Jumat, 19
Juni 2020
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 4:32-35
Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena
semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan
hasil penjualan itu mereka bawa (KIs 4:34)
Tidak Ada yang Berkekurangan, Tetapi Tidak Semua
Pasti Berkelimpahan
Dalam
gereja-gereja masa kini, sedang ada tren mengenai khotbah-khotbah yang
menjanjikan hidup berkelimpahan di dalam Tuhan. Alasan yang sering dikemukakan
adalah bahwa Tuhan itu adalah Tuhan yang sangat baik dan pasti melindungi anak-anak-Nya.
Karena Tuhan baik, tentu Ia ingin agar anak-anak-Nya hidup dalam berkat-berkat-Nya
secara bekelimpahan. Dalam hal ini berkat Tuhan sering hanya dipandang sebagai
berkat secara materi, dalam hal ini khususnya merujuk kepada uang, kekayaan,
jabatan, nama baik, kehormatan, dan lain sebagainya.
Tentu
tidak ada orang yang ingin menjadi miskin. Semua orang pasti memiliki keinginan
menjadi kaya, banyak harta, terhormat, dan lain sebagainya. Oleh karena itu khotbah-khotbah
mengenai janji kelimpahan di dalam Tuhan sangat populer dan terbukti mampu
membawa banyak orang datang ke gereja. Tentu patut dipertanyakan apakah
motivasi orang-orang ini datang ke gereja, apakah mencari Tuhan, ataukah lebih
mencari berkat-Nya (uang dan kekayaan).
Para pengkhotbah
dan pembicara yang menyampaikan khotbah-khotbah semacam ini tentu banyak
menggunakan ayat-ayat mengenai berkat, kekayaan, dan kelimpahan. Seringkali ayat-ayat
yang digunakan memang memuat kata-kata yang dimaksud (misal: kekayaan atau kelimpahan),
tetapi ayat tersebut hanya diambil sepotong tanpa melihat konteks (baik konteks
dekat maupun konteks jauh). Ayat favorit mereka misalnya Yoh 10:10, Flp 4:19, 1
Tes 3:19, dan mungkin juga ayat di perikop kita hari ini (ay. 33). Mereka hanya
mengutip ayat tentang kelimpahan (bahkan mungkin hanya diambil separuh atau sebagian
dari ayat tersebut dan dikhotbahkan) tanpa melihat konteksnya dengan
proporsional.
Bacaan
Alkitab kita hari ini berbicara tentang kehidupan jemaat mula-mula. Ini adalah
kondisi jemaat beberapa saat setelah hari Pentakosta. Pada waktu itu, kehdiupan
jemaat mula-mula masih seperti kehidupan orang Yahudi pada umumnya: berdoa di
waktu-waktu tertentu dan jika memungkinkan beribadah di Bait Allah. Namun tentu
ada ciri-ciri khusus yang membedakan jemaat mula-mula dengan orang Yahudi lain,
khususnya karena jemaat mula-mula memiliki kasih yang sangat kuat. Dikatakan bahwa
mereka sehati dan sejiwa, bahkan segala sesuatu adalah kepunyaan bersama (ay. 32).
Hal ini tentu sangat berbeda dengan kebanyakan orang Yahudi pada waktu itu
(khususnya Ahli Taurat dan orang Farisi) yang cenderung pelit, egois, dan tidak
mau berbagi.
Jelas bahwa
jemaat mula-mula pasti nampak berbeda dari kebanyakan orang lain pada waktu
itu. Para rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus, sebagai bukti
bahwa Yesus memang adalah Mesias yang dijanjikan Allah kepada mereka (ay. 33a).
Dalam hal ini mereka hidup dalam kasih karunia yang berlimpah-limpah (ay. 33b).
Ayat 33b inilah yang sering dikutip oleh para pembicara yang saya maksud di
awal renungan ini. Mereka mengatakan bahwa jemaat mula-mula adalah contoh yang
baik, dan bahkan ada banyak khotbah yang mengatakan supaya kita kembali kepada
kasih yang mula-mula, atau seperti jemaat mula-mula. Mereka berkata bahwa karena
kita harus kembali kepada kasih yang mula-mula, maka Tuhan akan memberikan
kasih karunia dengan berlimpah-limpah.
