Selasa, 18 Juni 2019

Pornos dan Moichos (23): Terikat hingga Kematian Memisahkan


Selasa, 18 Juni 2019
Bacaan Alkitab: Roma 7:1-6
Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.(Rm 7:13)


Pornos dan Moichos (23): Terikat hingga Kematian Memisahkan


Ketika saya menulis renungan ini, baru beberapa hari yang lalu saya menghadiri suatu pemberkatan nikah dari seorang yang saya kenal cukup baik sejak masa remajanya. Dalam pemberkatan nikah tersebut, saya hadir Bersama dengan istri saya dan mendengar khotbah nikah dan segala prosesinya, termasuk pengucapan janji nikah, pemasangan cincin, dan lain sebagainya. Saya sangat yakin bahwa dalam setiap pemberkatan nikah yang dilakukan secara Kristiani, pastilah ada kata-kata “sampai maut memisahkan” atau yang sejenisnya. Ini menunjukkan bahwa pernikahan Kristen berlaku seumur hidup, dan seharusnya hanya maut yang dapat memisahkan dua orang yang mengikat janji di hadapan Tuhan, Pendeta dan jemaat.

Saya sangat yakin bahwa semua mempelai yang diberkati di gereja pastilah mengucapkan janji tersebut dengan sukarela dan penuh kesadaran, tanpa paksaan apapun. Namun kenyataannya, praktik yang ada belakangan ini menunjukkan bahwa tidak sedikit pasangan yang diberkati di gereja (yang telah mengucapkan janji nikah mereka) ternyata bercerai. Saya tidak membahas mengapa hal tersebut dapat terjadi, tetapi fakta ini menunjukkan bahwa mungkin kita cukup sering mengucapkan sesuatu tanpa menyadari bahwa ucapan kita itu memiliki makna yang dalam. Kita sering menyepelekan apa yang kita ucapkan, dan kemudian dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, kita bisa seakan-akan “mencabut” perkataan kita tanpa adanya konsekuensi apapun.

Sebenarnya paham mengenai ikatan pernikahan/perkawinan yang berlaku seumur hidup ini bukanlah  monopoli dalam kekristenan. Banyak bangsa-bangsa kuno lain yang sudah menerapkan prinsip ini. Di masa Rasul Paulus hidup, sudah ada aturan umum bahwa suatu hukum berlaku selama seseorang itu hidup (ay. 1). Paulus kemudian menuliskan contoh yang lebih spesifik lagi, yaitu hukum atau tatanan pernikahan yang sudah berlaku secara umum pada masa itu, yaitu ikatan hukum antara seorang istri dan suami. Ingat pada waktu itu posisi wanita masih dianggap berada di bawah pria, sehingga Paulus dalam hal ini mengambil sudut pandang dari sisi seorang istri, dimana ia terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya masih hidup (ay. 2a)

Seorang istri dianggap berzinah (moichalis/μοιχαλίς) jika ia berselingkuh dengan pria lain selama suaminya masih hidup (ay. 3a). Hukuman untuk perzinahan pada masa itu sangat mungkin adalah hukuman yang cukup berat, bahkan mungkin hukuman mati. Pada masa itu, hukum (termasuk hukum perkawinan) mengikat seseorang hingga ia mati. Maka seorang istri yang dahulu adalah perempuan bebas sebelum menikah, menjadi terikat ketika menikah dengan suaminya. Jika suaminya meninggal, maka ia kembali ke status bebas dan tidak terikat lagi (ay. 2b). Jika ia sudah menjadi janda (karena suaminya meninggal), maka kalaupun ia menjadi istri laki-laki lain maka tindakannya tersebut tidak terhitung sebagai suatu perzinahan (ay. 3b).

Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang luar biasa. Jauh sebelum kekristenan berkembang seperti sekarang ini, sudah ada aturan perkawinan semacam itu yang lazim terjadi di zaman Rasul Paulus hidup. Konteks pada waktu itu kemudian dijadikan contoh oleh Paulus mengenai bagaimana orang percaya harus bersikap dalam kaitannya dengan hukum Taurat. Dari contoh yang disampaikan, Paulus hendak menyatakan bahwa meskipun dulu orang percaya adalah penganut agama Yahudi (karena kebanyakan jemaat mula-mula juga adalah orang Yahudi), tetapi mereka sebenarnya harus mengikuti suatu “perjanjian yang baru”.

