Sabtu, 28 September 2019

Pornos dan Moichos (43): Tercermin dari Doa dan Keinginan yang Tidak Tepat


Sabtu, 28 September 2019
Bacaan Alkitab: Yakobus 4:1-4
Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah. (Yak 4:4)


Pornos dan Moichos (43): Tercermin dari Doa dan Keinginan yang Tidak Tepat


Jika dalam dua renungan sebelumnya kita telah melihat bagaimana Yakobus menggunakan kata moicheuó  dan kata porné dalam konteks perzinahan, percabulan maupun pelacuran, maka dalam ayat ini kita akan melihat bagaimana Yakobus menggunakan kata moichalis (μοιχαλίς) yang dalam yang diluar konteks perzinahan secara jasmani. Kata ini secara harafiah berarti adulteress, that is a married woman who commits adultery (seorang pezinah wanita, seorang wanita yang sudah menikah namun melakukan perzinahan). Namun demikian, dalam Perjanjian Baru, ayat ini seringkali digunakan secara figuratif untuk menggambarkan suatu ‘perzinahan rohani’, yaitu orang yang tidak setia dengan Allah yang benar, yang juga menyembah obyek lain. Hal ini bisa dilihat dalam ayat-ayat lain yang menggunakan kata ini (sebagaimana telah kita bahas dalam renungan-renungan sebelumnya), antara lain Mat 12:39, Mat 16:4, Mrk 8:38, dan Rm 7:38 (meskipun di ayat terakhir ini, konteksnya masih sedikit berhubungan dengan makna harafiah dari kata tersebut).

Yakobus memulai penjelasannya dengan pernyataan tentang adanya sengketa dan pertengkaran di antara jemaat (ay. 1a). Pertengkaran dan sengketa tersebut muncul karena adanya hawa nafsu di dalam diri manusia yang kemudian muncul dan saling berjuang atau saling bersaing satu sama lain (ay. 1b). Saya mencoba membayangkan, kira-kira hawa nafsu apa yang mungkin muncul dalam jemaat mula-mula? Jika yang dimaksud adalah hawa nafsu secara seksual, mungkin hal itu cukup kecil kemungkinannya, karena sejak awal diajarkan bahwa jemaat harus hidup kudus termasuk dalam perkawinan. Kemungkinan besar orang dewasa di jemaat pada waktu itu sudah memiliki pasangan (suami/istri) masing-masing. Kalaupun ada hawa nafsu terkait ini mungkin di antara para pemuda yang memperebutkan wanita untuk dijadikan istri. Dan menurut pendapat saya, kemungkinan hal itu menimbulkan sengketa dan pertengkaran yang luas adalah kecil.

Sangat besar hawa nafsu yang dimaksud oleh Yakobus dalam ayat ini adalah mengenai kedunawian. Lebih spesifik lagi, hal ini mungkin saja terkait dengan uang/harta serta kedudukan atau posisi di dalam jemaat. Hal ini nampak dari ayat selanjutnya, dimana Yakobus menulis bahwa jemaat menginginkan sesuatu dan tidak memperolehnya, lalu orang itu bisa membunuh (ay. 2a). Membunuh di sini mungkin tidak hanya membunuh secara fisik (menghilangkan nyawa orang) tetapi juga membunuh secara karakter (merusak nama baik orang, mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas, dan lain sebagainya). Hal ini juga terlihat dari kalimat selanjutnya yang menulis bahwa ada orang-orang yang tidak mencapai tujuan atau ambisi pribadinya, lalu ia menjadi iri hati dan bertengkar serta berkelahi (ay. 2b).

