Rabu,
26 Juni 2019
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 6:12-20
Tidak
tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota
Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak! (1 Kor 6:15)
Pornos dan Moichos (28): Tubuh
Kita Seharusnya untuk Kemuliaan Allah
Saya
pernah beribadah di sebuah gereja, dimana pendeta di gereja tersebut sangat
sering menekankan menganai bagaimana hidup untuk kepentingan Tuhan. Salah satu
ayat yang sering diambil adalah ayat di dalam perikop ini, yaitu ayat 19 dan
20. Beberapa kali pendeta itu berkata bahwa kita bukan milik kita lagi, kita
telah ditebus dengan darah yang mahal, hidup kita telah dibayar lunas oleh
Tuhan, dan oleh karena itu kita harus memuliakan Allah dengan hidup kita.
Saya
tidak menampik bahwa apa yang pendeta itu sampaikan itu salah. Ayat itu adalah
ayat yang bagus dan memang apa yang
disampaikan itu adalah hal yang benar. Namun saya tergelitik dan bertanya-tanya
dalam hati, mengapa ayat itu hanya dipenggal di 2 ayat terakhir dari
keseluruhan satu perikop? Untungnya pada waktu itu saya sering membawa Alkitab
dalam bentuk buku secara fisik, sehingga mudah bagi saya untuk melihat
ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Hari ini kita akan mencoba menggali perikop
ini dari sudut pandang yang senetral-netralnya supaya kita dapat lebih memahami
apa yang dimaksud oleh ayat yang menjadi favorit banyak pendeta itu.
Ingat
bahwa kita telah membahas 1 Korintus ini mulai dari pasal 5 hingga pasal 6. Dan
perikop sebelumnya berbicara mengenai tindakan orang di dalam jemaat yang bersikap
tidak adil, sehingga jemaat harus pergi ke luar untuk mencari keadilan. Di
akhir tulisan perikop sebelumnya, Rasul Paulus menegaskan bahwa
tindakan-tindakan yang jahat seperti bersikap tidak adil dan juga percabulan,
dapat membuat seseorang ditolak untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Oleh
karena itu, Paulus menegaskan bahwa segala sesuatu sebenarnya halal, tetapi
tidak semuanya berguna (ay. 12a). Kata “halal” di sini dalam bahasa aslinya
adalah exesti (ἔξεστιν) yang bermakna “it is permitted, lawful,
possible” (diizinkan, sah, sesuai aturan, dimungkinkan). Namun jika kita
melihat ayat sebelumnya, mungkinkah percabulan itu dipandang halal? Tentu untuk
menjawab itu, kita harus melihat konteks besarnya.
Dalam
ayat 12 ini, Paulus hendak mengatakan bahwa jika bangsa Israel dahulu hidup
sesuai dengan hukum Taurat, maka umat percaya tidak lagi terikat akan hukum.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu sebenarnya dimungkinkan
(karena tidak ada hukum/syariat yang mengikat lagi). Namun apakah dengan
demikian semua boleh kita lakukan, misalnya termasuk melakukan percabulan?
Tentu tidak boleh. Apa dasarnya? Dasarnya adalah bahwa segala sesuatu belum
tentu berguna.
Kata
“berguna” dalam Bahasa aslinya adalah sumphero (συμφέρω) yang selain
berarti “to bring together, to collect” (membawa bersama-sama,
mengumpulkan) juga dapat bermakna “to be profitable, to be expedient”
(berguna, menguntungkan, bermanfaat, bijaksana). Jadi walaupun di dalam Kristus
saat ini tidak ada lagi hukum/syariat agama yang mengikat, tetapi bukan berarti
kita boleh berbuat segala sesuatu. Ada ukuran yang lebih penting lagi, yaitu
apakah yang kita lakukan itu berguna/bermanfaat atau tidak. Tentu ukuran
berguna/bermanfaat ini tidak bisa diukur dari apa yang tertulis di dalam hukum Taurat,
tetapi lebih kepada Tuhan sebagai standar kita, yaitu apakah yang kita lakukan
ini berkenan di hadapan-Nya.
