Rabu, 26 Juni 2019

Pornos dan Moichos (28): Tubuh Kita Seharusnya untuk Kemuliaan Allah


Rabu, 26 Juni 2019
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 6:12-20
Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak!  (1 Kor 6:15)


Pornos dan Moichos (28): Tubuh Kita Seharusnya untuk Kemuliaan Allah


Saya pernah beribadah di sebuah gereja, dimana pendeta di gereja tersebut sangat sering menekankan menganai bagaimana hidup untuk kepentingan Tuhan. Salah satu ayat yang sering diambil adalah ayat di dalam perikop ini, yaitu ayat 19 dan 20. Beberapa kali pendeta itu berkata bahwa kita bukan milik kita lagi, kita telah ditebus dengan darah yang mahal, hidup kita telah dibayar lunas oleh Tuhan, dan oleh karena itu kita harus memuliakan Allah dengan hidup kita.

Saya tidak menampik bahwa apa yang pendeta itu sampaikan itu salah. Ayat itu adalah ayat yang  bagus dan memang apa yang disampaikan itu adalah hal yang benar. Namun saya tergelitik dan bertanya-tanya dalam hati, mengapa ayat itu hanya dipenggal di 2 ayat terakhir dari keseluruhan satu perikop? Untungnya pada waktu itu saya sering membawa Alkitab dalam bentuk buku secara fisik, sehingga mudah bagi saya untuk melihat ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Hari ini kita akan mencoba menggali perikop ini dari sudut pandang yang senetral-netralnya supaya kita dapat lebih memahami apa yang dimaksud oleh ayat yang menjadi favorit banyak pendeta itu.

Ingat bahwa kita telah membahas 1 Korintus ini mulai dari pasal 5 hingga pasal 6. Dan perikop sebelumnya berbicara mengenai tindakan orang di dalam jemaat yang bersikap tidak adil, sehingga jemaat harus pergi ke luar untuk mencari keadilan. Di akhir tulisan perikop sebelumnya, Rasul Paulus menegaskan bahwa tindakan-tindakan yang jahat seperti bersikap tidak adil dan juga percabulan, dapat membuat seseorang ditolak untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah.

Oleh karena itu, Paulus menegaskan bahwa segala sesuatu sebenarnya halal, tetapi tidak semuanya berguna (ay. 12a). Kata “halal” di sini dalam bahasa aslinya adalah exesti (ἔξεστιν) yang bermakna “it is permitted, lawful, possible” (diizinkan, sah, sesuai aturan, dimungkinkan). Namun jika kita melihat ayat sebelumnya, mungkinkah percabulan itu dipandang halal? Tentu untuk menjawab itu, kita harus melihat konteks besarnya.

Dalam ayat 12 ini, Paulus hendak mengatakan bahwa jika bangsa Israel dahulu hidup sesuai dengan hukum Taurat, maka umat percaya tidak lagi terikat akan hukum. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu sebenarnya dimungkinkan (karena tidak ada hukum/syariat yang mengikat lagi). Namun apakah dengan demikian semua boleh kita lakukan, misalnya termasuk melakukan percabulan? Tentu tidak boleh. Apa dasarnya? Dasarnya adalah bahwa segala sesuatu belum tentu berguna.

Kata “berguna” dalam Bahasa aslinya adalah sumphero (συμφέρω) yang selain berarti “to bring together, to collect” (membawa bersama-sama, mengumpulkan) juga dapat bermakna “to be profitable, to be expedient” (berguna, menguntungkan, bermanfaat, bijaksana). Jadi walaupun di dalam Kristus saat ini tidak ada lagi hukum/syariat agama yang mengikat, tetapi bukan berarti kita boleh berbuat segala sesuatu. Ada ukuran yang lebih penting lagi, yaitu apakah yang kita lakukan itu berguna/bermanfaat atau tidak. Tentu ukuran berguna/bermanfaat ini tidak bisa diukur dari apa yang tertulis di dalam hukum Taurat, tetapi lebih kepada Tuhan sebagai standar kita, yaitu apakah yang kita lakukan ini berkenan di hadapan-Nya.

Hal ini lebih jelas lagi dalam kalimat selanjutnya, dimana segala sesuatu halal, tetapi jangan sampai kita diperhamba oleh apapun selain oleh Tuhan (ay. 12b). Kata “diperhamba” ini dalam bahasa aslinya adalah exousiazó (ἐξουσιάζω), yang berarti “to exercise authority over, to be ruled, to be held under authority” (tunduk di bawah otoritas tertentu, diperintah, tertawan di bawah otoritas). Tidak boleh ada satu hal pun yang dapat memperhamba kita selain Tuhan. Oleh karena itu, kita harus tunduk di bawah kekuasaan Tuhan, dalam segala hal, bahkan termasuk dalam apa yang akan kita makan.

