Minggu, 25 Februari 2018
Bacaan
Alkitab: Matius 19:1-12
“Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali
karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mat 19:9)
Pornos dan Moichos (6): Salah Satu Alasan untuk Boleh Melakukan Perceraian?
Tidak dapat dipungkiri, bahwa perikop
bacaan Alkitab kita hari ini cukup sering dijadikan bahan perdebatan, apakah
orang Kristen boleh bercerai atau tidak. Setidaknya ada beberapa kelompok orang
yang memiliki pendapat berbeda. Ada orang-orang yang berpendapat bahwa tidak
boleh cerai, apapun alasannya, karena Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa “apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (ay. 6). Ada
pula yang berpendapat bahwa Tuhan Yesus mengizinkan perceraian sepanjang
alasannya adalah perzinahan (ay. 9). Ada pula yang berpendapat bahwa boleh saja
bercerai, toh Tuhan sendiri mengakui bahwa Musa saja mengizinkan bangsa Israel
bercerai dengan menggunakan surat cerai (ay. 8). Ada pula pendapat-pendapat
lain yang mungkin tidak dapat dituliskan di sini. Jadi sebenarnya, bagaimana pandangan
Alkitab terhadap perceraian ini?
Harus diakui bahwa sebagian ayat dalam
perikop ini agak mirip dengan apa yang diucapkan Tuhan Yesus sebagaimana yang
tercatat dalam Matius 5:31-32. Meskipun demikian, tentu ada sedikit
perbedaannya karena dua kondisi tersebut tentulah tidak sama. Oleh karena itu,
untuk memiliki pemahaman yang menyeluruh dan tidak sepotong-sepotong, kita akan
melihat perikop ini secara utuh.
Dalam ayat pertama, dikatakan bahwa
Tuhan Yesus baru saja selesai dengan pengajaran-Nya di Galilea dan kemudian
baru tiba di daerah Yudea di seberang sungai Yordan (ay. 1). Pada waktu itu,
banyak orang yang berbondong-bondong mengikuti-Nya, dan Tuhan Yesus pun
menyembuhkan banyak orang sakit di sana, yaitu di daerah Yudea (ay. 2). Kita tahu bahwa pada waktu dimana pasal 19 ini
terjadi, orang Farisi sudah tidak menyukai Tuhan Yesus dan hendak untuk
membunuh-Nya (Mat 12:14). Namun demikian mereka tentu tidak berani membunuh
Tuhan Yesus secara langsung, tetapi mereka hendak menyalahkan Tuhan Yesus jika mereka
bisa membuat-Nya mengucapkan sesuatu yang melanggar peraturan Romawi (sehingga
tentara Romawi dapat langsung menangkap-Nya), atau bisa membuat-Nya mengucapkan
sesuatu yang menghujat hukum Taurat (sehingga rakyat Yahudi akan marah dan bisa
diprovokasi untuk langsung membunuh Tuhan Yesus karena dipandang menghujat
Allah/Yahweh) .
Oleh karena itu, tepat sekali ketika
Alkitab menulis bahwa orang Farisi datang kepada Tuhan Yesus untuk mencobai-Nya
(ay. 3a). Kata “mencobai” di sini dalam bahasa aslinya adalah peirazontes (πειράζοντες) dari akar kata
peirazó (πειράζω). Kata peirazó ini sama persis dengan kata yang
digunakan di Matius pasal 16 ketika dikatakan bahwa orang Farisi dan orang
Saduki hendak mencobai Tuhan Yesus (Mat 16:1). Kata peirazó memiliki pengertian to
make proof of, to attempt, test, tempt (membuat bukti, mencoba,
mengusahakan, menguji, mencoba, menggoda, membujuk). Kata peirazó ini dapat bermakna positif (dalam arti menguji kualitas
sesuatu) namun juga dapat bermakna negatif, yaitu to test one maliciously, craftily to put to the proof his feelings or
judgment (untuk menguji seseorang yang dengan cara jahat, dengan dengki,
atau dengan licik, untuk membuktikan perasaan/pendapatnya atau penilaiannya).
Jadi, semangat orang Farisi ini
bertanya kepada Tuhan Yesus bukanlah untuk benar-benar bertanya karena mereka
tidak tahu atau karena mereka ingin belajar. Mereka menanyakan hal ini kepada
Tuhan Yesus karena mereka ingin menjatuhkan Tuhan Yesus karena rasa dengki atau
sikap licik mereka. Jadi, tidak ada angin dan tidak ada hujan, mereka langsung
bertanya kepada Tuhan Yesus: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya
dengan alasan apa saja?” (ay. 3b). Tentu saja pertanyaan mereka ini sudah
dipikirkan dengan sangat matang. Mereka hendak menjatuhkan Yesus atas
jawaban-Nya terhadap pertanyaan mereka tersebut.
