Sabtu, 04 April 2020

Pengurapan dalam Perjanjian Baru: (8) Perjuangan untuk Tetap Tinggal di dalam Dia


Sabtu, 04 April 2020
Bacaan Alkitab: 1 Yohanes 2:26-29
Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari pada-Nya. Karena itu tidak perlu kamu diajar oleh orang lain. Tetapi sebagaimana pengurapan-Nya mengajar kamu tentang segala sesuatu -- dan pengajaran-Nya itu benar, tidak dusta -- dan sebagaimana Ia dahulu telah mengajar kamu, demikianlah hendaknya kamu tetap tinggal di dalam Dia. (1 Yoh 2:27)


Pengurapan dalam Perjanjian Baru: (8) Perjuangan untuk Tetap Tinggal di dalam Dia


Konteks dari perikop yang kita baca dalam renungan hari ini sesungguhnya berbicara mengenai penyesatan yang terjadi dan akan semakin memuncak hingga hari-hari terakhir. Kita sudah melihat bagaimana antikristus akan muncul (dalam konteks masa Rasul Yohanes menulis surat tersebut) dan spirit antikristus tersebut akan semakin nyata pada akhir zaman. Salah satu tanda yang juga sudah akan sangat nyata adalah penyesatan terhadap orang-orang percaya. Dalam ucapan-Nya kepada para murid mengenai akhir zaman, salah satu tanda pertama yang disebutkan oleh Tuhan Yesus adalah mengenai penyesatan, dan supaya mereka tetap waspada mengenai penyesatan (Mat 24:4-5, Mrk 13:5-6, Luk 21:8). Hal ini sejajar dengan apa yang ditulis oleh Rasul Yohanes, yaitu akan ada orang-orang yang berusaha menyesatkan orang percaya atau jemaat Tuhan (ay. 26).

Bagaimana orang percaya bisa disesatkan? Bukankah Tuhan pasti melindungi mereka? Tentu Tuhan selalu melindungi dan menjagai. Akan tetapi, penyesatan tidak selalu datang dalam rupa yang jelas-jelas menyesatkan. Penyesatan tentu muncul dengan cara yang sangat halus, namun perlahan-lahan menggiring orang percaya menyimpang dari iman. Dalam hal ini salah satu bentuk penyesatan adalah menggiring orang percaya kepada sikap materialistis dan cinta akan uang (1 Tim 6:10). Hal lain yang mungkin dapat menyesatkan orang lain adalah pertentangan mengenai pengetahuan (1 Tim 6:21). Tentu pengetahuan adalah hal yang baik, apalagi dalam hal-hal rohani seperti doktrin teologi. Namun jika doktrin tersebut dijadikan suatu hal yang mutlak, maka akan muncul pula pertentangan-pertentangan antar aliran gereja. Kita sudah melihat bagaimana di masa lalu, gereja yang satu bisa mengatakan gereja lain sesat, pendeta yang satu bisa mengatakan pendeta yang lain sesat, dan akhirnya terjadi kucil-mengucilkan bahkan terjadi penganiayaan antar sesama orang yang mengaku sebagai orang Kristen.

Memang doktrin adalah penting, tetapi doktrin yang benar pastilah menghasilkan karakter yang agung. Tidak mungkin doktrin yang benar akan menghasilkan pribadi yang masih hidup dalam dosa, yang suka menyerang orang lain, bahkan membunuh orang lain yang berbeda paham dengannya. Dari buahnya kita dapat melihat apakah suatu doktrin atau pengajaran seseorang adalah benar atau tidak (Mat 7:15-20). Namun jika kita mengaku sebagai orang percaya, tentu kita memiliki Roh Kudus dalam hati kita. Roh Kudus akan memimpin kita kepada kebenaran, yaitu supaya kita semakin menjadi pribadi yang menyenangkan dan menyukakan hati Bapa di surga (Yoh 16:13).

Itulah esensi dari pengurapan yang telah dicurahkan oleh Allah Bapa kepada manusia yang percaya kepada-Nya melalui Yesus Kristus (ay. 27a). Kedua kata “pengurapan” dalam ayat 27 ini menggunakan kata chrisma (χρίσμα) yang sama dengan yang dipakai dalam 1 Yoh 2:20. Kata ini merupakan kata benda dari kata kerja chrió (χρίω) yang telah kita bahas lebih mendalam pada renungan-renungan sebelumnya. Dalam hal ini pengurapan Allah (melalui Roh Kudus atau Roh Allah) akan mengajar kita mengenai segala sesuatu (ay. 27c). Segala sesuatu di sini tentu terkait dengan kebenaran yang harus kita kenakan dalam hidup kita. Artinya, pengurapan Allah melalui Roh Kudus akan membuat kita menjadi cerdas, sehingga kita dapat membedakan manakah kehendak Allah yang harus kita lakukan: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna (Rm 12:2). Dalam hal ini, semakin kita bertumbuh, kita akan semakin mengerti perbedaan antara apa yang baik dan apa yang sempurna. Kita akan semakin dapat membedakan “irisan” yang semakin tipis antara kehendak Bapa dengan kehendak kita.

