Kamis, 20 Juni 2019

Pornos dan Moichos (25): Ibarat Ragi yang Berbahaya


Kamis, 20 Juni 2019
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 5:1-8
Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya. (1 Kor 5:1)


Pornos dan Moichos (25): Ibarat Ragi yang Berbahaya


Bagi para ibu-ibu, tentu sudah mengenal tentang benda yang bernama ragi. Ragi adalah suatu bahan yang digunakan dalam pembuatan makanan (khususnya kue), yang jika dikombinasikan dengan karbohidrat/glukosa maka akan bereaksi dan menghasilkan gas CO2 yang akan membuat adonan menjadi mengembang. Ragi tentu sangat penting dan berguna bagi mereka yang membuat roti, kue, dan makanan sejenisnya. Namun dalam konteks ini, Paulus sedang menjelaskan konsep ragi dalam arti yang merugikan.

Konteks perikop ini erat kaitannya dengan praktik percabulan yang ada di dalam jemaat pada waktu itu. Tidak tanggung-tanggung, praktik percabulan yang terjadi adalah ada seorang laki-laki yang hidup dengan istri ayahnya (ay. 1). Memang tidak dikatakan apakah istri ayahnya tersebut adalah ibu kandung atau ibu tiri dari laki-laki itu. Namun demikian, Paulus memberikan penegasan bahwa hal tersebut pun nyaris tidak terdapat di antara bangsa-bangsa lain, bahkan bangsa-bangsa kafir yang tidak mengenal Allah (ay. 1). Tentu kita harus memahami bahwa orang tersebut tidak hanya hidup dalam artian tinggal serumah dengan istri ayahnya, tetapi kata “hidup” dalam Bahasa aslinya menggunakan kata echó (ἔχω) yang secara singkat dapat berarti “to have, hold, possess” (memiliki, menyimpan, menguasai). Oleh karena itu, Alkitab Terjemahan Lama Bahasa Indonesia menggunakan kata yang lebih vulgar lagi yaitu “sehingga seorang memperbinikan isteri bapanya”.

Oleh karena itu, kita dapat mengamati bagaimana Paulus menggunakan kata di dalam ayat ini untuk menggambarkan tindakan percabulan yang luar biasa. Kita telah mengerti bahwa ada 2 kata yang dapat diterjemahkan sebagai “percabulan”, yaitu porneia/pornos dan moicheuo/moichos. Dalam renungan-renungan sebelumnya kita telah belajar bahwa kata porneia mengandung makna kesalahan yang lebih berat, karena tindakan percabulan di porneia memiliki hakikat hingga membahayakan pernikahan. Di dalam konteks perikop ini, Paulus menggunakan kata porneia untuk kedua kata percabulan di dalam bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan tingkatan yang sangat parah atas praktik percabulan yang terjadi pada waktu itu.

Yang lebih menjadi masalah adalah bahwa orang yang melakukannya tidak merasa bersalah atas kejadian tersebut. Bahkan secara umum, jemaat Korintus dimana kejadian tersebut terjadi juga tidak berdukacita dan justru malah cenderung menyombongkan diri (ay. 2). Itulah sebabnya Paulus cukup marah atas kejadian ini, namun tidak dapat berbuat apa-apa secara langsung karena sedang berada jauh dari kota Korintus (ay. 3).

Namun demikian, Paulus mengingatkan bahwa meskipun terdapat jarak yang jauh secara fisik, namun Paulus dan jemaat Korintus (serta jemaat lainnya) seharusnya berdekatan secara roh (ay. 4). Tentu karena semua orang percaya adalah tubuh Kristus, dan ada Roh Kudus yang menyatukan orang percaya di segala tempat. Oleh karena itu Paulus dengan tegas mengatakan bahwa orang-orang yang melakukan dosa semacam itu haruslah diserahkan kepada iblis di dalam nama Tuhan Yesus supaya jiwa/rohnya dapat diselamatkan pada hari Tuhan (ay. 5).

