Kamis, 18 Juni 2020

Tidak Ada yang Berkekurangan, Tetapi Tidak Semua Pasti Berkelimpahan


Jumat, 19 Juni 2020
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 4:32-35
Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa (KIs 4:34)


Tidak Ada yang Berkekurangan, Tetapi Tidak Semua Pasti Berkelimpahan


Dalam gereja-gereja masa kini, sedang ada tren mengenai khotbah-khotbah yang menjanjikan hidup berkelimpahan di dalam Tuhan. Alasan yang sering dikemukakan adalah bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang sangat baik dan pasti melindungi anak-anak-Nya. Karena Tuhan baik, tentu Ia ingin agar anak-anak-Nya hidup dalam berkat-berkat-Nya secara bekelimpahan. Dalam hal ini berkat Tuhan sering hanya dipandang sebagai berkat secara materi, dalam hal ini khususnya merujuk kepada uang, kekayaan, jabatan, nama baik, kehormatan, dan lain sebagainya.

Tentu tidak ada orang yang ingin menjadi miskin. Semua orang pasti memiliki keinginan menjadi kaya, banyak harta, terhormat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu khotbah-khotbah mengenai janji kelimpahan di dalam Tuhan sangat populer dan terbukti mampu membawa banyak orang datang ke gereja. Tentu patut dipertanyakan apakah motivasi orang-orang ini datang ke gereja, apakah mencari Tuhan, ataukah lebih mencari berkat-Nya (uang dan kekayaan).

Para pengkhotbah dan pembicara yang menyampaikan khotbah-khotbah semacam ini tentu banyak menggunakan ayat-ayat mengenai berkat, kekayaan, dan kelimpahan. Seringkali ayat-ayat yang digunakan memang memuat kata-kata yang dimaksud (misal: kekayaan atau kelimpahan), tetapi ayat tersebut hanya diambil sepotong tanpa melihat konteks (baik konteks dekat maupun konteks jauh). Ayat favorit mereka misalnya Yoh 10:10, Flp 4:19, 1 Tes 3:19, dan mungkin juga ayat di perikop kita hari ini (ay. 33). Mereka hanya mengutip ayat tentang kelimpahan (bahkan mungkin hanya diambil separuh atau sebagian dari ayat tersebut dan dikhotbahkan) tanpa melihat konteksnya dengan proporsional.

Bacaan Alkitab kita hari ini berbicara tentang kehidupan jemaat mula-mula. Ini adalah kondisi jemaat beberapa saat setelah hari Pentakosta. Pada waktu itu, kehdiupan jemaat mula-mula masih seperti kehidupan orang Yahudi pada umumnya: berdoa di waktu-waktu tertentu dan jika memungkinkan beribadah di Bait Allah. Namun tentu ada ciri-ciri khusus yang membedakan jemaat mula-mula dengan orang Yahudi lain, khususnya karena jemaat mula-mula memiliki kasih yang sangat kuat. Dikatakan bahwa mereka sehati dan sejiwa, bahkan segala sesuatu adalah kepunyaan bersama (ay. 32). Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang Yahudi pada waktu itu (khususnya Ahli Taurat dan orang Farisi) yang cenderung pelit, egois, dan tidak mau berbagi.

Jelas bahwa jemaat mula-mula pasti nampak berbeda dari kebanyakan orang lain pada waktu itu. Para rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus, sebagai bukti bahwa Yesus memang adalah Mesias yang dijanjikan Allah kepada mereka (ay. 33a). Dalam hal ini mereka hidup dalam kasih karunia yang berlimpah-limpah (ay. 33b). Ayat 33b inilah yang sering dikutip oleh para pembicara yang saya maksud di awal renungan ini. Mereka mengatakan bahwa jemaat mula-mula adalah contoh yang baik, dan bahkan ada banyak khotbah yang mengatakan supaya kita kembali kepada kasih yang mula-mula, atau seperti jemaat mula-mula. Mereka berkata bahwa karena kita harus kembali kepada kasih yang mula-mula, maka Tuhan akan memberikan kasih karunia dengan berlimpah-limpah.

Sayangnya, pemahaman kasih karunia ini sering dimaknai secara sempit. Kasih karunia hanya dipandang sebagai berkat jasmani, uang, harta, kekayaan, dan lain sebagainya. Intinya para pembicara ini mengatakan bahwa jika kita seperti jemaat mula-mula, maka kita akan diberkati dengan berlimpah-limpah, apalagi jika kita tidak pelit kepada Tuhan, dengan mengacu kepada ayat 32. Konsep “tidak pelit” ini pun sering dimaknai hanya tidak pelit ke gereja (tidak pelit memberikan persembahan, apalagi persembahan persepuluhan yang dapat dinikmati langsung oleh para pendeta). Ayat yang sering digunakan adalah ayat-ayat selanjutnya yang menyatakan bahwa jemaat menjual harta miliknya lalu membawanya kepada rasul-rasul (ay. 35a). Mereka memahami ini sebagai bukti bahwa jemaat harus menjual miliknya lalu membawa kepada para pendeta (yang dianggap sebagai penerus para rasul).