Paulus meneruskan bahwa makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan (ay. 13a). Ini menunjukkan suatu hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara perut dan makanan. Mana yang lebih dahulu? Perut atau makanan? Sulit untuk menjawabnya karena setiap hari kita harus makan untuk hidup, sehingga jika ada pula yang bertanya: “Apakah makanan diciptakan untuk perut ataukah perut diciptakan untuk makanan?”. Ilustrasi semacam ini berlaku terkait dengan tubuh kita. Kepada siapa tubuh kita ini kita persembahkan? Apakah untuk kesenangan dunia, ataukah untuk Tuhan? Paulus dengan tegas berkata bahwa tubuh tidak diciptakan untuk kesenangan dunia belaka, dalam hal ini percabulan (porneia/πορνεία). Kita diciptakan dengan tubuh ini supaya dalam sisa hidup kita di dunia ini, kita mempersembahkannya bagi Tuhan (ay. 13c).

Mengapa demikian? Perlu kita ingat bahwa segala sesuatu yang bersifat jasmani akan dibinasakan oleh Allah, entah itu makanan, uang, perhiasan, bahkan tubuh kita pun akan berakhir (ay. 13b). Tetapi jika kita menundukkan diri kita kepada Tuhan, maka jiwa kita akan diselamatkan. Itulah ibadah kita yang sejati, yaitu ketika kita mempersembahkan tubuh kita sebagai suatu persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (Rm 12:1). Satu-satunya pengharapan kita adalah ketika kita mempersembahkan tubuh kita kepada Allah, dan Allah akan membangkitkan kita dan memberi tubuh kemuliaan yang baru kepada kita pada hari akhir nanti (ay. 14).

Oleh karena itu, kita harus sadar bahwa tubuh kita ini adalah anggota tubuh Kristus, karena kita pun adalah bagian dari jemaat. Oleh karena itu, ketika kita sampai melakukan percabulan, berarti kita sedang mengambil anggota tubuh Kristus dan menyerahkannya kepada percabulan (ay. 15). Kata “menyerahkan” di sini menggunakan kata poieó (ποιέω) yang memiliki makna sangat luas dalam kosakata bahasa Yunani, namun dalam konteks ini lebih tepat diartikan sebagai “membuat, menjadikan, atau mengubah menjadi”. Di dalam terjemahan lain, ayat ini ditulis sebagai “menjadikan mereka anggota-anggota pelacur”. Kata “percabulan” sendiri juga menggunakan kata porné (πόρνη) yang bermakna pelacur/perempuan sundal, dimana kata ini masih memiliki kesamaan dengan kata pornos di ayat-ayat sebelumnya.

Memang di pasal-pasal selanjutnya, Paulus menjelaskan dengan lebih jelas lagi mengenai konsep anggota tubuh Kristus. Namun di pasal 6 ini, Paulus juga telah memberi sedikit penjelasan mengenai anggota tubuh Kristus, dimana kita semua sebenarnya adalah anggotanya. Sudut pandang ayat 15 ini dapat dilihat dari sudut pandang setiap orang, supaya tidak ada yang berbuat cabul dan mengubah anggota tubuh Kristus menjadi anggota pelacur/perempuan cabul. Namun hal ini juga dapat dilihat dari sudut pandang pemimpin jemaat, yang harus bekerja keras supaya anggota tubuh Kristus (yaitu pribadi-pribadi dalam jemaat) juga tidak melakukan percabulan.

Dasar dari pemikiran ini adalah kenyataan bahwa suatu hubungan seksual adalah suatu ikatan, apalagi suatu pernikahan. Paulus mengutip apa yang diucapkan oleh Allah sendiri yaitu “keduanya akan menjadi satu daging” (ay. 16). Kutipan nats ini diambil dari Kejadian 2:24, dimana kalimat tersebut diucapkan oleh Allah sendiri. Prinsip ini jelas penting, sehingga Paulus menggunakannya dalam ayat 16 ini.

