Kamis, 04 Juni 2020

Meratapi Keadaan Diri Sendiri dalam Doa-doa Kita


Kamis, 04 Juni 2020
Bacaan Alkitab: Lukas 18:9-14
Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini. (Luk 18:13)


Meratapi Keadaan Diri Sendiri dalam Doa-doa Kita


Bacaan perikop kita pada hari ini sebenarnya memiliki makna agar orang percaya tidak menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain (ay. 9). Tentu konteks aslinya sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat dan para imam di zaman itu. Dalam pelayanan-Nya, Tuhan Yesus sering sekali mendapatkan pertentangan dari kelompok-kelompok ini. Mereka tidak segan memata-matai Tuhan Yesus, mencoba menjebak Tuhan Yesus dengan pertanyaan yang sulit. Dan pada akhirnya mereka berusaha menangkap dan membunuh Tuhan Yesus karena apa yang Tuhan Yesus ajarkan benar-benar “mengganggu” sistem keagamaan orang Yahudi yang sudah berjalan turun-temurun.

Orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat dan para imam pada umumnya merasa diri mereka lebih dari orang lain, karena pemahaman akan hukum Taurat yang mereka pahami. Mereka sangat pandai bersoal jawab mengenai hukum Taurat. Mereka berusaha menjalankan hukum Taurat dengan seketat-ketatnya, hingga melupakan esensi hukum Taurat yang sebenarnya, yaitu kasih. Secara singkat, perumpamaan yang disampaikan Tuhan Yesus itu menunjukkan adanya dua orang yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa: seorang Farisi dan seorang pemungut cukai (ay. 10). Orang Farisi itu berdoa dalam hatinya dan mengucap syukur atas keadaannya, bahkan atas kemampuannya untuk melakukan hukum Taurat (ay. 11-12). Tetapi pemungut cukai tersebut berdiri jauh-jauh dan memukul dirinya serta meratapi dan menangisi keberdosaannya atau keberadaan dirinya yang masih hidup dalam dosa (ay. 13). Sangat mungkin bahwa dosa yang disebutkan di ayat ini adalah dosa karena ia menjadi seorang pemungut cukai, seorang yang bekerja bagi pemerintah (atau bisa disebut sebagai penjajah) bangsa Romawi. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang dipandang memalukan (khususnya bagi orang Farisi) karena mereka dianggap sedang “melacurkan diri” kepada pemerintah yang berasal dari bangsa kafir.

Akan tetapi, dalam renungan hari ini saya akan mencoba membahas ayat ini dari sudut pandang yang agak sedikit berbeda, yaitu dari sudut pandang si pemungut cukai. Terkait dengan hal itu, saya tidak meragukan bahwa orang Kristen pasti cukup sering berdoa. Katakanlah berdoa ketika bangun tidur, sebelum makan (3x sehari) dan sebelum tidur. Minimal kita berdoa 5 kali setiap hari. Tetapi mari kita persoalkan, apakah isi doa kita sudah sesuai dengan kehendak Allah?

Tentu tidak salah ketika kita mengucap syukur dalam doa kita. Hal itu adalah sesuatu yang bagus sekali. Tetapi perhatikan bahwa terkadang kita perlu melihat diri kita sendiri ketika kita berdoa. Pernahkah kita jujur berkata kepada Tuhan dalam jam-jam doa pribadi kita, bahwa kita sebenarnya adalah pribadi yang tidak baik, dengan karakter yang buruk, kondisi yang masih duniawi, masih terikat dengan segala nafsu dan percintaan dunia? Sesungguhnya kita adalah makhluk yang pantas untuk dibinasakan karena kodrat kita masih terikat dalam kodrat dosa. Jika kita mau jujur, dari pagi hari kita bangun tidur hingga malam hari, sangatlah banyak ucapan-ucapan kita yang tidak sepatutnya keluar dari mulut kita, atau bahkan tindakan-tindakan kita yang tidak menjadi berkat bagi orang lain.

Sesungguhnya keadaan kita sangat buruk karena masih sering jatuh dalam dosa. Dosa di sini tidak hanya pelanggaran moral secara umum (mencuri, membunuh, berzinah), tetapi juga kemelesetan yang kita lakukan, keputusan yang tidak tepat yang kita pilih, dan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Namun demikian, terkadang kita lupa bahwa kita perlu mengakui keberadaan diri kita yang masih penuh dosa di hadapan Tuhan ketika kita datang menghadap. Tentu kita pun perlu meminta ampun atas dosa-dosa kita dan mengucapkan komitmen untuk mau berubah di hadapan Tuhan.

Sayangnya kita sering kali diajarkan bahwa doa adalah kesempatan kita untuk meminta kepada Tuhan. Jika perlu kita harus meminta sebanyak-banyaknya karena Tuhan itu baik dan pasti akan mengabulkan. Sikap ini adalah sikap yang salah karena tidak menghormati Tuhan secara pantas, bahkan seakan-akan Tuhan dianggap sebagai jin botol yang harus mengabulkan setiap permintaan kita. Seringkali juga ketika kita mengucap syukur, muncul kesombongan yang muncul dalam diri kita, seperti yang dilakukan oleh orang Farisi dalam perumpamaan ini. Seringkali kita membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain, atau bahkan tanpa rasa malu menyebut nama orang lain dalam doa kita, tetapi bukan untuk mendoakannya dengan tulus, tetapi untuk menunjukkan kesalahan orang itu di hadapan Tuhan dan bahkan meminta Tuhan untuk menghukum kesalahannya.