Perhatikan lebih seksama pertanyaan
orang Farisi kepada Tuhan Yesus. Mereka menanyakan apakah boleh orang
(laki-laki) menceraikan istrinya dengan alasan apa saja. Kata “alasan apa saja”
di sini adalah kata jebakan yang hendak digunakan orang Farisi untuk membuat
Tuhan Yesus menjadi salah menjawab. Jika kita belajar di Perjanjian Lama, kita
memang mengetahui bahwa bangsa Israel/Yahudi memang memiliki hukum Taurat, dan
di dalam hukum Taurat tersebut memang mereka diizinkan untuk menceraikan
istrinya (Ul 24:1-4). Akan tetapi, hukum dalam kitab Ulangan tersebut mengatur
secara ketat mengenai proses perceraian, di antaranya harus ada surat cerai
sebagai bukti perceraian, dan harus didasarkan pada alasan yang jelas (antara
lain karena mendapati adanya hal yang tidak senonoh).
Jadi jelas orang Farisi (dan juga orang
Yahudi yang mendengarkan Tuhan Yesus) sudah tahu betul bahwa hukum Taurat
membolehkan perceraian dengan alasan yang jelas dan dengan mekanisme yang jelas
(yaitu surat cerai). Akan tetapi mungkin hukum Romawi tidaklah mengatur seperti
demikian. Di antara mereka yang mengikuti Tuhan Yesus dan mendengar
khotbah-khotbah-Nya, tentu ada orang Yahudi (dengan segala macam sekte dan
perbedaan pemahaman mereka terhadap hukum Taurat), orang-orang non Yahudi
(seperti orang Yunani), dan mungkin juga para prajurit Romawi yang dapat segera
menangkap Tuhan Yesus jika Ia mengucapkan perkataan yang menentang hukum
Romawi.
Oleh karena itu menarik ketika Tuhan
Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan orang Farisi tersebut dengan jelas.
Tuhan Yesus justru berkata bahwa sebenarnya mereka yang bertanya telah mengerti
kebenaran (dalam hal ini kebenaran sesuai hukum Taurat). Mereka tentu sudah
memiliki kitab Kejadian hingga Maleakhi dan sudah membacanya. Tuhan Yesus
menjawab dengan kalimat yang luar biasa yaitu: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia
yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan
perempuan? Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu
dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka
bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia” (ay. 4-6). Jawaban Tuhan Yesus (khususnya di ayat
4 dan 5) ini diambil dari kitab Kejadian (Kej 1:27. 2:24, dan 5:2), dan
mengandung butir-butir penting yang menyatakan kebenaran.
Prinsip pertama, Tuhan yang memiliki inisiatif untuk menciptakan manusia
dan mempersatukan mereka (ay. 4a). Melalui rencana-Nya yang sempurna,
Tuhan merancang manusia dan menyiapkan jodoh untuk setiap orang. Kalimat ini
mungkin tidak terdengar klise dan bahkan tidak mudah untuk dimengerti, karena
banyak yang berkata: “Ah mana Tuhan, sampai sekarang saya masih sendiri” atau “Kalau
Tuhan memberikan jodoh kepada setiap orang, mengapa saya sampai harus mengalami
kegagalan dalam menjalin hubungan?”. Pertanyaan ini tentu tidak mudah dijawab
karena bumi ini sudah menjadi bumi yang tidak sempurna. Oleh karena itu,
rancangan Tuhan semula bahwa setiap orang akan memiliki jodohnya akan terwujud
nanti di langit yang baru dan bumi yang baru, sebagai pengulangan dunia ini
tanpa adanya iblis dan tanpa adanya dosa.
Kepada mereka yang berkata bahwa mereka
sempat mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan, mungkin saja pada waktu itu
kita masih belum mengerti kebenaran. Akibatnya kita tidak berhati-hati dalam
memilih pasangan kita. Kita begitu ceroboh dalam menjalin suatu hubungan hingga
berlanjut ke pernikahan. Kita dahulu tidak pernah memperkarakan apakah calon
pasangan kita adalah jodoh dari Tuhan. Waktu itu dalam pikiran kita adalah yang
penting kita menikah. Waktu itu kita pikir bahwa pernikahan adalah solusi,
sehingga kemudian dalam menjalani kehidupan pernikahan ternyata kenyataannya tidak
semudah itu. Mulai muncul persoalan dan konflik yang sulit untuk diatasi
bersama karena adanya perbedaan yang prinsip. Akibatnya, kita mengambil
keputusan untuk mengakhiri hubungan pernikahan dengan jalan cerai. Sedihnya
lagi, saat itu pihak gereja maupun pendeta juga ikut meyakinkan kita bahwa
cerai adalah solusi yang terbaik, bahkan ada oknum pendeta tertentu yang bisa
bilang bahwa pernikahan yang gagal itu bukanlah pernikahan yang sah (meskipun
telah diberkati di gereja), sehingga kita tidak merasa melanggar Firman Tuhan.
