (huperbainó dan pleonekteó) merujuk kepada suatu tindakan yang: 1) mengambil apa yang bukan menjadi haknya; 2) merugikan orang lain; dan 3) disebabkan karena ketamakan atau keserakahan. Apakah ada orang-orang seperti ini? Jawabannya; Banyak. Tentu banyak sekali orang-orang seperti ini yang tidak segan-segan memperdaya orang lain demi keuntungan pribadinya. Persoalannya, jika kita  membaca dengan lebih teliti lagi, sebenarnya ayat ini lebih ditujukan kepada orang di dalam jemaat, karena adanya penggunaan kata “saudara” (adelphon) yang sebagian besar merujuk kepada saudara seiman di dalam jemaat Tuhan.

Oleh karena itu, jika dalam ayat-ayat sebelumnya Paulus menekankan mengenai kekudusan dalam hal menjauhi percabulan (yaitu bagaimana kita menguasai diri kita dan tidak hidup dalam hawa nafsu seperti orang-orang di luar jemaat), maka mulai ayat 6 ini Paulus hendak menyatakan bahwa orang percaya juga harus hidup dalam kekudusan di dalam jemaat. Jika orang luar dapat mengambil keuntungan dari orang lain, maka orang percaya haruslah hidup benar dan tidak boleh mengambil keuntungan dari saudaranya, apalagi memperdaya mereka. Dalam hal ini tidak boleh ada jemaat yang memperdaya jemaat, jemaat yang memperdaya pendeta, pendeta yang memperdaya jemaat, apalagi pendeta yang memperdaya sesama pendeta. Ingat bahwa Tuhan pasti memperhitungkan segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup kita (ay. 6b). Tuhan akan membalaskan (atau menghakimi dan memutuskan dengan adil) atas setiap apa yang kita lakukan, katakan, maupun pikirkan.

Akhirnya, Paulus kembali menekankan prinsip yang sangat luar biasa, yang jika kita hayati maka akan berdampak besar dalam kehidupan kita, yaitu: Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus (ay. 7). Tuhan memanggil kita untuk keluar dari dosa dan memiliki hidup yang kudus di hadapan Bapa. Kita sudah tidak boleh lagi hidup dalam dosa dan melakukan kecemaran. Kekudusan yang sejati  berarti tidak boleh ada setitik pun kecemaran dalam hidup kita. Lalu bagaimana supaya kita dapat mencapai tingkatan seperti itu?

Satu-satunya cara adalah melatih diri kita setiap hari. Kita harus bisa seakan-akan menaruh Tuhan di depan mata kita. Sehingga setiap saat kita tergoda untuk berbuat dosa, maka kita ingat bahwa ada Tuhan di depan mata kita. Selain itu kita juga harus memperkarakan hidup kita setiap hari bahkan setiap saat. Memperkarakan apakah ada hal-hal yang kita lakukan yang tidak menyenangkan hati Tuhan meskipun itu adalah hal kecil seperti candaan kita ketika berkumpul dengan teman. Kita harus dapat menggelar pengadilan atas diri kita setiap hari sebelum kita suatu saat menghadap penghakiman Tuhan. Biasakan diri kita masuk dalam pengadilan setiap hari sesuai dengan standar Tuhan supaya kita siap menghadapi penghakiman Tuhan ketika kita meninggal nanti.





Bacaan Alkitab: 1 Tesalonika 4:1-7
4:1 Akhirnya, saudara-saudara, kami minta dan nasihatkan kamu dalam Tuhan Yesus: Kamu telah mendengar dari kami bagaimana kamu harus hidup supaya berkenan kepada Allah. Hal itu memang telah kamu turuti, tetapi baiklah kamu melakukannya lebih bersungguh-sungguh lagi.
4:2 Kamu tahu juga petunjuk-petunjuk mana yang telah kami berikan kepadamu atas nama Tuhan Yesus.
4:3 Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan,
4:4 supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan,
4:5 bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah,
4:6 dan supaya dalam hal-hal ini orang jangan memperlakukan saudaranya dengan tidak baik atau memperdayakannya. Karena Tuhan adalah pembalas dari semuanya ini, seperti yang telah kami katakan dan tegaskan dahulu kepadamu.
4:7 Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.