Rabu,
25 September 2019
Bacaan
Alkitab: Yakobus 2:10-12
Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan juga:
"Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh,
maka kamu menjadi pelanggar hukum juga. (Yak 2:11)
Pornos dan Moichos (41): Standar yang Tidak Dapat Dikurangi
Suka
atau tidak suka, sekarang ini sedang muncul tren dimana manusia melakukan
sesuatu yang sebenarnya hanya bersifat parsial atau dari salah satu sisi saja,
sebagai dampak dari ketidaktahuan dan kemalasan orang tersebut untuk mencari
tahu apa yang benar. Sebagai contoh di dalam gereja, orang menganggap sudah
beribadah ketika ia sudah datang ke gereja, menaikkan nyanyian pujian, berdoa,
mendengar khotbah, memberi persembahan, dan kemudian pulang dengan keyakinan
bahwa ia sudah beribadah. Atau dalam contoh yang lebih rinci lagi, seorang
Kristen merasa dirinya sudah memberi kepada Tuhan ketika ia sudah memberikan
persembahan persepuluhan termasuk kolekte setiap minggunya, dan ia merasa
berhak untuk meminta Tuhan memberkati dirinya dengan lebih limpah lagi. Dan
masih banyak hal yang dapat dijadikan contoh baik di dalam jemaat maupun di
luar jemaat.
Yakobus
dengan jelas menulis dalam ayat bahasan kita hari ini, yaitu barangsiapa
menuruti seluruh hukum itu (yaitu hukum Taurat), tetapi mengabaikan satu bagian
daripadanya, maka ia bersalah terhadap seluruh hukum Taurat tersebut (ay. 10). Sebenarnya
dalam bahasa aslinya terdapat hal yang menarik sekaligus menggelitik. Dalam
terjemahan Alkitab Bahasa Indonesia, kita melihat bahwa seakan-akan ada orang
yang berkoar-koar menaati hukum tapi sengaja mengabaikan satu bagian hukum,
sehingga hal itu dipandang sebagai suatu kesalahan.
Kata
“mengabaikan” dalam bahasa aslinya adalah ptaisē (πταίσῃ) dari akar kata ptaió (πταίω) yang berarti to stumble, to fall,
to sin, to err, to transgress (tersandung, terjatuh,
berdosa/melanggar, salah/keliru, melanggar/melampaui batas). Jadi sebenarnya
ayat 10 ini lebih tepat diterjemahkan sebab barangsiapa yang memegang hukum
Taurat, tetapi ia gagal melakukan salah satu bagian dari hukum tersebut, maka
ia bersalah terhadap seluruhnya. Jelas bahwa jangankan sengaja untuk tidak
melakukan satu bagian hukum, bahkan ketika orang tersebut gagal (bukan karena
keinginannya sendiri untuk sengaja tidak melakukan), ia pun bersalah terhadap
seluruhnya.
Dalam
ayat selanjutnya, Yakobus menulis bahwa siapa yang berkata “Jangan berzinah”,
maka mau tidak mau ia juga harus berkata “Jangan membunuh” karena kedua hukum
tersebut ada di dalam hukum yang sama yaitu di Dekalog atau Sepuluh Hukum (ay.
11a). Bahkan lebih lanjut lagi, jika ada
orang yang tidak berzinah tetapi membunuh, maka orang tersebut menjadi
pelanggar hukum juga (ay. 11b). Demikian pula sebaliknya, jika ada orang yang
tidak membunuh tetapi berzinah, maka ia juga menjadi pelanggar hukum.
Kata
“berzinah” yang disebutkan 2 kali dalam ayat ini adalah moicheuó (μοιχεύω) yang secara konsisten
merujuk kepada salah satu hukum dalam Sepuluh Perintah Allah (Kel 20:14). Jelas
bahwa Yakobus ingin menunjukkan bahwa Kesepuluh Perintah Allah tersebut saling
terkait satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan tidak hanya Sepuluh
Perintah Allah (Dekalog) tersebut yang saling terkait, seluruh hukum Taurat dan
kitab Perjanjian Lama juga saling terkait dan tidak bisa diabaikan salah
satunya. Jangankan dengan sengaja mengabaikan salah satu hukum, jika orang
tersandung dan tidak sengaja mengabaikan pun maka hal itu sudah dipandang
sebagai suatu pelanggaran.