Jika demikian yang terjadi, sebenarnya
kita menikah dengan jodoh dari Tuhan atau menikah karena keinginan dan
keputusan kita sendiri? Kita tidak pernah tanya Tuhan dengan benar sebelum
mengambil keputusan. Ketika kita sudah mengambil keputusan dan ternyata
konsekuensi dari keputusan kita tersebut membuat kita sulit, maka kita kemudian
menyalahkan Tuhan karena membiarkan kita jatuh. Padahal sebenarnya kita sendiri
yang mmebuat diri kita jatuh dengan keputusan kita yang mengabaikan Tuhan.
Dalam hal ini hendaknya kita tidak cepat-cepat berkata (sebelum kita menikah)
bahwa orang yang sedang dekat dengan kita adalah jodoh dari Tuhan. Benarkah
demikian? Ujilah dan perkarakan sungguh-sungguh apakah si dia adalah jodoh dari
Tuhan. Kalaupun bukan, kita harus rela untuk melepaskannya. Ingat bahwa masih
ada pengharapan baru di langit yang baru dan bumi yang baru. Adalah lebih baik bagi
kita untuk tidak menikah di duniai ini daripada menikah dengan orang yang salah
yaitu orang yang bukan jodoh dari Tuhan
Prinsip kedua, Tuhan menciptakan manusia secara berpasangan, laki-laki dan
perempuan, dengan tujuan yang mulia (ay. 4b). Dalam hal
ini jelaslah pandangan kekristenan mengenai status gender manusia, bahwa hanya
ada 2 gender, yaitu laki-laki dan perempuan.
Kedua gender tersebut diciptakan Tuhan bukan tanpa alasan, tetapi untuk saling
melengkapi satu sama lain. Laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan dan
kekurangannya masing-masing, tetapi dalam segala hal semua itu akan saling
melengkapi. Pasangan laki-laki adalah perempuan dan pasangan perempuan adalah
laki-laki. Namun yang perlu diperhatikan juga adalah pentingnya mencari jodoh
yang tepat sesuai dengan yang Tuhan siapkan bagi kita (lihat poin pertama)
supaya kita dapat mencapai tujuan Tuhan yang mulia. Tujuan ini bukan hanya
menikah dan kemudian mempunyai anak sebanyak-banyaknya, tetapi juga untuk
memuliakan Tuhan melalui keluarga kita. Percuma kita menikah, atau memiliki
banyak anak sekalipun jika dalam hal ini nama Tuhan justru dihina dan tidak dipermuliakan.
Dalam hal ini seks harus dipandang
sebagai anugerah Tuhan kepada manusia. Tentu ada alasan mengapa Tuhan tidak
membuat manusia seperti amuba atau bakteri yang bisa berkembang biak dengan
cara aseksual misalnya dengan cara membelah diri. Oleh karena itu seks tidak
boleh dipandang kotor atau najis. Seks itu kudus dan mulia, tentu jika
digunakan pada tempat yang tepat, waktu yang tepat, dan orang yang tepat. Itulah
sebabnya keluarga Kristen harus terdiri dari laki-laki dan perempuan, bukan
laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan. Kita dapat melihat
betapa sudah rusaknya manusia di akhir zaman ini ketika banyak orang mulai
merasa bahwa hubungan sesama jenis adalah hal yang wajar dan tidak melanggar
tatanan Tuhan.
Prinsip ketiga, tingkat hubungan yang tertinggi adalah hubungan antara suami
dan istri, melebihi hubungan lain seperti hubungan antara orang tua dan anak
sekalipun (ay. 5a). Ini adalah prinsip yang penting yang jarang ditekankan
dalam khotbah-khotbah maupun dalam konseling pranikah. Dikatakan bahwa seorang
laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya (orang tuanya) dan bersatu
dengan istrinya. Banyak orang Kristen tidak mengerti hal ini dan mereka tetap
memiliki hubungan dengan orang tuanya yang lebih tinggi daripada hubungan
dengan pasangannya. Sebagai contoh, karena si anak adalah anak yang sangat
sayang dengan orang tuanya, sehingga setelah menikah, anak tetap memberikan
uang kepada orang tuanya (seperti sebelum menikah) tanpa sepengetahuan
pasangannya. Ia bisa saja lebih terbuka kepada orang tuanya daripada kepada
pasangannya. Jika demikian, maka hal ini sudah menyalahi prinsip pernikahan
Kristen. Dalam hal ini kita hendaknya dapat bersikap bijak, bukan berarti
setelah menikah kemudian kita memutuskan hubungan dengan orang tua, tetapi kita
harus menempatkan orang tua kita dalam posisi yang proporsional. Kita harus
mendudukkan pasangan kita dalam hirarki tertinggi hubungan (tentu setelah
hubungan kita dengan Tuhan karena hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan yang
tertinggi), baru setelah itu orang tua kita. Bahkan anak-anak kita pun tetap
harus menempati urutan hubungan yang lebih rendah daripada hubungan kita dengan
pasangan (suami/istri) kita.
