Senin,
17 Juni 2019
Bacaan
Alkitab: Roma 2:17-24
Engkau yang berkata: "Jangan berzinah," mengapa engkau sendiri
berzinah? Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok
rumah berhala? (Rm 2:22)
Pornos dan Moichos (22): Konsistensi antara Perkataan dan Perbuatan
Bangsa Yahudi yang merupakan keturunan
bangsa Israel merupakan bangsa pilihan dimana Allah berkenan menyatakan
diri-Nya kepada mereka. Bahkan dari bangsa Yahudi inilah Tuhan Yesus datang ke
dunia untuk menjadi Juruselamat dunia. Jika demikian, apakah orang Kristen
patut untuk meniru dan bahkan mengkultuskan bangsa Yahudi?
Jika kita membaca sebagian besar
surat-surat Paulus termasuk surat Roma ini, maka kita akan melihat bagaimana
Paulus begitu tegas bersikap terhadap orang Yahudi. Ketika orang Yahudi pada
saat itu bangga terhadap status keyahudiannya, bangga terhadap hukum Taurat
yang mereka miliki (yang mereka klaim adalah hukum dari Tuhan sendiri), maka
mereka merasa bahwa mereka adalah bangsa pilihan yang pasti akan dibela tanpa
batas oleh Tuhan mereka.
Paulus menekankan bahwa jika mereka
menyebut diri mereka sebagai orang Yahudi, bersandar kepada hukum Taurat,
bermegah dalam Allah, bahkan bisa tahu kehendak-Nya (karena menerima pengajaran
di dalam hukum Taurat), bahkan dapat mengerti mana yang baik dan mana yang
jahat (menurut hukum Taurat), serta yakin bahwa mereka membawa terang dan menuntun mereka
yang di dalam kegelapan, maka mereka sebenarnya memiliki peran yang sangat mulia
sekali. Mereka tentu dapat berperan sebagai pendidik bagi orang bodoh (ay. 17-20).
Dalam hal ini kita harus memahami konteks kitab Roma ini ditulis, dimana Paulus
menunjukkan perbedaan antara kehidupan orang Yahudi yang menjalankan hukum secara lahiriah
dan bagaimana orang-orang non Yahudi yang percaya namun tidak lagi hidup
menurut hukum.
Dalam hal ini, bangsa Yahudi
dipandang sebagai bangsa yang sudah mengenal terang, karena mereka memiliki hukum
yang berasal dari Allah sendiri (yaitu 10 hukum dan turunannya). Mereka
seharusnya sudah mengenal Allah, firman-Nya, dan kebenaran-Nya. Mereka harusnya
dapat menjadi teladan bagi orang-orang yang hendak hidup benar di hadapan
Allah. Namun kenyataannya, karena sikap dan kehidupan orang Yahudi yang sangat
bebal, justru nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain. Mengapa
demikian? Karena hidup mereka tidak mencerminkan keagungan Allah yang mereka
sembah. Karakter mereka sehari-hari sangat jauh dari standar hukum Allah yang
sudah jelas dinyatakan ribuan tahun sebelumya.
Paulus yang adalah orang Yahudi
asli sangat mengerti akan hal ini. Paulus hidup di dalam agama Yahudi sejak ia
kecil hingga dewasa. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Paulus mengatakan
bahwa ia adalah orang Ibrani (Yahudi) asli dan ia menjalankan hukum Taurat
nyaris tanpa cela (Flp 3:5-6). Namun demikian, ia memahami benar bahwa ada satu
kekurangan dalam kehidupan orang Yahudi secara umum, yaitu kurangnya
konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Orang Yahudi yang lebih memahami
dan mengenal Allah (karena memiliki firman dari Allah dan nenek moyang mereka
bahkan mengalami sendiri kuasa Allah yang hebat) tentu seharusnya bisa membawa
terang bagi bangsa-bangsa lain. Mereka seharusnya dapat mengajar orang lain
untuk mengenal Allah yang benar dengan cara yang benar pula. Sayangnya, di sini
justru terletak kegagalan bangsa Yahudi untuk membawa terang bagi
bangsa-bangsa.
Paulus menulis bahwa mereka yang
sudah berani untuk mengajar orang lain, seharusnya sudah lulus dalam mengajar diri
mereka sendiri (ay. 21a). Dalam bahasa yang lebih sederhana, jika seseorang
berkata (apalagi jika sudah mengajar) kepada orang lain untuk tidak mencuri,
maka ia seharusnya sudah tidak mencuri lagi (ay. 21b). Jika ia berkata kepada
orang lain untuk tidak berzinah, maka ia seharusnya juga tidak berzinah. Itulah
sebabnya Paulus menulis: “Engkau yang
berkata: "Jangan berzinah," mengapa engkau sendiri berzinah?” (ay.
22a).
Kata berzinah di ayat ini dalam
bahasa aslinya menggunakan kata moicheuein (μοιχεύειν) dari akar kata moicheuó
(μοιχεύω). Kata ini digunakan dalam Perjanjian Baru untuk merujuk salah satu
dari Dasatitah di Perjanjian Lama yaitu “Jangan berzinah” (Kel 20:14). Jika
kita memposisikan diri secara lebih obyektif, suatu bangsa yang memiliki hukum yang
mengatur secara rinci mengenai kehidupan bangsa tersebut dengan Tuhannya dan
sesamanya selama lebih dari 1.000 tahun, seharusnya memiliki standar hidup yang
jauh lebih baik, beradab, dan mulia. Hukum Taurat adalah hukum yang mulia.
