Senin, 30 September 2019

Pornos dan Moichos (44): Salah Satu Ciri Guru-Guru Palsu


Senin, 30 September 2019
Bacaan Alkitab: 2 Petrus 2:10:14
Mata mereka penuh nafsu zinah dan mereka tidak pernah jemu berbuat dosa. Mereka memikat orang-orang yang lemah. Hati mereka telah terlatih dalam keserakahan. Mereka adalah orang-orang yang terkutuk! (2 Ptr 2:14)


Pornos dan Moichos (44): Salah Satu Ciri Guru-Guru Palsu


Renungan ini pernah membahas mengenai topik tentang guru-guru palsu dari bacaan ayat kita hari ini. Akan tetapi, karena kita saat ini sedang fokus membahas mengenai kata pornos dan moichos, maka tentu penekanan dalam renungan hari ini adalah mengenai konteks kata tersebut dalam ayat yang menjadi bagian bacaan kita pada hari ini.

Sekali lagi, konteks bacaan Alkitab kita hari ini adalah mengenai guru-guru palsu. Jika di masa Perjanjian Lama kita mengenal nabi-nabi palsu, maka di dalam Perjanjian Baru terdapat pula guru-guru palsu. Di Perjanjian Lama, belum ada Roh Kudus yang turun sehingga umat Israel membutuhkan nabi-nabi untuk mendengar suara Tuhan. Nabi adalah orang-orang tertentu yang diberikan karunia untuk menyampaikan suara Tuhan. Dalam praktiknya, muncul pula orang-orang yang mengaku sebagai nabi padahal tidak diangkat oleh Tuhan sebagai nabi. Nabi-nabi palsu ini mengangkat dirinya sendiri sebagai nabi untuk mendapatkan keuntungan dari posisinya tersebut (biasanya keuntungan karena dihormati orang banyak, diangkat sebagai penasehat oleh raja, dan juga tentunya keuntungan finansial).

Di masa Perjanjian Baru, hanya belasan atau puluhan tahun dari kenaikan Tuhan Yesus ke surga, muncul pula sejumlah guru-guru palsu. Ingat bahwa di masa Perjanjian Baru, setelah Tuhan Yesus naik ke surga maka ada pencurahan Roh Kudus sehingga sejak saat itu Roh Kudus dapat tinggal secara permanen dalam diri orang-orang percaya untuk menuntun mereka hidup dalam kebenaran. Oleh karena itu, di masa Perjanjian Baru ini meskipun memang ada orang-orang yang memiliki tugas sebagai nabi (sama seperti ada peran rasul. pengajar/guru (1 Kor 12:28), pemberita Injil dan gembala (Ef 4:11) dalam jemaat), tetapi justru peran yang lebih penting sekarang ini adalah peran pengajar/guru, pemberita Injil, dan gembala.

Kita melihat bahwa peran Rasul pun hanya terbatas di dalam jemaat mula-mula, dan di masa kini sudah tidak ada rasul lagi, karena semua sudah tertulis di dalam Alkitab yang kita miliki hari ini. Demikian juga dengan peran nabi. Sebenarnya di masa Perjanjian Baru ini peran nabi dapat dilakukan oleh para pengajar/guru, pemberita Injil dan gembala, karena mereka pun menyuarakan suara Tuhan dalam tugas pelayanannya. Dalam Alkitab sendiri, masih ada sejumlah nabi di zaman Perjanjian Baru seperti nabi Agabus (Kis 21:10) yang menyampaikan suara Tuhan kepada Paulus bahwa Paulus akan ditangkap di Yerusalem. Meskipun demikian, secara implisit Paulus pun sudah mengerti kehendak Tuhan bahwa ia akan ditangkap di Yerusalem. Hal itu dapat menunjukkan bahwa peran nabi yang menyampaikan suara Tuhan secara spesifik kepada seseorang atau sekelompok orang tertentu mulai bergeser kepada peran pengajar/guru yang menyampaikan suara Tuhan kepada sekelompok orang secara umum. Walau pengajaran yang disampaikan bersifat umum, tetapi Tuhan telah menaruh Roh Kudus dalam hati orang percaya sehingga mereka tentu dapat mendengar suara Tuhan yang spesifik bagi diri mereka masing-masing.