Prinsip keempat, pernikahan berarti menjadi bersatu dengan pasangan kita
sehingga menjadi satu daging, sehingga mereka bukan lagi dua melainkan satu
(ay. 5b - 6a). Dalam hal ini perlu dilihat apa makna kata “bersatu”
dalam ayat ini. Dalam bahasa aslinya, kata “bersatu” menggunakan kata kollēthēsetai (κολληθήσεται)
dari akar kata kollaó (κολλάω). Kata kollaó merupakan kata kerja (verb) yang memiliki makna to
glue (melekatkan, menempelkan), glue
to (melekat kepada), glue together (melekat
bersama), cement (mempererat,
menyemen, menggabungkan, menyatukan),
fasten together (mengencangkan bersama, mengancingkan bersama, mengikatkan
bersama), to join or fasten firmly
together (mengikat atau mengencangkan bersama dengan kuat). Jadi tujuan
kata “bersatu” atau kollaó adalah
untuk menyatukan bersama secara terus menerus tanpa ada pemikiran untuk
melepaskannya lagi. Kebenaran ini sungguh luar biasa namun jarang dipahami oleh
kebanyakan orang bahkan oleh kebanyakan orang Kristen.
Tujuan dari “bersatu” adalah untuk
menjadi satu daging. Kebanyakan kita belajar bahwa pernikahan Kristen adalah 1
+ 1 bukan 2 tetapi 1 + 1 adalah 1. Apakah ini benar? Bisa dikatakan benar dari
sudut pandang “satu daging”. Artinya hubungan seksual antara suami dan istri
menjadikan mereka menjadi satu daging. Itulah sebabnya dalam ayat lain
dikatakan bahwa “siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi
satu tubuh dengan dia?” (1 Kor 6:16). Jadi perhatikan benar-benar kepada siapa
kita menjadi satu daging. Maukah kita menjadi satu daging dengan orang benar?
Ataukah kita cukup sembarangan dan menjadi satu daging dengan orang-orang yang
tidak benar, jahat, cabul, atau penuh hawa nafsu?
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam
pernikahan Kristen adalah ketika laki-laki dan perempuan bersatu, mereka tetap
menjadi 2 pribadi yang berpisah (tidak menjadi satu), tetapi menjadi suatu
kesatuan. Mereka satu dalam lembaga keluarga, tetapi memiliki pribadi yang
berbeda. Masing-masing pihak (suami dan istri) tetap memiliki pikiran,
perasaan, dan kehendak, tetapi dalam kesatuan lembaga keluarga, mereka harus
berjalan bersama. Oleh karena itu, betapa bahayanya jika kita menikah dengan
orang yang tidak sevisi, yang satu ingin ke surga tetapi yang satu mencintai
dunia. Jika demikian, orang yang benar akan memikul beban yang lebih berat.
Dalam ayat lain dikatakan bahwa “Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya”. Kata pasangan yang tidak seimbang di sini menggunakan kata heterozygountes (ἑτεροζυγοῦντες) dari
akar kata heterozugeó (ἑτεροζυγέω).
Kata heterozugeó berasal dari kata héteros (berbeda) dan zygós (kuk yang dipasangkan pada hewan
untuk membajak). Jadi hubungan suami istri itu ibarat dua pasang sapi/lembu
yang sedang membajak bersama-sama. Bisa dibayangkan jika pasangan kita adalah
orang yang tidak sepadan/seimbang, bisa jadi yang satu sapi dan yang satu
kambing atau ayam. Tentu hal ini akan membuat ketimpangan dalam menjalankan
tugas. Bisa dibayangkan lagi jika pasangan kita adalah orang yang arahnya
berbeda, misalnya kita ingin ke surga tetapi yang satu masih suka hidup dosa,
cinta dunia, jahat, dan lain sebagainya. Kemanakah arah keluarga tersebut
berjalan? Di situ kita harus benar-benar mempergumulkan apakah ia sedang
memilih jodoh yang benar dan sepadan, supaya dapat memasang kuk dengan seimbang
untuk melakukan tugas yang diberikan Allah kepadanya?
Prinsip kelima, mereka yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan
manusia (ay. 6b). Ini adalah prinsip yang sulit, karena faktanya di
lapangan, banyak orang Kristen yang bercerai. Banyak pendeta dan gereja yang
mengizinkan perceraian. Bahkan tidak sedikit pendeta yang juga bercerai. Lalu
apanya yang salah di sini?