Perhatikan apa yang dilakukan oleh si pemungut cukai. Ia menangisi dirinya sendiri. Ia meratapi keadaan dirinya. Ia memukuli dirinya sendiri. Ia tidak berani menengadah ke langit. Ia berdiri jauh-jauh dari orang lain, karena ia melihat kondisi dirinya yang penuh dosa (tentu dosa yang dipahami pada waktu itu adalah pelanggaran terhadap hukum Taurat). Ia memohon belas kasihan atas dirinya karena keadaanya yang berdosa di hadapan Allah (ay. 13). Ucapan doanya singkat, hanya sepertiga ayat (bandingkan dengan ucapan doa orang Farisi yang ditulis dalam dua ayat), yaitu: “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini”

Apa yang kemudian terjadi? Tuhan Yesus menyatakan dengan jelas bahwa si pemungut cukai pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan oleh Allah, sementara orang Farisi itu tidak (ay. 14a). Lho, mengapa demikian? Bukankah jelas-jelas pemungut cukai adalah pekerjaan yang dipandang hina oleh orang Yahudi (dan mungkin ada fatwa-fatwa atau dalil-dalil pada waktu itu yang menyatakan bahwa pekerjaan pemungut cukai adalah haram)? Dengan kata lain, doa pemungut cukai itu didengar dan dijawab oleh Allah. Mengapa bisa demikian?

Dalam doa pemungut cukai, ada suatu kejujuran dalam dirinya di hadapan Allah. Pemungut cukai itu tidak memiliki pengalaman teologi sedalam teologi yang dimiliki oleh orang Farisi. Pemungut cukai itu mungkin tidak pandai mengucapkan untaian kata-kata indah dalam doanya. Isi doanya singkat, padat, dan jelas. Tetapi itulah ucapan yang jujur dari si pemungut cukai, yang keluar dari dalam hatinya dengan tulus. Ia tidak berlaku munafik. Ia tidak sibuk mempersoalkan orang lain (bandingkan dengan orang Farisi yang membandingkan keadaan dirinya dengan si pemungut cukai itu ketika ia berdoa). Ia hanya sibuk mempersoalkan keadaan dirinya sendiri. Ia meratapi dirinya sendiri dan berdoa memohon belas kasihan Allah, memohon pengampunan Allah, dan memohon agar ia dapat tetap dalam kasih Allah. Mungkin ia tidak dapat keluar dari pekerjaannya karena satu dan lain hal, sehingga hanya ini yang ia dapat lakukan: meratapi keadaannya sendiri.

Sikap inilah yang perlu kita mulai untuk kita terapkan dalam jam-jam doa kita (bukan hanya waktu doa yang hanya sebentar sebelum kita makan). Kita perlu memiliki jam doa khusus dimana kita duduk diam di kaki Tuhan, menginstropeksi diri kita, melihat kehidupan kita, dan meratapi keberdosaan kita. Di sini diperlukan sikap rendah hati dan kejujuran dalam melihat dan menilai diri kita sendiri. Kecenderungan manusia adalah mudah menilai orang lain tetapi sangat sulit untuk menilai diri kita sendiri (Luk 6:41-42). Itulah sebabnya, lebih mudah bagi kita untuk menjadi tinggi hati dan sombong (apalagi jika kita sudah memiliki jabatan dalam gereja atau persekutuan).

Sebenarnya, meratapi diri kita sendiri dalam jam-jam doa kita memiliki dampak yang positif. Pertama, kita akan belajar untuk jujur dan terbuka kepada Tuhan dalam doa kita. Kita akan terlatih untuk tidak menjadi orang-orang yang munafik, tetapi kita dapat berkata dengan jujur kepada Tuhan: “Ujilah aku Tuhan, selidikilah batinku dan hatiku” (Mzm 26:2). Kedua, kita tidak akan memiliki waktu untuk sibuk mengurusi kehidupan orang lain, karena kita akan lebih sibuk memperkarakan dan mengurusi kehidupan kita di hadapan Tuhan, yaitu keberadaan kita yang penuh dosa. Ketiga, kita akan mulai peka akan hal-hal yang tidak menyukakan hati Tuhan. Kita akan mulai dapat membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, karena kita tekun memperkarakan setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil. Keempat, jika kita sudah terbiasa menggelar “penghakiman” atas hidup kita di hadapan Tuhan dengan jujur, maka sesungguhnya kita sedang mempersiapkan diri menghadap tahta penghakiman Tuhan pada akhir zaman nanti. Sikap orang yang mau meratapi diri sendiri adalah sikap yang rendah hati, dan Tuhan Yesus dengan jelas menyatakan bahwa orang yang merendahkan diri, akan ditinggikan oleh Tuhan, tetapi orang yang meninggikan diri (atau tidak mau merendahkan diri), suatu saat nanti akan direndahkan (ay. 14b). Mana yang kita pilih?


Bacaan Alkitab: Lukas 18:9-14
18:9 Dan kepada beberapa orang yang menganggap dirinya benar dan memandang rendah semua orang lain, Yesus mengatakan perumpamaan ini:
18:10 "Ada dua orang pergi ke Bait Allah untuk berdoa; yang seorang adalah Farisi dan yang lain pemungut cukai.
18:11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini;
18:12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.
18:13 Tetapi pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul diri dan berkata: Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.
18:14 Aku berkata kepadamu: Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain itu tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.