Minggu, 28
Juni 2020
Bacaan Alkitab: Matius 23:13
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu
orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan
orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha
untuk masuk. (Mat 23:13)
Jangan Sampai Kita Menutup Pintu Keselamatan Orang
Lain
Ketika
saya berdoa di suatu malam yang sepi, saya meminta ampun kepada Tuhan atas
kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan di masa lalu. Saya sendiri
memiliki karakter yang buruk, bahkan mungkin jauh lebih buruk daripada sebagian
besar pembaca renungan ini. Dalam masa-masa kepicikan dan masa-masa kegelapan
saya dahulu, hidup saya benar-benar berantakan. Dapat dikatakan bahwa jika saya
meninggal dunia di masa-masa kebodohan saya di masa lalu, saya bisa saja
ditolak masuk ke dalam surga oleh Tuhan.
Tentu
Tuhan kita adalah Tuhan yang maha pengasih. Ketika kita sungguh-sungguh dan
benar-benar bertobat, pasti Tuhan mengampuni dosa-dosa kita. Namun pertobatan
kita haruslah pertobatan yang benar, disertai dengan kesungguhan hati dan
komitmen untuk tidak mengulangi kesalahan kita, sehingga kita dapat mulai mengubah
kodrat hidup kita, dari kodrat manusia yang penuh dosa menjadi kodrat ilahi.
Tetapi
dalam malam tersebut, saya kemudian mulai menangis dan menitikkan air mata
mengingat kesalahan-kesalahan saya di masa lampau. Saya menangisi keputusan-keputusan
saya yang salah, karena itu bukan saja hanya berdampak pada diri saya, tetapi
juga berdampak pada orang lain. Yang paling saya sesali adalah ketika saya
melihat bahwa keputusan-keputusan saya yang salah, atau bahkan keputusan yang “hanya”
tidak tepat, ternyata bisa membuat orang lain tidak diselamatkan.
Ada keputusan-keputusan
saya yang tidak mempermuliakan nama Tuhan, sehingga orang-orang di sekitar saya
yang beragama lain justru bisa mencibir kekristenan. Mereka bisa berkata: “Kok
orang Kristen seperti itu sih? Apa bedanya dengan orang-orang beragama lain?”. Kehidupan
saya tidak mencerminkan kehidupan anak-anak Allah yang agung. Kehidupan saya
tidak dapat membuat orang lain yang melihat hidup saya kemudian memuliakan
Tuhan (Mat 5:16). Justru karena hidup saya yang sangat buruk inilah nama Tuhan
justru dihujat oleh orang-orang lain (Rm 2:24).
Dalam
penyesalan saya tersebut, saya seakan-akan telah menutup pintu keselamatan bagi
orang-orang yang ada di sekitar saya. Seakan-akan karena kesalahan saya yang
sangat memalukan di masa lalu, mereka nyaris sudah tidak mungkin bisa
diselamatkan, karena mereka pasti melihat bahwa kualitas hidup saya dan
kualitas keputusan saya sangat rendah, bahkan mungkin tidak lebih baik dari
kualitas keagamaan orang-orang tersebut.
Di sisi
yang lain, saya juga pernah mengambil keputusan yang salah yang berdampak pada jemaat
di suatu gereja lokal. Keputusan saya yang tidak tepat itu justru membuat
konflik di antara jemaat, bahkan hingga sampai membuat konflik antara
pendeta/gembala sidang dengan beberapa kelompok jemaat. Oleh karena kurangnya
kebijaksanaan yang saya miliki, seakan-akan apa yang saya lakukan menjadi
selalu salah. Walaupun saat ini saya sudah lebih bijak, namun kesalahan saya di
masa lalu itu seakan-akan membuat apapun yang saya lakukan saat ini itu salah.
Tepat sekali suatu peribahasa yang berkata “Karena nila setitik, rusak susu
sebelanga”. Dan jujur, saya sangat menyesali itu.
Dalam
penyesalan saya tersebut, saya teringat akan sebuah ayat yang pernah saya baca.
Ayat tersebut berbicara tentang perkataan Tuhan Yesus kepada para ahli Taurat
dan orang-orang Farisi, dimana Tuhan Yesus mengecam kehidupan mereka yang tidak
memancarkan keagungan Allah, padahal mereka sebenarnya adalah orang-orang yang
mengerti hukum Taurat. Mereka seharusnya memiliki kehidupan yang lebih agung, setidaknya
dalam hal pelaksanaan hukum Taurat. Namun, justru mereka dikatakan sebagai
orang-orang yang munafik, karena mereka menutup pintu-pintu kerajaan surga bagi
orang lain atau orang banyak (ay. 13a).