Persoalannya memang tidak mudah karena
kalimat “dipersatukan Allah” itu saja banyak yang belum mengerti. Berapa banyak
di antara kita yang sudah menikah dan meyakini bahwa pernikahan mereka
benar-benar dipersatukan oleh Allah? Tanpa menghakimi para pembaca, kita harus
tahu bahwa banyak orang Kristen yang menikah karena hamil duluan, karena
terpaksa, dan lain sebagainya. Padahal kalimat “dipersatukan” dalam bahasa
aslinya adalah synezeuxen (συνέζευξεν)
dari akar kata suzeugnumi (συζεύγνυμι).
Kata ini bermakna to yoke together
(memasangkan kuk bersama). Kata ini memang berasal dari 2 kata yaitu kata sýn (bersama) dan zeúgos/zygós (kuk). Tentu
kata “dipersatukan” (suzeugnumii) sangat
berlawanan dengan apa yang ditulis dalam 2 Kor 6:14, yaitu pasangan yang tidak
seimbang (sebagaimana kita telah bahas di atas).
Jelas bahwa Tuhan punya rancangan awal
atas manusia untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan, supaya mereka menjadi
pasangan yang seimbang untuk dapat membajak dengan baik (dalam hal ini
menjalankan tugas yang diberikan Allah kepada manusia). Jelas bahwa salah satu
tugas manusia adalah beranak cucu dan bertambah banyak, memenuhi bumi, dan
berkuasa atasnya (Kej 1:28). Tentu perintah ini diberikan sebelum manusia jatuh
ke dalam dosa, sementara ini kita hidup dalam dunia setelah kejatuhan manusia
ke dalam dosa. Jadi sebelum kita berkeluarga (untuk beranak cucu dan memenuhi
bumi), tentu kita harus memastikan bahwa kita sedang membentuk keluarga yang
dikehendaki Tuhan, tidak sembarangan memilih pasangan hidup. Faktanya, suatu
pernikahan tanpa prinsip yang benar (meskipun itu pernikahan Kristen dan
diberkati di gereja), hanya akan memiliki sedikit dampak bahkan mungkin tidak
berdampak (atau malah memiliki dampak negatif) bagi kerajaan Tuhan di bumi ini.
Oleh karena itu kita harus sadar tujuan Tuhan menciptakan kita dan kemudian dalam
segala hal (termasuk dalam hal menikah), dilakukan bagi kemuliaan nama Tuhan.
Menarik bagaimana Tuhan memberikan khotbah
singkat yang memuat prinsip-prinsip di atas sebagai jawaban atas pertanyaan
orang Farisi. Sebagai orang Yahudi, mereka pasti sudah mengerti bahkan minimal
sudah pernah membaca dan mendengar ayat-ayat yang memuat prinsip tersebut.
Sayangnya mendengar jawaban Tuhan Yesus (dengan prinsip-prinsip pernikahan yang
benar tersebut), orang Farisi justru kembali ke tujuan semula mereka bertanya,
yaitu untuk menjatuhkan Tuhan Yesus. Pada awalnya mereka bertanya kepada Tuhan
Yesus: “Bolehkah menceraikan istri dengan alasan apa saja?” (ay. 3) yang
kemudian dijawab Tuhan Yesus dengan prinsip-prinsip pernikahan, yang pada
intiinya memang rancangan Allah tidak boleh bercerai (ay. 4-6). Namun kemudian
mereka bertanya lagi: “Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk
memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" (ay. 7).
Setelah upaya mereka yang pertama
gagal, mereka kemudian mencoba meng-counter
jawaban Tuhan Yesus tersebut dengan hukum Taurat. Mereka hendak membangun
opini bahwa apa yang Tuhan ucapkan tersebut bertentangan dengan hukum Taurat,
karena toh hukum Taurat (melalui Musa) mengizinkan orang menceraikan istrinya
dengan surat cerai. Mereka mencoba untuk memojokkan dan menyudukan Tuhan Yesus
hingga Ia terpancing dan mengucapkan sesuatu yang jelas-jelas bertentangan
dengan hukum Taurat, atau bahkan dengan hukum Romawi. Padahal jauh sebelumnya,
Tuhan Yesus juga sudah menyampaikan hal ini pada saat khotbah di atas bukit
(Mat 5:31-32).