Hal
ini lebih jelas lagi dalam kalimat selanjutnya, dimana segala sesuatu halal,
tetapi jangan sampai kita diperhamba oleh apapun selain oleh Tuhan (ay. 12b).
Kata “diperhamba” ini dalam bahasa aslinya adalah exousiazó (ἐξουσιάζω),
yang berarti “to exercise authority over, to be ruled, to be held under
authority” (tunduk di bawah otoritas tertentu, diperintah, tertawan di
bawah otoritas). Tidak boleh ada satu hal pun yang dapat memperhamba kita
selain Tuhan. Oleh karena itu, kita harus tunduk di bawah kekuasaan Tuhan,
dalam segala hal, bahkan termasuk dalam apa yang akan kita makan.
Paulus
meneruskan bahwa makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan (ay. 13a).
Ini menunjukkan suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara perut dan
makanan. Mana yang lebih dahulu? Perut atau makanan? Sulit untuk menjawabnya
karena setiap hari kita harus makan untuk hidup, sehingga jika ada pula yang
bertanya: “Apakah makanan diciptakan untuk perut ataukah perut diciptakan untuk
makanan?”. Ilustrasi semacam ini berlaku terkait dengan tubuh kita. Kepada
siapa tubuh kita ini kita persembahkan? Apakah untuk kesenangan dunia, ataukah
untuk Tuhan? Paulus dengan tegas berkata bahwa tubuh tidak diciptakan untuk
kesenangan dunia belaka, dalam hal ini percabulan (porneia/πορνεία).
Kita diciptakan dengan tubuh ini supaya dalam sisa hidup kita di dunia ini,
kita mempersembahkannya bagi Tuhan (ay. 13c).
Mengapa
demikian? Perlu kita ingat bahwa segala sesuatu yang bersifat jasmani akan
dibinasakan oleh Allah, entah itu makanan, uang, perhiasan, bahkan tubuh kita
pun akan berakhir (ay. 13b). Tetapi jika kita menundukkan diri kita kepada
Tuhan, maka jiwa kita akan diselamatkan. Itulah ibadah kita yang sejati, yaitu
ketika kita mempersembahkan tubuh kita sebagai suatu persembahan yang hidup,
yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Rm 12:1). Satu-satunya pengharapan
kita adalah ketika kita mempersembahkan tubuh kita kepada Allah, dan Allah akan
membangkitkan kita dan memberi tubuh kemuliaan yang baru kepada kita pada hari
akhir nanti (ay. 14).
Oleh
karena itu, kita harus sadar bahwa tubuh kita ini adalah anggota tubuh Kristus,
karena kita pun adalah bagian dari jemaat. Oleh karena itu, ketika kita sampai
melakukan percabulan, berarti kita sedang mengambil anggota tubuh Kristus dan
menyerahkannya kepada percabulan (ay. 15). Kata “menyerahkan” di sini
menggunakan kata poieó (ποιέω) yang memiliki makna sangat luas dalam kosakata
bahasa Yunani, namun dalam konteks ini lebih tepat diartikan sebagai “membuat, menjadikan,
atau mengubah menjadi”. Di dalam terjemahan lain, ayat ini ditulis sebagai
“menjadikan mereka anggota-anggota pelacur”. Kata “percabulan” sendiri juga
menggunakan kata porné (πόρνη) yang bermakna pelacur/perempuan sundal,
dimana kata ini masih memiliki kesamaan dengan kata pornos di ayat-ayat
sebelumnya.