Oleh karena peran pengajar/guru yang sangat penting pada jemaat mula-mula, maka iblis pun mulai memunculkan guru-guru palsu sejak zaman gereja mula-mula. Kita telah membahas mengenai guru-guru palsu dalam renungan dengan tema khusus. Namun pada renungan hari ini, cukuplah kita membahas mengenai ciri-ciri guru-guru palsu yang antara lain mereka menuruti hawa nafsunya (ay. 10a). Mereka tidak pernah mencari kehendak Allah tetapi berusaha memuaskan hawa nafsu duniawinya. Tidak heran mereka pun mulai mencemarkan diri mereka sendiri dan menghina/merendahkan/mengabaikan pemerintahan Allah (ay. 10b). Hal ini berarti walaupun mereka mengajarkan ayat-ayat Alkitab kepada jemaat, tetapi hidupnya penuh dengan kecemaran dan dengan demikian menunjukkan bahwa mereka hidup di luar pemerintahan Allah yang berlandaskan kesucian dan kekudusan.

Mereka pun begitu berani dan angkuh sehingga tidak segan-segan menghujat kemuliaan (ay. 10c). Tentu guru-guru palsu ini tidak dengan langsung menghujat Allah dan kerajaan-Nya. Tetapi dari pengajaran yang disampaikan, secara tidak langsung mereka sedang menghujat Allah dan kerajaan-Nya. Sebagai contoh, jika salah satu standar kerajaan Allah adalah kekudusan, maka apa yang diajarkan oleh guru-guru palsu itu tidak akan menyentuh standar kekudusan tersebut karena hidup mereka masih belum kudus, bahkan mereka masih hidup dalam kecemaran dosa dan hawa nafsu. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin mereka menyampaikan khotbah atau pengajaran mengenai kekudusan hidup. Mereka akan sebisa mungkin menghindari dan bersembunyi di balik topik-topik lain yang ‘aman’ bagi mereka.

Salah satu ciri lain dari guru-guru palsu itu adalah perkataan mereka yang tidak membawa damai dan keteduhan. Perkataan mereka pada umumnya kasar dan menyerang pihak lain. Jangankan pihak luar, seringkali mereka menyerang pihak internal, bahkan pimpinan mereka sendiri dengan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas diucapkan oleh seorang pengajar di depan mimbar. Padahal malaikat-malaikat yang lebih berkuasa dari mereka, tidak menggunakan kata-kata yang kasar dan jahat ketika menuntut penghakiman atas guru-guru palsu tersebut (ay. 11).

Dalam hal ini Petrus menyamakan guru-guru palsu dengan hewan yang tidak memiliki akal, karena mereka tidak menggunakan akal atau logika berpikir yang jernih (ay. 12). Padahal seorang guru seharusnya memiliki logika berpikir yang baik, sehingga mereka akan mencerdaskan orang-orang yang diajar supaya juga memiliki logika berpikir yang baik. Semua yang ditulis mengenai guru-guru palsu tersebut adalah hal yang jahat, dan suatu saat nanti mereka akan menerima upah atas kejahatan mereka (ay. 13a). Kalaupun di dunia ini mereka tidak menuai apa yang mereka tabur, maka suatu saat nanti mereka tidak akan dapat menghindar lagi, ketika Tuhan meminta pertanggungjawaban mereka dalam pengadilan-Nya yang maha adil.

Beberapa ciri lagi telah dituliskan oleh Petrus supaya kita dapat membedakan guru-guru yang benar dan guru-guru palsu. Ciri dari guru-guru palsu adalah berfoya-foya dan menganggapnya sebagai suatu kenikmatan (ay. 13b). Ciri lain akan nampak juga dengan jelas ketika dalam suatu persekutuan atau perjamuan. Lihatlah ketika mereka makan dan minum bersama-sama dengan kita, maka akan nampak ciri-ciri guru palsu yang seperti kotoran dan noda. Bahkan ketika makan dan minum Bersama, kita dapat melihat bagaimana mereka masih mencoba memanfaatkan orang lain untuk memuaskan hawa nafsunya dalam hal makanan dan minuman (ay. 13c). Adalah sungguh memalukan jika dalam hal yang bersifat jasmani saja (persekutuan atau makan minum bersama), kelakuan guru-guru palsu tersebut sudah menunjukkan nafsu yang sangat rendah, yang sibuk dengan urusan mengisi perut saja.