Namun demikian, untuk menjawab
pertanyaan orang Farisi itu, Tuhan Yesus menjawab bahwa karena ketegaran hatimu
Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah
demikian (ay. 8). Jadi dalam hal ini perceraian yang dipandang dalam hukum
Taurat bukanlah sebuah kewajiban atau hukum yang mutlak, tetapi adalah suatu
kelonggaran yang boleh dilakukan, dalam kondisi tertentu. Perhatikan juga
konteks hukum Taurat tersebut adalah hukum bagi bangsa Israel, bangsa budak
yang baru keluar dari Mesir, yaitu zaman dimana Tuhan Yesus belum datang untuk
menggenapi hukum Taurat. Mereka belum mengerti prinsip pernikahan yang benar,
apalagi mereka tinggal di tengah-tengah bangsa lain yang punya budaya buruk,
seperti poligami atau bahkan seks bebas. Oleh karena itu, Tuhan masih
memperbolehkan (mengizinkan) adanya perceraian, dengan adanya surat cerai untuk
melindungi kedua belah pihak yang bercerai. Bahkan alasan perceraian pun diatur
dengan rinci dalam hukum Taurat, bukan dengan sembarang alasan seorang suami
dapat menceraikan istrinya (misal karena sudah tidak suka lagi atau karena
bosan). Jadi sampai dengan ayat 8 ini, kita melihat adanya 2 tingkatan
perceraian, dimulai dari yang paling rendah yaitu: 1) boleh bercerai karena
alasan apa saja (ini yang tidak disetujui oleh Tuhan); dan 2) boleh bercerai
dengan surat cerai sesuai hukum Taurat (ini yang dianut oleh orang Yahudi
sesuai dengan hukum Taurat). Namun perlu ditekankan bahwa opsi ke-2 ini adalah
suatu kondisi khusus, yaitu kepada orang Yahudi karena ketegaran hatinya.
Padahal pada awalnya, rancangan Tuhan tidaklah demikian (perhatikan kembali
kata-kata di dalam ayat 8).
Oleh karena itu, Tuhan hendak
menyampaikan prinsip yang lebih tepat lagi untuk menyempurnakan alasan
perceraian dengan surat cerai (sebagaimana yang ditulis dalam hukum Taurat
kepada bangsa Israel), yaitu “Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena
zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah” (ay. 9). Menjadi
persoalan, apakah yang dimaksud dengan zinah di sini? Apakah kata “zinah” di
sini menggunakan kata pornos atau moichos?
Dalam bahasa aslinya, ada sebuah
kalimat tambahan yang semestinya masuk ke ayat 9 ini. Kalimat ini dalam Alkitab
Bahasa Indonesia Terjemahan Baru justru dihilangkan meskipun dalam Alkitab
Terjemahan Lama, kalimat ini masih ada. Kalimat tersebut dalam Alkitab
Terjemahan Lama berbunyi “Dan barangsiapa yang berbinikan perempuan yang sudah
diceraikan demikian, ia pun berzinah juga” atau dalam bahasa sekarang mungkin
berbunyi demikian: “Dan barangsiapa yang mengawini perempuan yang sudah
diceraikan demikian (oleh suaminya), maka ia pun berzinah juga”. Jadi dalam
bahasa Indonesia, ada 2 kata zinah (dalam Terjemahan Baru) atau 3 kata zinah
dalam Terjemahan Lama.
Jika kita melihat dalam bahasa aslinya,
kata “zinah” yang pertama menggunakan kata porneia
(πορνείᾳ) sementara kata “zinah” yang kedua dan ketiga menggunakan kata moichatai (μοιχᾶται) dari akar kata moichaó (μοιχάομαι). Kata porneia merupakan kata benda (noun) yang dapat berarti fornication (perbuatan zina,
persundalan), whoredom (persundalan). Definisi fornication adalah sexual intercourse between two persons not
married to each other (hubungan seksual antara dua orang yang tidak menikah
satu sama lain). Sementara itu definisi whoredom
adalah prostitution or other promiscuous
sexual activity (pelacuran/persundalan, atau aktivitas seksual yang
dilakukan dengan siapa saja tanpa batasan). Sementara itu kata moichaó dapat berarti to have unlawful intercourse with another's
wife (melakukan hubungan seksual yang tidak sah dengan istri orang lain), to commit adultery with (melakukan
perzinaan, yaitu hubungan seksual antara seseorang yang sudah menikah dengan
orang lain yang bukan pasangannya/bukan suami atau istrinya).
Jadi jelas bahwa makna porneia berbeda dengan moichaó. Tidak hanya maknanya, tetapi
juga tingkatan perzinahan antara porneia
juga berbeda dengan moichaó. Dapat
dikatakan bahwa tingkat perzinahan porneia
lebih parah daripada moichaó karena porneia lebih merujuk pada tindakan
persundalan dengan siapa saja demi imbalan uang atau hal lain, sementara kata moichaó lebih merujuk kepada tindakan
perselingkuhan antara orang yang sudah beristri dengan orang yang bukan
pasangannya. Tentu dalam hal ini bukan berarti orang boleh melakukan moichaó, akan tetapi kita sedang
membicarakan mengapa Tuhan berkata bahwa barangsiapa menceraikan istrinya
kecuali karena zinah (porneia), maka
ia sedang membuat dirinya dan istrinya yang diceraikannya itu berzinah (moichaó).
