Sabtu, 16 Juni 2018

Pornos dan Moichos (14): Kawin dengan Janda Cerai = Zinah?


Sabtu, 16 Juni 2018
Bacaan Alkitab: Lukas 16:16-18
“Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.” (Luk 16:18)


Pornos dan Moichos (14): Kawin dengan Janda Cerai = Zinah?


Membahas mengenai ayat ini, saya teringat akan satu peristiwa yang terjadi di dalam kehidupan saya, dimana salah seorang pemuda datang kepada saya dan bertanya, apakah menikahi seorang perempuan yang diceraikan oleh suaminya maka ia menjadi berzinah? Pemuda itu ternyata sedang jatuh cinta kepada seorang janda cerai dan ingin menikah dengan janda tersebut. Sayangnya ia datang dalam keadaan yang terlambat karena si janda sudah dihamili oleh pemuda itu, sehingga apapun yang saya katakan pun sebenarnya sudah tidak lagi banyak membantu. Yang menjadi penyesalan saya adalah pada waktu itu saya masih belum memiliki pemahaman teologi sedalam saat ini sehingga penjelasan saya mungkin kurang dalam baginya.

Saat ini ketika bertepatan dengan pembahasan mengenai kata pornos dan moichos, saya mencoba untuk membahas mengenai ayat tersebut. Dalam ayat tersebut ada 2 kali kata zinah disebutkan yaitu moicheuei (μοιχεύει) dari akar kata moicheuó (μοιχεύω).  Kita telah membahas di renungan hari-hari sebelumnya bahwa makna kata moicheuó adalah suatu hubungan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Tentu jika kita mau fair dan jujur untuk memperoleh makna orisinil ayat tersebut, kita harus melihat konteks dari ayat itu dalam kedudukannya dengan ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya.

Konteks dari ucapan Tuhan Yesus di ayat 18 tersebut (ayat-ayat sebelum dan sesudahnya) adalah ketika Tuhan sedang berkhotbah mengenai harta dan kekayaan, dimana harta kekayaan digambarkan sebagai perkara yang kecil dan banyak orang tidak setia mengenainya. Inti dari khotbah Tuhan Yesus tersebut adalah bahwa seseorang tidak dapat mengabdi kepada dua tuan, yaitu kepada Allah dan kepada Mamon. Seseorang harus memilih mengabdi kepada salah satu tuan (Luk 16:1-13). Ketika orang Farisi mendengar hal tersebut, maka mereka mencemooh Tuhan Yesus (Luk 16:14-15). Sementara itu dalam ayat-ayat selanjutnya, Tuhan Yesus juga masih menjelaskan tentang akhir hidup orang kaya dan Lazarus, dimana orang kaya tersebut masuk ke dalam hades yang tidak nyaman karena selama hidupnya ia telah menikmati segala yang baik (kekayaan dunia) tanpa pernah peduli terhadap sesamanya, yaitu Lazarus yang ada di dekatnya (Luk 16:19-31). Benang merah apakah yang dapat kita tarik dari hal-hal tersebut?

Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa hukum Taurat dan kitab para nabi (Perjanjian Lama) berlaku sampai kepada zaman Yohanes [Pembaptis] (ay. 16a). Ketika Yohanes Pembaptis muncul, maka ia memberitakan firman bahwa “Bertobat dan berilah dirimu dibaptis, sebab Kerajaan Allah sudah dekat!”. Sejak masa itu, Yohanes Pembaptis sedang menyiapkan jalan untuk kedatangan Tuhan Yesus di dunia ini, yaitu Tuhan Yesus yang akan menyampaikan Injil kebenaran firman Tuhan. Sejak waktu itulah Kerajaan Allah diberitakan dan setiap orang berebut untuk memasukinya (ay. 16b).

Jadi, apakah kemudian hukum Taurat bisa dibatalkan ketika Tuhan Yesus datang dan memberitakan Injil? Jawabannya harus kita lihat kepada konteks kepada siapa Tuhan berbicara. Tuhan Yesus berbicara kepada orang-orang Farisi yang adalah orang-orang yang sangat paham mengenai hukum Taurat. Namun perlu dicatat juga bahwa ucapan Tuhan Yesus tersebut adalah bernada kemarahan akibat sikap mereka yang mencemoohkan kebenaran. Tuhan tidak sedang membatalkan hukum Taurat (misalnya: dahulu dikatakan jangan membunuh, sekarang boleh membunuh; dahulu dikatakan jangan berzinah, sekarang boleh berzinah; dahulu tidak boleh memakan binatang haram, sekarang boleh makan semaunya; dahulu harus menjaga hari sabat, sekarang setiap hari boleh dinikmati dengan bebas dan suka-suka sendiri; dan lain sebagainya). Tuhan sebenarnya sedang meredefinisi hukum Taurat sehingga tidak lagi hanya sekedar menjadi hukum-hukum dan syariat yang bersifat lahiriah, tetapi harus dilakukan dengan penuh kesadaran batiniah pula, dengan penuh kecerdasan roh, untuk melakukan sesuatu yang berkenan kepada Bapa. Jika dahulu prinsip orang Yahudi di Perjanjian Lama adalah Torah is my law (Taurat adalah hukumku), maka di Perjanjian Baru prinsip tersebut harus diubah menjadi God is my law (Tuhan adalah hukumku).

