Jumat, 02 Februari 2018

Pornos dan Moichos (2): Bolehkah Bercerai karena Alasan Zinah?



Jumat, 2 Februari 2018
Bacaan Alkitab: Matius 5:31-32
Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah. (Mat  5:32)


Pornos dan Moichos (2): Bolehkah Bercerai karena Alasan Zinah?


Pada saat saya menulis renungan ini, kekristenan khususnya di Indonesia agak terguncang karena adanya proses gugatan perceraian yang dilakukan oleh salah seorang tokoh terkenal Indonesia yang beragama Kristen. Sontak banyak orang Kristen yang kemudian bertanya-tanya, bolehkah bercerai? Ada yang berkata bahwa sampai kapan pun tidak boleh bercerai, ada yang berkata boleh bercerai jika alasannya adalah karena zinah, dan banyak pendapat lainnya. Beberapa tahun yang lalu pun saya pun pernah menulis di renungan ini juga bahwa apapun alasannya tidak ada kamus cerai dalam kamus Tuhan. Sedangkan ayat nats kita hari ini berbunyi: Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah (ay. 32a). Apakah maksud kata zinah di dalam ayat ini?

Jika kita perhatikan, ayat 31 dan 32 masih merupakan sambungan dari ayat-ayat sebelumnya yang telah kita bahas di hari sebelumnya. Jika dalam ayat sebelumnya (aya. 27 s.d. 30) Tuhan Yesus berkhotbah tentang definisi zinah yang tidak hanya mencakup unsur tindakan fisik (lahiriah) tetapi juga meliputi tindakan batiniah (yaitu mengingini dengan hawa nafsu), maka dalam ayat 31 dan 32 ini Tuhan Yesus hendak menekankan mengenai definisi perceraian yang baru.

Selama ini, hukum Taurat yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel/Yahudi memang mengatur mengenai perceraian. Salah satu ayatnya dikutip Tuhan Yesus dalam pengajaran di atas bukit ini, yaitu “Siapa yang menceraikan istrinya harus memberi surat cerai kepadanya” (ay. 31). Tuhan Yesus mengutip ayat ini dalam dalam rangka menunjukkan bahwa siapa pun orang (laki-laki) dari bangsa Yahudi yang menceraikan istrinya harus memberi surat cerai. Kalimat yang diucapkan oleh Tuhan Yesus tersebut merupakan ringkasan dari aturan mengenai perceraian di dalam hukum Taurat yang disampaikan Musa, sebagai berikut:

"Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu” (Ul 24:1-4).

Jika kita membaca keempat ayat di atas, kita akan menemukan bahwa alasan perceraian di dalam kitab Ulangan begitu sederhana. Orang Israel dapat menceraikan istrinya jika ia tidak menyukai lagi perempuan itu sebab didapatinya hal yang tidak senonoh pada istrinya. Menarik jika kita juga membedah apa yang dimaksud dengan tidak senonoh tersebut. Dalam sejumlah terjemahan bahasa Indonesia, selain kata “tidak senonoh” juga digunakan kata “yang memalukan dan kecelaan”. Sementara itu dalam bahasa sejumlah terjemahan bahasa Inggris, digunakan kata something offensive (sesuatu yang menghina, menjijikkan, menyakitkan hati, tidak sopan), something improper (sesuatu yang tidak pantas, tidak patut, tidak senonoh, mesum), something objectionable (sesuatu yang tidak pantas, tidak dapat disetujui), something indecent (sesuatu yang tidak senonoh), indencecy (ketidaksenonohan), some uncleanness (kenajisan).

Dalam bahasa aslinya, kata tidak senonoh menggunakan kata עֶרְוַ֣ת (ervat atau erwat) dari akar kata עֶרְוָה (ervah). Kata ervah sendiri dapat berarti nakedness (ketelanjangan, keadaan telanjang), pudenda (kemaluan, baik pria maupun wanita), indencecy (ketidaksenonohan), improper behaviour (perilaku yang tidak pantas, tidak patut, tidak senonoh, mesum), uncleanness (kenajisan). Mungkin saja kata ervah ini terkait dengan tindakan seseorang yang tidak pantas/tidak senonoh, yaitu sampai menunjukkan kemaluannya kepada orang lain yang tidak berhak. Kemungkinan konteks hal ini tidak sampai kepada persetubuhan, karena hukuman dari persetubuhan di luar pernikahan dalam hukum Taurat adalah hukuman mati (Ul 22:22-27).

