Senin, 12 Agustus 2019

Pornos dan Moichos (34): Bukan Ciri dari Anak-anak Terang


Senin, 12 Agustus 2019
Bacaan Alkitab: Efesus 5:5-10
Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah. (Ef 5:5)


Pornos dan Moichos (34): Bukan Ciri dari Anak-anak Terang


Jika renungan sebelumnya berbicara tentang tindakan porneia yang tidak patut dilakukan oleh orang-orang yang mengaku sebagai umat yang kudus atau anak-anak Allah, maka hari ini kita belajar bahwa tindakan persundalan/percabulan (pornos/porneia) tersebut tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Paulus dalam sambungan suratnya (yang persis berada di bawah ayat-ayat pada renungan kita sebelumnya), berbicara bahwa tidak ada orang sundal, orang cemar, atau orang serakah yang mendapat bagian dalam Kerajaan Kristus dan Allah (ay. 5).

Dalam ayat 5 ini disebutkan bahwa orang-orang yang dikatakan tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah adalah orang sundal, orang cemar, orang serakah, serta termasuk para penyembah berhala. Dalam bahasa aslinya, kata “orang sundal” ini adalah pornos (πόρνος) yang merupakan kata benda dari kata kerja porneia. Kata pornos ini merujuk pada orang-orang cabul, orang-orang yang melakukan persundalan, dan orang-orang yang melacurkan diri sendiri. Kata pornos ini bersifat maskulin yang berarti pada masa itu sudah ada orang-orang (laki-laki) yang melakukan percabulan dan pelacuran (tidak hanya kaum wanita).

Dalam ayat 5 ini, semua orang yang tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Allah menggunakan kata benda yang merujuk pada kata kerja sebagaimana disebutkan dalam Ef 5:3. Hal ini terlihat dari pemilihan kata “orang sundal” (pornos), sementara di ayat 3 digunakan kata “percabulan” (porneia), kata “orang cemar” (akathartos) yang di ayat 3 digunakan kata “kecemaran” (akatharsia), dan kata “orang serakah” (pleonektés) dimana di ayat 3 digunakan kata “keserakahan” (pleonexia). Jelas bahwa terdapat hubungan yang jelas antara ayat 3 yang membicarakan tentang tindakan-tindakan yang tidak patut dilakukan, dengan ayat 5 yang membicarakan tentang para pelaku atau bahkan orang-orang yang masih memiliki karakter yang buruk karena melakukan tindakan-tindakan cabul, kecemaran, dan keserakahan.

Dalam hal ini, orang-orang yang berkarakter buruk tersebut (karena berbuat sundal/cabul, melakukan kecemaran dan keserakahan) disamakan posisinya dengan penyembah berhala. Kata “penyembah berhala” dalam ayat ini menggunakan kata eidólolatrés (εἰδωλολάτρης) yang juga digunakan di dalam 1 Kor 5:10-11 dan 1 Kor 6:9. Dalam ayat-ayat tersebut Paulus menggunakan kata pornos dan juga eidólolatrés dalam ayat yang sama, serta juga menyebutkan bahwa orang-orang seperti ini tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Hal ini menunjukkan keterkaitan yang era tantara surat kepada jemaat di Korintus dan jemaat di Efesus.

Paulus menegaskan kembali dalam ayat 5 ini bahwa orang-orang jahat seperti ini tidak akan mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah. Hanya ada sedikit perbedaan dalam ayat 5 ini dengan 1 Kor 6:9, dimana di dalam 1 Kor 6:9 dikatakan bahwa orang-orang seperti ini tidak mendapat bagian di dalam Kerajaan Allah. Namun di surat Efesus ini, Paulus menambahkan kata “Kristus” sehingga terdapat istilah Kerajaan Kristus dan Allah. Tentu hal ini menunjukkan bahwa di dalam Kerajaan Allah, Kristus yang menjadi kepala dan menjadi Raja dalam Kerajaan Allah. Hal ini tentu bukan berarti bahwa Kristus punya kerajaan-Nya sendiri dan Allah (Bapa) juga punya kerajaan-Nya sendiri. Namun karena Kristus telah menunaikan tugas-Nya dengan sempurna, maka Allah Bapa mengembalikan kedudukan Kristus sebagai kepala yang memimpin Kerajaan Allah.

