Senin, 24 Juni 2019

Pornos dan Moichos (26): Bagaimana Seharusnya Sikap Pemimpin Jemaat


Senin, 24 Juni 2019
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 5:9-13
Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama. (1 Kor 5:11)


Pornos dan Moichos (26): Bagaimana Seharusnya Sikap Pemimpin Jemaat


Dalam bacaan Alkitab kita hari ini, terdapat 3 ayat yang memuat kata pornos/porneia yaitu ayat 9, 10, dan 11. Namun karena ketiga ayat tersebut berdekatan, maka kita akan membahas sekalian supaya konteks ayat-ayat tersebut tetap dapat kita pahami secara utuh. Dari konteks ayat 9 sampai 13 tersebut, setidaknya ada tiga sikap yang ditekankan oleh Paulus terhadap orang-orang cabul. Tentu penggunaan kata pornos/porneia di perikop ini merujuk pada suatu tindakan percabulan yang tingkatannya sudah sangat parah. Itulah sebabnya dalam renungan hari ini kita akan melihat bagaimana seharusnya sikap yang diambil seorang pemimpin jemaat jika terdapat permasalahan seperti ini terjadi di dalam jemaatnya.

Pertama, Paulus sebenarnya telah menulis kepada jemaat untuk tidak bergaul dengan orang-orang cabul (ay. 9). Perlu diingat bahwa kata cabul di sini menggunakan kata pornos untuk menggambarkan tingkatan percabulan yang sangat parah sehingga merusak hakikat pernikahan. Salah satu contohnya ada di ayat 1 dimana ada seorang jemaat yang hidup dengan istri ayahnya (1 Kor 5:1). Yang menarik adalah penggunaan kata “bergaul” yang dalam bahasa aslinya menggunakan kata sunanamignumi (συναναμίγνυμι). Kata ini dapat bermakna “to mix up together, to associate with, to mingle together with, to keep company with” (berbaur, bercampur, bergaul, berteman). Kata ini tidak hanya bermakna berteman secara umum, tetapi hingga bersahabat dan menjalin hubungan yang lebih dekat.

Karena kata sunanamignumi memang cukup sulit untuk dideskripsikan, maka Rasul Paulus melanjutkan penjelasannya di ayat selanjutnya. Yang perlu ditekankan adalah bahwa Paulus tidak sedang berbicara mengenai orang cabul (pornos) yang ada di dunia ini secara umum (ay. 10a). Karena jika demikian maka orang percaya harus meninggalkan atau keluar dari dunia ini (ay. 10c). Tuhan tidak memanggil kita untuk segera mati supaya kita tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat. Tuhan juga tidak ingin kita menyendiri di tempat sunyi supaya kita menjauhi godaan dan menghindari bergaul dengan orang-orang jahat itu. Tuhan ingin agar kita tetap di dunia ini dan memancarkan terang Tuhan bagi orang-orang di sekitar kita.

Dalam ayat 10, ada kejahatan-kejahatan lainnya yang disamakan dengan percabulan. Tentu dalam konteks ini adalah percabulan yang dilakukan oleh orang-orang dunia di luar jemaat. Ada orang kikir, penipu, dan penyembah berhala (ay. 10b). Ini menunjukkan bahwa tindakan percabulan disamakan dengan perilaku seperti itu. Dalam bahasa aslinya, kata orang kikir menggunakan kata pleonektés (πλεονέκτης) yang dapat berarti “greedy, a covetous or avaricious person; one desirous of having more.” (tamak, serakah, rakus, iri hati, kikir, memiliki keinginan untuk selalu memiliki lebih banyak). Hal ini tidak hanya merujuk orang yang kikir atau pelit semata, tetapi juga orang yang serakah, selalu mengingini lebih, bahkan mengingini apa yang menjadi milik orang lain.mengingini apa yang menjadi milik orang lain. Sementara itu kata penipu dalam ayat 10 menggunakan kata harpax (ἅρπαξ) yang dapat berarti “rapacious, ravenous; a robber, an extortioner” (orang rakus, serakah, tamak; perampok, penyamun, garong, pemeras). Ini tentu merujuk kepada tindakan yang tidak sekedar mencuri atau mencopet, tetapi juga tindakan merampok yang tidak segan-segan untuk melukai bahkan membunuh korban demi mendapatkan hartanya. Tindakan seperti itu disamakan dengan para penyembah berhala, yaitu mereka yang ada di luar jemaat (ingat bahwa konteks ayat 10 ini adalah mengenai orang-orang di luar jemaat). Meskipun di luar jemaat ada orang-orang yang sangat jahat, yaitu orang cabul, kikir/serakah, perampok, dan penyembah berhala, namun kita tidak dilarang untuk bergaul dengan mereka karena faktanya ada banyak orang-orang seperti itu, apalagi mereka yang tidak mengenal Allah (tidak mengenal hukum Taurat dan juga belum percaya kepada Kristus).

