Rabu, 13 Juni 2018

Pornos dan Moichos (11): Berlaku Sama untuk Pria dan Wanita


Rabu, 13 Juni 2018
Bacaan Alkitab: Markus 10:1-12
“Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.” (Mrk 10:12)


Pornos dan Moichos (11): Berlaku Sama untuk Pria dan Wanita


Harus diakui bahwa perikop di Markus 10:1-12 isinya nyaris sama persis dengan apa yang tertulis di Matius 19:1-12, terutama di bagian depan kedua perikop tersebut. Namun demikian, jika kita jeli mengamati kedua perikop tersebut, maka kita akan melihat ada sedikit perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan penekanan dari masing-masing penulis kitab Injil. Hal ini bukan berarti Firman Tuhan tidak konsisten, tetapi justru satu dan yang lainnya saling melengkapi untuk membangun suatu pengertian yang benar.

Ringkasan peristiwa di perikop ini dapat diringkas sebagai berikut: Tuhan Yesus pergi ke daerah Yudea dan seberang sungai Yordan untuk mengajar seperti biasa (ay. 1). Pada saat itu ada orang-orang Farisi yang hendak mencobai Tuhan Yesus dengan pertanyaan yang menjebak, yaitu mengenai apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya atau tidak (ay. 2). Tuhan Yesus menanyakan kepada orang Farisi mengenai apa perintah Musa (hukum Taurat) mengenai hal itu, karena orang Farisi adalah orang-orang yang sangat paham mengenai hukum Taurat (ay. 3). Orang Farisi menjawab bahwa hukum Taurat mengizinkan mereka menceraikan istrinya dengan membuat surat cerai (ay. 4).

Intinya, Tuhan Yesus menjawab bahwa hukum Taurat memuat kelonggaran (bukan perintah atau kewajiban) terhadap perceraian, yaitu karena mereka memiliki hati yang tegar (ay. 5), padahal rancangan awal Allah tidaklah demikian terhadap manusia. Pada awal penciptaan, Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan (ay. 6). Lebih tepatnya lagi, satu orang laki-laki (Adam) dan satu orang perempuan (Hawa). Jadi jika memang Allah merencanakan perceraian, maka Adam tidak akan bisa menemukan perempuan lain dan Hawa tidak akan bisa menemukan laki-laki lain. Itulah tatanan Allah yang sangat luar biasa sejak penciptaan manusia, yaitu supaya mereka bersatu menjadi satu daging (ay. 7a). Sehingga ketika mereka menjadi satu, mereka bukan lagi dua tetapi satu (ay. 7b). Apa yang sudah dipersatukan Allah pun tidak boleh diceraikan manusia (ay. 8). Hal ini sudah kita bahas lebih dalam pada pembahasan di Matius 19:1-12 (seri ke-6 dari serial Pornos dan Moichos ini).

Karena apa yang tertulis di ayat 1 hingga 9 relatif sama dengan bagian awal peristiwa yang sama di Matius 19, maka kita akan membahas mulai ayat 10. Dikatakan di Injil Markus ini bahwa murid-murid Tuhan Yesus baru menanyakan mengenai jawaban Tuhan Yesus di ayat-ayat sebelumnya setelah mereka sampai di rumah (bukan di depan orang-orang Farisi pada waktu itu). Alkitab memang tidak menjelaskan mengapa mereka baru menanyakannya di rumah, mungkin karena malu kepada Tuhan Yesus atau takut dengan orang Farisi (atau bisa juga karena baru terpikir pada saat mereka pulang di rumah). Menanggapi pertanyaan murid-murid-Nya, Tuhan Yesus menjawab dengan terus terang kepada mereka inti dari penjelasan-Nya terdahulu kepada orang Farisi: 1) Suami yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, maka ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu; dan 2) Istri yang menceraikan suaminya lalu kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah (ay. 11-12).

Selama ini, harus diakui bahwa hukum Taurat di Perjanjian Lama memang cenderung berfokus pada sisi laki-lakinya karena pola masyarakat Israel/Yahudi yang memang menganut sistem bersifat patrilineal. Artinya tidak banyak ada aturan tentang yang diatur terhadap wanita karena mungkin saja status wanita yang waktu itu masih dianggap sebagai masyarakat kelas dua di di bawah pria/laki-laki. Namun sebenarnya apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus telah mendobrak strata ini. Pengajaran Tuhan Yesus di Perjanjian Baru hampir semua dapat dikenakan baik oleh pria maupun wanita. Dunia pada zaman Tuhan Yesus hidup memang adalah masyarakat Yahudi yang masih memegang teguh adat istiadat mereka. Namun mereka juga sedang dijajah oleh bangsa Romawi membawa kebudayaan baru. Jika dalam budaya bangsa Yahudi biasanya wanita tidak akan berani berzinah (karena hukumannya adalah hukuman mati), tetapi di budaya bangsa Romawi, bisa jadi ada wanita-wanita kaya yang suka bergonta-ganti pasangan dan hal tersebut mungkin sedikit banyak mempengaruhi pandangan bangsa Yahudi pada masa itu.