Paulus menegaskan akan adanya kemuliaan yang akan dating dalam Kerajaan Allah, dimana Kristus akan menjadi Raja untuk selama-lamanya, dan akan ada orang-orang yang dipercaya untuk memerintah bersama-sama dengan Kristus dalam kerajaan-Nya. Oleh karena itu, jangka waktu selama 70-80 tahun di bumi ini adalah kesempatan bagi kita untuk dapat membangun hidup yang menyenangkan hati Bapa. Kita harus hidup dengan menjauhi dosa dan tidak melakukan apapun yang dapat mendukakan hati Bapa.

Jelaslah mengapa Paulus menulis agar jemaat Efesus tidak disesatkan orang lain dengan kata-kata yang hampa, yang pada nantinya akan mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka (ay. 6). Kata “disesatkan” dalam ayat ini menggunakan kata apataó (ἀπατάω) yang dapat berarti “to deceive, cheat, beguile, lead into error” (menipu, mengecoh, mengelabui, membohongi, mencurangi, memperdaya, menuntun dalam kesalahan, membuat orang menjadi bersalah). Dalam hal apa saja orang percaya bisa berpotensi tersesat? Jika melihat kaitan ayat-ayat sebelumnya, tentu penyesatan ini sangat mungkin datang terkait godaan untuk melakukan percabulan, kecemaran, dan juga keserakahan.

Mari kita ambil contoh penyesatan dalam hal percabulan karena memang renungan kita sedang membahas serial mengenai kata pornos dan moichos. Jika mau jujur, semua orang Kristen akan sepakat untuk menyatakan bahwa percabulan adalah suatu dosa dan kejahatan. Namun apa fakta yang terjadi di lapangan? Banyak orang Kristen, bahkan sangat banyak orang Kristen yang masih jatuh ke dalam dosa percabulan. Tidak hanya di kalangan jemaat umum dan pemuda remaja saja, tetapi ada juga para pelayan, aktivis gereja, bahkan pendeta yang jatuh dalam dosa percabulan.

Bagaimana bisa orang yang berkhotbah di atas mimbar, yang selalu berkata dan mengaku sebagai hamba Tuhan, bahkan mungkin sudah memiliki karunia bahasa Roh bisa jatuh juga ke dalam dosa percabulan? Jawabannya sederhana: Membuka celah sehingga bisa disesatkan. Penyesatan itu tidak datang dalam godaan yang langsung terlihat besar, namun dimulai dari hal-hal kecil. Jika kita terpancing dan mulai membuka celah, maka tanpa disadari kita sedang masuk ke dalam perangkap yang membinasakan.

Seseorang (apalagi jika sudah menjadi pelayan, aktivis gereja, bahkan pendeta) pada umumnya tidak mungkin langsung melakukan perzinahan atau percabulan (misal: menghamili orang lain). Akan tetapi, semuanya dimulai dengan penyesatan yang terlihat sepele: menonton film biru, melakukan chatting dengan lawan jenis yang mulai menjurus ke hal-hal yang tidak pantas, dan lain sebagainya. Tanpa sadar, hal itu bisa mendorong seseorang untuk melakukan hal yang “lebih” dan tanpa disadari, tiba-tiba ia sudah berada di ujung jurang. Jelas bahwa seseorang tidak akan mungkin langsung melakukan sebuah dosa “besar” tanpa diawali dari dosa-dosa “kecil” yang sudah biasa ia lakukan.

Jika kita tidak hati-hati, maka hal seperti itu akan membuat kita dimurkai Allah, karena kita diperhitungkan sebagai orang yang durhaka. Oleh karena itu, betapa kita harus berhati-hati supaya kita tidak disesatkan oleh orang-orang yang berniat jahat kepada kita. Paulus menulis agar kita menjauhi orang-orang seperti itu (yang berpotensi menyesatkan kita dengan kata-kata yang hampa) dan bahkan jangan berkawan dengan mereka (ay. 7). Dalam ayat lain, kita juga membaca ayat yang mengatakan supaya kita tidak duduk dalam kumpulan pencemooh (Mzm 1:1), atau bagaimana pergaulan yang buruk merusak kebiasaan baik (1 Kor 15:33).

Bagi beberapa orang di Jemaat Efesus (dan mungkin sebagian dari kita), dahulu kita pun sama seperti orang-orang fasik dan hidup seperti mereka. Kita adalah orang-orang yang pernah hidup dalam kegelapan (ay. 8a). Persoalannya, apakah kita mau meninggalkan kegelapan dan berpindah untuk hidup di dalam terang? Seharusnya ketika kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, maka kita harus menjadi terang dan harus pula hidup dalam terang. Kita seharusnya tidak lagi menjadi anak-anak kegelapan, tetapi harus terus hidup sebagai anak-anak terang yang senantiasa membawa terang kemanapun kita pergi (ay. 8b).