Jadi bangsa Israel sangat menjunjung tinggi nilai dari suatu pernikahan. Orang yang sudah menikah tidak boleh melakukan perzinahan (hingga berhubungan seksual/bersetubuh) dengan orang lain. Jika perempuan yang sudah menikah tidur dengan laki-laki lain, maka hukumannya adalah hukuman mati. Hukum Taurat memang tidak mengatur secara rinci mengenai tindakan apa yang dilakukan jika ada laki-laki yang sudah menikah kemudian tidur dengan perempuan lain yang belum menikah. Kemungkinan karena praktik poligami yang sudah umum, solusinya hanyalah menikahi perempuan tersebut supaya menjadi istrinya yang sah.

Kita harus paham bahwa orang Israel/Yahudi adalah orang yang cerdik. Mereka sangat pintar untuk mencari celah dari hukum Taurat bagi kepentingan mereka sendiri. Itulah sebabnya diatur bahwa seorang laki-laki dapat menceraikan istrinya jika telah melakukan ervah, namun laki-laki itu tetap harus memberikan surat cerai kepadanya. Kemungkinan besar surat cerai itu merupakan surat resmi yang diberikan kepada wanita supaya memutuskan ikatan perjanjian nikah, melindungi dan membebaskan wanita tersebut dari semua tanggung jawab kepada mantan suaminya. Tidak heran jika si suami dilarang untuk mengambil dia kembali menjadi istrinya.

Praktik ini telah dilakukan orang Israel sejak Perjanjian Lama hingga masa Perjanjian Baru dimana Tuhan Yesus hidup. Ada kemungkinan pula bahwa pada zaman Tuhan Yesus hidup, perceraian menjadi begitu mudah dilakukan, yaitu hanya dengan memberikan surat cerai. Hal tersebut bisa saja terjadi karena bangsa Yahudi sedang dijajah oleh bangsa Romawi sedangkan bangsa Romawi/Yunani sangat mudah untuk melakukan kawin cerai. Akibatnya bangsa Yahudi pun mulai terkontaminasi sehingga perceraian menjadi begitu mudah dilakukan tanpa melihat alasannya.

Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa firman yang diberikan kepada bangsa Israel/Yahudi memang demikian adanya. Jadi Musa memang “mengizinkan” perceraian, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku sesuai dengan hukum Taurat. Syarat dan ketentuan tersebut tentu di antaranya mengatur mengenai penyebab perceraian, kewajiban memberi surat cerai, serta mungkin hal-hal rinci lainnya yang diatur dalam tradisi-tradisi Yahudi. Inilah praktik yang selama ini dilakukan oleh orang-orang Yahudi hingga di masa Tuhan Yesus hidup.

Kata “menceraikan” dalam ayat 31 dalam bahasa aslinya menggunakan kata apolysē (ἀπολύσῃ) dari akar kata apoluó (ἀπολύω). Di ayat 32, kata “menceraikan” dalam bahasa aslinya adalah apolyōn (ἀπολύων) yang juga berasal dari akar kata yang sama yaitu apoluó (ἀπολύω). Kata apoluó di sini memiliki pengertian to set free (membebaskan), release (melepaskan, mengeluarkan), let go (melepaskan), send away (mengirimkan, mengusir), divorce (menceraikan, memisahkan), dismiss (memberhentikan, membubarkan), abandon (mengabaikan, membuang).

Sepintas dalam konteks ini perempuan diperlakukan seperti objek yang bisa dilepaskan atau “diusir”. Namun demikian sebenarnya tidaklah demikian. Harus dipahami bahwa definisi perceraian adalah suatu “pembubaran/pemberhentian sebuah pernikahan”. Jadi adalah sebuah hal yang lucu jika ada 2 orang yang bercerai tetapi masih terlihat rukun-rukun saja. Perceraian harus didasarkan pada sebuah masalah yang tidak mungkin bisa dipersatukan lagi. Perceraian (jika terjadi) harus membuat kedua belah pihak memutuskan hubungan sama sekali. Bahkan ada benarnya juga salah satu kata terjemahan bahasa Inggris yaitu abandon yang artinya mengabaikan bahkan membuang, sehingga mereka yang bercerai harus benar-benar mengabaikan yang lainnya. Jadi daripada membahas mengenai bolehkah bercerai, harus diperjelas dahulu alasan pengajuan perceraian. Jangan sampai perceraian terjadi tanpa alasan yang logis dan jelas, karena jika demikian maka makna perceraian dan pernikahan akan menjadi begitu rendah dan murahan (karena dengan mudah dapat kawin, cerai, kawin lagi, cerai lagi, dan seterusnya).