Apakah yang sebenarnya mereka ingini dan apakah tujuan mereka? Menurut pendapat saya, hal itu sangat mungkin adalah suatu kedudukan di dalam jemaat yang juga dalam beberapa kasus, ujung-ujungnya juga adalah uang dan kekayaan dunia. Dan fakta serta sejarah gereja menunjukkan bahwa konflik di dalam gereja sudah muncul ribuan tahun lalu, sehingga berujung pada perpecahan dan pembentukan aliran/sinode gereja yang baru. Konflik juga muncul hingga saling menyebutkan bahwa pendapat lain adalah sesat, bahkan hingga ke tindakan mengucilkan orang yang tidak sepaham dengan mereka. Yang lebih parah lagi, konflik juga dapat berujung pada perintah membunuh orang yang memiliki pandangan yang berbeda.

Namun pada akhirnya Yakobus menuliskan bahwa mereka tidak memperoleh apa-apa karena mereka tidak berdoa (ay. 2c). Kita juga dapat melihat dari sejarah bahwa konflik yang terjadi di dalam lingkungan orang Kristen pada akhirnya juga tidak menghasilkan apa-apa. Katakanlah ada konflik yang berujung saling mengucilkan lalu salah satu pihak keluar dan membentuk aliran gereja baru. Apakah hasil akhirnya? Tidak ada manfaat dari konflik yang ada. Lebih baik jika memang sudah berbeda pandangan, salah satu pihak keluar baik-baik sehingga tidak muncul konflik yang dapat menyeret hingga jemaat awam. Lebih sedihnya lagi, konflik yang terjadi dapat diliput oleh media sehingga justru memberikan kesan negatif terhadap bagaimana kehidupan orang Kristen di mata orang lain.

Perlu diperjelas mengenai makna doa dalam ayat 2 dan ayat 3 ini. Yakobus menulis bahwa mereka tidak menerima apa-apa karena tidak berdoa (ay. 2c), atau mereka tidak menerima apa-apa meskipun mereka sudah berdoa karena mereka salah berdoa (ay. 3a). Doa adalah suatu dialog dengan Allah. Oleh karena itu, doa harusnya memberi kesempatan yang sama kepada kedua belah pihak (dalam hal ini manusia dan Allah) untuk memiliki pikiran dan perasaan yang sama, sehingga pada ujungnya ada kesamaan kehendak yang terjadi. Tentu karena Allah adalah pribadi yang sempurna, maka doa seharusnya menjadi sarana bagi kita untuk berjuang memiliki pikiran dan perasaan Allah, sehingga kita dapat mengerti kehendak Allah supaya kita dapat melakukannya dalam hidup kita masing-masing.

Persoalannya, selama ini kita hampir selalu diajarkan mengenai cara berdoa yang salah, termasuk saya sendiri. Sejak kecil saya sudah diajarkan bahwa jika berdoa harus diawali dengan menyanyi, seakan-akan menyanyi itu adalah suatu hal wajib sebelum mengucapkan kata-kata doa. Padahal menyanyi atau tidak, menaikkan lagu-lagu penyembahan atau tidak, itu bukanlah hal yang mayor. Hal yang lebih penting lagi apakah hidup kita sesungguhnya adalah penyembahan yang sejati kepada Allah atau bukan. Ketika kita berjuang dalam hidup kita untuk selalu hidup menurut kehendak-Nya, itulah penyembahan yang sejati. Kita tidak selalu butuh nyanyian sebelum berdoa, karena hidup kita sudah merupakan penyembahan, dan kapan pun kita bisa bercakap-cakap dengan Bapa.

Kesalahan lain yang umum terjadi adalah doa dijadikan sarana untuk meminta-minta. Sering kali pendeta berkata: jika doa kita belum didengar, maka berdoalah terus sampai dijawab oleh Tuhan. Ini memang ada benarnya dan ada tidaknya. Memang terkadang ada masalah dan pergumulan yang membutuhkan waktu lama untuk dapat selesai. Dalam hal ini, kita memang harus tekun dalam berdoa, yaitu dalam hal mencari tahu apakah kehendak Allah dalam hal ini, menggumulkannya dengan serius, sehingga kita siap untuk mengambil keputusan yang tepat dalam persoalan yang besar ini.