Ciri lain adalah mata mereka yang penuh dengan nafsu zinah dan tidak pernah jemu berbuat dosa (ay. 14a). Dalam bahasa aslinya, kata “nafsu zinah” adalah moichalis (μοιχαλίς) yang berarti seorang pelacur wanita, perempuan sundal, seorang perempuan yang sudah menikah namun hidup dalam perzinahan. Jika diterjemahkan bebas, maka kalimat tersebut dapat berbunyi: “mata yang terus memandang wanita cabul (atau mata yang penuh percabulan) dan tidak henti-hentinya berdosa/meleset”. Saya tidak tahu mengapa digunakan kata moichalis (yang merupakan kata benda feminin) dalam ayat ini dan bukan kata benda lain yang umum (tidak bersifat maskulin/feminin) seperti moicheia. Sehingga saya sempat berpikir mungkin saja guru-guru palsu itu adalah orang-orang yang masih hidup dalam percabulan. Memang mungkin saja saat ini mereka belum sampai melakukan perbuatan zinah, tetapi mata mereka terus memandang wanita-wanita yang tidak pantas (wanita yang berzinah, pelacur, perempuan sundal). Dalam hal ini, bisa jadi ia tidak akan berani berkhotbah mengenai bahaya percabulan dan bagaimana jemaat harus melawan dan menghindarinya, karena ia sendiri juga masih suka hidup dalam percabulan itu (minimal masih suka memandang wanita-wanita yang tidak pantas).

Perlu diperjelas bahwa mata yang penuh nafsu zinah/percabulan tidak harus sampai pada tindakan berbuat dosa. Kata “dosa” yang dipakai dalam ayat ini adalah hamartia (ἁμαρτία) yang juga dapat berarti failure, missing the mark (kegagalan, meleset dari sasaran). Jadi guru-guru palsu ini benar-benar terikat dengan hawa nafsunya sehingga mereka tidak dapat berhenti berbuat dosa. Tidak ada kemauan yang kuat dalam diri mereka untuk melawan hawa nafsu kedagingan tersebut. Lambat laun mereka akan merasa hal itu sebagai hal yang wajar, dan tanpa disadari akan memberikan contoh yang salah kepada jemaat yang mereka ajar. Tidak heran jika di suatu gereja atau persekutuan dimana ada guru-guru palsu yang diberi posisi dan kesempatan untuk mengajar, maka banyak jemaat yang juga jatuh dalam dosa perzinahan dan percabulan.

Yang parah lagi adalah ketika mereka memikat orang-orang yang lemah supaya ikut dalam kejahatan yang mereka lakukan (ay. 14b). Kata “memikat” dalam ayat ini adalah deleazó (δελεάζω) yang dapat bermakna to lure, to entice with bait (memancing, memikat dengan umpan/menarik hati/menimbulkan hasrat). Jelas bahwa mereka tidak dapat memikat orang-orang benar di dalam jemaat, sehingga mereka mengalihkan “sasaran” mereka kepada orang-orang (atau jiwa-jiwa) yang lemah. Dalam bahasa aslinya, kata “lemah” menggunakan kata astériktos (ἀστήρικτος) yang bermakna unstable, unsettled, unsteadfast (goyah/goncang/labil/tidak stabil, resah/tidak pasti/tidak menentu, limbung). Jelas bahwa orang-orang ini bukanlah mereka yang sudah bertumbuh dan berakar kuat dalam kebenaran. Kemungkinan besar orang-orang lemah ini adalah jiwa-jiwa baru, yang masih belum memiliki pemahaman yang utuh dan akar yang kuat. Betapa jahatnya guru-guru palsu ini karena mereka mengambil keuntungan dari orang-orang yang masih polos, yang sebenarnya masih perlu untuk diajar dan dibimbing, tetapi malah dimanfaatkan oleh guru-guru palsu tersebut untuk kepentingan diri mereka sendiri.

