Jumat, 22 Juni 2018

Pornos dan Moichos (15): Bukan Pezinah = Kebanggaan?


Jumat, 22 Juni 2018
Bacaan Alkitab: Lukas 18:9-14
Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; (Luk 18:11)


Pornos dan Moichos (15): Bukan Pezinah = Kebanggaan?


Harus diakui bahwa belakangan ini, banyak orang Kristen yang menjadi bangga akan hidupnya. Rasa bangga itu begitu tingginya hingga tanpa disadari orang tersebut juga meninggikan diri. Saya sendiri pernah terjebak pada kondisi seperti itu, karena merasa “lebih tahu” soal Alkitab sehingga seakan-akan memandang rendah orang lain yang tidak sepaham. Jika saya yang bukan siapa-siapa saja pernah jatuh dalam dosa ini, betapa berbahayanya bagi mereka yang memang memiliki jabatan tertentu di gereja, apalagi sebagai pemimpin gereja atau pemimpin jemaat.

Suka atau tidak suka, dosa kesombongan ini sangat rawan terjadi pada orang-orang yang memang memegang jabatan tertentu di gereja (misal: pengurus, majelis, diaken), serta para pelayan mimbar (yaitu mereka yang tampil di atas mimbar gereja (misal: worship leader, singer, choir, pemusik, bahkan termasuk pembicara). Sangat besar kemungkinan mereka merasa lebih baik, lebih terhormat, dan lebih benar daripada orang lain hingga sampai memandang rendah orang lain (bahkan semua orang lain) (ay. 9).

Terkait hal ini, Tuhan Yesus menyampaikan suatu perumpamaan dimana terdapat 2 orang yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa, yang satu adalah orang Farisi (yang mengerti hukum Taurat bahkan secara lahiriah dipandang lebih terhormat oleh orang Yahudi karena hidup keberagamaannya yang berusaha memenuhi seluruh tuntutan hukum Taurat), serta seorang lagi adalah pemungut cukai (yang dipandang sebagai pengkhianat oleh kebanyakan orang Yahudi karena dianggap sebagai antek bangsa Romawi yang sedang menjajah mereka) (ay. 10).

Dikatakan bahwa mereka berdua sedang berdoa kepada Tuhan di Bait Allah, tempat suci agama Yahudi. Tentu dalam hal ini mereka sedang sama-sama menjalankan hukum Taurat yang pada waktu itu mengatur bahwa orang Yahudi sebaiknya berdoa di Bait Allah yang merupakan lambang kehadiran Allah di antara bangsa Yahudi. Tuhan Yesus menyampaikan terlebih dahulu apa isi doa orang Farisi (yang untungnya, diucapkannya dalam hati). Orang Farisi tersebut mengucap syukur karena ia tidak sama dengan orang lain (ay. 11a). Dalam hal ini, orang lain yang ia maksud dalam doanya adalah para perampok, orang lalim, dan pezinah (ay. 11b). Lucunya lagi, orang Farisi tersebut dalam doanya juga menyebut pemungut cukai yang sedang berdoa bersama-sama dirinya (ay. 11c). Untungnya, sekali lagi, doanya ia panjatkan di dalam hati dan tidak terucap dari mulutnya.

Dalam ayat 11 ini ada kata “pezinah” yang dalam bahasa aslinya adalah moichoi (μοιχοί) dari akar kata moichos (μοιχός) yang bermakna an adulterer, that is, a man who is guilty with a married woman (seorang pezinah, yaitu seorang laki-laki yang bersalah [karena berzinah] dengan seorang perempuan yang sudah menikah). Kata moichos sendiri memang adalah kata benda (noun) yang bersifat maskulin (lebih digunakan untuk menunjuk laki-laki yang berzinah) jika dibandingkan dengan kata moicheia yang merupakan kata benda yang bersifat feminim (lebih digunakan untuk menunjuk perempuan yang berzinah), dengan moicheuó sebagai kata kerjanya.

Di ayat ini, seorang pezinah dianggap sama dengan pelaku kejahatan lainnya seperti perampok (harpages/harpax, yang dapat diartikan sebagai seorang yang rakus, tamak, serakah, perampok, pemeras), dan orang lalim (adikoi/adikos, yang dapat diartikan sebagai seorang yang tidak adil, tidak benar, jahat, berdosa, keji). Saya sendiri berpendapat bahwa jika dibandingkan dengan perampokan dan kelaliman, suatu perzinahan (moichos) masih dapat disetarakan/disejajarkan. Namun patutkah suatu perzinahan disejajarkan dengan pemungut cukai?

Dalam bahasa aslinya, kata “pemungut cukai” menggunakan kata telónés (τελώνης). Kata ini umum digunakan di Perjanjian Baru (ada sebanyak 21 kali) yang bermakna a publican; a tax-collector, gathering public taxes from the Jews for the Romans (pemungut cukai, pemungut pajak, mengumpulkan pajak publik dari orang Yahudi untuk orang Romawi). Profesi pemungut pajak memang sudah ada sejak zaman Romawi hingga saat ini. Namun dalam konteks masa Perjanjian Baru, profesi ini memiliki peranan yang cukup penting dan unik, yaitu mengumpulkan pajak dari daerah jajahan bangsa Romawi.