Saya memang sedang tidak membahas secara khusus mengenai perceraian (mungkin jika perlu akan kita bahas di serial renungan selanjutnya). Saya sedang tidak membicarakan apakah kekristenan boleh bercerai atau tidak. Dalam ayat 31, konteks pembicaraan mengenai perceraian adalah budaya dan hukum orang Yahudi sesuai dengan hukum Taurat (hukum Musa). Dalam ayat 32 ini, Tuhan Yesus sedang berbicara di awal masa pelayanan-Nya, khususnya kepada orang Yahudi yang mendengarkannya. Jadi kalimat Tuhan Yesus: “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah” (ay. 32a) harus dipahami bukan sebagai perintah Tuhan Yesus. Itu adalah suatu kelonggaran dan bukan suatu kewajiban bagi orang percaya.

Ketika Tuhan berkata bahwa “Siapa yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah, ia menjadikan istrinya berzinah” menunjukkan seakan-akan ada perceraian yang bisa membuat istrinya tidak berzinah. Lalu muncul pandangan beberapa pihak: “Oh, kalau begitu misal kita menceraikan istri karena alasan perzinahan, maka itu boleh dong?”. Dalam menjawab hal ini, bukan masalah boleh atau tidak, tetapi apakah nama Tuhan dipermuliakan atau tidak.. Jadi persoalannya bukan pada boleh atau tidaknya bercerai, tetapi apa alasan perceraian terjadi, itu jauh lebih penting untuk didalami.

Kita perlu membedah ayat 32 dengan lebih mendalam, khususnya mengenai 3 kata zinah yang ada di dalamnya. Kata “zinah” yang pertama (dalam kalimat “setiap orang yang mencerikan istrinya kecuali karena zinah”) menggunakan kata porneias (πορνείας) dari akar kata porneia (πορνεία). Sementara kata “zinah” yang kedua (dalam kalimat “ia menjadikan istrinya berzinah”) menggunakan kata moicheuthēnai (μοιχευθῆναι) dari akar kata moicheuó (μοιχεύω). Kata “zinah” yang ketiga (dalam kalimat “siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”) menggunakan kata moichatai (μοιχᾶται) dari akar kata moichaó (μοιχάομαι). Kita akan membedah kata zinah di sini satu persatu.

Pada kalimat “Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah”, kata “zinah” menggunakan kata porneias (πορνείας) dari akar kata porneia (πορνεία). Kata porneia di sini berbeda dengan kata moicheuó atau moichaó yang digunakan dalam 2 kata “zinah” berikutnya di ayat 32. Kata porneia merupakan kata benda (noun) yang memiliki pengertian fornication (perbuatan zina, persundalan), whoredom (persundalan). Definisi fornication adalah sexual intercourse between two persons not married to each other (hubungan seksual antara dua orang yang tidak menikah satu sama lain). Sementara itu definisi whoredom adalah prostitution or other promiscuous sexual activity (pelacuran/persundalan, atau aktivitas seksual yang dilakukan dengan siapa saja tanpa batasan).

Disini nampak bahwa kata whoredom dapat bermakna suatu pelacuran (melakukan hubungan seksual demi uang atau imbalan lain) namun juga aktivitas seksual yang dilakukan sesukanya dengan siapa saja (tidak mengejar uang atau imbalan lain). Oleh karena itu saya berpendapat bahwa porneia (dari kata pornos) memiliki level dosa yang lebih parah daripada moichos. Jadi menarik bahwa Tuhan tidak berkata “setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena moichos” tetapi berkata “setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena pornos/porneia”. Ini mengindikasikan bahwa tindakan pornos/porneia merupakan suatu tindakan zinah yang sudah parah, lebih parah daripada sekedar moichos, yaitu sebuah tindakan zinah yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

Tentu dalam hal ini kita harus peka terhadap tuntunan Roh Kudus untuk mengenal apakah seseorang masih dapat diperbaiki atau sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Sebagai contoh, apakah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menjadi alasan cerai? Jika pihak yang melakukan KDRT itu masih dapat diperbaiki lagi, maka tentu tidak boleh bercerai. Tetapi jika KDRT tersebut sudah sampai melampaui batas semisal sudah melukai dengan senjata tajam/senjata api, atau sudah sampai ada ancaman pembunuhan dengan nyata, maka tentu hal tersebut dapat dipertimbangkan sebagai alasan perceraian.