Namun demikian, di ayat 11, Paulus dengan lebih terus terang lagi mengatakan bahwa ada fakta dimana orang-orang seperti itu juga ada di dalam jemaat. Mereka tentu tidak terus terang mengatakan bahwa mereka adalah orang serakah, perampok, dan lain sebagainya. Mereka pada umumnya bersembunyi di balik kalimat bahwa mereka adalah saudara seiman, saudara di dalam Tuhan, dan lain sebagainya. Kata-kata mereka sangat manis, bahkan terkesan lembut. Namun di belakang itu semua, ada kejahatan yang disembunyikan di balik topeng mereka.

Kata “menyebut dirinya saudara” menggunakan kata adelphos onomazomenos, dimana kata adelphos merujuk kepada saudara (saudara seiman, saudara dalam Kristus, dan sebagainya). Yang menarik adalah kata onomazomenos yang berasal dari akar kata onomazó (ὀνομάζω) yang selain bermakna “to name, to give a name, to call upon the name of” (menyebutkan nama, memberi nama, memanggil nama) tetapi juga dapat bermakna “designate” (menunjuk, menandai, mengangkat). Hal ini bermakna lebih dalam, yaitu orang-orang seperti ini tidak hanya menyebut dirinya sebagai saudara seiman, tetapi lebih lanjut lagi mereka dapat menunjuk, menandai dirinya sendiri, bahkan mengangkat dirinya sendiri seakan-akan sebagai saudara dalam Tuhan.

Orang Kristen yang benar sebenarnya tidak akan terlalu mempermasalahkan apakah ia dipandang sebagai saudara seiman oleh orang lain (bahkan oleh sesame jemaat). Orang Kristen yang benar tidak akan mengaku “Hei, saya kan juga saudara seiman; saya kan juga anggota gereja ini”. Kalaupun ia tidak dipandang sebagai saudara, hal itu tidak akan menjadi masalah bagi dirinya. Orang Kristen yang benar sudah tidak menuntut hak, yaitu hak untuk diakui sebagai saudara atau bahkan sebagai anggota gereja sekalipun. Tidak masalah jika ia tidak memperoleh hak yang seharusnya ia terima. Akan tetapi, orang-orang yang berbahaya adalah mereka yang senantiasa berkelit di balik kalimat “Saya ini juga orang Kristen, saya ini juga anggota gereja, saya ini juga berhak tahu dan terlibat dalam kepengurusan, dan lain sebagainya”. Tanpa bermaksud menghakimi, sering kali orang-orang seperti ini justru adalah mereka yang memakai topeng dalam gereja.

Hal seperti ini sering dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk menutupi karakternya yang buruk. Tidak heran Paulus berkata agar kita tidak bergaul dengan orang yang menyebut dirinya (mengaku, menunjuk, bahkan mengangkat dirinya) sebagai saudara, tetapi di balik itu semua adalah orang-orang yang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk, atau penipu (ay. 11b). Dalam ayat 11 ini, selain kata-kata yang digunakan di ayat 10, ternyata ada tambahan kata lain yang merujuk kepada orang-orang di dalam jemaat (bukan orang di luar jemaat). Kata tersebut adalah pemfitnah dan pemabuk.