Seharusnya
sebagai orang-orang yang mengerti hukum Taurat, mereka dapat mengajarkan apa
yang mereka pandang benar kepada orang banyak yaitu orang Yahudi di masa itu. Dengan
demikian, mereka membuka pintu kerajaan surga kepada orang banyak dan tidak
menutup pintunya. Atau jika tidak, mereka seharusnya minimal berjuang memasuki
pintu kerajaan surga dan dengan demikian mereka memberikan suatu contoh atau
teladan hidup kepada orang banyak. Akan tetapi, dikatakan bahwa para ahli Taurat
dan orang Farisi tidak mau masuk ke dalam pintu kerajaan surga tersebut dan sekaligus
tidak mau orang lain masuk ke dalamnya (ay. 13b). Ini adalah suatu Tindakan yang
sangat jahat dan keji, karena mereka sebenarnya tahu apa yang baik, tetapi
mereka tidak mau melakukannya, bahkan tidak mau orang lain menjadi baik pula
(Yak 4:17).
Persis
seperti inilah yang saya sesali atas kesalahan-kesalahan saya di masa lalu.
Saya sendiri tidak berjuang masuk dalam kerajaan Allah (karena masih tidak mau melakukan
apa yang baik dan benar di hadapan-Nya). Bahkan karena sikap saya tersebut, nama
Tuhan justru dihujat dan orang lain bisa tidak mau mengenal kebenaran.
Jangankan orang-orang di luar Kristen yang seharusnya jangan sampai menghujat
Tuhan (karena mereka melihat keburukan dalam hidup saya), bahkan orang-orang di
dalam jemaat saja bisa tersandung karena kesalahan saya. Saya ibarat menjadi
suatu batu sandungan yang membuat orang-orang tidak dapat mengenal Tuhan dengan
benar dan masuk ke dalam proses keselamatan yang benar.
Oleh
karena itu, ke depannya saya ingin lebih berhati-hati lagi. Saya mulai belajar
untuk menahan diri dalam ucapan, bahkan menahan jari-jari tangan saya supaya
jangan sampai saya menulis sesuatu yang tidak menjadi berkat di media sosial. Saya
mulai belajar menahan diri untuk tidak membalas, meskipun ada pihak-pihak yang
menjelek-jelekkan nama saya, bahkan jika itu pun dilakukan oleh orang-orang
yang memiliki kedudukan tinggi di dalam gereja. Saya menyadari mungkin ada
kesalahan yang saya lakukan di masa lalu sehingga mereka melakukan hal itu
(merusak nama baik saya). Bagi saya, jika Tuhan menyuruh saya untuk membela
diri, maka saya akan membela diri. Jika tidak, maka lebih baik saya diam. Jika
Tuhan tidak menyuruh saya untuk membela diri tetapi saya malah membela diri,
maka yang ada justru saya kembali melakukan kesalahan yang sama, dan bisa jadi
kondisi justru menjadi semakin runyam.
Dalam hari-hari terakhir ini, saya berusaha untuk benar-benar
meminta agar saya dapat melakukan apa yang Tuhan kehendaki secara tepat. Hal
ini bukan hanya terkait dosa-dosa yang melanggar moral umum (mencuri, membunuh,
berzinah, dan lain sebagainya). Tetapi saya rindu memiliki suatu gairah untuk
belajar tepat melakukan kehendak Allah dalam hal-hal yang terlihat kecil
sekalipun. Saya mulai berjuang untuk memiliki hidup yang teduh dan tenang,
sehingga apapun yang saya ucapkan, tulis di media sosial, bahkan yang saya
lakukan, tidak menjadi batu sandungan. Saya tidak mau menjadi pihak yang
menutup pintu keselamatan bagi orang lain, padahal mungkin jika saya lebih
bijak, bisa jadi mereka masih memiliki kesempatan untuk mengenal karya keselamatan
yang benar. Pertobatan saya haruslah tidak lagi mengenai pertobatan dari
pelanggaran moral secara umum, tetapi bertobat dari kesalahan-kesalahan dalam
mengambil keputusan, yang bisa menghambat orang masuk ke dalam kerajaan surga. Saya
harus bertobat supaya suatu saat nanti saya jangan sampai ditolak masuk ke
dalam kerajaan surga karena saya tidak melakukan kehendak-Nya (Mat 7:21-23).
Bacaan Alkitab: Matius 23:13
23:13 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu
orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan
orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha
untuk masuk.