Ketika kita masih kanak-kanak rohani, kita melihat dosa sebagai perbuatan yang melanggar moral umum (mencuri, berjudi, berzinah). Namun seiring dengan pertumbuhan rohani kita akan mulai mengerti tipisnya perbedaan antara yang berkenan dan yang tidak. Sebagai contoh, ketika kita memberi uang kepada orang lain, kita akan semakin mengerti mana memberi yang berkenan dan mana memberi yang tidak berkenan. Dalam hal ini kita sudah tidak berbicara mengenai nominal uang (jika lebih banyak memberi maka Tuhan pasti lebih berkenan), tetapi justru lebih mempersoalkan kepada sikap hati dan ketaatan terhadap kehendak Tuhan bagi kita terkait penggunaan uang tersebut.

Itulah sebabnya, Rasul Yohanes menulis bahwa jika seseorang tetap tinggal dalam pengurapan Roh Kudus (yaitu dalam pimpinan dan tuntunan Roh Kudus setiap hari), sebenarnya ia tidak perlu diajar oleh orang lain (ay. 27b). Lalu bagaimanakah dengan peran pendeta, pengkhotbah, dan para pengajar di gereja atau sekolah? Apakah kita tidak perlu belajar dari mereka? Tentu kita perlu belajar dari para pendeta, tokoh-tokoh gereja yang memang patut kita teladani. Namun sejujurnya, peranan para pendeta, pengkhotbah dan pengajar sebenarnya tidak lebih dari sekedar “mentor”. Mentor disini merujuk kepada peran para pendeta, pengkhotbah, dan pengajar untuk memimpin jemaat dan orang percaya mengalami Tuhan secara pribadi melalui Roh Kudusnya.

Bagi orang Kristen baru, tentu mereka membutuhkan pimpinan dan bimbingan para pendeta untuk mengajar mereka mengenai cara berdoa, cara membaca Alkitab, dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu pendeta memiliki peran yang sangat besar untuk membangun dasar iman yang kuat. Tidak jarang bahwa dalam fase ini, para pendeta perlu mendoakan jemaat-jemaat yang memerlukan dukungan. Namun seiring berjalannya waktu, jemaat tentu harus diajar bertumbuh. Jemaat harus diajar untuk dapat makan makanan rohani yang keras, dan tidak selalu diberi “susu” oleh para pendeta. Jemaat harus diajar untuk dapat hidup mandiri secara rohani, bahkan harus mampu mencari “makanan keras” bagi diri mereka sendiri. Dalam hal ini pendeta harus mulai menunjukkan keteladanan hidup yang dapat dicontoh, dan bahkan harus ikhlas dan legowo jika suatu saat jemaatnya ada yang lebih pintar dari pendeta tersebut.

Dengan berperan sebagai mentor, maka pendeta tidak akan berusaha untuk mempertahankan kedudukannya sebagai pribadi yang terhormat di gereja. Pendeta seharusnya tidak membuat semacam strata atau tingkatan di gereja yang menempatkan para pendeta sebagai kasta “brahmana”, para pelayan gereja sebagai kasta “ksatria”, jemaat-jemaat yang kaya dan memberi banyak persembahan sebagai kasta “waisya”, dan sisanya adalah kasta paling rendah yaitu kasta “sudra”. Jika pendeta masih mencoba mempertahankan kedudukannya sebagai orang penting dalam gereja, maka ia akan menjadikan dirinya sebagai “perantara” antara jemaat dengan Tuhan. Sebagai contoh: dikesankan bahwa jika jemaat didoakan oleh pendeta tertentu, maka doanya akan lebih didengar Tuhan daripada jika jemaat berdoa sendiri.