Menariknya, kata “mengikatkan dirinya” menggunakan kata kollaó (κολλάω) yang secara harafiah berarti “to glue, unite” (menempelkan, menyatukan) dan digunakan juga pada ucapan Tuhan Yesus sendiri mengenai pernikahan yaitu kesatuan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yaitu suami dengan istrinya (Mat 19:5). Oleh karena itu, sangat penting kita menyeleksi siapa orang yang akan kita jadikan suami atau istri kita. Jangan sampai kita mengikatkan diri dengan orang yang salah, dalam hal ini digambarkan sebagai seorang perempuan cabul/pelacur (porné). Kata porné ini juga digunakan di ayat 15 sehingga ayat 16 juga dapat dimaknai secara harafiah (jangan menyatukan diri dengan perempuan cabul atau orang yang cabul secara umum), namun juga dapat diartikan supaya kita tidak tergoda untuk beralih dari ikatan kita dengan Kristus (sebagai anggota tubuh Kristus) dan kemudian berpindah haluan menjadi anggota-anggota dari pelacur.

Bagaimana mengatasinya? Satu-satunya cara supaya kita tidak mengikatkan diri (menyatukan diri) dengan percabulan adalah dengan cara mengikatkan diri kepada Tuhan, supaya kita menjadi satu roh dengan Dia (ay. 17). Satu roh disini bukan berarti kita menyamakan diri dengan roh kudus, tetapi memiliki spirit atau semangat yang sama dengan Tuhan. Sama seperti Tuhan Yesus menjadikan kehendak Tuhan sebagai satu-satunya makanan-Nya (Yoh 4:34), maka kita juga harus memiliki gairah yang sama. Kata mengikatkan di ayat 17 sama persis dengan ayat 16. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada cara lain untuk hidup berkenan di hadapan Bapa selain mengikatkan diri kepada Tuhan dan mengenakan pribadi-Nya dalam kehidupan kita.

Oleh karena itu, kita harus menjauhkan diri kita dari percabulan (ay. 18a). Kata “percabulan” di sini menggunakan kata porneia (πορνεία) yang merupakan suatu kata kerja/verba. Kata yang hampir sejajar juga terdapat pada bagian kedua ayat 18 (di dalam Alkitab Terjemahan Baru Bahasa Indonesia juga menggunakan kata “percabulan”), namun di kata kedua ini sebenarnya adalah kata porneuó (πορνεύω) yang bersifat kata benda/nomina. Sementara itu kata “jauhkanlah” dalam bahasa aslinya adalah pheugó (φεύγω) yang berarti “to flee, escape, shun, seek safety by flight” (pergi, melarikan diri, menyelamatkan diri, meloloskan diri, menghindari, menjauhkan diri, mencari keselamatan dengan cara terbang). Hal ini menunjukkan bahwa bahaya percabulan itu sangat nyata dan mengancam semua orang. Jangan berpikir bahwa karena kita adalah pelayan Tuhan, pemain musik, worship leader, aktivis, majelis, pengkhotbah, bahkan pendeta maka kita akan kebal terhadap percabulan ini.

Dalam ayat 18a tersebut, kata jauhkanlah menggunakan jenis kata kerja present imperative active – 2nd person plural. Hal tersebut menunjukkan perintah dimana kita harus aktif dan melakukannya setiap saat. Kita harus berjuang untuk menghindari dan menjauhi perbuatan dosa yaitu percabulan. Jangan biarkan diri kita terikat dengan percabulan, karena percabulan itu ibarat candu yang menagih dan semakin lama semakin menuntut dosis yang lebih tinggi. Setiap dosa lain (selain percabulan) yang dilakukan seseorang, dilakukan di luar dirinya, sementara orang yang percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri (ay. 18b).

Bagian terakhir ayat ini cukup sulit dicerna. Ada yang berpendapat bahwa hal ini kemungkinan besar terkait dengan dosa-dosa yang disebutkan di bagian sebelumnya, antara lain: serakah, menipu, mencuri, memfitnah, dan lain sebagainya. Namun saya sendiri menilai bahwa hal ini terkait dengan fakta bahwa kita adalah anggota tubuh Kristus. Jika kita melakukan percabulan, maka kita merusak tubuh kita sendiri yang seharusnya kita persembahkan kepada Tuhan. Jika kita melakukan percabulan, itu akan merusak tubuh kita. Tidak hanya berbicara mengenai tubuh jasmani, hal ini juga dapat dilihat dari sudut pandang tubuh rohani.