Oleh sebab itu, Tuhan Yesus hendak menyampaikan kebenaran Injil yang tidak terbatas bagi bangsa Yahudi saja tetapi juga kepada bangsa-bangsa lainnya termasuk bangsa Yunani, Romawi, dan juga bangsa Indonesia di masa kini. Kebenaran yang Tuhan Yesus sampaikan sangat fleksibel dan dapat diterapkan dalam segala kondisi masyarakat dalam segala waktu dan zaman. Ayat 11 intinya adalah jika seorang pria menceraikan istrinya dan kawin (menikah) lagi dengan perempuan lain, maka ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya tersebut.

Dalam bahasa aslinya, kata menceraikan di ayat 11 dan 12 adalah kata apolysē (ἀπολύσῃ) dan apolysasa (ἀπολύσασα) dari akar kata apoluó (ἀπολύω). Kata apoluó di sini memiliki pengertian to set free (membebaskan), release (melepaskan, mengeluarkan), let go (melepaskan), send away (mengirimkan, mengusir), divorce (menceraikan, memisahkan), dismiss (memberhentikan, membubarkan), abandon (mengabaikan, membuang). Singkatnya, menceraikan disini melepaskan diri dari ikatan pernikahan antara suami dan istri. Dalam konteks ayat 11 dan 12 ini pun, bisa dikatakan pihak yang menceraikan sedang membuang pasangannya supaya dapat menikah lagi dengan orang lain.

Tuhan Yesus jelas mengatakan jika ada orang yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, maka ia hidup dalam perzinahan terhadap istrinya itu. Pertanyaannya, siapa yang dimaksud dengan istrinya dalam bagian akhir ayat 11 ini? Apakah perempuan yang pertama (yang diceraikan) ataukah perempuan yang kedua (yang sudah dinikahinya). Dalam Alkitab terjemahan bahasa Inggris, hampir semua hanya menulis “commits adultery against her” (berbuat zinah atau hidup dalam perzinahan terhadap dia), sama seperti apa yang ditulis di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Terjemahan Baru. Namun dalam beberapa Alkitab bahasa Indonesia terjemahan lama dan bahasa suku, ada yang menulis bahwa si laki-laki sedang berzinah terhadap istri yang pertama (yang diceraikan tadi).

Kata hidup dalam perzinahan (atau berbuat zinah) tersebut dalam bahasa aslinya menggunakan kata moichatai (μοιχᾶται) dari akar kata moichaó (μοιχάομαι). Kata moichaó sendiri menunjukkan tindakan seseorang yang sudah menikah (awalnya lebih kepada wanita namun juga dapat berlaku bagi pria) yang melakukan hubungan seksual yang tidak sah dengan orang yang bukan pasangannya, atau dengan pasangan orang lain. Dalam budaya Yahudi dan Romawi pada waktu itu, terdapat pemikiran bahwa orang yang sudah bercerai (diakui oleh negara/pemerintah) dengan bukti surat cerai, maka orang tersebut sudah sah bercerai. Memang di mata negara (Romawi) maupun di pandangan agama (Yahudi) orang tersebut sudah dipandang sah untuk bercerai, tetapi bagaimana dengan status orang tersebut di pandangan Allah? Jika mau jujur, inilah jawaban yang paling logis, yaitu di mata Tuhan, orang tersebut tetap hidup dalam perzinahan terhadap pasangannya yang terdahulu. Kata perzinahan yang dipakai di sini adalah moichaó dan bukan pornos/porneia karena memang perzinahan ini bukan sesuatu yang pasti salah dan tidak dapat diperbaiki lagi. Akan tetapi perzinahan tetaplah perzinahan, sebisa mungkin kita harus menghindari perzinahan karena kita sudah mengucapkan janji suci kita di hadapan Tuhan untuk mengasihi hingga maut memisahkan, dan jika kita menceraikan suami/istri kita, maka kita sedang melanggar janji kita sendiri.