Tetapi dalam hal lain, sebenarnya doa itu adalah dialog, sehingga mungkin saja ketika kita datang dan membawa masalah kita kepada Allah, maka setelah kita berdoa kita akan sadar bahwa hal itu sebenarnya bukan masalah yang harus diselesaikan oleh-Nya dengan cara yang ajaib. Masalah itu sebenarnya adalah masalah biasa yang dapat kita selesaikan sendiri dengan hikmat Tuhan. Sebagai contoh, jika kita  sakit flu, maka kita tidak perlu berdoa terus-terusan kepada Tuhan. Kita sudah diberi hikmat, kita dapat minum obat flu secara rutin dan beristirahat, atau jika perlu datang ke dokter dan meminta nasehat. Saya tidak yakin para pendeta yang sering mengatakan kepada jemaat untuk berdoa meminta mujizat kesembuhan dari Tuhan, dirinya sendiri juga tidak pernah pergi ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya. Saya bukan tidak percaya mujizat, tetapi ada tatanan Allah mengenai bagaimana kita hidup bertanggung jawab termasuk dalam kesehatan. Oleh karena itu, bisa saja di dalam doa kita diberikan hikmat untuk pergi ke dokter dan bukannya terus berdoa meminta kesembuhan. Ingat bahwa dokter dan obat-obatan juga adalah sarana Tuhan menyembuhkan diri kita.

Sedangkan kesalahan terbesar dalam berdoa yang saya temukan adalah ketika doa menjadi monolog, bukan dialog. Berapa banyak kita berdoa dengan mengucapkan kata-kata secara terus menerus dan sebelum Tuhan berbicara, kita sudah menutup doa dengan kata “Amin”? Berapa banyak kita berdoa dengan menyodorkan daftar kebutuhan dan keinginan kita kepada Tuhan dan lalu menutup doa dengan kalimat “Di dalam nama Tuhan Yesus kami percaya Tuhan mendengar, Amin”? Padahal kalimat “di dalam nama Tuhan Yesus” itu sendiri memiliki makna yang sangat dalam dan seharusnya tidak boleh diucapkan dengan sembarangan. Kita sering kali tidak memberikan waktu kepada Tuhan untuk berbicara kepada kita. Doa menjadi percakapan 1 arah tanpa memberi kesempatan Tuhan berbicara dan mungkin mengoreksi permintaan kita. Bisa kita bayangkan jika ada suami istri dan kemudian istri hanya berbicara kepada suaminya ketika ia meminta uang belanja, pakaian baru, perhiasan baru, dan lain sebagainya? Apakah itu adalah suatu hubungan yang sehat antar 2 orang?

Seringkali doa juga dijadikan sarana untuk meminta sesuatu yang bersifat duniawi, seakan-akan kebahagiaan kita diukur dari seberapa banyak harta duniawi yang kita miliki. Kita hendak memuaskan hawa nafsu kita (yaitu khususnya hawa nafsu kedudukan dan harta benda), sehingga kita menyampaikannya dalam doa. Mengapa saya tidak memasukkan hawa nafsu seksual dalam hal ini, karena hampir tidak mungkin kita berdoa: “Ya Tuhan, tolong saya supaya saya dapat pergi ke rumah selingkuhan saya dengan selamat dan tidak ketahuan istri saya. Amin”. Oleh karena itu yang sering kita ucapkan dalam doa adalah untuk memuaskan hawa nafsu kedudukan dan harta benda dunawi (ay. 3b).

Itulah sebabnya Yakobus menggunakan kata-kata: “Hai kamu, orang-orang yang tidak setia!” (ay. 4a). Kata tidak setia dalam ayat ini menggunakan kata moichalis sebagaimana telah kita bahas di awal renungan ini. Hal ini menunjukkan bahwa kata moichalis tersebut digunakan secara figuratif. Memang bisa menjadi persoalan, dimana letak ketidaksetiaan yang dimaksud oleh Yakobus? Bukankah mereka tetap berdoa dan beribadah? Mereka juga tidak disebutkan menyembah allah lain atau dewa lain.

