Kamis, 18
Juni 2020
Bacaan Alkitab: Yeremia 18:1-4
Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu,
rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain
menurut apa yang baik pada pemandangannya. (Yer 18:4)
Menyadari Posisi Kita sebagai Tanah Liat di Tangan
Penjunan
Sudah sangat
sering kita sebagai orang Kristen mendengar khotbah atau membaca renungan
mengenai tanah liat dan penjunan. Kita juga tentu sudah banyak menyanyikan lagu
rohani mengenai hal ini. Akan tetapi, banyak di antara kita yang belum mengerti
makna dari ayat-ayat ini secara proporsional. Saya sendiri sudah bertahun-tahun
bahkan berpuluh-puluh tahun memahami ayat ini secara kurang tepat.
Tentu
sebagai orang yang lahir di keluarga Kristen, saya sudah mendengar ayat ini
sejak kecil. Yang saya pahami, Tuhan itu ibarat seorang pembuat periuk yang
sedang mengerjakan tanah liat. Saya memahami bahwa kita adalah tanah liat di
tangan Tuhan. Oleh karena itu, sejak kecil saya memahami bahwa Tuhan adalah
Tuhan yang baik, sehingga setiap ada masalah yang saya hadapi, saya selalu
berkata bahwa Tuhan mengetahui rencana yang baik dalam hidup saya, dan pasti
nanti Tuhan memberikan jalan keluar. Ayat yang seringkali saya ucapkan pada
saat saya menghadapi masalah (baik itu masalah karena kesalahan saya sendiri
ataupun karena penyebab lainnya) adalah “Sebab Aku ini mengetahui
rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman
TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk
memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan” (Yer 29:11).
Namun
ternyata selama ini saya memahami hubungan antara tanah liat dan penjunan masih
kurang tepat. Dalam konteks ayat yang sering dikutip oleh para pembicara dan pengkhotbah
ini, kita melihat bagaimana Tuhan berfirman kepada Yeremia untuk pergi ke
tempat tukang periuk yang sedang bekerja (Yer 18:1-3). Di sana ia melihat
tukang periuk yang mengerjakan tanah liat di tangannya. Jika tanah liat yang
sedang diproses itu rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menurut
apa yang baik pada pemandangannya (ay.4).
Sampai
disini kita mungkin sudah merasa paham mengenai maksud ayat ini. Tetapi saya
hendak menunjukkan dua kutub ekstrem terkait pemahaman ayat ini. Kutub pertama
berpendapat bahwa Tuhan itu baik, jadi kita cukup diam saja menunggu
pembentukan Tuhan (kelompok pasif). Kelompok ini sering menggunakan lagu-lagu
semacam “Aku berserah” tanpa memahami konteks lirik lagu itu. Yang dipikirkan
oleh mereka adalah setiap orang Kristen cukup diam tanpa bertindak dan menunggu
Tuhan melakukan bagian-Nya.
Saya
tidak mengatakan bahwa jika kita diam maka kita salah. Tetapi di satu sisi ada bagian
yang harus kita lakukan. Kelompok ini cenderung berkata bahwa kita sudah
diselamatkan oleh kasih karunia, sehingga kita tidak perlu berbuat apa-apa.
Dalam kondisi ekstrem, mereka yang ada di kutub ini tidak akan merasa perlu
berbuat baik karena berpikir mereka sudah percaya kepada Tuhan. Mereka masih
suka hidup dalam dosa, misalnya: masih suka berjudi, mabuk, berkata kasar, dan
lain sebagainya. Tetapi dalam pikiran mereka, yang penting mereka sudah merasa
selamat, dan nanti Tuhan pasti membawa mereka ke surga.
Sementara
kutub kedua berpendapat bahwa yang penting kita bekerja keras (kelompok aktif).
Jika nanti Tuhan tidak suka pasti nanti Tuhan akan menghambat jalan kita, sehingga
kita nanti akan diarahkan pada jalan yang benar. Kelompok ini dalam kondisi
ekstrem sering melupakan Tuhan. Mereka baru mengingat Tuhan kalau ada masalah
berat yang dihadapi. Kalau tidak, mereka melupakan Tuhan. Atau ketika mereka
sudah menyelesaikan masalah, mereka sudah melupakan Tuhan kembali.
Yang saya
pahami, kita jangan sampai terjebak dalam ekstremitas kedua kutub tersebut. Kita
tidak boleh terlalu pasif atau terlalu aktif namun melupakan Tuhan. Yang benar
adalah kita harus seperti tanah liat di tangan penjunan. Kita harus berusaha
mencari tahu panggilan kita, yaitu apa maksud Sang Penjunan dalam diri kita. Seorang
penjunan atau tukang periuk yang baik pasti tidak sembarangan mengambil tanah
liat dan membentuk tanpa maksud. Ketika seorang penjunan sudah mengambil tanah
liat untuk dibentuk, ia pasti sudah memiliki pandangan akan apa yang hendak ia
buat (ay. 4).
Bayangkan
jika tanah liat adalah tanah liat yang pasif, ia tentu tidak akan mempersoalkan
hendak dijadikan apa dirinya. Ia hanya bersikap pasif, mungkin seperti tanah
liat yang lembek, yang setiap kali mau dibentuk tetapi selalu gagal karena terlalu
pasif. Pada akhirnya orang-orang seperti ini tidak akan mampu dibentuk hingga
menjadi apa yang dikehendaki oleh sang penjunan. Sikap ini sebenarnya bukan sikap
yang tepat terhadap sang penjunan.