Jika diibaratkan dengan orang yang menikah, maka agama Yahudi adalah “suami yang lama” dan Yesus Kristus adalah “suami yang baru”. Oleh karena itu, seorang yang mau mengikut Kristus harus bersedia membuat “suami lamanya mati”. Tentu kata mati di sini adalah kiasan, dan tidak boleh diartikan secara harafiah bahwa orang Kristen boleh membunuh orang lain. Orang percaya yang selama ini hidup dan terikat dalam hukum Taurat harus mematikan hukum Taurat tersebut sehingga ia dapat dengan sah menjadi mempelai Kristus (ay. 4).

Di sini kita harus bersedia “mematikan” hukum Taurat, yang artinya adalah tidak lagi menganggap hukum Taurat itu sebagai hal yang terpenting. Ketika kita percaya kepada Kristus, maka satu-satunya agenda kita dan prioritas kita adalah untuk menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya yang kita utamakan. Kita tidak boleh lagi memiliki ambisi pribadi, keinginan, bahkan pemikiran yang tidak sesuai dengan kehendak Bapa di surga. Kita harus dapat berjuang mengenakan hidup seperti pribadi Kristus yang ketika menjadi manusia dapat hidup berkenan kepada Bapa dalam segala hal.

Saya sedang tidak mengatakan bahwa hukum Taurat itu jelek. Hukum Taurat mengandung banyak prinsip yang baik untuk diikuti. Namun demikian, jika kita hanya hidup berdasarkan hukum Taurat, maka kita akan terjebak pada syariat-syariat dan aturan hukum yang kaku, khususnya terkait hal beribadah kepada Allah. Sementara itu, hukum Taurat tidak akan dapat membuat kita menjadi sempurna karena tubuh dan pikiran kita “disandera” oleh hukum Taurat sehingga kita hanya berfokus pada apa yang tertulis menurut hukum tanpa mempertimbangkan apakah yang kita lakukan, ucapkan dan pikirkan itu berkenan di hadapan Bapa. Ingat bahwa standar orang percaya adalah melakukan kehendak Bapa di surga (Mat 7:21-23). Oleh karena itu, sebagai orang percaya yang hidup di zaman Perjanjian Baru, kita harus bisa move on dari segala macam hukum dan syariat yang ada di Perjanjian Lama. Orientasi kita bukan lagi bagaimana kita melakukan hukum Taurat, tetapi bagaimana kita bisa melakukan kehendak Bapa. Prinsip kita sudah bukan Torah is my Law (Taurat adalah hukumku) tetapi God is my Law (Allah sendiri adalah hukumku).

Oleh karena itu, orang percaya harus berjuang untuk mencapai tingkatan ini. Kita sudah tidak mempermasalahkan lagi tuntutan hukum Taurat, bahkan harus menganggap kita sudah mati terhadap hukum Taurat. Kita baru dapat melayani Allah secara pantas jika kita berani “mematikan” hukum Taurat dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya hukum dalam hidup kita (ay. 5-6). Melayani Allah berarti melayani perasaan-Nya, dan hal itu hanya dapat dilakukan jika kita memutuskan perjanjian yang lama (dengan hukum Taurat, atau dengan apapun juga selain Allah) dan menjalin suatu perjanjian yang baru dengan Allah. Jangan biarkan apapun juga menghalangi ikatan perjanjian antara diri kita dan Allah sehingga kita dipandang “berzinah” di hadapan-Nya.



Bacaan Alkitab: Roma 7:1-6
7:1 Apakah kamu tidak tahu, saudara-saudara, — sebab aku berbicara kepada mereka yang mengetahui hukum — bahwa hukum berkuasa atas seseorang selama orang itu hidup?
7:2 Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu.
7:3 Jadi selama suaminya hidup ia dianggap berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain; tetapi jika suaminya telah mati, ia bebas dari hukum, sehingga ia bukanlah berzinah, kalau ia menjadi isteri laki-laki lain.
7:4 Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah.
7:5 Sebab waktu kita masih hidup di dalam daging, hawa nafsu dosa, yang dirangsang oleh hukum Taurat, bekerja dalam anggota-anggota tubuh kita, agar kita berbuah bagi maut.
7:6 Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab kita telah mati bagi dia, yang mengurung kita, sehingga kita sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan lama menurut huruf hukum Taurat.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.