Kamis, 16
April 2020
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:1-3
Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala
rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang
sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku
sama sekali tidak berguna. (1 Kor 13:2)
Menguji Karunia Nabi (2): Harus Berdasarkan Kasih
Hari ini
kita akan belajar mengenai jalan yang lebih utama, yang dikatakan oleh Paulus
dalam bagian akhir pasal 12 dari kitab 1 Korintus. Kita telah belajar bagaimana
Allah menetapkan jabatan atau peran-peran tertentu dalam jemaat, di mana salah
satunya adalah jabatan nabi (prophétés). Selain jabatan yang ditetapkan Allah, Paulus
juga menyinggung mengenai kuasa (yang pada umumnya terkait dengan mujizat) dan sejumlah
karunia yang disebutkan. Namun, dari sekian banyak hal yang positif yang
disebutkan oleh Paulus dalam pasal 12, ada satu hal lagi yang jauh lebih utama
(hyperbolēn) yang akan kita pelajari hari ini, yaitu kasih.
Apa itu kasih?
Secara singkat dapat dikatakan bahwa kasih itu berasal dari Allah dan kasih adalah
natur Allah itu sendiri (1 Yoh 4:7-8). Jika boleh saya meringkas, maka kasih
adalah pikiran dan perasaan Allah itu sendiri. Artinya, ketika kita melakukan
sesuatu karena kasih, maka untuk menguji apakah kasih kita sudah benar, kita
harus memperkarakan, apakah yang kita lakukan tersebut sudah sejalan dan selaras
dengan pikiran dan perasaan Allah (atau secara sederhana, apakah yang kita
lakukan tersebut sudah sesuai dengan kehendak Allah) atau belum.
Tentu
karunia adalah hal yang penting, bahkan sangat penting. Demikian pula dengan
jabatan-jabatan yang dimiliki seseorang dalam jemaat. Kita dapat melihat
bagaimana orang yang memiliki jabatan dan karunia tertentu dapat dipakai Allah
secara efektif dalam pelayanan. Namun, Paulus menuliskan bahwa sekalipun ia
dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia (yang menunjukkan kepintaran
atau IQ yang luar biasa) dan bahkan dengan bahasa malaikat (yang menggambarkan
suatu prestasi yang sangat hebat dari sisi rohani), tetapi jika ia tidak
mempunyai kasih, ia sama saja dengan alat musik yang hanya mengeluarkan bunyi
tanpa arti (ay. 1).
Dalam
ayat selanjutnya, Paulus berkata bahwa sekalipun ia memiliki karunia untuk
bernubuat dan mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan,
bahkan memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika ia tidak
mempunyai kasih, semua itu sama sekali tidak berguna (ay. 2). Lebih ekstrem
lagi, bahkan sekalipun Paulus membagi-bagikan seluruh apa yang ia miliki dan
bahkan mati dengan menyerahkan tubuhnya untuk dibakar, tetapi jika ia tidak
mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagi dirinya (ay. 3). Kita
dapat melihat bahwa ada suatu tingkatan dari ayat 1 sampai ayat 3, mulai dari
prestasi secara duniawi, prestasi dalam hal rohani/pelayanan, hingga melepaskan
segala sesuatu yang ia miliki termasuk nyawa sekalipun. Namun dalam tingkatan
dari ayat 1 hingga ayat 3 tersebut, semua hal yang mungkin dipandang baik dan
sangat luar biasa dari sudut pandang manusia, bisa menjadi hal yang tidak
berarti ditinjau dari sudut pandang Allah.
Menjadi
pertanyaan, apakah mungkin orang melakukan ayat 1 hingga ayat 3 tetapi tidak
memiliki kasih? Jika kita melihat ayat 1, orang memang dapat belajar semua
bahasa manusia tanpa kasih, misalnya orang yang terus menerus mengejar gelar
akademis tanpa henti. Di ayat 2, kita juga dapat melihat bahwa sangat mungkin
ada orang-orang yang dapat mengetahui banyak rahasia dan pengetahuan meskipun
orang tersebut bukan orang Kristen dan tidak mengenal Allah. Di ayat 3, masih
ada kemungkinan orang mau menjual segala miliknya dan membagi-bagikan kepada
orang lain, misalnya orang yang terpanggil untuk menjadi seorang pertapa di tempat
sunyi. Meskipun demikian, tentu dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki
kasih secara umum ketika ia rela membagi-bagikan hartanya kepada orang lain..
Artinya, sebagian dari apa yang ditulis oleh Paulus dalam ayat 1 sampai 3
tersebut masih mungkin dilakukan oleh orang yang tidak mengenal Allah atau
dalam level kasih umum seperti yang dipahami oleh manusia pada umumnya.