Percabulan yang dilakukan oleh salah seorang jemaat dapat memberi dampak luar biasa kepada jemaat tersebut. Apalagi jika kedua orang yang melakukan tindakan percabulan itu juga adalah sama-sama jemaat. Panggilan Tuhan bagi orang percaya adalah supaya kita hidup dalam kesucian dan kekudusan. Oleh karena itu suka atau tidak suka, kita wajib menjadi saksi yang menampilkan bagaimana seharusnya manusia hidup sesuai dengan kehendak Bapa. Dosa percabulan pada umumnya meninggalkan bekas yang sulit bahkan tidak dapat dihapus. Andai ada pasangan muda-mudi dalam gereja yang melakukan percabulan hingga menghasilkan anak, hal itu dapat menjadi bukti yang nyaris tidak dapat dihapus, dan akan terus menerus membayangi jemaat tersebut. Hal ini tidak hanya merusak di dalam jemaat, tetapi  juga membuat orang di luar jemaat akan memberi nilai buruk kepada jemaat itu. Jika demikian, bagaimana kita mau  mengenalkan Tuhan dan kerajaan-Nya kepada orang lain? Bagaimana orang lain dapat tertarik untuk mengenal kebenaran sedangkan praktik hidup kita saja sangat memalukan?

Oleh karena itu kita harus sadar bahwa tubuh kita adalah bait bagi Roh Kudus yang diam di dalam kita (ay. 19a). Sekilas kalimat ini terkesan biasa saja. Tetapi jika kita merenungkan dengan dalam, bagaimana Allah bisa memberikan Roh-Nya untuk diam di dalam diri kita dan menuntun kita setiap saat supaya kita dapat berjalan sesuai dengan kehendak-Nya, itu adalah anugerah yang luar biasa. Bagaimana Allah yang Maha Tahu dan tidak terbatas itu mau dan berkenan untuk memberikan Roh-Nya di dalam manusia yang hanya ibarat setitik debu di hadapan-Nya ini.

Tetapi terkadang manusia lupa konsekuensi dari ini semua. Dalam ayat yang lain dikatakan bahwa Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu (Yak 4:5). Ini menunjuk bahwa Allah yang Maha Kudus ketika menaruh Roh-Nya dalam diri manusia, tentu mengharapkan manusia tersebut untuk juga kudus sama seperti Allah adalah kudus. Masalah datang ketika manusia tidak peduli dengan Roh Kudus yang ada di dalam dirinya. Manusia masih hidup suka-sukanya sendiri, berbuat dosa dan kejahatan yang mendukakan hati Allah, dan lain sebagainya. Roh Kudus yang ada di dalam diri manusia pun lambat laun diabaikan dan “dimatikan dengan sengaja”. Akhirnya, jika tidak bertobat, maka orang ini dapat masuk ke dalam kategori “menghujat Roh Kudus” karena ia tidak pernah menghargai Roh Kudus yang diberikan Allah kepadanya.

Kata “bait” dalam ayat 19 ini sebenarnya dalam bahasa aslinya adalah naos (ναός), yang berarti “a temple, a shrine, sanctuary, that part of the temple where God himself resides” (kuil, tempat pemujaan/penyembahan, tempat suci, bagian kuil dimana Tuhan sendiri berdiam). Dalam banyak ayat Perjanjian Baru, kata naos ini sering merujuk kepada Bait Suci/Bait Allah, tempat suci bagi bangsa Yahudi, yaitu tempat dimana bangsa Yahudi beribadah dan berkiblat ketika berdoa. Jadi bait di sini bukan hanya sekedar “rumah” dimana Roh Kudus masuk dan diam secara pasif. Akan tetapi ketika Paulus berkata bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus, maka tubuh kita pun harus menjadi suci, kudus, sehingga Roh Allah bisa berkenan untuk diam. Tubuh kita harus menjadi tempat penyembahan kepada Allah, yaitu ketika kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup kita. Tidak boleh ada bagian tubuh kita yang kita gunakan selain untuk menyenangkan hati-Nya. Barulah kita dapat menjadikan tubuh kita sebagai bait Roh Kudus.

Konsekuensi dari Roh Allah yang diberikan oleh Allah kepada manusia, maka manusia tidak lagi berhak untuk hidup bagi dirinya sendiri (ay. 19b). Manusia harus menjadi lebih miskin dari orang miskin, artinya tidak punya hak lagi untuk menikmati kesenangan sendiri, tidak punya hak lagi untuk bertindak suka-suka sendiri, dan lain sebagainya. Manusia sudah dibeli oleh Allah dengan harga yang telah lunas dibayar, yaitu oleh darah Tuhan Yesus sendiri (ay. 20a). Oleh karena itu sekarang manusia yang percaya kepada-Nya akan menjadi ciptaan baru, dan harus menundukkan diri di bawah Allah saja. Segala sesuatu yang kita lakukan haruslah untuk kemuliaan Allah: dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia (Rm 11:36).