Tuhan Yesus berkata bahwa lebih mudah langit dan bumi lenyap daripada satu titik dari hukum Taurat batal (ay. 17).  Persoalannya banyak orang Kristen keliru mengartikan kata “batal” di sini. Tidak heran banyak orang Kristen belum dapat move on dari hukum Taurat dan Perjanjian Lama sehingga masih menyibukkan diri dengan aturan-aturan ibadat di Perjanjian Lama. Tidak jarang banyak orang Kristen yang lebih sering membaca dan dikhotbahkan mengenai kitab Perjanjian Lama sehingga hidup mereka justru lebih mirip dengan hidup orang Yahudi (bersifat keyahudi-yahudian).

Kata “batal” di ayat 17 ini dalam bahasa aslinya adalah pesein (πεσεῖν) dari akar kata piptó (πίπτω). Kata pipto di sini memiliki makna to fail/fall, to be prostated, to lose authority, no longer have force (jatuh, gagal, lemah, tumbang, kehilangan otoritas, tidak lagi berdaya/memiliki kekuatan). Dari hal ini sebenarnya kata “batal” yang dimaksud di sini sepertinya kurang tepat. Meskipun demikian, masih cukup banyak terjemahan baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris yang menggunakan kata void (batal). Ayat 17 ini menurut saya harus dipahami bahwa hukum Taurat memang sebenarnya hanya berlaku sampai zaman Yohanes Pembaptis, dan sejak itu, Injil Kerajaan Allah diberitakan dan manusia harus berjuang untuk hidup menurut Injil. Akan tetapi, hukum Taurat sama sekali tidak dikatakan bahwa sudah batal. Hukum Taurat adalah hukum yang diberikan oleh Allah sendiri kepada bangsa pilihan-Nya yaitu bangsa Israel. Namun kita harus paham kondisi bangsa Israel pada saat diberi hukum oleh Tuhan adalah mereka baru saja hidup sebagai budak selama 430 tahun di Mesir, sehingga tentu standar hukumnya menggunakan bahasa yang sangat sederhana, seperti: jangan membuat patung, jangan membunuh, jangan berzinah, dan lain sebagainya. Standar ini yang sebenarnya sedang diredefinisi oleh Tuhan Yesus dalam Injil Kerajaan Allah, dimana standar hidup umat Perjanjian Baru bukan hanya saja menaati hukum-hukum yang tertulis, tetapi apakah dalam melakukan sesuatu, kita menyukakan hati Allah atau tidak. Lagipula jika hukum Taurat mungkin hanya cocok bagi orang Israel/Yahudi di tempat dan waktu mereka hidup, maka Injil memiliki fleksibilitas yang tinggi yang dapat diterapkan bagi seluruh manusia di segala tempat dan masa.

Jangan dipikir bahwa dengan pemberitaan Injil maka orang Kristen hidupnya lebih mudah daripada orang Yahudi yang hidup menurut hukum Taurat. Justru dengan pemberitaan Injil oleh Tuhan Yesus, maka standar atau ukuran penghakiman manusia bukan lagi adalah hukum Taurat yang tertulis, melainkan standarnya adalah kehendak Allah sendiri (Mat 7:21-23). Tuhan Yesus sendiri berkata bahwa orang harus berjuang keras untuk dapat memasuki Kerajaan Allah, yang dalam ayat 16 dikatakan sebagai “setiap orang menggagahinya berebut memasukinya”. Dalam bahasa aslinya digunakan kata biazetai (βιάζεται) dari akar kata biazó (βίαζομαι) yang memiliki makna to use force, to use violence, suffer violence, laying hold of something with positive aggressiveness (menggunakan tenaga/kekuatan, dengan kekerasan, menderita kekerasan, meletakkan sesuatu dan menahannya dengan agresivitas yang positif). Jadi dalam hal ini diperlukan usaha keras, kekuatan ekstra, agresivitas (yang positif), bahkan hingga menderita untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Kedatangan Tuhan Yesus ke dunia ini bukan untuk membawa damai sehingga orang Kristen dapat hidup nyaman di dunia ini, tetapi justru membawa pedang yang akan memurnikan orang-orang pilihannya supaya dapat hidup sesuai standar Allah.