Namun,
jika kita memperhatikan, ada sejumlah hal dalam ayat 1 sampai 3 yang sebenarnya
identik dengan iman Kristen. Sebagai contoh: berbicara dalam bahasa malaikat atau
bahasa surgawi (ay. 1b), memiliki karunia untuk bernubuat dan memiliki iman
untuk memindahkan gunung (ay. 2a dan 2c), serta membagi-bagikan harta kepada
orang lain dan bersedia menyerahkan nyawa (ay. 3). Dari sudut pandang agama
pada umumnya, tindakan-tindakan ini adalah tindakan yang mulia dan bernilai
tinggi. Tetapi, Paulus menulis bahwa tanpa kasih, semua tindakan itu adalah
sia-sia dan tidak bermanfaat.
Kita
dapat melihat bahwa sebagian dari aktivitas yang terkait dengan kekristenan
tersebut juga ada dalam pengajaran Tuhan Yesus sendiri, seperti iman yang dapat
memindahkan gunung (Mat 17:20), menjual seluruh hartanya dan membagi-bagikan
kepada orang lain (Mat 19:21), bahkan mengalami aniaya hingga mati (Yoh 15:20).
Tetapi itu semua bisa tidak berarti jika tidak dilakukan tanpa kasih, yaitu pikiran
dan perasaan Allah. Dalam Mat 19:21 misalnya, Tuhan Yesus menyuruh orang kaya
itu untuk menjual seluruh harta miliknya, membagi-bagikan kepada orang miskin, lalu
mengikut Dia. Tentu Tuhan Yesus tidak menyuruh kita untuk menjual semua harta
milik kita untuk mengikut diri-Nya, melainkan konteks ucapan Tuhan Yesus adalah
kepada orang muda yang kaya itu, karena ia bertanya mengenai cara untuk dapat
sempurna di hadapan Allah. Tuhan tidak meminta Zakheus untuk menjual segala
miliknya, misalnya. Jadi jika kita kemudian menjual seluruh harta kita dan membagi-bagikan
seluruhnya kepada orang lain, mungkin di mata manusia itu adalah tindakan yang
baik, tetapi jika kita tidak disuruh oleh Allah (tidak sesuai dengan pikiran
dan perasaan Allah atau tidak sesuai dengan kehendak Allah), maka itu berarti
kita melakukannya tanpa kasih.
Terkait
dengan pembahasan kita mengenai karunia nabi, tentu kita harus melihat pula
dalam ayat 2 yang menyebutkan bahwa: “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk
bernubuat … tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak
berguna” (ay. 2). Dalam bahasa aslinya, kata “karunia untuk bernubuat”
menggunakan kata prophēteian (προφητείαν) dari akar kata prophéteia (προφητεία).
Kata ini merupakan kata benda yang dapat dikatakan sebagai suatu nubuat/nubuatan
atau suara nabi, yang seringkali dikaitkan mengenai apa yang akan terjadi di masa
depan. Kata ini terkait dengan kata prophḗtēs (nabi) seperti yang telah kita bahas dalam
renungan hari sebelumnya. Kata prophéteia
ini juga termasuk salah satu dari karunia-karunia
yang disebutkan dalam pasal 12 (1 Kor 12:8).
Jadi
apakah salah jika kita menyampaikan nubuatan kepada orang lain? Bukankah
nubuatan itu adalah karunia dari Roh Kudus? Tentu untuk menjawab ini, kita
harus benar-benar mempersoalkan nubuatan yang kita terima tersebut. Minimal ada
beberapa hal yang harus kita perkarakan sebelum kita menyampaikan nubuatan
tersebut. Pertama, apakah benar nubuatan tersebut berasal dari Tuhan? Kedua, kepada
siapakah nubuatan tersebut ditujukan? Ketiga, bagaimana cara menyampaikan
nubuatan tersebut kepada pihak yang dituju (misalnya: metode untuk menyampaikan,
tempat, dan waktu penyampaian)? Keempat, apakah yang kita sampaikan benar-benar
nubuatan yang murni dari Tuhan dan tidak kita tambah-tambahi atau kita
kurang-kurangi? Dan dalam segala hal, kita harus menggumulkan supaya apa yang
kita lakukan terkait nubuatan tersebut benar-benar sesuai dengan pikiran dan
perasaan Allah.