Kalimat pada ayat 5 ini cukup sulit dipahami. Bagaimana mungkin ada orang percaya yang justru diserahkan kepada Iblis, lebih-lebih lagi diserahkan di dalam nama Tuhan Yesus? Bagaimana hal ini mungkin terjadi?

Untuk memahami ayat 5 secara lebih jelas, kita perlu melihat ke dalam bahasa asli Alkitab Perjanjian Baru, yaitu bahasa Yunani kuno. Kata “kita serahkan” dalam bahasa aslinya menggunakan kata paradidómi (παραδίδωμι) yang dapat diartikan sebagai “to hand over, to give or deliver over, to betray” (menyerahkan, memberikan, mengantarkan, membukakan, mengkhianati). Ada 2 kemungkinan utama yang dimaksud dalam ayat ini: Pertama, hal ini terkait dengan praktik agama Yahudi pada waktu itu, ketika ada orang yang sudah tidak menaati hukum Taurat, maka ia dikucilkan atau dikeluarkan dari jemaat. Hal ini dianggap sama dengan diserahkan kepada iblis karena ia dianggap sudah tidak ada lagi di dalam Tuhan. Jika demikian, maka ada kemungkinan orang tersebut dikeluarkan dari jemaat. Atau kemungkinan kedua, terkait dengan tujuan “penyerahan” ini yaitu supaya tubuhnya binasa, hal ini dapat berarti Paulus berharap ia ditegur dengan cara yang sangat keras (misal: sakit keras, miskin, menderita kemalangan, dan lain sebagainya) supaya ia sadar akan dosanya dan dapat bertobat (karena tubuhnya sudah sakit/rusak, tidak punya uang, dan lain sebagainya sehingga tidak sempat lagi berbuat dosa tersebut). Hal ini tentu terkait dengan kata “binasa” dalam ayat 5 ini yang dalam bahasa aslinya menggunakan kata olethros (ὄλεθρος) yang berarti  ruin, doom, destruction, death” (hancur/kehancuran, malapetaka/kebinasaan/kemalangan, kerusakan, kematian). Karena kata olethros ini merujuk kepada tubuh, maka dapat dipertimbangkan kemungkinan bahwa Paulus mengharapkan kemalangan bagi orang yang sudah bebal semacam ini sehingga ia tidak lagi memiliki kesempatan untuk berbuat dosa percabulan tersebut karena tubuhnya sudah sakit/rusak, miskin, dan menderita. Hal ini juga dapat berlaku bagi orang yang sudah kecanduan narkoba, ketika ia sudah sakit dan tidak punya uang, maka kesempatan untuk bertobat menjadi semakin besar karena sudah tidak ada lagi yang dapat ia gunakan untuk membeli narkoba. Dalam hal ini Tuhan dapat menjadikan berkat dari suatu masalah atau persoalan.

Dari surat-surat Paulus yang lain, dapat dikatakan sangat jarang Paulus menulis sikap yang seperti itu. Namun dapat dipahami mengingat dosa yang dilakukan orang itu sudah masuk ke dalam kategori yang sangat parah, maka ia tidak ingin dosa itu menyebar ke orang lain di dalam jemaat tersebut. Itulah sebabnya Paulus melanjutkan dengan kalimat yang menyatakan bahwa sedikit ragi pun sudah cukup untuk mengkhamiri seluruh adonan (ay. 6). Ragi adalah benda kecil yang dalam kondisi biasa (terpisah dari adonan) nyaris tidak berdampak. Namun jika sedikit ragi itu sudah bersentuhan dan bereaksi dengan adonan (yang di dalamnya mengandung karbohidrat/glukosa), maka ragi akan bereaksi dan berdampak kepada seluruh adonan.