Dalam
hal ini menurut saya ada 2 persoalan serius yang perlu dipergumulkan: 1) Karena
konteks ayat ini adalah hukum Taurat, apakah prinsip ini masih relevan bagi
umat percaya yang sudah tidak lagi hidup terhadap hukum Taurat; dan 2)
Bagaimana jika ada seorang pengkhotbah/pendeta/gembala sidang yang sebenarnya
sudah tahu kebenaran secara utuh, tapi sengaja hanya mengajarkan sebagian saja
kepada jemaat karena satu dan lain hal?
Untuk
menjawab pertanyaan nomor 1, tentu prinsip ini terkait erat dengan ayat-ayat
sebelumnya, dimana Yakobus menulis bahwa jika ada orang yang beribadah maupun
berbuat baik, tetapi dalam jemaat ada yang memandang muka, maka orang itu
sebenarnya melakukan pelanggaran. Kita lihat bahwa di ayat-ayat sebelumnya,
dibahas mengenai dosa memandang muka dalam jemaat. Jika kita memperhatikan
hukum Taurat, maka jelas bahwa hukum Taurat sama sekali belum mengatur mengenai
hal memandang muka ini, apalagi dalam peraturan ibadah.
Oleh
karena itu, saya berpendapat bahwa prinsip di ayat 10 ini masih relevan juga
hingga sekarang. Perbedaannya adalah bahwa contoh yang ditulis oleh Yakobus
adalah contoh hidup orang Yahudi yang melakukan hukum Taurat karena prinsip
mereka adalah Torah is my Law (Taurat adalah Hukumku), sedangkan bagi orang percaya, seharusnya
Tuhanlah yang menjadi hukum kita (The Lord is my Law). Namun pada dasarnya prinsipnya tetap sama. Semua kehendak Tuhan
harus kita laksanakan tanpa kecuali. Bedanya adalah kita sudah tidak lagi
bertindak menurut hukum yang tertulis, tetapi kita harus bertindak menurut
pikiran dan perasaan Kristus (Flp 2:5)
Dalam hal ini, suatu saat nanti kita akan menghadap
pengadilan Tuhan, dimana kita harus mempertanggungjawabkan apa yang kita
lakukan. Oleh karena itu, tentu berlaku prinsip “Yang diberi banyak, dituntut
banyak”. Kita yang telah mengenal kasih Kristus tidak akan dihakimi menurut
hukum Taurat, tetapi akan dihakimi menurut berapa banyak kehendak Bapa yang
sudah kita lakukan. Di situ kita harus banyak belajar dari hidup Tuhan Yesus,
yang telah melakukan kehendak Bapa dengan sempurna selama Ia menjadi manusia di
dunia ini, sehiingga kita harus benar-benar dapat mengikuti jejak hidup-Nya dan
menerapkannya dalam hidup kita masing-masing.
Sedangkan jawaban untuk pertanyaan nomor 2 adalah:
hal tersebut akan menjadi urusan pendeta tersebut dengan Tuhan. Jelas bahwa
Tuhan sudah menyampaikan firman-Nya kepada kita yang dapat kita baca di dalam
Perjanjian Baru. Jelas bahwa standar keselamatan sudah ditetapkan oleh Tuhan
dan sama sekali tidak ada potongan atau diskon sekecil apapun. Jika Tuhan Yesus
berkata: “Setiap orang yang hendak mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya,
memikul salibnya, dan mengikut Aku” (Mat 16:24), maka memang orang Kristen
harus menyangkal diri dan memikul salib serta mengikut jejak-Nya. Tidak ada
tolerasnsi dalam hal ini seperti misalnya: “Kalau begitu, saya minta salib yang
ringan saja ya Tuhan”. Sama seperti Tuhan Yesus juga harus melalui semua hal
dari Betlehem, Nazaret, hingga ke Golgota tanpa diskon/keringanan, demikianlah
juga dalam hidup kita masing-masing kita harus menghadapi banyak pencobaan,
ujian, dan salib-salib yang harus kita pikul tanpa adanya diskon dari Tuhan.
Menjadi menarik jika Tuhan Yesus berkata bahwa kita
harus berjuang untuk masuk ke dalam Kerajaan Surga (Luk 13:24), tetapi banyak
pendeta yang berkata: “Masuk surga itu mudah, cukup percaya saja dan mengimani
(meyakini), pasti nanti mati masuk surga”. Memang kita harus percaya kepada
Tuhan Yesus dan memiliki iman kepada-Nya, tetapi bukan berarti setelah itu kita
tidak perlu berjuang. Ada perjuangan dalam hidup kita yaitu menyangkal diri,
memikul salib kita, dan pada akhirnya mengikuti jejak hidup-Nya. Oleh sebab
itu, tanpa bermaksud menghakimi mereka yang berbeda pendapat, saya sendiri
berpendapat bahwa memang masuk surga itu adalah hal yang sukar, sangat sukar,
bahkan mustahil bagi manusia, tetapi tidak mustahil bagi Allah (Mrk 10:26-27).