Kata “telah dibeli” dalam bahasa aslinya adalah ēgorasthēte (ἠγοράσθητε) dari akar kata agorazó (ἀγοράζω). Kata agorazó ini berbicara mengenai transaksi pembelian yang umum di suatu pasar, dimana jika sudah ada barang yang disepakati untuk dibeli (dengan sejumlah uang tertentu atau barter), maka barang tersebut secara sah dan resmi menjadi milik si pembeli. Kata agorazó ini berbeda dengan kata exagorazó (menebus), dimana kata exagorazó berbicara tentang menebus kembali sesuatu yang telah dijual (misal: barang yang digadaikan lalu ditebus kembali), sementara kata agorazó lebih bersifat transaksi jual beli biasa yang umum terjadi di dalam pasar.

Sebenarnya kata “harganya telah lunas dibayar” dalam bahasa aslinya adalah time (τιμή) yang diartikan sebagai “a valuing, a price” (nilai, harga). Memang Tuhan telah membeli kita dengan suatu harga, dan karena pembelian itu langsung dibayar dengan sebuah harga. Apakah harganya? Harganya adalah kematian Yesus di atas kayu salib yang menebus dosa dunia. Ketika Tuhan Yesus mati di atas kayu salib, ia berkata “Sudah selesai”. Kata ini selain menunjuk bahwa karya penyelamatan-Nya sudah genap juga menunjuk kepada proses pembayaran harga bagi manusia yang sudah lunas (selesai) dibayar dengan kematian-Nya. Tidak diperlukan lagi tindakan apapun agar Allah bisa menjadikan manusia sebagai milik kepunyaan-Nya. Inilah yang disebut dengan anugerah Allah yang diterima manusia.

Namun demikian, anugerah tersebut tentu tidak secara otomatis menghilangkan tanggung jawab kita dalam meresponinya. Persoalannya adalah jika Allah sudah menebus manusia dengan harga yang begitu mahal, lalu apakah manusia bisa suka-suka sendiri dan berkata “Yang penting kan saya sudah selamat, mau melakukan apa saja, berzinah, berdusta, menipu, korupsi, toh yang penting Tuhan sudah mati bagi saya”? Saya rasa jawabannya tentu tidak demikian. Kita pun memiliki harga yang harus kita bayar, yaitu perjuangan kita untuk menjadi berkenan di pemandangan Allah. Jika Allah saja sudah membayar harga untuk membeli kita, masakan kita tidak berani membayar harga sebagai ucapan syukur kita kepada-Nya?

Satu-satunya cara untuk membayar harga yang menjadi bagian kita adalah ketika hidup kita hanya memiliki satu tujuan, yaitu untuk memuliakan nama-Nya. Dalam konteks percabulan sebagaimana yang dibahas dari pasal sebelumnya hingga pasal ini, tentu kita harus menggunakan tubuh kita untuk memuliakan Allah (ay. 20b). Artinya kita jangan menggunakan tubuh kita untuk berbuat dosa, apalagi dosa percabulan yang jelas-jelas merusak dan kita lakukan terhadap diri kita sendiri. Bahkan tidak hanya tubuh kita, jiwa kita (pikiran, perasaan, dan kehendak) juga harus kita pergunakan untuk memuliakan Allah. Bagaimana caranya?

Kita harus berusaha setiap hari berusaha untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela di hadapan-Nya. Setiap hari kita harus mengevaluasi diri kita. Bahkan jika kita sudah semakin peka, setiap kita berbuat dosa pun kita sudah sadar akan kesalahan kita. Mungkin dosa kita bukanlah dosa melakukan perbuatan atau tindakan jahat. Tapi dosa kita ada di pikiran, yaitu ketika pikiran kita memikirkan apa yang tidak sesuai dengan pikiran Allah. Itulah arti kata dosa yang sebenarnya, yaitu kemelesetan di hadapan Allah, ibarat anak panah yang tidak mengenai sasaran yang seharusnya. Dengan membiasakan diri memperkarakan kehidupan kita di hadapan Allah setiap hari, maka kita akan semakin mengerti apa yang menjadi kehendak-Nya. Kita akan dapat menilai diri kita sendiri, seberapa kita telah melakukan apa yang Allah kehendaki, dan bagaimana kita dapat terus hidup untuk semakin menyenangkan hati-Nya.




Bacaan Alkitab: 1 Korintus 6:12-20
6:12 Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun.
6:13 Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh.
6:14 Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya.
6:15 Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak!
6:16 Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: "Keduanya akan menjadi satu daging."
6:17 Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia.
6:18 Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri.
6:19 Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, --dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?
6:20 Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.