Dari kedua ayat di ayat 16 dan 17 tersebut, barulah Tuhan Yesus berkata bahwa setiap orang yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah, dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah (ay. 18) . Apakah ayat ini berlaku secara harafiah atau hanya bersifat figuratif juga? Menurut saya ayat 18 ini dapat dimaknai secara harafiah, karena ayat yang hampir mirip pun juga telah disampaikan oleh Tuhan Yesus dalam ayat-ayat lainnya (misalnya: Mat 5:31-32, Mat 19:9, Mrk 10:11-12). Namun prinsip ini pun harus dilihat juga konteks peristiwanya, misalnya: mengapa orang tersebut menceraikan istrinya? Apakah alasan hingga terjadinya perceraian? Apakah ia kawin lagi dengan orang lain yang sebenarnya sudah diselingkuhi selama menikah dengan suami/istri yang terdahulu? Apakah ia kawin dengan cara yang benar ataukah karena hamil duluan? Jika ada hukum atau norma yang dilanggar dalam peristiwa perceraian dan pernikahan tersebut, maka sudah pasti ia sedang melakukan zinah, tidak perlu berputar-putar mencari pembenaran. Bahkan bisa jadi peristiwa pernikahan dengan orang yang diceraikan itu memang dipandang sebagai moicheuó tetapi dosa seksual yang dilakukan sebelumnya (misalnya: sudah bersetubuh dengan orang tersebut sejak masih menikah dengan suami/istrinya) bisa jadi dipandang lebih parah yaitu sudah mencapai taraf pornos/porneia. Dalam hal ini saya melihat pentingnya bimbingan pranikah yang benar supaya janji nikah yang berbunyi “sampai maut memisahkan kita” benar-benar diucapkan dari hati dan bukan hanya sekedar ucapan di bibir saja.

Di sisi lain, ayat 18 ini juga dapat bermakna figuratif, yaitu adanya perselingkuhan dengan semangat materialisme dan konsumerisme (yang digambarkan dengan kenikmatan dunia yaitu harta kekayaan dalam ayat-ayat sebelumnya dan sesudahnya). Dalam hal ini orang Farisi digambarkan sebagai mereka yang terlihat menjalankan hukum Taurat dengan ketat, padahal sebenarnya mereka adalah hamba-hamba uang (Luk 16:14). Sebenarnya mereka bisa saja dikatakan sudah terikat dengan Tuhan (sebagai bangsa pilihan) tetapi sebenarnya mereka sedang berbuat zinah dengan melakukan percintaan dengan dunia. Hal ini sebenarnya menjadi pengulangan akan kejadian di Perjanjian Lama, ketika bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Tuhan justru berzinah kepada-Nya dengan menyembah dewa-dewa bangsa lain. Di masa Perjanjian Baru, orang-orang Farisi memang tidak menyembah dewa-dewa lain (bahkan sangat radikal terhadap hal ini). Tetapi tanpa sadar mereka sebenarnya sedang berzinah dengan harta, kekayaan dan kenikmatan dunia).

Jadi ayat 18 ini seharusnya tidak perlu dipermasalahkan dan diperdebatkan apakah memang bermakna harafiah atau tidak. Ayat itu pun sangat bagus jika dimaknai secara harafiah (supaya seseorang tidak gampang menikah dan bercerai). Di sisi lain, makna figuratif dari ayat ini pun jauh lebih bagus karena menggambarkan sikap manusia yang seharusnya tidak boleh berselingkuh dengan mamon (harta dan kekayaan dunia). Kita harus menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebahagian kita, menjadikan Tuhan sebagai mempelai kita dan tidak berzinah dengan mencintai dunia. Menikah dengan janda bisa jadi adalah zinah (moicheuó), tetapi jangan sampai alasan kita menikahi janda adalah karena dosa percabulan yang lebih berat(pornos/porneia). Di sisi lain, percintaan dunia pun bisa jadi lebih “mematikan” bagi kehidupan kita, karena bisa membuat kita berzinah dengan Tuhan, dan jika tidak segera bertobat, maka kita bisa tertawan hingga tidak bisa lagi kembali ke jalan yang benar.



Bacaan Alkitab: Lukas 16:16-18
16:16 Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku sampai kepada zaman Yohanes; dan sejak waktu itu Kerajaan Allah diberitakan dan setiap orang menggagahinya berebut memasukinya.
16:17 Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal.
16:18 Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.