Contoh lain adalah apabila dalam pernikahan ternyata salah satu pihak tidak setia, suka tidur dengan sembarang orang sehingga berisiko menularkan penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS, dan sudah tidak dapat lagi diperbaiki, maka hal tersebut dapat menjadi dipertimbangkan sebagai alasan perceraian. Ingat bahwa ada firman Tuhan yang berkata bahwa tubuh ini adalah Bait Roh Kudus, sehingga kita pun wajib menjaga tubuh kita supaya dapat memuliakan Tuhan. Dalam kedua kasus di atas misalnya, apakah jika orang tersebut mati dibunuh karena KDRT maka hal itu memuliakan Tuhan? Atau apakah jika orang tersebut akhirnya tertular HIV/AIDS karena pasangannya melakukan praktik seks bebas secara sembarangan maka hal itu memuliakan Tuhan?

Dalam hal ini kita mesti peka terhadap suara Roh Kudus dan tuntunan-Nya. Perlu dilihat lagi bahwa kasih bukan hanya sekedar mengasihi pasangan kita tanpa batas. Kasih adalah kesesuaian kita terhadap kehendak Allah. Kita tentu harus mengasihi pasangan kita meskipun mereka tidak sempurna, atau meskipun mereka melakukan kesalahan. Andaikan pasangan kita sempat khilaf dan melakukan perzinahan, tetapi selama ia masih dapat diperbaiki lagi (dan itu juga adalah tanggung jawab kita sebagai pasangannya untuk memperbaikinya), maka hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk perceraian. Tentu di sinilah pentingnya peranan pendeta dan gereja dalam melihat kasus per kasus. Kita tidak dapat menggeneralisasi bahwa setiap pasangan tidak boleh cerai, atau setiap pasangan boleh cerai. Alasan di balik pengajuan cerai itulah yang penting. Jangan sampai hanya karena cekcok dan ucapan pedas yang dilontarkan pasangan kita, maka itu dijadikan alasan perceraian.

Namun jika misalnya pasangan kita sudah tidak dapat diperbaiki, dan sampai pada taraf membayakan diri kita bahkan nyawa kita, atau berisiko menularkan penyakit berbahaya kepada kita dan anak-anak kita, maka perceraian wajib dipertimbangkan demi keselamatan diri kita dan anak-anak kita. Bayangkan jika kita mati atau terkena penyakit menular (misal: HIV/AIDS), apakah kita akan masih efektif melayani Tuhan? Di sinilah ujian sesungguhnya kepada setiap orang percaya untuk dapat menemukan kehendak Tuhan dengan tepat dalam persoalan ini.  

Jadi perceraian adalah opsi terakhir terhadap keluarga yang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Tentu jika memang tidak perlu cerai, ya tidak usah mencari-cari alasan untuk bercerai. Toh ketika dahulu kedua orang yang terikat dalam pernikahan mengucapkan janji nikah, mereka berjanji untuk setia hingga maut memisahkan mereka. Jadi jika sampai terjadi perceraian, berarti ada pelanggaran terhadap janji nikah mereka. Pelanggaran terhadap janji pasti membawa konsekuensi. Dalam hal ini, salah satu konsekuensi yang nyata adalah ketika ada orang (laki-laki) yang menceraikan istrinya (kecuali karena zinah/pornos/porneia), maka ia menjadikan istrinya tersebut berzinah.