Bangsa Yahudi pada masa itu menjadi salah satu daerah jajahan bangsa Romawi. Mereka sendiri sebenarnya sudah memiliki aturan Taurat mengenai persembahan bagi Tuhan, persembahan bagi raja, persembahan bagi orang Lewi, dan lain sebagainya. Namun ketika mereka sedang ada dalam jajahan bangsa lain, tentu aturan Taurat itu tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya, karena ada aturan lain mengenai pajak yang dikenakan oleh bangsa Romawi. Sebagai contoh, bangsa Yahudi sebenarnya tidak telalu masalah dikenakan pajak bagi raja mereka (yang berasal dari orang Yahudi juga), akan tetapi hal itu akan menjadi masalah jika pajak mereka digunakan untuk kegiatan pembangunan kuil-kuil dewa orang Romawi, atau untuk pesta-pesta gubernur Romawi yang menggunakan makanan yang tidak halal/tidak kosher.

Hal ini menempatkan posisi pemungut cukai pada dilema. Mereka tentu lebih aman dan tenang ketika dapat bekerja di dalam pemerintahan orang Romawi dengan tugas memungut cukai/pajak dari orang Yahudi. Tetapi mereka pun dipandang sangat hina oleh orang Yahudi lainnya karena dianggap sebagai pengkhianat bangsa/negara. Di sisi lain, memang ada pemungut cukai yang memungut cukai sesuai ketentuan (seperti Zakheus), dan ada pula pemungut cukai yang memungut cukai lebih dari ketentuan dengan tujuan untuk mendapatkan kehormatan di mata orang Romawi. Namun bahkan pemungut cukai yang sudah memungut cukai sesuai ketentuan pun masih sering dianggap “sama berdosanya” dengan para pezinah atau bahkan para pelacur (karena mereka dianggap melacurkan diri mereka dengan menjadi pegawai bagi bangsa Romawi, bangsa penjajah pada waktu itu).

Tidak heran setelah orang Farisi membandingkan dirinya lebih baik dari orang lain (termasuk pemungut cukai), ia mulai menyebutkan kebaikannya itu, meskipun masih diucapkannya dalam hati, antara lain: berpuasa 2 kali seminggu, bahkan memberikan sepersepuluh dari segala penghasilannya (ay. 12). Memang orang Yahudi memiliki kewajiban untuk berpuasa. Dari beberapa literatur yang saya baca, konteks puasa orang Yahudi di ayat ini adalah berpuasa setiap hari Senin dan Kamis. Sebenarnya hukum Taurat sendiri tidak mengatur mengenai berapa sering mereka berpuasa dalam seminggu, kecuali pada hari-hari tertentu dimana mereka diwajibkan untuk berpuasa. Sehingga puasa 2 kali seminggu ini kemungkinan adalah suatu tradisi yang mulai muncul setelah bangsa Israel pulang dari pembuangan di Babel dan Persia. Tradisi itu kemudian “dibakukan” oleh sejumlah sekte termasuk oleh orang Farisi. Besar kemungkinan, pada waktu Tuhan Yesus berinkarnasi di dunia ini, banyak orang Yahudi (yaitu orang Farisi) yang sudah melakukan puasa 2 kali seminggu dan melakukannya seakan-akan sebagai suatu aturan dari hukum Taurat, padahal itu adalah tradisi tambahan di luar hukum Taurat.

Tradisi tambahan lainnya yang mungkin sudah umum terjadi pada waktu itu adalah memberikan sepersepuluh dari segala penghasilan (ay. 12b). Jika kita mempelajari aturan persepuluhan di dalam hukum Taurat, kita akan mengerti bahwa persembahan persepuluhan hanya dikenakan dari hasil tanah dan hasil ternak, bukan dari segala penghasilan. Dalam bahasa aslinya, kata “dari segala penghasilanku” menggunakan kata panta hosa ktōmai (πάντα ὅσα κτῶμαι). Kata panta/pas dapat bermakna all, the whole, every kind of (semua, seluruh, setiap jenis). Kata hosa/hosos dapat bermakna how much, how great, how many, as great as, as much (seberapa banyak, seberapa hebat, berapa banyak, sebesar, sebanyak). Sedangkan kata ktōmai/ktaomai dapat bermakna I acquire, win, get, purchase, buy, possess, win mastery over (saya peroleh, menangkan, dapatkan, beli, miliki, memenangkan penguasaan atas sesuatu). Oleh karena itu, di dalam terjemahan lain, ada yang menerjemahkan “segala penghasilan” dengan “semua yang aku peroleh/semua yang aku miliki”.