Kata pemfitnah dalam bahasa aslinya adalah loidoros (λοίδορος) yang secara umum bermakna “railer, reviler, abuser” (orang yang mencela, orang yang mengumpat, orang yang mencemooh, orang yang menista, orang yang mencaci maki, orang yang memperlakukan/mengatakan sesuatu yang tidak pantas). Sebenarnya makna kata loidoros ini jauh lebih luas daripada orang yang memfitnah, karena orang ini memang suka berkata kasar, tidak sopan, bahkan sering memaki orang lain. Tentu orang seperti ini juga kemungkinan besar akan melakukan apa saja jika diperlukan, bahkan memfitnah orang lain sekalipun. Fitnah ini sangat berbahaya karena dapat merusak pribadi seseorang di mata orang lain. Dapat dibayangkan jika ada orang yang bersikap seperti itu di dalam jemaat: di belakang suka memfitnah, menjelek-jelekkan orang lain, tetapi di depan mengaku sebagai saudara. Apa dampaknya bagi pertumbuhan jemaat tersebut?

Kata pemabuk dalam bahasa aslinya adalah methusos (μέθυσος) yang selain berarti a drunkard (peminum, pemabuk, orang teler), tetapi juga dapat berarti intoxicated (hal yang memabukkan atau teracuni). Kata ini dapat bermakna harafiah bahwa orang-orang seperti ini adalah mereka yang sangat suka mabuk hingga teler (mungkin dalam konteks sekarang juga termasuk para pecandu narkoba), namun di sisi lain juga dapat diartikan sebagai orang-orang yang teracuni hal-hal buruk sehingga ia tidak dapat lepas dari hal tersebut. Bisa saja orang tersebut teracuni paham-paham yang tidak baik, ajaran yang menyimpang hingga ajaran sesat.

Kepada orang-orang yang memiliki karakter buruk seperti itu namun mengaku dirinya sebagai saudara seiman, Paulus dengan tegas bahwa kita tidak boleh bergaul (sunanamignumi) dengan orang-orang seperti itu (ay. 11a). Bahkan lebih tegas lagi, Paulus mengatakan bahwa jemaat juga jangan sekali-kali  makan Bersama orang tersebut (ay. 11c). Kemungkinan besar dalam hal ini Paulus merujuk kepada kebiasaan di masa itu ketika ada 2 orang atau lebih yang makan bersama, apalagi memakan hidangan yang sama, maka hal itu dipandang sebagai sikap menerima orang yang makan bersama dengan mereka.

Kata “makan bersama” di ayat 11 ini dalam bahasa aslinya adalah sunesthió (συνεσθίω), dari akar kata sun (bersama-sama) dan esthió (makan).  Kata ini juga digunakan pada beberapa ayat yang merujuk kepada Tuhan Yesus yang makan bersama dengan orang yang dipandang berdosa (Luk 15:2), Petrus yang pernah makan bersama-sama dengan Tuhan Yesus (Kis 10:41), Petrus yang makan bersama dengan Kornelius dan orang-orang yang tidak bersunat (Kis 11:3), Kefas (kemungkinan ini juga adalah Petrus) yang makan bersama dengan kelompok yang tidak bersunat (Gal 2:12). Dari ayat-ayat ini terlihat bahwa pada masa itu, khususnya dalam ajaran Yahudi, makan bersama dengan orang lain berarti secara tidak langsung dapat diartikan kita menerima orang tersebut dalam kelompok kita, atau kita diterima orang tersebut untuk masuk di dalam kelompok mereka.

Oleh karena itu, ketika Tuhan Yesus makan bersama orang berdosa, maka ahli Taurat dan orang Farisi bersungut-sungut karena Tuhan Yesus seakan-akan memposisikan diri sama dengan para orang berdosa (entah orang berdosa yang dianggap masuk kelompok rabi/pengajar seperti Yesus, atau Yesus yang dianggap masuk kelompok orang berdosa). Hal yang sama terjadi ketika Petrus makan bersama-sama dengan Kornelius, yang dipandang oleh orang Yahudi sebagai tindakan Petrus masuk ke dalam kelompok orang non Yahudi/golongan tak bersunan, atau Kornelius dianggap masuk ke dalam kelompok orang Yahudi (dimana orang Yahudi pada masa itu sangat menjaga kesucian ras mereka dari orang-orang non Yahudi).