Padahal jika kita mau jujur, kita harus melihat konteks ayat-ayat tersebut secara benar. Memang ayat 33 berbicara mengenai kelimpahan, tetapi sebenarnya kelimpahan dalam kasih karunia, bukan hanya kelimpahan dalam berkat jasmani. Memang benar bahwa jemaat mula-mula banyak yang menjual harta miliknya lalu memberikannya kepada para rasul. Akan tetapi, uang hasil penjualan harta tersebut tidak untuk dinikmati para rasul, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya (ay. 35b). Oleh karena itu perhatikan bahwa jemaat mula-mula memiliki ciri yang khas: tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka (ay. 34).

Kalimat tidak ada yang berkekurangan di dalam jemaat bukan berarti semua jemaat hidup dalam kelimpahan. Kalimat tersebut harus dimaknai bahwa tidak ada jemaat yang sampai jatuh miskin, karena semua orang bersedia menolong jemaat yang lemah. Mereka menanggung jemaat yang berkekurangan dari jemaat-jemaat yang berkelebihan. Tidak heran bahwa prinsip persembahan dalam Alkitab bukanlah supaya ada orang lain yang berkelimpahan, tetapi supaya terdapat keseimbangan (2 Kor 8:13-14). Sebenarnya prinsip ini pun sudah ada di dalam Perjanjian Lama. Misalnya saja konsep persembahan persepuluhan tidak dimaksudkan supaya kaum Lewi menjadi kaya (lebih kaya dari suku-suku lainnya), tetapi supaya ada keseimbangan, sehingga 11 suku yang lain yang bisa memiliki tanah dan bercocok tanam serta berternak, juga memperhatikan suku Lewi yang tidak memiliki tanah (tidak bisa bercocok tanam dan berternak).

Sayangnya, prinsip keseimbangan ini sering diabaikan di gereja-gereja masa kini. Para pendeta sibuk mengkhotbahkan tentang kelimpahan jasmani, dengan syarat jemaat harus rajin memberi persembahan kepada gereja. Seringkali pendeta sibuk memperkaya diri sendiri, tetapi ketika jemaat ada yang kesulitan, mereka seperti menutup mata. Saya pernah mendengar dari salah seorang Kristen yang datang ke pendetanya/gembala sidangnya dan berkata bahwa ada jemaat lain yang kesusahan, dan bahkan memiliki hutang yang cukup besar hingga dikejar-kejar oleh debt collector. Akan tetapi pendetanya tidak mau membantu dan berkata bahwa harusnya jemaatlah yang harus membantu. Memang benar bahwa jemaat harus saling membantu satu sama lain. Tetapi jika demikian, apakah guna gereja? Apakah guna kolekte, kantong persembahan, dan kas gereja yang berjumlah banyak? Kalaupun memang gereja tidak bisa membantu semua jemaatnya, paling tidak seharusnya ada kontribusi dari pemimpin gereja untuk membantu sebagian dari kebutuhan jemaat yang berkekurangan tersebut.

Tentu kita harus membuka mata bahwa terkadang ada orang-orang yang memanfaatkan dana sosial seperti ini. Oleh karena itulah pengelolaan keuangan gereja harus diserahkan kepada mereka yang memang berkompeten, berkualitas, dan berintegritas. Akan tetapi seharusnya prinsip ini sudah jelas: bahwa sebisa mungkin jangan sampai ada jemaat yang berkekurangan. Khotbah-khotbah di atas mimbar gereja seharusnya tidak lagi menekankan mengenai janji-janji bahwa jemaat akan hidup dalam kelimpahan, tetapi harus mendorong agar tidak ada lagi jemaat yang hidup berkekurangan. Mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit harus dibantu agar dapat melewatinya. Mereka yang salah mengambil keputusan khususnya terkait keuangan (misal: berhutang kepada rentenir) juga harus dibantu agar tidak lagi jatuh ke dalam kesalahan yang sama. Jika mungkin, gereja harus memberdayakan jemaatnya supaya bisa mandiri secara finansial. Namun pada kenyataannya, seringkali gereja justru “memperdaya” jemaatnya supaya memberi lebih banyak kepada pihak-pihak tertentu, sehingga jurang antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin malah semakin lebar.



Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 4:32-35
4:32 Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.
4:33 Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah.
4:34 Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa
4:35 dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.