Sayangnya, hukum itu hanya dilakukan sesuai
bunyinya, bukan sesuai nafasnya. Itulah sebabnya dalam kesempatan yang
lain Tuhan Yesus menegur bangsa Yahudi yang merasa tidak berzinah (karena
memahami zinah hanya sebagai tindakan hubungan seksual antara 2 orang yang
tidak terikat hubungan perkawinan) padahal mereka tidak sadar bahwa ketika
mereka melihat lawan jenis hingga tergerak birahinya, maka mereka sebenarnya
sudah berzinah (Mat 5:27-28).
Betapa berbahayanya jika hukum
dan syariat agama hanya dilakukan sesuai dengan bunyinya tanpa melihat spirit
atau nafas dari hukum tersebut. Bangsa Yahudi bisa dikatakan jijik terhadap
segala berhala, khususnya segala macam patung. Pada masa itu mereka sedang
dijajah oleh bangsa Romawi (dan sebelumnya juga dijajah bangsa Yunani), dimana
kebudayaan Romawi/Yunani sangat sarat dengan patung-patung dewa yang mereka
sembah. Mereka memang jijik dengan patung-patung tersebut, tetapi lupa bahwa
mereka pun tanpa mereka sadari sedang merampok rumah berhala. Ayat ini mungkin
terkait dengan praktik pada masa itu dimana mereka pun juga menerima sumbangan
dari orang-orang non Yahudi atas pendirian rumah-rumah ibadah yang memiliki
patung-patung di dalamnya (ay. 22b).
Bangsa
Yahudi memang adalah bangsa yang dipilih Allah sebagai sarana untuk lahirnya Mesias.
Untuk itulah mereka diberikan hukum Taurat sebagai pedoman hidup. Selama ini
Hukum Taurat menjadi suatu hal yang sangat dibanggakan oleh bangsa Yahudi.
Mereka sangat bangga karena menerima suatu hukum yang diberikan langsung oleh
Allah sesembahan mereka (Elohim Yahweh). Namun demikian, tanpa mereka sadari
mereka justru mempermalukan dan menghina Allah ketika mereka tidak melakukan
hukum Taurat sebagaimana seharusnya seperti yang dikehendaki oleh Allah (ay.
23).
Dalam
hal ini, sekali lagi kita harus mengerti bahwa Allah tidak menghendaki bangsa
Yahudi hanya melakukan hukum Taurat sesuai bunyinya, karena hal itu hanya akan
membuat mereka sebagai bangsa yang berhukum. Hukum Taurat memang baik karena
mendorong manusia untuk memiliki karakter yang baik (tidak membunuh, tidak
berzinah, tidak mencuri, dan lain sebagainya). Tapi Allah ingin supaya manusia
memiliki karakter yang sempurna, dan tidak hanya sekedar baik. Oleh karena itu,
bangsa Yahudi mungkin tidak membunuh, tetapi perkataan mereka seringkali tidak
terkendali dan membunuh karakter maupun semangat orang lain. Mereka mungkin
tidak sampai melakukan hubungan seksual selain pasangannya, tetapi pikiran
mereka liar dan bergairah melihat wanita lain. Hal-hal seperti inilah yang dikatakan
sebagai menghina Allah.
Biarlah
pengalaman bangsa Yahudi ini menjadi peringatan bagi kita semua, bahwa meskipun
menyandang status sebagai “bangsa pilihan”, bukan berarti bangsa Yahudi
otomatis berkenan di hadapan Allah. Status sebagai bangsa pilihan harus
dibuktikan pula dengan kehidupan yang menunjukkan kualitas sebagai bangsa
pilihan itu sendiri. Lebih dalam lagi, tidak cukup hanya bangga memiliki hukum
Taurat, berstatus sebagai bangsa pilihan, bahkan mengucapkan ayat-ayat dari
kitab suci. Bagi kita yang sering mengaku diri sebagai anak-anak Allah, hal yang
jauh lebih penting adalah apakah kita sungguh-sungguh menghidupi status kita
sebagai anak-anak Allah? Apakah kita sungguh-sungguh tidak hanya gemar mengutip
atau mengucapkan ayat-ayat dari kitab suci tetapi melakukannya? Apakah kita tidak
hanya sibuk berteori dan berteologia, tetapi juga menghidupi prinsip-prinsip
kekristenan yang kita yakini sebagai kebenaran? Jika tidak, mungkin selama ini
kita telah berbohong dan berdusta terhadap diri sendiri dan juga terhadap
Allah. Jangan sampai nama Allah dihujat karena kehidupan kita tidak memancarkan
keagungan yang seharusnya kita miliki sebagai anak-anak Allah (ay. 23). Jangan
sampai kehidupan kita yang busuk menjadi penghambat bagi orang lain untuk dapat
percaya kepada Allah yang benar.
Bacaan Alkitab:
Roma 2:17-24
2:17 Tetapi, jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi dan bersandar kepada
hukum Taurat, bermegah dalam Allah,
2:18 dan tahu akan kehendak-Nya, dan oleh karena diajar dalam hukum Taurat,
dapat tahu mana yang baik dan mana yang tidak,
2:19 dan yakin, bahwa engkau adalah penuntun orang buta dan terang bagi
mereka yang di dalam kegelapan,
2:20 pendidik orang bodoh, dan pengajar orang yang belum dewasa, karena
dalam hukum Taurat engkau memiliki kegenapan segala kepandaian dan kebenaran.
2:21 Jadi, bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau
mengajar dirimu sendiri? Engkau yang mengajar: "Jangan mencuri,"
mengapa engkau sendiri mencuri?
2:22 Engkau yang berkata: "Jangan berzinah," mengapa engkau
sendiri berzinah? Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri
merampok rumah berhala?
2:23 Engkau bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina
Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?
2:24 Seperti ada tertulis: "Sebab oleh karena kamulah nama Allah
dihujat di antara bangsa-bangsa lain."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.