Memang
di pasal-pasal selanjutnya, Paulus menjelaskan dengan lebih jelas lagi mengenai
konsep anggota tubuh Kristus. Namun di pasal 6 ini, Paulus juga telah memberi
sedikit penjelasan mengenai anggota tubuh Kristus, dimana kita semua sebenarnya
adalah anggotanya. Sudut pandang ayat 15 ini dapat dilihat dari sudut pandang
setiap orang, supaya tidak ada yang berbuat cabul dan mengubah anggota tubuh
Kristus menjadi anggota pelacur/perempuan cabul. Namun hal ini juga dapat
dilihat dari sudut pandang pemimpin jemaat, yang harus bekerja keras supaya
anggota tubuh Kristus (yaitu pribadi-pribadi dalam jemaat) juga tidak melakukan
percabulan.
Dasar
dari pemikiran ini adalah kenyataan bahwa suatu hubungan seksual adalah suatu
ikatan, apalagi suatu pernikahan. Paulus mengutip apa yang diucapkan oleh Allah
sendiri yaitu “keduanya akan menjadi satu daging” (ay. 16). Kutipan nats ini
diambil dari Kejadian 2:24, dimana kalimat tersebut diucapkan oleh Allah sendiri.
Prinsip ini jelas penting, sehingga Paulus menggunakannya dalam ayat 16 ini.
Menariknya,
kata “mengikatkan dirinya” menggunakan kata kollaó (κολλάω) yang secara
harafiah berarti “to glue, unite” (menempelkan, menyatukan) dan
digunakan juga pada ucapan Tuhan Yesus sendiri mengenai pernikahan yaitu
kesatuan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yaitu suami dengan
istrinya (Mat 19:5). Oleh karena itu, sangat penting kita menyeleksi siapa
orang yang akan kita jadikan suami atau istri kita. Jangan sampai kita
mengikatkan diri dengan orang yang salah, dalam hal ini digambarkan sebagai
seorang perempuan cabul/pelacur (porné). Kata porné ini juga
digunakan di ayat 15 sehingga ayat 16 juga dapat dimaknai secara harafiah
(jangan menyatukan diri dengan perempuan cabul atau orang yang cabul secara
umum), namun juga dapat diartikan supaya kita tidak tergoda untuk beralih dari
ikatan kita dengan Kristus (sebagai anggota tubuh Kristus) dan kemudian
berpindah haluan menjadi anggota-anggota dari pelacur.
Bagaimana
mengatasinya? Satu-satunya cara supaya kita tidak mengikatkan diri (menyatukan
diri) dengan percabulan adalah dengan cara mengikatkan diri kepada Tuhan,
supaya kita menjadi satu roh dengan Dia (ay. 17). Satu roh disini bukan berarti
kita menyamakan diri dengan roh kudus, tetapi memiliki spirit atau semangat
yang sama dengan Tuhan. Sama seperti Tuhan Yesus menjadikan kehendak Tuhan
sebagai satu-satunya makanan-Nya (Yoh 4:34), maka kita juga harus memiliki
gairah yang sama. Kata mengikatkan di ayat 17 sama persis dengan ayat 16. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada cara lain untuk hidup berkenan di hadapan Bapa
selain mengikatkan diri kepada Tuhan dan mengenakan pribadi-Nya dalam kehidupan
kita.
Oleh
karena itu, kita harus menjauhkan diri kita dari percabulan (ay. 18a). Kata
“percabulan” di sini menggunakan kata porneia (πορνεία) yang merupakan
suatu kata kerja/verba. Kata yang hampir sejajar juga terdapat pada bagian
kedua ayat 18 (di dalam Alkitab Terjemahan Baru Bahasa Indonesia juga
menggunakan kata “percabulan”), namun di kata kedua ini sebenarnya adalah kata porneuó
(πορνεύω) yang bersifat kata benda/nomina. Sementara itu kata “jauhkanlah”
dalam bahasa aslinya adalah pheugó (φεύγω) yang berarti “to flee,
escape, shun, seek safety by flight” (pergi, melarikan diri, menyelamatkan
diri, meloloskan diri, menghindari, menjauhkan diri, mencari keselamatan dengan
cara terbang). Hal ini menunjukkan bahwa bahaya percabulan itu sangat nyata dan
mengancam semua orang. Jangan berpikir bahwa karena kita adalah pelayan Tuhan,
pemain musik, worship leader, aktivis, majelis, pengkhotbah, bahkan
pendeta maka kita akan kebal terhadap percabulan ini.