Namun demikian, Tuhan Yesus sendiri menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengasihi dan mengabdi kepada dua tuan, karena ia pasti akan cenderung untuk mengasihi salah satu dan membenci yang lain (Mat 6:24, Luk 16:13), apalagi jika harus mencintai dua suami atau dua istri. Karena itu ketika kita mencintai dunia (atau bahkan hanya bersahabat dengan dunia), ia sebenarnya sedang menjadi musuh Allah (ay. 4b). Jangankan sudah bersahabat dengan dunia, ketika kita ingin menjadi sahabat dunia (baru merupakan keinginan), kita sudah menjadi musuh Allah (ay. 4c). Betapa berbahayanya jika kita sudah menjadi musuh Allah, karena tidak mungkin Allah akan membuat kita masuk ke dalam kerajaan-Nya. Itulah sebabnya Yakobus sangat marah ketika mengetahui ada orang-orang Kristen yang mengaku mengasihi Tuhan, tetapi doa mereka tidak mencerminkan kasih mereka tersebut. Kalau orang Kristen mengasihi Tuhan dengan benar dan menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kekasih jiwa mereka, maka tidak mungkin ada lagi doa-doa yang dinaikkan dengan cara dan isi yang salah, dan tidak mungkin lagi ada pertengkaran atau perselisihan yang terutama disebabkan karena perebutan kekuasaan (kedudukan) dan juga disebabkan karena perebutan uang/persembahan dalam jemaat.

Di situlah letak ketidaksetiaan kebanyakan orang Kristen yang dimaksud, dimana mereka tidak sungguh-sungguh mengasihi Tuhan karena mereka juga masih mencintai dunia ini dengan segala kekayaan, kemuliaan, kesenangan dan kehormatannya. Sebenarnya hidup itu adalah pilihan. Dalam hidup ini kita harus mengambil keputusan: memilih Tuhan menjadi kekasih jiwa kita, atau memilih yang lain (dunia dan bahkan diri kita sendiri) menjadi kekasih jiwa kita. Kita harus memilih, apakah kita mau hidup untuk kepentingan Tuhan dan kerajaan-Nya, ataukah kita mau hidup untuk kepentingan diri sendiri dan kerajaan kita sendiri.

Persoalannya menjadi lebih kompleks karena setiap pilihan kita menimbulkan konsekuensi. Jika kita memilih Tuhan menjadi kekasih jiwa kita, maka kita harus memusuhi dunia dan bahkan diri kita sendiri. Kita harus berani menyangkal diri kita sendiri demi mengasihi Tuhan dengan segenap hati kita. Namun jika kita memilih dunia menjadi kekasih jiwa kita, maka kita akan menjadi musuh Tuhan. Tidak ada opsi ketiga dimana kita mau mencintai Tuhan tetapi juga mencintai dunia. Di akhir zaman ini, penampian akan semakin nyata untuk menunjukkan siapakah mereka yang mengasihi Tuhan dan siapakah yang mengasihi dunia. Sudah siapkah kita memutuskan pilihan kita saat ini juga?



Bacaan Alkitab: Yakobus 4:1-4
4:1 Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?
4:2 Kamu mengingini sesuatu, tetapi kamu tidak memperolehnya, lalu kamu membunuh; kamu iri hati, tetapi kamu tidak mencapai tujuanmu, lalu kamu bertengkar dan kamu berkelahi. Kamu tidak memperoleh apa-apa, karena kamu tidak berdoa.
4:3 Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu.
4:4 Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah? Jadi barangsiapa hendak menjadi sahabat dunia ini, ia menjadikan dirinya musuh Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.