Jika kita
membedah kata asli dari nubuatan yaitu prophéteia, sebenarnya kata tersebut
juga memiliki makna sebagai “discourse emanating from divine inspiration and
declaring the purposes of God, whether by reproving and admonishing the wicked,
or comforting the afflicted, or revealing things hidden; especially by
foretelling future events” (Suatu perkataan yang berasal dari ilham ilahi dan
menyatakan suatu tujuan yang Allah kehendaki. Hal ini dapat berupa suatu teguran/peringatan
dan nasehat kepada mereka yang jahat, suatu perkataan yang menghibur bagi
mereka yang menderita, atau menyingkapkan hal-hal yang masih tersembunyi,
khususnya terkait dengan menyatakan hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan
datang). Jadi nubuatan tidak selalu berkaitan dengan apa yang terjadi secara
umum di masa yang akan datang. Jika mau jujur, ketika Tuhan memberikan kepada
kita ilham ilahi untuk menyampaikan suatu perkataan kepada orang tertentu (tidak
harus berkaitan dengan peristiwa global di masa yang akan datang), itu pun dapat
dianggap sebagai nubuatan atau suara kenabian. Bukankah nabi adalah mereka yang
menyampaikan perkataan Tuhan kepada orang lain yang menjadi bagiannya?
Mari kita
melihat penggunaan kata nabi di dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama
pun, kita akan menemukan bahwa Abraham adalah seorang nabi (Kej 20:7), Musa
adalah seorang nabi (Ul 34:10), Harun juga adalah seorang nabi (Kel 7:1), Miryam
adalah seorang nabiah (Kel 15:20), dan masih banyak lagi contoh lainnya (selain
mereka yang umum disebut nabi seperti Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan lain
sebagainya). Jika ukuran seorang nabi hanya dilihat mengenai nubuatan di masa
yang akan datang, bagaimana mungkin Abraham disebut sebagai seorang nabi
(sejajar dengan nabi-nabi lain)? Apalagi konteks penyebutan kata “nabi” kepada Abraham
adalah ketika ia menumpang di tanah Gerar. Pemberian sebutan “nabi” itu juga
dinyatakan oleh Allah kepada Abimelekh, Raja Gerar, dalam sebuah mimpi. Jelas
bahwa ukuran nabi tidaklah harus berpatokan pada nubuatan mengenai peristiwa di
masa yang akan datang (meskipun tentu itu juga menjadi salah satu parameter
yang harus dipertimbangkan). Jika kita memiliki hubungan yang intim dengan
Tuhan, maka akan ada kalanya Tuhan menaruh “perkataan-Nya” dalam diri kita
untuk kita sampaikan kepada orang lain. Dan menurut saya, jika kita taat terhadap
kehendak Bapa, maka di situ kita sudah menyampaikan “nubuatan” atau “suara
kenabian” kita.
Tentu
kita harus melihat, bahwa seorang nabi pada umumnya ditunjuk secara spesifik
untuk menyampaikan suara Allah kepada orang-orang tertentu atau bangsa-bangsa
tertentu. Musa, Harun, dan Miryam tentu menjadi nabi bagi bangsa Israel.
Sebagian nabi-nabi lain seperti Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, ditetapkan Allah
sebagai nabi bagi bangsa Israel dan Yehuda, dan juga kepada bangsa-bangsa lain.
Yunus (meskipun tidak ditulis secara eksplisit sebagai seorang nabi),
sesungguhnya adalah nabi yang manyampaikan suara Allah kepada kota Niniwe.
Sebagian nabi lain mungkin hanya muncul sesekali untuk menyampaikan suara Allah
secara spesifik kepada orang-orang tertentu (misal: nabi Natan yang menyampaikan
suara Allah kepada Raja Daud). Dalam hal ini, seorang nabi akan dipandang taat
ketika ia melakukan dengan tepat apa yang Allah perintahkan kepada orang
tersebut (orang yang dituju, isi berita yang disampaikan, cara menyampaikan,
waktu penyampaian, dan lain sebagainya). Dalam hal ini barulah seorang nabi
dapat dikatakan memiliki kasih, jika semuanya itu dilakukan sesuai dengan
kehendak Allah. Tidak heran bahwa, suatu saat nanti akan ada orang-orang yang
merasa sudah bernubuat atau menyampaikan suara kenabian dalam hidup mereka,
tetapi pada akhirnya ditolak oleh Tuhan karena mereka sebenarnya tidak
melakukan kehendak Allah (Mat 7:21-23).
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 13:1-3
13:1 Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan
bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong
yang berkumandang dan canang yang gemerincing.
13:2 Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui
segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki
iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, aku sama sekali tidak berguna.
13:3 Dan sekalipun aku
membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku
untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikit pun tidak ada
faedahnya bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.