Jadi jelas bahwa ayat 12b ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa persembahan persepuluhan itu harus diberikan dari segala penghasilan (dalam hal ini gaji yang diterima atau omzet usaha). Kata ktōmai/ktaomai sendiri juga dapat berarti apa yang dimiliki, sehingga mungkin juga orang Farisi pada waktu itu memberikan sepersepuluh dari harta miliknya dalam waktu-waktu tertentu (tidak setiap bulan). Namun demikian, perlu dipertegas pula bahwa persepuluhan adalah tradisi orang Yahudi, dan dalam hal ini Tuhan Yesus tidak sedang mengajarkan bahwa para pengikut-Nya juga harus mempersembahkan sepersepuluh dari penghasilannya. Tuhan sendiri mengajarkan bahwa kita harus memberi segenap hidup kita kepada Tuhan dan bukan hanya sepersepuluh dari harta atau penghasilan kita.

Kembali ke pembahasan kita tadi, menarik melihat bahwa orang Farisi tersebut seakan-akan sudah menyimpulkan bahwa pemungut cukai pastilah tidak berpuasa, atau bahkan memberikan persepuluhan seperti apa yang ia lakukan. Orang Farisi tersebut menyimpulkan bahwa hidupnya lebih berkenan kepada Allah karena ia melakukan lebih dari apa yang dituntut oleh hukum Taurat. Ia bahkan melakukan puasa 2 kali seminggu dan memberi persepuluhan dari penghasilan/miliknya meskipun hal tersebut tidak dituntut oleh hukum Taurat. Secara tidak langsung, orang Farisi itu hendak menyatakan bahwa ia lebih beragama dibandingkan dengan orang lain. Hidup keberagamannya menjadi semacam kebanggan bagi dirinya karen-a dengan hal itu ia merasa lebih saleh dibandingkan dengan orang lain.

Di sisi lain, Tuhan Yesus mengemukakan bahwa si pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh (ay. 13a). Mungkin ia berdiri jauh-jauh dari posisi orang Farisi itu berdoa, karena kita tahu bahwa orang Farisi suka menduduki tempat-tempat terhormat, dan mungkin saja ada tempat-tempat khusus yang hanya boleh digunakan oleh mereka yang dipandang lebih saleh dan lebih terhormat secara agama Yahudi. Pemungut cukai tersebut bahkan tidak berani menengadah ke langit (memandang ke atas), yaitu gambaran surga/tempat Allah bertahta yang digambarkan berada di atas bumi (ay. 13b). Ia bahkan memukul dirinya sendiri dan mengaku sebagai orang berdosa dan meminta belas kasihan Allah atas dirinya (ay. 13c).

Sekali lagi saya hendak katakan bahwa sesungguhnya profesi/pekerjaan sebagai pemungut cukai pada waktu itu masih memungkinkan seorang pemungut cukai untuk hidup berkecukupan dengan memungut cukai sesuai aturan (karena mereka memperoleh gaji dari pemerintah Romawi). Sehingga kita tidak tahu apakah gambaran pemungut cukai dalam perumpamaan ini adalah pemungut cukai yang merasa bersalah karena ia sudah memungut cukai melebihi ketentuan dan memeras orang sebangsanya, ataukah pemungut cukai yang merasa bersalah karena pekerjaannya membuat dirinya dipandang hina oleh orang sebangsanya walaupun ia sudah berusaha bekerja dengan benar sesuai aturan.

Apapun itu, kita dapat melihat bahwa Allah membenarkan si pemungut cukai sementara orang Farisi itu tidak dibenarkan (ay. 14a). Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa Allah tidak melihat manisnya kata-kata dalam doa seseorang, tetapi lebih kepada sikap hati orang ketika datang kepada Tuhan. Percuma doa dengan kata-kata yang indah jika doa tersebut justru meninggikan dirinya sendiri (tidak meninggikan Tuhan) dan justru merendahkan orang lain. Saya sendiri dalam beberapa kesempatan di beberapa mimbar gereja atau persekutuan pernah melihat bagaimana doa bisa dimanipulasi dan dipelintir untuk menjatuhkan orang lain. Cukup banyak doa-doa di atas mimbar gereja yang diucapkan dengan tujuan untuk meninggikan diri. Tentu dalam hal ini saya sedang tidak bermaksud menghakimi, tetap adalah baik jika kita dapat dengan obyektif menilai doa-doa yang selama ini sering diucapkan dari atas mimbar gereja, apakah doa-doa tersebut adalah doa yang tulus dari hati ataukah bukan. Kalaupun kita merasa ada doa yang dipenuhi kesombongan bahkan terkesan menjatuhkan orang lain, tugas kita paling banyak hanyalah mengingatkan orang tersebut. Jika orang tersebut tidak mau mendengarkan, biarlah Tuhan yang menjadi hakimnya. Yang jelas Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa mereka yang meninggikan diri suatu saat nanti akan direndahkan, sedangkan mereka yang merendahkan diri suatu saat nanti pasti akan ditinggikan (ay. 14b). Janganlah bangga jika kita tidak merampok dan tidak berzinah. Itu bukanlah kebanggaan. Banggalah hanya untuk satu hal: yaitu jika kita sudah bisa menyenangkan hati Tuhan dan membuat-Nya tersenyum ketika Ia melihat kehidupan kita yang berkenan kepada-Nya.



Bacaan Alkitab: Lukas 18:9-14
18:9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
18:10 "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
18:11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
18:12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.