Dalam
ayat 18a tersebut, kata jauhkanlah menggunakan jenis kata kerja present imperative
active – 2nd person plural. Hal tersebut menunjukkan perintah
dimana kita harus aktif dan melakukannya setiap saat. Kita harus berjuang untuk
menghindari dan menjauhi perbuatan dosa yaitu percabulan. Jangan biarkan diri
kita terikat dengan percabulan, karena percabulan itu ibarat candu yang menagih
dan semakin lama semakin menuntut dosis yang lebih tinggi. Setiap dosa lain
(selain percabulan) yang dilakukan seseorang, dilakukan di luar dirinya,
sementara orang yang percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri (ay. 18b).
Bagian
terakhir ayat ini cukup sulit dicerna. Ada yang berpendapat bahwa hal ini
kemungkinan besar terkait dengan dosa-dosa yang disebutkan di bagian
sebelumnya, antara lain: serakah, menipu, mencuri, memfitnah, dan lain
sebagainya. Namun saya sendiri menilai bahwa hal ini terkait dengan fakta bahwa
kita adalah anggota tubuh Kristus. Jika kita melakukan percabulan, maka kita
merusak tubuh kita sendiri yang seharusnya kita persembahkan kepada Tuhan. Jika
kita melakukan percabulan, itu akan merusak tubuh kita. Tidak hanya berbicara
mengenai tubuh jasmani, hal ini juga dapat dilihat dari sudut pandang tubuh
rohani.
Percabulan
yang dilakukan oleh salah seorang jemaat dapat memberi dampak luar biasa kepada
jemaat tersebut. Apalagi jika kedua orang yang melakukan tindakan percabulan
itu juga adalah sama-sama jemaat. Panggilan Tuhan bagi orang percaya adalah
supaya kita hidup dalam kesucian dan kekudusan. Oleh karena itu suka atau tidak
suka, kita wajib menjadi saksi yang menampilkan bagaimana seharusnya manusia
hidup sesuai dengan kehendak Bapa. Dosa percabulan pada umumnya meninggalkan
bekas yang sulit bahkan tidak dapat dihapus. Andai ada pasangan muda-mudi dalam
gereja yang melakukan percabulan hingga menghasilkan anak, hal itu dapat
menjadi bukti yang nyaris tidak dapat dihapus, dan akan terus menerus
membayangi jemaat tersebut. Hal ini tidak hanya merusak di dalam jemaat,
tetapi juga membuat orang di luar jemaat
akan memberi nilai buruk kepada jemaat itu. Jika demikian, bagaimana kita mau mengenalkan Tuhan dan kerajaan-Nya kepada
orang lain? Bagaimana orang lain dapat tertarik untuk mengenal kebenaran
sedangkan praktik hidup kita saja sangat memalukan?
Oleh
karena itu kita harus sadar bahwa tubuh kita adalah bait bagi Roh Kudus yang
diam di dalam kita (ay. 19a). Sekilas kalimat ini terkesan biasa saja. Tetapi
jika kita merenungkan dengan dalam, bagaimana Allah bisa memberikan Roh-Nya
untuk diam di dalam diri kita dan menuntun kita setiap saat supaya kita dapat
berjalan sesuai dengan kehendak-Nya, itu adalah anugerah yang luar biasa.
Bagaimana Allah yang Maha Tahu dan tidak terbatas itu mau dan berkenan untuk memberikan
Roh-Nya di dalam manusia yang hanya ibarat setitik debu di hadapan-Nya ini.