Bahkan Petrus menulis bahwa hati guru-guru palsu ini telah terlatih dalam keserakahan (ay. 14c). Kata “keserakahan” di dalam ayat ini adalah pleonexia (πλεονεξία), sebuah kata yang sudah umum kita bahas dalam renungan-renungan sebelumnya karena memiliki keterkaitan dengan kata pornos maupun moichos di ayat-ayat sebelumnya. Kata pleonexia memiliki makna covetousness, avarice, desire for advantage, desire to have more (ketamakan, keserakahan/kekikiran, keinginan untuk memperoleh keuntungan, keinginan untuk memiliki lebih). Seharusnya orang percaya diajar untuk melatih hatinya dalam kekudusan, kesucian hidup, dan hal-hal baik lainnya. Akan tetapi guru-guru palsu ini telah melatih hatinya terhadap keserakaan. Betapa berbahayanya spirit ini jika dibawakan di atas mimbar kepada jemaat. Tanpa disadari, jemaat akan terpengaruh dengan spirit tersebut dan akan merasa bahwa ketika ia selalu ingin lebih, maka hal itu adalah suatu hal yang wajar.

Itulah sebabnya di akhir kalimatnya Petrus menulis bahwa mereka adalah orang-orang yang terkutuk (ay. 14d). Hal ini menunjukkan bagaimana Petrus yang juga adalah Rasul, pemberita Injil, pengajar/guru dan sekaligus gembala sangat menyadari bahayanya guru-guru palsu ini. Petrus hanya hidup selama sekian puluh tahun, dan suka atau tidak suka, pelayanan jemaat akan diteruskan di tangan generasi selanjutnya. Dapat dibayangkan jika guru-guru palsu ini masuk ke dalam jemaat, maka apa yang sudah dirintis oleh para murid dan rasul mula-mula akan menjadi sia-sia belaka. Itulah sebabnya Petrus dengan tegas mengingatkan jemaat untuk berhati-hati terhadap guru-guru palsu dengan memperhatikan ciri-cirinya.

Saya yakin di akhir zaman ini akan semakin banyak guru-guru palsu yang akan muncul dan menyesatkan orang-orang Kristen. Kita memang tidak boleh menghakimi orang lain, tetapi kita harus dapat menilai orang lain, apakah ada guru-guru palsu di jemaat atau persekutuan yang kita ikuti. Bahkan jika mau fair, para pembaca renungan ini juga harus dapat menilai apakah saya selaku penulis renungan ini juga adalah guru palsu atau bukan. Ada ciri-ciri yang disampaikan dalam kitab 2 Petrus yang dapat menjadi acuan bagi kita untuk dapat melakukan penilaian. Tetapi lebih dari semuanya, adalah lebih baik kita menjaga diri kita sendiri dan orang-orang yang kita kasihi dari pengajaran yang menyimpang yang disampaikan oleh guru-guru palsu tersebut, yaitu dengan cara belajar kebenaran langsung dari sumbernya dan berjuang untuk hidup dalam kebenaran tersebut dalam pimpinan Roh Kudus.



Bacaan Alkitab: 2 Petrus 2:10:14
2:10 terutama mereka yang menuruti hawa nafsunya karena ingin mencemarkan diri dan yang menghina pemerintahan Allah. Mereka begitu berani dan angkuh, sehingga tidak segan-segan menghujat kemuliaan,
2:11 padahal malaikat-malaikat sendiri, yang sekalipun lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada mereka, tidak memakai kata-kata hujat, kalau malaikat-malaikat menuntut hukuman atas mereka di hadapan Allah.
2:12 Tetapi mereka itu sama dengan hewan yang tidak berakal, sama dengan binatang yang hanya dilahirkan untuk ditangkap dan dimusnahkan. Mereka menghujat apa yang tidak mereka ketahui, sehingga oleh perbuatan mereka yang jahat mereka sendiri akan binasa seperti binatang liar,
2:13 dan akan mengalami nasib yang buruk sebagai upah kejahatan mereka. Berfoya-foya pada siang hari, mereka anggap kenikmatan. Mereka adalah kotoran dan noda, yang mabuk dalam hawa nafsu mereka kalau mereka duduk makan minum bersama-sama dengan kamu.
2:14 Mata mereka penuh nafsu zinah dan mereka tidak pernah jemu berbuat dosa. Mereka memikat orang-orang yang lemah. Hati mereka telah terlatih dalam keserakahan. Mereka adalah orang-orang yang terkutuk!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.