Lebih parah lagi, jika ada orang yang menceraikan pasangannya dengan sudah memiliki niat di dalam hatinya untuk menikah dengan orang lain. Bisa jadi bahwa orang ini sudah menjalin affair dengan “orang ketiga” tersebut sejak masih berstatus sebagai suami istri. Akibatnya, perceraian yang didasarkan pada kondisi seperti ini sebenarnya hanyalah “sandiwara” belaka karena memang tujuan perceraian adalah supaya orang yang berselingkuh ini dapat menikah dengan selingkuhannya setelah bercerai dari suaminya/istrinya yang pertama. Seharusnya pemimpin jemaat (pendeta/gembala sidang) harus dapat peka terhadap suara Roh Kudus sehingga tidak terburu-buru bisa menyetujui perceraian jemaatnya.  Harus ada suatu konseling yang komprehensif terhadap pasangan yang ingin bercerai tersebut supaya tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.

Dahulu mungkin lebih banyak suami yang menceraikan istrinya (karena status wanita yang dipandang lebih rendah dari pria). Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, semakin banyak wanita yang juga berani menceraikan suaminya dengan berbagai alasan, seperti tidak dinafkahi, tidak cocok, bahkan alasan yang kekinian adalah karena adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Memang jika KDRT tersebut benar terjadi, hal tersebut memang bisa menjadi pertimbangan. Akan tetapi jika KDRT yang dimaksud hanyalah kesalahpahaman dan adu mulut (yang mungkin wajar terjadi dalam pernikahan, apalagi jika yang menikah masih muda atau menikah tanpa adanya persiapan/pengenalan yang cukup), tentu harus dipertanyakan, apakah alasan tersebut cukup kuat untuk dijadikan alasan bercerai? Di sinilah peran penting pendeta dan gembala jemaat, sehingga perceraian itu dapat diminimalisir. Kalaupun perceraian benar-benar terjadi, perlu ditekankan bahwa perceraian itu pun memang adalah solusi terakhir yang tidak dapat dihindari lagi. Jangan sampai setelah bercerai, selang beberapa waktu justru ada pernikahan lagi dengan orang lain, dan kemudian karena pokok masalahnya tidak diselesaikan, maka muncul perceraian kembali. Jangan biarkan kawin cerai menjadi hal yang umum terjadi di gereja, karena gereja harusnya menjadi saksi dalam hal yang benar, bukan justru melegitimasi kesalahan dengan juga melakukan praktik-praktik duniawi di dalamnya.

Terkait dengan perceraian yang dilakukan oleh wanita (yaitu wanita yang mengajukan gugatan cerai), Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa jika si istri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, maka ia berbuat zinah. Tentu ayat 11 dan 12 ini harus juga dipandang dalam konteks alasan perceraian yang benar, seperti yang sudah kita bahas di seri sebelumnya yang membahas ayat Mat 5:31-32. Jika si wanita menceraikan suaminya dengan alasan yang dibuat-buat, apalagi supaya bisa kawin dengan laki-laki lain, maka sesungguhnya ia sedang berbuat zinah atau moichatai (μοιχᾶται). Jadi moichatai tidak hanya berlaku bagi wanita yang masih bersuami, tetapi meskipun ia sudah cerai di mata negara/agama, bisa jadi wanita tersebut masih melakukan moichatai.

Jelas bahwa moichatai tidak dapat dipandang sebelah mata. Mungkin moichatai tidak separah pornos/porneia, tetapi jika sikap moichatai tidak segera diperbaiki, maka hal tersebut dapat semakin parah hingga menjadi porneia yang tidak dapat diperbaiki lagi. Dan ini tidak hanya berlaku bagi para laki-laki yang selama ini cenderung lebih sering menceraikan istrinya, tetapi juga berlaku bagi para perempuan/wanita yang juga menceraikan suaminya, apalagi jika tujuan perceraian tersebut adalah supaya bisa menikah dengan orang lain. Itu adalah hal yang jahat di mata Tuhan.



Bacaan Alkitab: Markus 10:1-12

10:1 Dari situ Yesus berangkat ke daerah Yudea dan ke daerah seberang sungai Yordan dan di situ pun orang banyak datang mengerumuni Dia; dan seperti biasa Ia mengajar mereka pula.
10:2 Maka datanglah orang-orang Farisi, dan untuk mencobai Yesus mereka bertanya kepada-Nya: "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?"
10:3 Tetapi jawab-Nya kepada mereka: "Apa perintah Musa kepada kamu?"
10:4 Jawab mereka: "Musa memberi izin untuk menceraikannya dengan membuat surat cerai."
10:5 Lalu kata Yesus kepada mereka: "Justru karena ketegaran hatimulah maka Musa menuliskan perintah ini untuk kamu.
10:6 Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan,
10:7 sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
10:8 sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.
10:9 Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia."
10:10 Ketika mereka sudah di rumah, murid-murid itu bertanya pula kepada Yesus tentang hal itu.
10:11 Lalu kata-Nya kepada mereka: "Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.

10:12 Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.