Seperti yang telah saya bahas dalam
renungan sebelumnya pada serial ini, khususnya dalam pembahasan mengenai ayat
pada Matius 5:31-32, bahwa kata porneia ini
merujuk pada tindakan zinah yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi, yang sudah
merusak hakikat pernikahan itu sendiri. Saya mengambil contoh ekstrem dimana
ada suami yang suka menyeleweng dan tidur dengan sembarang orang sehingga
berpotensi menularkan penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS kepada
pasangannya. Jika memang habit si
suami sudah tidak dapat diubah lagi, dengan tuntunan Roh Kudus, maka perceraian
itu bisa dilakukan dengan pertimbangan bahwa si istri dan anak-anaknya berisiko
tertular HIV/AIDS. Atau dalam konteks suami suka melakukan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) hingga mengancam nyawa istri dan anak-anaknya. Dalam hal
itu perceraian dapat dilakukan demi keselamatan istri dan anak-anak. Akan
tetapi sekali lagi perlu ditekankan, bahwa semua harus dalam tuntunan Roh Kudus
dan harus digumulkan benar-benar. Pendeta dan gereja juga harus melakukan
konseling yang memadai terhadap kasus-kasus seperti ini sehingga tidak salah
dalam mengambil keputusan, karena perceraian pasti berdampak bagi banyak orang,
khususnya apabila terdapat anak-anak dalam keluarga.
Ucapan Tuhan Yesus dalam ayat 9 ini
sebenarnya nyaris sama persis dengan apa yang disampaikannya dalam Matius pasal
5 (sebelumnya). Namun peristiwa di pasal 19 ini lebih dinamis karena ada
pihak-pihak lain yang terlibat antara lain orang Farisi, orang banyak, dan juga
murid-murid-Nya. Dalam peristiwa di pasal 19 ini, kemudian murid-murid-Nya
berkata kepada Tuhan Yesus: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri,
lebih baik jangan kawin” (ay. 10). Mereka berkata demikian karena mungkin
mereka berpikir dalam hatinya “Kok susah banget ya menikah”. Jika menikah
dipandang hanya sebagai pengesahan hubungan suami istri tentu saja menikah itu
tidak sulit, bahkan sangat mudah. Akan tetapi jika pernikahan dipandang dari
sudut pandang kebenaran, tentu menikah itu adalah hal yang sulit bahkan sangat
sulit. Pernikahan bukan hanya sekedar main-main, atau hanya supaya boleh sah
melakukan hubungan seksual, akan tetapi prinsip pernikahan yang benar adalah
bahwa pernikahan harus dilakukan karena Tuhan menghendaki demikian.
Dalam hal ini hendaknya orang percaya
harus belajar cerdas bahwa dalam segala hal kita harus melakukan apa yang Tuhan
kehendaki untuk kita lakukan. Jika Tuhan menghendaki kita untuk menikah, maka
hendaknya kita menikah. Tentu kita harus menikah dengan orang yang tepat sesuai
tuntunan Tuhan. Bahkan harus dipahami pula bahwa ada orang-orang yang memang
diberikan karunia untuk tidak menikah. Mereka bukan tidak menikah karena “tidak
laku”. Orang-orang seperti ini memang tidak menikah karena mereka tahu bahwa
adalah panggilan Tuhan bagi mereka untuk tidak menikah, supaya mereka dapat
lebih efektif dalam melayani Tuhan. Paulus pun juga merupakan salah satu dari
orang yang terpanggil untuk hidup tidak menikah. Tentu pergumulan orang-orang
seperti ini juga sangatlah berat. Mereka harus mampu mengendalikan hawa nafsu
seksual mereka. Mungkin sekali ini adalah yang dimaksud Paulus dengan “duri
dalam dagingnya” (2 Kor 2:17).
Jelas bahwa orang-orang yang memutuskan
untuk tidak menikah karena kehendak Tuhan adalah orang-orang yang spesial (ay.
11). Sebenarnya, bagi mereka yang tidak menikah, ada beberapa alasan yang
mendasarinya. Ada orang-orang yang tidak dapat kawin karena dari lahir mereka
memang demikian (ay. 12a). Ini bisa merujuk kepada orang-orang yang walaupun
secara fisik ia laki-laki, tetapi jiwanya perempuan (atau sebaliknya). Kita
tidak memungkiri bahwa ada orang-orang seperti ini, dan bagi beberapa pihak,
hal ini menjadi semacam “pembenaran” bahwa Tuhan memang menghendaki mereka
untuk menjadi homoseksual (lesbian atau gay). Namun demikian, bagi orang-orang
seperti ini, solusinya bukanlah menjalin hubungan sesama senis, namun adalah
dengan menahan diri untuk tidak menikah. Di sini pergumulan yang dihadapi oleh
orang-orang seperti ini adalah bagaimana mereka mampu mengalahkan hawa nafsu seksual
yang ada di dalam diri mereka. Lebih baik mereka tidak menikah daripada
memaksakan menikah dengan lawan jenis (yang ujung-ujungnya bisa jadi justru
tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan pasangannya yang berbeda jenis),
apalagi menikah dengan sesama jenis. Bagi orang-orang seperti ini, duri dalam
daging adalah pergumulan menundukkan hawa nafsu seksualnya supaya tidak melakukan
kesalahan. Itulah sebabnya bagi mereka lebih baik tidak menikah daripada memaksakan
menikah dan justru berbuat dosa.