Jika
tanah liat adalah tanah liat yang terlalu aktif, maka tanah liat itu biasanya
mempunyai pandangan bahwa ia harus menjadi suatu bentuk tertentu. Ia tidak mau
mempersoalkan apa kehendak sang penjunan atas dirinya. Ia sudah memiliki pola
pikir yang terbentuk sejak awal dan sulit diubah. Jika tanah liat itu sudah
terlalu keras, ia tidak akan dapat menerima pembentukan dari sang penjunan.
Hingga akhirnya, bisa jadi bentuk dirinya tidak akan sama dengan apa yang
diinginkan sang penjunan.
Yang
terpenting dalam hal ini adalah bagaimana kita memiliki kelenturan di hadapan
Sang Penjunan Agung, Tuhan kita. Jika kita paham posisi kita sebagai tanah
liat, kita seharusnya mempersoalkan apa kehendak penjunan atas diri kita,
bagaimana bentuk akhir yang diinginkan sang penjunan tersebut, dan bagaimana
kita bisa memiliki kesediaan untuk dibentuk oleh sang penjunan menjadi bentuk
akhir yang diinginkan sang penjunan tersebut. Kita tidak bisa hanya pasif,
tetapi kita harus benar-benar merespon setiap proses pembentukan sang penjunan
itu.
Bayangkan
jika tanah liat tidak tahu apa bentuk yang diinginkan, atau tanah liat sudah
memiliki konsep mengenai bentuk akhirnya. Tentu ketika sang penjunan membentuk
tanah liat tersebut, respon yang dihasilkan tanah liat tidak akan tepat: bisa
terlalu lembek atau terlalu keras. Namun jika tanah liat mengerti bentuk akhir
yang diinginkan sang penjunan, yang dapat menyenangkan hati sang penjunan, maka
kita juga akan berusaha aktif mencapai bentuk itu. Jika ada proses pembentukan
yang mungkin menyakitkan, kita akan dengan cepat mengerti bahwa semua itu
dilakukan sang penjunan karena ingin membentuk kita dengan sesempurna mungkin.
Inilah
sikap yang benar, yaitu tanah liat yang mengerti kehendak penjunannya, yang juga
mau aktif berjuang untuk mencapai bentuk tersebut, tetapi mengizinkan tangan
penjunannya membentuk dirinya. Inilah sikap yang benar sebagai orang-orang
Kristen. Namun seringkali kita tidak pernah memperkarakan secara proporsional
apa kehendak Allah dalam diri kita. Dalam doa-doa yang kita ucapkan, kita
seringkali banyak meminta ini dan itu, mengingini ini dan itu, tanpa pernah
mempersoalkan apa sebenarnya yang Allah kehendaki dalam hidup kita.
Oleh
karena itu, saya mengajak kita semua mulai memperkarakan kehendak Allah dalam
diri kita masing-masing. Tentu ada maksud Allah mengapa kita lahir di negara ini,
dari suku ini, dari keluarga ini, atau lahir di waktu ini. Mengapa Allah
membuat kita lahir sebagai pria atau wanita, mengapa kita memiliki karakter
seperti ini, bakat dan talenta seperti ini, bahkan memiliki kelemahan-kelemahan
seperti ini. Semua tentu ada maksud Allah dalam hidup kita. Dan kita harus
menemukan posisi kita yang unik dan special dalam pekerjaan-Nya, yang tidak
mungkin bisa digantikan oleh orang lain. Kita harus menemukan maksud Allah yang
khusus dalam diri kita, yang harus kita kerjakan dan kita selesaikan.
Seharusnya kita paham bahwa tujuan akhir hidup kita bukanlah di dunia ini,
tetapi dalam kerajaan-Nya yang kekal: di langit yang baru dan bumi yang baru
(Why 21-22). Jadi proses akhir dari pembentukan Sang Penjunan Agung itu
bukanlah di dunia ini. Waktu hidup kita adalah waktu dimana Sang Penjunan Agung
masih memproses kita. Jika waktu kita sudah habis, maka hanya ada dua kemungkinan:
1) Kita sudah mencapai bentuk yang diinginkan oleh Sang Penjunan, dan kita akan
menjadi perabot bagi-Nya dalam kekekalan (2 Tim 2:20-21); atau 2) Kita tidak
mencapai bentuk yang Allah kehendaki, sehingga kita harus dibuang dari
hadapan-Nya dan ditolak masuk ke dalam kerajaan-Nya (Mat 7:21-23). Oleh sebab
itu, hendaknya kita senantiasa belajar dari teladan Tuhan Yesus yang telah
menyelesaikan tugas-Nya selama menjadi manusia. Kita harus dapat berkata di
akhir hidup kita bahwa kita telah melakukan kehendak Allah dan menyelesaikan
pekerjaan yang dikehendak-Nya dalam hidup kita (Yoh 4:34).
Bacaan Alkitab: Yeremia 18:1-4
18:1 Firman yang datang dari TUHAN kepada Yeremia, bunyinya:
18:2 "Pergilah dengan segera ke rumah tukang periuk! Di sana Aku akan
memperdengarkan perkataan-perkataan-Ku kepadamu."
18:3 Lalu pergilah aku ke rumah tukang periuk, dan kebetulan ia sedang
bekerja dengan pelarikan.
18:4 Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya
itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain
menurut apa yang baik pada pemandangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.