Paulus dihadapkan pada fakta bahwa percabulan yang terjadi sudah sampai taraf yang membahayakan. Oleh karena itu jalan satu-satunya adalah “menyerahkan tubuhnya kepada iblis” (dalam teks aslinya sebenarnya menggunakan kata setan/satan). Paulus menegaskan bahwa ragi yang berbahaya itu harus dibuang supaya jemaat Korintus menjadi adonan yang baru. Bahkan jika mengacu kepada praktik di dalam Perjanjian Lama, roti yang digunakan dalam ibadah pada umumnya adalah roti tidak beragi. Jika diibaratkan adonan adalah persekutuan orang percaya, maka tidak boleh ada dosa (yang digambarkan sebagai ragi) sekecil apapun karena adonan roti bagi Tuhan haruslah roti yang tidak beragi. Hal ini pun dikaitkan dengan tata cara perayaan Paskah bagi orang Yahudi yang juga menggunakan domba Paskah disamping roti tidak beragi. Paulus pun secara tidak langsung menyatakan bahwa pelaksanaan ibadah Paskah di Perjanjian Lama sebenarnya merujuk kepada Kristus di dalam Perjanjian Baru, dimana Kristus adalah Anak Domba Allah yang disembelih untuk keselamatan mereka, bahkan tidak hanya bagi orang Yahudi tetapi juga bagi seluruh dunia (ay. 7).

Oleh karena itu, sudah sepantasnya orang percaya hidup tanpa ragi yang merusak dan membahayakan, sama seperti gambaran roti yang tidak beragi. Adonan roti yang tak beragi itu menggambarkan kehidupan kekristenan yang penuh dengan kemurnian dan kebenaran (ay. 8). Inilah sebenarnya inti dari kekristenan, yaitu kemurnian/kesucian hidup, dan kebenaran dalam tuntunan Roh Kudus. Dalam kemurnian dan kebenaran yang sejati, seharusnya sudah tidak ada lagi tempat bagi dosa sekecil apapun. Memang kita juga tidak serta merta mengusir orang yang berdosa di dalam jemaat, karena bagaimanapun kita juga pasti memiliki dosa dalam kehidupan kita. Namun jika kita sudah diberikan tanggung jawab sebagai “gembala” atas sejumlah orang yang menjadi “domba-domba” yang dipercayakan kepada kita, belajarlah peka untuk mendengar suara Sang Gembala Agung kita. Jika ada hal-hal yang kira-kira dapat merusak dan membinasakan “domba-domba” kita, beranikah kita untuk bersikap tegas terhadap ancaman tersebut? Apakah kita memilih untuk membuang ragi itu, ataukah membiarkan semakin banyak adonan tercemar ragi yang membahayakan?



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 5:1-8
5:1 Memang orang mendengar, bahwa ada percabulan di antara kamu, dan percabulan yang begitu rupa, seperti yang tidak terdapat sekalipun di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yaitu bahwa ada orang yang hidup dengan isteri ayahnya.
5:2 Sekalipun demikian kamu sombong. Tidakkah lebih patut kamu berdukacita dan menjauhkan orang yang melakukan hal itu dari tengah-tengah kamu?
5:3 Sebab aku, sekalipun secara badani tidak hadir, tetapi secara rohani hadir, aku--sama seperti aku hadir--telah menjatuhkan hukuman atas dia, yang telah melakukan hal yang semacam itu.
5:4 Bilamana kita berkumpul dalam roh, kamu bersama-sama dengan aku, dengan kuasa Yesus, Tuhan kita,
5:5 orang itu harus kita serahkan dalam nama Tuhan Yesus kepada Iblis, sehingga binasa tubuhnya, agar rohnya diselamatkan pada hari Tuhan.
5:6 Kemegahanmu tidak baik. Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan?
5:7 Buanglah ragi yang lama itu, supaya kamu menjadi adonan yang baru, sebab kamu memang tidak beragi. Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus.
5:8 Karena itu marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian dan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.