Keselamatan itu memang adalah anugerah Allah tetapi harus diresponi oleh
manusia secara proporsional.
Oleh karena itu menjadi seorang pengkhotbah,
pendeta, apalagi gembala siding adalah suatu hal yang sangat berat. Seringkali
seorang pendeta karena belum bisa melakukan suatu bagian dari firman, maka ia
dengan sengaja mengurangi porsi firman supaya jemaat tidak perlu menuntut
teladan dari pendeta tersebut. Atau pendeta tersebut bisa membela diri atas
kegagalannya melakukan salah satu bagian firman dengan begitu banyak ayat yang
“direkayasa dan diarahkan” seakan-akan untuk menunjukkan bahwa pendeta itu
melakukan apa yang benar, atau untuk membela si pendeta bahwa wajar kalau ia
masih belum bisa melakukan firman tersebut.
Sebenarnya saya tahu bahwa semua orang, baik saya
sendiri maupun orang lain, bahkan pendeta sekalipun memang masih harus berjuang
untuk hidup sesuai firman secara konsisten. Tidak ada orang yang sudah sempurna
melakukan firman di dunia ini. Namun adalah sangat salah jika khutbah di atas
mimbar “dikurangi” atau “dimodifikasi” dengan tujuan untuk kepentingan pendeta,
keluarganya, atau segelintir orang di dalam gereja. Standar kehidupan orang
percaya yang Tuhan kehendaki sudah tertulis jelas di dalam Alkitab khususnya di
Perjanjian Baru, antara lain: 1) Hidup dalam kesucian/kekudusan; 2) Merindukan kedatangan
Tuhan dan Kerajaan-Nya; serta 3) Memaksimalkan talenta dan potensi selama hidup
di dunia ini bagi kemuliaan nama Tuhan. Tetapi seringkali hal yang mayor
dijadikan minor dan hal yang minor dijadikan mayor di atas mimbar gereja. Di
situ terkadang saya merasa sedih dan tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan.
Tidak heran bahwa di akhir zaman nanti, akan ada banyak orang yang merasa sudah
beribadah kepada Tuhan, bahkan merasa sudah melayani Tuhan tetapi pada akhirnya
ditolak Tuhan (Mat 7:21-23). Semoga kita tidak termasuk dalam kelompok
orang-orang yang seperti itu.
Oleh sebab itu, benar sekali tulisan Yakobus bahwa
kita harus berkata dan berlaku seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh
hukum yang memerdekakan orang (ay. 12). Sekilas terkesan bahwa kita akan
dihakimi oleh hukum Taurat. Namun jika kita membaca lebih lanjut, yang dimaksud
dalam ayat 12 ini adalah hukum yang memerdekakan orang. Tentu itu bukanlah
hukum Taurat karena hukum Taurat adalah hukum yang menawan orang, sementara
hukum yang memerdekakan orang adalah Tuhan, karena Tuhan adalah hukum kita (The Lord is my law). Itulah hukum yang sempurna, yang akan
membentuk karakter kita menjadi sempurna dan membawa kita kepada kemuliaan
kekal (Yak 1:25).
Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita untuk berkata:
“Saya kan masih belum sempurna” atau “Saya sih sudah melakukan 90% hukum,
tetapi masih ada 10% lagi yang tidak bisa saya lakukan”. Itu adalah prinsip
yang salah. Melalui pimpinan dan pertolongan Roh Kudus, kita pasti dimampukan
untuk hidup menurut kehendak Tuhan. Tidak boleh lagi ada alasan untuk
mengurangi standar keselamatan yang sudah Allah tetapkan bagi manusia.
Semaksimal mungkin kita harus hidup sesuci-sucinya di hadapan Allah, supaya
suatu saat nanti, kita dapat tahan berdiri di hadapan pengadilan Allah.
Bacaan
Alkitab: Yakobus 2:10-12
2:10 Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu
bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.
2:11 Sebab Ia yang mengatakan: "Jangan berzinah", Ia mengatakan
juga: "Jangan membunuh". Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi
membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.
2:12 Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh
hukum yang memerdekakan orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.