Kata “zinah” dalam kalimat “ia menjadikan istrinya tersebut berzinah” menggunakan moicheuthēnai (μοιχευθῆναι) dari akar kata moicheuó (μοιχεύω). Kata moicheuó merupakan kata kerja (verb) yang berarti to commit adultery atau to be an adulterer (melakukan perzinaan atau menjadi seorang pezina). Dalam renungan hari kemarin, telah saya sampaikan bahwa definisi adultery adalah voluntary sexual intercourse between a married person and someone other than that person's current spouse or partner (hubungan seksual yang dilakukan dengan sukarela/tanpa paksaan antara seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya/bukan suami atau istrinya). Sepintas kata moicheuó hampir mirip dengan kata porneia. Namun demikian saya menyederhanakan bahwa moicheuo adalah tindakan yang masih dapat diperbaiki sementara porneia menunjuk pada tindakan bahkan sikap atau karakter yang sudah sangat sulit diperbaiki.

Kata moicheuó juga dapat berarti to suffer adultery (menderita perzinahan atau memikul perzinahan), be debauched (menjadi tidak bermoral). Ini juga dapat diartikan sebagai beban yang harus dipikul oleh orang yang diceraikan, khususnya di mata masyarakat pada umumnya. Tentu yang sering menjadi korban adalah wanita, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa ada pria yang menjadi korban dalam sebuah perceraian. Wanita tersebut sangat mungkin dipandang masyarakat bahwa ia adalah orang yang gagal berumah tangga, tidak dapat mengurus suaminya dengan baik, dan lain sebagainya. Banyak orang yang tidak pernah memikirkan dampak ini ketika mereka mengajukan perceraian tanpa alasan porneia. Berbeda dengan perceraian dengan alasan porneia (yaitu karena tindakan/sikap/karakter yang membahayakan dan tidak dapat diperbaiki lagi), karena sebagian besar masyarakat mungkin masih bisa memakluminya.

Jika di dalam bahasa Inggris moicheuó diterjemahkan sebagai adultery sementara porneia diterjemahkan sebagai fornication atau whoredom, jelas kedua hal tersebut berbeda tingkatannya. Memang bahasa Indonesia menerjemahkan dengan kata yang sama yaitu zina/zinah karena keterbatasan kosakata dalam bahasa Indonesia. Tetapi menarik bahwa orang yang menceraikan istrinya bukan karena alasan porneia maka sebenarnya ia menjadikan istrinya melakukan moicheuó. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya dalam kamus Allah tidak boleh ada perceraian. Jika seorang istri diceraikan (secara hukum negara), maka di mata Tuhan sebenarnya mereka tetap satu (karena sudah dipersatukan di dalam Tuhan).

Saya tidak menampik bahwa ada oknum gereja atau oknum pendeta yang berani berkata dalam kondisi seperti itu bahwa kedua orang tersebut sudah bercerai secara hukum negara dan gereja juga mengakui perceraian tersebut sehingga status mereka sudah cerai. Akan tetapi saya berani menjamin bahwa suatu saat oknum pendeta tersebut pasti tidak konsisten dan berubah-ubah pendiriannya. Dalam kasus ini mungkin mereka bisa berani bilang statusnya sudah bercerai, tetapi dalam kasus lain, mungkin mereka akan berkata yang lain lagi. Salah satu ciri kebenaran yang murni adalah kebenaran pasti konsisten. Yang tidak konsisten adalah oknum-oknum tertentu yang memutarbalikkan kebenaran menjadi pembenaran bagi kepentingan mereka sendiri. Kita harus waspada karena terkadang pembenaran pun memakai ayat-ayat yang terlihat logis. Ini sama dengan apa yang dilakukan Iblis ketika ia mencobai Tuhan Yesus di padang gurun menggunakan ayat Kitab Suci.

Kembali ke ayat 32, selain menjadikan istrinya berzinah (moicheuó), bahkan dikatakan bahwa siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan tersebut, ia berbuat zinah (ay. 32b). Kata “zinah” dalam kalimat terakhir ini menggunakan kata moichatai (μοιχᾶται) dari akar kata moichaó (μοιχάομαι). Kata moichaó sebenarnya hampir mirip dengan kata moicheuó dalam kata sebelumnya. Kata moichaó dapat berarti to have unlawful intercourse with another's wife (melakukan hubungan seksual yang tidak sah dengan istri orang lain), to commit adultery with (melakukan perzinaan, yaitu hubungan seksual antara seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya/bukan suami atau istrinya).