Memang agak sulit menerapkan hal ini secara harafiah kepada kondisi kita di zaman sekarang. Katakanlah ada orang-orang munafik yang memakai topeng di gereja, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat jahat, orang cabul, dan lain sebagainya. Apakah kita menolak mereka? Apakah kita menolak orang berdosa untuk masuk ke dalam gereja/jemaat/persekutuan?

Saya sendiri percaya bahwa kita memang harus membenci dosa, tetapi harus mengasihi orang berdosa. Tentu gereja tidak dapat menolak orang berdosa untuk masuk ke dalam gereja, sepanjang memang orang itu memiliki kerinduan untuk bertobat. Namun yang perlu ditekankan, para pemimpin jemaat harus memiliki kepekaan supaya dapat menilai manakah orang berdosa yang memang layak diterima di dalam jemaat, dan manakah orang-orang munafik yang masih terus hidup di dalam dosa namun mengaku dirinya sebagai saudara. Tentu dibutuhkan hikmat dan kecerdasan dari pemimpin jemaat dalam hal ini. Bahkan menurut pendapat saya, semua orang Kristen (tidak harus menjadi gembala/pendeta/majelis/aktivis sekalipun) yang hidup benar dan memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan, akan memiliki kecerdasan rohani untuk menilai orang-orang berbahaya di dalam jemaat. Merekalah yang harus dihindari, supaya kita tidak bergaul dan bersahabat terlalu dalam dengan orang-orang tersebut.

Dalam hal ini Paulus dengan tegas mengatakan bahwa ia tidak memiliki hak apapun untuk menghakimi orang-orang yang ada di luar jemaat. Wewenang yang dimilikinya sebagai Rasul hanya sebatas untuk menghakimi orang-orang yang ada di dalam jemaat (ay. 12). Sekali lagi, ini adalah arahan Rasul Paulus untuk jemaat Korintus di masa itu. Hal ini tentu tidak dapat diterapkan secara harafiah bagi seluruh jemaat, apalagi jemaat di era modern ini dengan jeda waktu 2.000 tahun dari masa Paulus hidup. Namun demikian, tentu tidak sembarang orang yang dapat menghakimi orang lain.

Dalam ayat lain, ada tertulis bahwa “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat 7:1, Luk 6:37). Namun mengapa ayat 12 ini sepertinya bertentangan dengan ayat-ayat tersebut? Kita harus melihat konteks kondisi jemaat Korintus pada masa itu yang unik dan khusus. Bahkan Paulus kepada jemaat di Roma juga pernah berkata supaya kita jangan saling menghakimi (Rm 14:13). Oleh karena itu, kondisi di jemaat Korintus inilah yang sangat berbahaya, sehingga harus ada tindakan tegas dari Paulus untuk menyelamatkan jemaat yang lain. Kira-kira ilustrasinya adalah ketika ada sel kanker di dalam tubuh manusia, apakah kita akan membiarkan sel kanker itu dengan cara memberikan nutrisi kepada tubuh atau dengan sangat terpaksa mengoperasi dan mengangkat bagian tubuh yang terkena kanker supaya bagian tubuh lain dapat diselamatkan.

Oleh karena itu, Paulus menegaskan bahwa orang yang ada di luar jemaat akan dihakimi oleh Allah pada hari penghakiman kelak (ay. 13a). Bahkan tidak hanya orang yang ada di luar jemaat, kita semua pun harus menghadap takhta pengadilan Allah suatu saat nanti (Rm 14:10, 2 Kor 5:10). Namun jelas bahwa jemaat yang sudah mengerti kebenaran akan dituntut sesuai dengan kebenaran yang ia pahami. Jemaat Korintus dipandang sudah mengerti kebenaran, bahwa tindakan percabulan (pornos/porneia) adalah hal yang sangat keji, jauh lebih parah disbanding taraf moichos sebagaimana telah dijelaskan di ayat-ayat sebelumnya dalam surat Paulus kepada jemaat Korintus. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila Paulus juga menekankan akan standar kesucian yang tinggi kepada jemaat Korintus. Dengan tegas Paulus bahkan meminta untuk mengusir orang-orang jahat yang mengaku saudara itu keluar dari jemaat (ay. 13b).