Salah satu ciri anak-anak terang adalah memiliki buah hidup yang nyata dan dapat dilihat bahkan dinikmati orang lain. Anak-anak terang tidak akan lagi hidup dalam persundalan, kecemaran, dan keserakahan. Anak-anak terang haruslah berbuahkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran. Orang Kristen tidak boleh hanya sekedar baik dan adil, tetapi harus sampai memiliki kebenaran dalam hidupnya. Kata kebaikan dalam ayat ini menggunakan kata agathosune (ἀγαθωσύνη) yang dapat dimaknai kebaikan yang bersifat intrinsik (di dalam diri seseorang). Jadi orang yang sudah agathosune seharusnya memang memiliki karakter yang baik. Dia tidak hanya berbuat baik karena ingin dipuji, atau ingin dilihat orang. Dia memang berbuat baik karena dia tahu bahwa ia harus berbuat baik dalam hidupnya.

Kata keadilan dan kebenaran ini menggunakan 2 kata yaitu dikaiosuné (δικαιοσύνη) dan alétheia (ἀλήθεια). Kata dikaiosuné ini juga sering diterjemahkan dengan kata “kebenaran”. Namun ada perbedaan antara dikaiosuné dan alétheia, dimana kata alétheia lebih sering digunakan untuk menunjuk hal yang benar, kebenaran yang sejati, kebenaran yang benar-benar adalah kebenaran. Kebenaran dalam alétheia lebih merujuk kepada kodrat kebenaran, khususnya yang dimiliki oleh Allah. Tidak heran bahwa Tuhan Yesus ketika berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup” menggunakan kata alétheia (Yoh 14:6).

Sementara itu kata dikaiosuné lebih merujuk kepada kebenaran (righteousness), keadilan (justice), yang lebih menekankan kepada natur manusia dalam melakukan kebenaran. Dalam beberapa literatur, kata dikaiosuné ini dapat diterjemahkan sebagai kebenaran yang dimengerti manusia, kebenaran yang nampak melalui tindakan seseorang, atau karakter seseorang. Namun bukan berarti dikaiosuné lebih rendah maknanya dairpada alétheia, karena orang yang mengenal alétheia dengan benar, pasti akan memancarkan dikaiosuné dalam dirinya dengan agung dan mulia. Tidak mungkin orang mengaku mengenal dan mengerti tentang alétheia namun tidak memancarkan kehidupan di dalam kebenaran yang dipancarkan dan dilihat orang lain (dikaiosuné). Jika ada orang seperti itu, maka kemungkinan orang itu belum sungguh-sungguh mengenal alétheia.

Oleh karena itu, kita dapat mengerti Paulus berkata dalam ayat sesudahnya: “Ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan” (ay. 10). Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan ayat-ayat sebelumnya, apalagi ayat 10 ini masih merupakan satu kalimat dengan ayat 8 dan 9. Oleh karena itu, dalam hal apa kita harus melakukan pengujian itu? Tentu jawabannya adalah dalam hal kehidupan kita, khususnya yang mengaku sebagai anak-anak Terang.

Kita sering kali mengaku bahwa kita adalah anak-anak Allah atau anak-anak Terang. Apakah hal itu hanya pengakuan di mulut dan bibir kita saja tetapi kita tidak hidup sebagai anak-anak Terang? Dalam hal ini marilah kita menguji diri kita masing-masing. Perkarakan apakah hidup kita sudah memancarkan buah-buah kebenaran yang memuliakan Tuhan. Proses ini mungkin melelahkan, tetapi hal itu lebih baik daripada jika kita tidak pernah menguji diri kita sendiri, dan baru tahu bahwa hidup kita tidak berkenan di hadapan Tuhan pada hari penghakiman. Pada saat itu semua sudah terlambat, dan tidak akan ada kesempatan bagi kita untuk mendapat bagian dalam Kerajaan Allah. Alangkah pentingnya melihat diri kita, menguji dan menginstropeksi selagi  masih ada kesempatan di bumi ini, karena masih ada kesempatan bagi kita untuk bertobat dan memperbaiki hidup kita. Jika kita terus menunda-nunda, maka suatu saat bisa jadi semua sudah terlambat.



Bacaan Alkitab: Efesus 5:5-10
5:5 Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah.
5:6 Janganlah kamu disesatkan orang dengan kata-kata yang hampa, karena hal-hal yang demikian mendatangkan murka Allah atas orang-orang durhaka.
5:7 Sebab itu janganlah kamu berkawan dengan mereka.
5:8 Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang,
5:9 karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran,
5:10 dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.