Dalam hal ini, penyesatan bisa saja timbul di dalam gereja dan jemaat Tuhan, yang biasanya dimulai dengan orang-orang yang berprofesi sebagai rohaniawan (pemuka agama) yang merasa penting, harus dihormati, dan harus ditaati secara mutlak. Akibatnya jemaat dikurung dalam sudut pandang yang sempit dan kerdil sehingga yang mereka pahami adalah bahwa pendeta adalah wakil Tuhan yang harus ditaati secara mutlak dalam segala hal. Tidak heran jika kita pernah mendengar ada pendeta yang mengajak jemaatnya bunuh diri dan mereka mau melakukannya, atau pendeta yang berkata bahwa Tuhan menyuruh jemaat untuk memberikan uang persembahan, padahal uang itu digunakan untuk kepentingan pribadi pendeta tersebut dan bukan digunakan  untuk kepentingan pekerjaan Tuhan.

Tentu saya tidak mengatakan bahwa semua pendeta salah. Justru di sini kita harus lebih peka mendengarkan tuntunan Roh Kudus dalam hidup kita. Kita harus memiliki waktu-waktu khusus untuk bertemu dengan Tuhan dan berdialog dengan-Nya. Kita harus terbiasa mendengar suara-Nya dan tuntunan-Nya. Tentu Tuhan juga bisa berbicara melalui hamba-hamba-Nya di gereja (para pendeta, pengkhotbah dan pengajar). Namun jika kita terbiasa memiliki waktu khusus dan pribadi dengan-Nya setiap hari, idealnya, Tuhan pasti berbicara kepada kita setiap saat. Inilah yang disebut sebagai tinggal dalam Dia (ay. 27d). Tinggal di dalam Dia tentu berbicara tentang sikap hati yang menjauhi dosa, yang berusaha hidup benar dan berkenan di hadapan-Nya dan yang selalu mencari wajah Tuhan dalam hidup kita sehari-hari. Orang seperti ini akan berusaha untuk selalu terhubung dengan Tuhan dalam setiap waktu. Baginya, meskipun ada jam-jam doa pribadi untuk bersekutu dengan Tuhan, tetapi sebenarnya ia pun senantiasa berdoa setiap saat, yaitu terus menerus berhubungan dan berdialog dengan Tuhan. Orang seperti ini akan semakin berhati-hati dalam bertindak, dalam berbicara, bahkan berhati-hati dalam pikirannya, supaya tidak ada kemelesetan sekecil apapun dalam hidupnya.

Tentu Tuhan yang sama tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang berbeda kepada orang yang hidup di dalam-Nya. Jika kita hidup benar di dalam Tuhan, memiliki waktu teduh pribadi dan persekutuan yang benar dengan Tuhan – dan hal itu juga dilakukan oleh para pendeta dan pengkhotbah – maka seharusnya apa yang disampaikan oleh para pendeta dan pengkhotbah pasti selaras dengan apa yang kita terima dalam dialog kita dengan Tuhan setiap hari. Jika ada perbedaan, kita harus memperkarakan di hadapan Tuhan: Apakah kita yang salah karena tidak hidup dalam kebenaran dan persekutuan dengan Tuhan setiap hari, ataukah mungkin ada yang salah dengan pendeta tersebut. Jika memang kita yang tidak hidup dalam kebenaran, pastilah kita tidak dapat menerima kebenaran yang diajarkan di atas mimbar. Dalam hal ini, hendaknya kita tidak cepat menuduh orang lain sesat (misal: menuduh pendeta sesat), karena bisa jadi diri kita sendiri yang sebenarnya telah sesat dan berpotensi menyesatkan orang lain.

Jika kita tetap tinggal di dalam Dia, berarti kita tidak menyia-nyiakan pengurapan yang telah Allah berikan kepada kita. Ini berarti kita meresponi pengurapan-Nya dengan benar dan tidak menyia-nyiakan anugerah Roh Kudus yang diberikan-Nya kepada kita. Pengurapan Allah memang adalah anugerah, tetapi manusia harus memberikan respon yang memadai dan proporsional terhadap anugerah tersebut. Sama seperti fakta bahwa Yesus mati bagi semua orang, itu adalah anugerah. Tetapi keselamatan seseorang akan sangat tergantung pada respon orang tersebut terhadap anugerah keselamatan itu. Tidak heran Paulus berkata supaya kita tetap mengerjakan keselamatan tersebut sebagai respon yang sepatutnya (Flp 2:12). Dalam pemahaman yang sama, tentu kita harus meresponi pengurapan Allah dengan cara tetap tinggal di dalam-Nya.