Kata “usirlah” dalam bahasa aslinya adalah exairó (ἐξαίρω) yang berasal dari gabungan 2 kata: ek dan airó. Kata ek secara sederhana dapat berarti keluar atau ke arah luar. Sementara kata airó dapat berarti menaikkan, mengangkat, membawa, memindahkan. Jadi kata exairó dapat berarti membawa keluar, mengangkat keluar, atau memindahkan keluar. Uniknya lagi, kata exairó ini hanya digunakan 1 kali di dalam Alkitab, yaitu di ayat 13 ini. Hal tersebut membuat kita juga tidak bisa terlalu cepat memberi penilaian bahwa jika ada orang jahat di dalam gereja, maka kita berhak mengusirnya keluar.
Ingat bahwa kondisi jemaat Korintus pada waktu itu tentulah berbeda dengan jemaat Jakarta atau jemaat di kota lain saat ini. Namun saya kira semangat untuk menjaga kesucian di dalam jemaat inilah yang paling penting. Jika semua anggota jemaat sadar akan keharusan untuk hidup kudus dan suci, maka tidak akan ada lagi Namanya percabulan, fitnah, dan lain sebagainya. Namun kalaupuun ada orang-orang yang masih berbuat jahat di dalam jemaat, perlu dilihat kasus per kasus, apakah orang tersebut memang sudah sampai pada tingkat dosa yang sangat parah atau tidak. Kalaupun sudah sangat parah, apakah orang tersebut masih memiliki niat dan kesempatan untuk berubah atau tidak. Kalaupun katakanlah ia sudah sangat sulit untuk berubah, apakah selama ini dia sampai mengaku atau memposisikan diri sebagai saudara yang benar (membenarkan diri sendiri)? Apakah kehadiran orang ini masih dapat membawa hal positif bagi jemaat atau justru akan merusak jemaat? Penilaian semacam ini yang tentu membuat kita tidak dapat menggeneralisasi kasus yang terjadi di jemaat, karena satu kejadian dengan kejadian yang lain bisa saja memiliki tingkatan yang beda.

Namun cukuplah kita simpan dalam pemahaman kita, bahwa ada kalanya Tuhan ingin kita diam dan ada kalanya Tuhan ingin kita bersuara. Dalam segala keadaan, pertimbangkan apa yang menjadi kehendak Tuhan secara khusus untuk kita lakukan. Bagi kita yang adalah pemimpin jemaat, tentu jiwa-jiwa adalah domba-domba yang Tuhan percayakan kepada kita. Ada kalanya kita harus mencari 1 domba yang hilang dan meninggalkan 99 domba yang lain di kendang. Tetapi ada pula saatnya dimana kita harus menjaga 99 domba kita yang lain supaya juga tidak ikut terhilang hanya karena 1 domba yang nakal dan membawa pengaruh buruk.



Bacaan Alkitab: 1 Korintus 5:9-13
5:9 Dalam suratku telah kutuliskan kepadamu, supaya kamu jangan bergaul dengan orang-orang cabul.
5:10 Yang aku maksudkan bukanlah dengan semua orang cabul pada umumnya dari dunia ini atau dengan semua orang kikir dan penipu atau dengan semua penyembah berhala, karena jika demikian kamu harus meninggalkan dunia ini.
5:11 Tetapi yang kutuliskan kepada kamu ialah, supaya kamu jangan bergaul dengan orang, yang sekalipun menyebut dirinya saudara, adalah orang cabul, kikir, penyembah berhala, pemfitnah, pemabuk atau penipu; dengan orang yang demikian janganlah kamu sekali-kali makan bersama-sama.
5:12 Sebab dengan wewenang apakah aku menghakimi mereka, yang berada di luar jemaat? Bukankah kamu hanya menghakimi mereka yang berada di dalam jemaat?
5:13 Mereka yang berada di luar jemaat akan dihakimi Allah. Usirlah orang yang melakukan kejahatan dari tengah-tengah kamu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.