Tetapi
terkadang manusia lupa konsekuensi dari ini semua. Dalam ayat yang lain dikatakan
bahwa Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan
cemburu (Yak 4:5). Ini menunjuk bahwa Allah yang Maha Kudus ketika menaruh
Roh-Nya dalam diri manusia, tentu mengharapkan manusia tersebut untuk juga kudus
sama seperti Allah adalah kudus. Masalah datang ketika manusia tidak peduli
dengan Roh Kudus yang ada di dalam dirinya. Manusia masih hidup suka-sukanya
sendiri, berbuat dosa dan kejahatan yang mendukakan hati Allah, dan lain
sebagainya. Roh Kudus yang ada di dalam diri manusia pun lambat laun diabaikan
dan “dimatikan dengan sengaja”. Akhirnya, jika tidak bertobat, maka orang ini
dapat masuk ke dalam kategori “menghujat Roh Kudus” karena ia tidak pernah
menghargai Roh Kudus yang diberikan Allah kepadanya.
Kata “bait”
dalam ayat 19 ini sebenarnya dalam bahasa aslinya adalah naos (ναός),
yang berarti “a temple, a shrine, sanctuary, that part of the temple where
God himself resides” (kuil, tempat pemujaan/penyembahan, tempat suci,
bagian kuil dimana Tuhan sendiri berdiam). Dalam banyak ayat Perjanjian Baru,
kata naos ini sering merujuk kepada Bait Suci/Bait Allah, tempat suci bagi
bangsa Yahudi, yaitu tempat dimana bangsa Yahudi beribadah dan berkiblat ketika
berdoa. Jadi bait di sini bukan hanya sekedar “rumah” dimana Roh Kudus masuk
dan diam secara pasif. Akan tetapi ketika Paulus berkata bahwa tubuh kita adalah
bait Roh Kudus, maka tubuh kita pun harus menjadi suci, kudus, sehingga Roh Allah
bisa berkenan untuk diam. Tubuh kita harus menjadi tempat penyembahan kepada
Allah, yaitu ketika kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup
kita. Tidak boleh ada bagian tubuh kita yang kita gunakan selain untuk
menyenangkan hati-Nya. Barulah kita dapat menjadikan tubuh kita sebagai bait
Roh Kudus.
Konsekuensi
dari Roh Allah yang diberikan oleh Allah kepada manusia, maka manusia tidak
lagi berhak untuk hidup bagi dirinya sendiri (ay. 19b). Manusia harus menjadi
lebih miskin dari orang miskin, artinya tidak punya hak lagi untuk menikmati
kesenangan sendiri, tidak punya hak lagi untuk bertindak suka-suka sendiri, dan
lain sebagainya. Manusia sudah dibeli oleh Allah dengan harga yang telah lunas
dibayar, yaitu oleh darah Tuhan Yesus sendiri (ay. 20a). Oleh karena itu sekarang
manusia yang percaya kepada-Nya akan menjadi ciptaan baru, dan harus menundukkan
diri di bawah Allah saja. Segala sesuatu yang kita lakukan haruslah untuk
kemuliaan Allah: dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia (Rm 11:36).
Kata “telah
dibeli” dalam bahasa aslinya adalah ēgorasthēte (ἠγοράσθητε) dari akar
kata agorazó (ἀγοράζω). Kata agorazó ini berbicara mengenai
transaksi pembelian yang umum di suatu pasar, dimana jika sudah ada barang yang
disepakati untuk dibeli (dengan sejumlah uang tertentu atau barter), maka
barang tersebut secara sah dan resmi menjadi milik si pembeli. Kata agorazó
ini berbeda dengan kata exagorazó (menebus), dimana kata exagorazó
berbicara tentang menebus kembali sesuatu yang telah dijual (misal: barang yang
digadaikan lalu ditebus kembali), sementara kata agorazó lebih bersifat transaksi
jual beli biasa yang umum terjadi di dalam pasar.