Orang yang meresponi pengurapan Allah dengan tetap tinggal dalam Dia, maka ia akan mengerti keadaannya di hadapan Allah. Ia akan tahu apakah ia sudah menjadi pribadi yang berkenan atau belum. Setiap saat ia akan memperkarakan hidupnya di hadapan Allah. Jika ada dosa, kesalahan, atau kemelesetan dalam hidupnya, ia akan sangat menyesal dan kemudian berjuang untuk hidup lebih benar lagi ke depannya. Setiap hari bahkan setiap saat, orang tersebut akan menggelar “pengadilan” terhadap dirinya sendiri untuk mencari tahu apakah masih ada ketidaktepatan yang ia lakukan di hadapan Allah. Orang seperti ini pastilah memiliki perjuangan yang proporsional untuk tetap tinggal di dalam kehendak Allah. Tidak mengherankan bahwa orang seperti ini tidak akan takut menghadapi kematian dan bahkan hari penghakiman, karena ia sudah terbiasa “mematikan dirinya sendiri” dan “menggelar pengadilan/penghakiman atas dirinya sendiri” selama ia hidup (ay. 28). Namun jika orang Kristen hidup sembarangan di dunia ini, ia sebenarnya tidak memberikan respon yang benar terhadap anugerah yang Allah berikan. Orang yang hidup sembarangan, yang tidak pernah mempersoalkan keadaannya di pemandangan Bapa, pada umumnya akan gentar menghadapi kematian. Dalam hal ini kita perlu memeriksa diri kita masing-masing. Jika kita masih gentar menghadapi kematian, ada kemungkinan bahwa hidup kita belum seluruhnya bersih. Tugas kita selanjutnya adalah memperkarakannya di hadapan Allah dan bertobat.

Pengurapan Allah dalam diri orang percaya seharusnya akan nampak dalam hidup orang percaya sehari-hari. Orang percaya yang meresponi pengurapan Allah dengan benar akan memancarkan keagungan ilahi melalui tindakan hidupnya sehari-hari (ay. 29a). Ia akan selalu bertindak dengan santun dan bijak. Ia tidak akan mengucapkan perkataan yang dapat menjatuhkan orang lain. Ketika ia dihina atau difitnah, ia tidak akan membalas. Sosok pribadi Anak Allah yang agung pasti nampak dalam kehidupannya sehari-hari, yang tentu dapat dilihat oleh orang lain, khususnya orang-orang dekatnya yang tiap hari bersentuhan dengannya.

Perjuangan untuk meresponi anugerah pengurapan Allah tentu bukanlah hal yang mudah. Ini juga bukanlah hal yang dapat terjadi dalam waktu singkat. Dibutuhkan perjuangan dalam waktu yang lama – mungkin bisa bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun – untuk dapat menjadi pribadi yang berkenan kepada Allah. Itulah proses kelahiran baru yang benar, yang tidak sekedar hanya percaya lalu dibaptis atau sidi, tetapi perjuangan untuk “melahirkan” manusia baru, yaitu manusia ilahi yang dipimpin oleh Roh Kudus (ay. 29b). Tentu kita semua memiliki kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda. Kita tidak boleh sibuk melihat dan menghakimi orang lain, namun sebaiknya kita lebih sibuk melihat dan menghakimi diri kita sendiri, apakah kita sudah hidup benar dan tinggal di dalam Dia? Apakah kita sudah meresponi anugerah keselamatan dan pengurapan Roh Kudus dari Allah Bapa? Apakah kita sudah menjadi pribadi yang berkenan dan telah menjadi manusia baru yang dilahirkan dari Allah? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri. Perjuangan melakukan hal ini memanglah berat, tetapi tidak akan ada mahkota kemenangan tanpa perjuangan yang proporsional. Selamat berjuang!



Bacaan Alkitab: 1 Yohanes 2:26-29
2:26 Semua itu kutulis kepadamu, yaitu mengenai orang-orang yang berusaha menyesatkan kamu.
2:27 Sebab di dalam diri kamu tetap ada pengurapan yang telah kamu terima dari pada-Nya. Karena itu tidak perlu kamu diajar oleh orang lain. Tetapi sebagaimana pengurapan-Nya mengajar kamu tentang segala sesuatu -- dan pengajaran-Nya itu benar, tidak dusta -- dan sebagaimana Ia dahulu telah mengajar kamu, demikianlah hendaknya kamu tetap tinggal di dalam Dia.
2:28 Maka sekarang, anak-anakku, tinggallah di dalam Kristus, supaya apabila Ia menyatakan diri-Nya, kita beroleh keberanian percaya dan tidak usah malu terhadap Dia pada hari kedatangan-Nya.
2:29 Jikalau kamu tahu, bahwa Ia adalah benar, kamu harus tahu juga, bahwa setiap orang, yang berbuat kebenaran, lahir dari pada-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.