Ada pula yang tidak kawin karena orang
lain (ay. 12b), misalnya mereka yang dikebiri sebagaimana praktik di beberapa
negara pada masa lalu (misalnya: tawanan perang, budak, atau kasim-kasim di kerajaan
Tionghoa di masa lalu). Tentu bagi mereka mau tidak mau mereka tidak menikah
karena kondisinya yang disebabkan oleh orang lain. Namun yang lebih hebat lagi
adalah mereka yang tidak kawin/tidak menikah karena kemauan diri sendiri karena
kerajaan surga (ay. 12c). Inilah tingkatan tertinggi dari keputusan seseorang
untuk tidak menikah. Bahkan jika mau jujur, ini haruslah menjadi satu-satunya
alasan orang percaya untuk menentukan apakah ia memang harus menikah atau harus
tidak menikah. Tentu panggilan ini tidaklah sama antar masing-masing orang. Di
sini setiap orang harus dapat benar-benar peka dan mengerti panggilan Tuhan secara
pribadi atas diri mereka. Pergumulan ini bukanlah pergumulan 1 atau 2 hari, tetapi
mungkin hingga bertahun-tahun, sampai seseorang tidak hanya yakin, tetapi
sampai tahu pasti panggilan Tuhan bagi mereka.
Jadi kembali ke persoalan perceraian, setelah
kita membaca sampai ayat 12 ini, kita melihat bahwa ada tingkatan-tingkatan
dalam melakukan perceraian, bahkan hingga 4 tingkatan, yaitu: 1) boleh bercerai
karena alasan apa saja (ini yang tidak disetujui oleh Tuhan); 2) boleh bercerai
dengan surat cerai sesuai hukum Taurat (ini yang dianut oleh orang Yahudi
sesuai dengan hukum Taurat); 3) boleh bercerai karena zinah (pornos/porneia), yaitu karena suatu
tindakan yang membahayakan hakekat perkawinan atau mengancam nyawa dan sudah
tidak dapat diperbaiki lagi; dan 4) dalam segala hal harus sesuai dengan
kehendak Tuhan. Saya harap kita yang sudah dewasa secara rohani tidak
mempersoalkan lagi tingkatan nomor 1 sampai 3 dan tidak menghabiskan energi dan
waktu untuk perdebatan itu. Kita harus mempersoalkan tingkatan tertinggi yaitu
nomor 4, yaitu dalam segala hal sesuai dengan kehendak Tuhan.
Alasan nomor 4 ini harus dipahami dan
diterapkan dalam segala hal. Tidak boleh hal ini hanya dijadikan dasar atau alasan
untuk bercerai, tetapi juga menjadi dasar dalam menentukan apakah kita menikah
atau tidak, dengan siapa menikah, dan lain sebagainya. Bahkan saya yakin jika alasan
nomor 4 ini kita terapkan sejak kita kecil, sejak kita muda, bahkan dalam hal
menentukan jodoh dan pernikahan kita, dan dalam segala hal di dalam kehidupan
kita, maka kita tidak perlu mencari-cari alasan untuk bercerai, bahkan
memikirkannya pun tidak. Pernikahan kita akan menjadi pernikahan yang efektif
untuk Tuhan. Mungkin pernikahan kita bukan pernikahan yang bergelimang harta,
uang, dan berlian. Akan tetapi kita akan memiliki pasangan hidup yang sejalan
dan se-visi untuk melakukan kehendak Bapa dan menyenangkan hati-Nya. Di situ
kita tidak akan pernah terpikir untuk bercerai, bahkan akan semangat menjaga
pernikahan kita hingga ke langit yang baru dan bumi yang baru.
Bacaan
Alkitab: Matius 19:1-12
19:1 Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari
Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan.
19:2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Ia pun menyembuhkan
mereka di sana.
19:3 Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia.
Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan
alasan apa saja?"
19:4 Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan
manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?
19:5 Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya
dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.
19:6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa
yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
19:7 Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa
memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan
isterinya?"
19:8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa
mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.
19:9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya,
kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."
19:10 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: "Jika demikian halnya
hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin."
19:11 Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat
mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.
19:12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari
rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada
orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena
Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."