Sebenarnya
kata “harganya telah lunas dibayar” dalam bahasa aslinya adalah time (τιμή)
yang diartikan sebagai “a valuing, a price” (nilai, harga). Memang Tuhan
telah membeli kita dengan suatu harga, dan karena pembelian itu langsung
dibayar dengan sebuah harga. Apakah harganya? Harganya adalah kematian Yesus di
atas kayu salib yang menebus dosa dunia. Ketika Tuhan Yesus mati di atas kayu
salib, ia berkata “Sudah selesai”. Kata ini selain menunjuk bahwa karya
penyelamatan-Nya sudah genap juga menunjuk kepada proses pembayaran harga bagi
manusia yang sudah lunas (selesai) dibayar dengan kematian-Nya. Tidak
diperlukan lagi tindakan apapun agar Allah bisa menjadikan manusia sebagai
milik kepunyaan-Nya. Inilah yang disebut dengan anugerah Allah yang diterima manusia.
Namun demikian,
anugerah tersebut tentu tidak secara otomatis menghilangkan tanggung jawab kita
dalam meresponinya. Persoalannya adalah jika Allah sudah menebus manusia dengan
harga yang begitu mahal, lalu apakah manusia bisa suka-suka sendiri dan berkata
“Yang penting kan saya sudah selamat, mau melakukan apa saja, berzinah, berdusta,
menipu, korupsi, toh yang penting Tuhan sudah mati bagi saya”? Saya rasa
jawabannya tentu tidak demikian. Kita pun memiliki harga yang harus kita bayar,
yaitu perjuangan kita untuk menjadi berkenan di pemandangan Allah. Jika Allah
saja sudah membayar harga untuk membeli kita, masakan kita tidak berani
membayar harga sebagai ucapan syukur kita kepada-Nya?
Satu-satunya
cara untuk membayar harga yang menjadi bagian kita adalah ketika hidup kita
hanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk memuliakan nama-Nya. Dalam konteks
percabulan sebagaimana yang dibahas dari pasal sebelumnya hingga pasal ini,
tentu kita harus menggunakan tubuh kita untuk memuliakan Allah (ay. 20b). Artinya
kita jangan menggunakan tubuh kita untuk berbuat dosa, apalagi dosa percabulan
yang jelas-jelas merusak dan kita lakukan terhadap diri kita sendiri. Bahkan
tidak hanya tubuh kita, jiwa kita (pikiran, perasaan, dan kehendak) juga harus
kita pergunakan untuk memuliakan Allah. Bagaimana caranya?
Kita
harus berusaha setiap hari berusaha untuk hidup tidak bercacat dan tidak
bercela di hadapan-Nya. Setiap hari kita harus mengevaluasi diri kita. Bahkan jika
kita sudah semakin peka, setiap kita berbuat dosa pun kita sudah sadar akan
kesalahan kita. Mungkin dosa kita bukanlah dosa melakukan perbuatan atau
tindakan jahat. Tapi dosa kita ada di pikiran, yaitu ketika pikiran kita memikirkan
apa yang tidak sesuai dengan pikiran Allah. Itulah arti kata dosa yang
sebenarnya, yaitu kemelesetan di hadapan Allah, ibarat anak panah yang tidak
mengenai sasaran yang seharusnya. Dengan membiasakan diri memperkarakan kehidupan
kita di hadapan Allah setiap hari, maka kita akan semakin mengerti apa yang
menjadi kehendak-Nya. Kita akan dapat menilai diri kita sendiri, seberapa kita
telah melakukan apa yang Allah kehendaki, dan bagaimana kita dapat terus hidup
untuk semakin menyenangkan hati-Nya.
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 6:12-20
6:12
Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu
halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun.
6:13
Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan
dibinasakan Allah. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk
Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh.
6:14
Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya.
6:15
Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah
anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak!
6:16
Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan
cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas:
"Keduanya akan menjadi satu daging."
6:17
Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia.
6:18
Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia,
terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa
terhadap dirinya sendiri.
6:19
Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam
kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu
sendiri?
6:20
Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu
muliakanlah Allah dengan tubuhmu!