Menarik melihat bahwa kata moichaó di sini juga memiliki definisi “melakukan hubungan seksual yang tidak sah dengan istri orang lain”. Mengapa masih digunakan status “istri orang lain”? Bukankah istri tersebut sudah diceraikan oleh suaminya (meskipun diceraikan bukan karena alasan porneia)? Disini kebenaran yang murni hendak disampaikan, yaitu Tuhan tetap mengakui status perempuan itu sebagai istri yang sah dalam pernikahan yang sah. Memang orang yang menikahi perempuan yang diceraikan belum tentu salah (karena mungkin saja ada pendeta atau gereja yang terlalu berani bahwa mereka sudah diceraikan sehingga boleh menikah kembali sehingga orang tersebut merasa tidak melanggar firman Tuhan), tetapi di mata Tuhan istri tersebut masih merupakan istri yang sah dari suami yang menceraikannya tadi. Menarik juga bahwa Tuhan tidak menggunakan kata porneia dalam kalimat terakhir di ayat 32 ini, karena memang hal tersebut bukan kesalahan suami yang baru tersebut (apalagi jika suami yang baru memang belum mengerti hal ini, atau ia memang memiliki niat yang tulus dalam menikahi perempuan yang diceraikan tersebut).

Jadi sebenarnya dalam hal ini Tuhan Yesus hendak menekankan bahwa di mata Tuhan, apa yang sudah dipersatukan tetap tidak boleh diceraikan. Apabila ada orang yang menceraikan pasangannya bukan karena alasan porneia (yaitu karena tindakan/sikap/karakter yang membahayakan dan tidak dapat diperbaiki lagi), maka ia sedang membuat istrinya melakukan moicheuó. Bahkan jika ada laki-laki lain yang mau menikahi perempuan yang diceraikan tersebut (yang diceraikan bukan karena alasan porneia) maka laki-laki tersebut sedang berbuat moichaó.

Jadi persoalannya terkadang pendeta dan gereja terlalu mudah membenarkan alasan perceraian tanpa menyelidiki penyebabnya secara mendalam. Jika memang alasannya perceraian karena porneia (misal suami suka main perempuan dengan sembarang orang sehingga berisiko tertular penyakit seperti HIV/AIDS, atau suami sering melukai istri bahkan mengancam membunuhnya), maka hal tersebut mungkin masih dapat dibenarkan. Lagipula menilik definisi kata cerai (apoluó), maka orang yang sudah bercerai seharusnya memutuskan hubungan sepenuhnya tanpa kecuali. Pemutusan hubungan ini tentu saja dilakukan dengan alasan keselamatan jiwa dari pihak yang bercerai, misalnya supaya tidak suami tidak datang ke rumah mantan istrinya dan membunuhnya.

Tetapi jika alasan perceraian karena alasan sepele (misal karena cekcok mulut, atau hal sepele lainnya), sangatlah tidak pantas jika perceraian dilakukan. Apalagi jika misalnya setelah cerai suami masih sering berkunjung ke tempat mantan istrinya atau istri masih bisa berkunjung ke tempat mantan suaminya. Itu bukanlah perceraian karena alasan porneia. Jika demikian, maka berlakulah kalimat di ayat 32 yang Tuhan Yesus katakan, yaitu mereka yang menceraikan istrinya maka ia menjadikan istrinya berzinah, bahkan bisa membuat orang lain juga berbuat zinah.

Inti dari renungan kita hari ini adalah jangan pernah berpikir mengenai perceraian kecuali jika sudah ada hal-hal yang mengancam keselamatan jiwa kita dan salah satu pihak sudah terlalu parah sehingga sudah tidak dapat diperbaiki lagi (porneia). Saya harap kita semua sudah dewasa dan sudah dapat mengambil keputusan dengan logis dan dapat membedakan mana yang adalah porneia dan mana yang bukan. Ingat bahwa semua keputusan kita harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kita mungkin bisa berkelit di balik aturan gereja atau di balik kedekatan kita dengan pendeta. Tetapi ingatlah bahwa Tuhan menilai hati kita dan akan menghakimi hati nurani kita kelak. Pada saat itulah, semua akan terbuka di hadapan Tuhan tanpa kecuali, dan kita akan menerima konsekuensi dari pilihan kita selama hidup di dunia ini.



Bacaan Alkitab: Matius 5:31-32
5:31 Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya.
5:32 Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.