Sayangnya,
pemahaman kasih karunia ini sering dimaknai secara sempit. Kasih karunia hanya
dipandang sebagai berkat jasmani, uang, harta, kekayaan, dan lain sebagainya. Intinya
para pembicara ini mengatakan bahwa jika kita seperti jemaat mula-mula, maka
kita akan diberkati dengan berlimpah-limpah, apalagi jika kita tidak pelit
kepada Tuhan, dengan mengacu kepada ayat 32. Konsep “tidak pelit” ini pun
sering dimaknai hanya tidak pelit ke gereja (tidak pelit memberikan
persembahan, apalagi persembahan persepuluhan yang dapat dinikmati langsung oleh
para pendeta). Ayat yang sering digunakan adalah ayat-ayat selanjutnya yang
menyatakan bahwa jemaat menjual harta miliknya lalu membawanya kepada
rasul-rasul (ay. 35a). Mereka memahami ini sebagai bukti bahwa jemaat harus
menjual miliknya lalu membawa kepada para pendeta (yang dianggap sebagai
penerus para rasul).
Padahal
jika kita mau jujur, kita harus melihat konteks ayat-ayat tersebut secara
benar. Memang ayat 33 berbicara mengenai kelimpahan, tetapi sebenarnya
kelimpahan dalam kasih karunia, bukan hanya kelimpahan dalam berkat jasmani.
Memang benar bahwa jemaat mula-mula banyak yang menjual harta miliknya lalu
memberikannya kepada para rasul. Akan tetapi, uang hasil penjualan harta
tersebut tidak untuk dinikmati para rasul, melainkan untuk dibagi-bagikan kepada
setiap orang sesuai dengan keperluannya (ay. 35b). Oleh karena itu perhatikan bahwa
jemaat mula-mula memiliki ciri yang khas: tidak ada seorang pun yang berkekurangan
di antara mereka (ay. 34).
Kalimat
tidak ada yang berkekurangan di dalam jemaat bukan berarti semua jemaat hidup
dalam kelimpahan. Kalimat tersebut harus dimaknai bahwa tidak ada jemaat yang sampai
jatuh miskin, karena semua orang bersedia menolong jemaat yang lemah. Mereka
menanggung jemaat yang berkekurangan dari jemaat-jemaat yang berkelebihan.
Tidak heran bahwa prinsip persembahan dalam Alkitab bukanlah supaya ada orang
lain yang berkelimpahan, tetapi supaya terdapat keseimbangan (2 Kor 8:13-14).
Sebenarnya prinsip ini pun sudah ada di dalam Perjanjian Lama. Misalnya saja konsep
persembahan persepuluhan tidak dimaksudkan supaya kaum Lewi menjadi kaya (lebih
kaya dari suku-suku lainnya), tetapi supaya ada keseimbangan, sehingga 11 suku
yang lain yang bisa memiliki tanah dan bercocok tanam serta berternak, juga
memperhatikan suku Lewi yang tidak memiliki tanah (tidak bisa bercocok tanam
dan berternak).
Sayangnya,
prinsip keseimbangan ini sering diabaikan di gereja-gereja masa kini. Para
pendeta sibuk mengkhotbahkan tentang kelimpahan jasmani, dengan syarat jemaat
harus rajin memberi persembahan kepada gereja. Seringkali pendeta sibuk
memperkaya diri sendiri, tetapi ketika jemaat ada yang kesulitan, mereka
seperti menutup mata. Saya pernah mendengar dari salah seorang Kristen yang
datang ke pendetanya/gembala sidangnya dan berkata bahwa ada jemaat lain yang
kesusahan, dan bahkan memiliki hutang yang cukup besar hingga dikejar-kejar
oleh debt collector. Akan tetapi pendetanya tidak mau membantu dan
berkata bahwa harusnya jemaatlah yang harus membantu. Memang benar bahwa jemaat
harus saling membantu satu sama lain. Tetapi jika demikian, apakah guna gereja?
Apakah guna kolekte, kantong persembahan, dan kas gereja yang berjumlah banyak?
Kalaupun memang gereja tidak bisa membantu semua jemaatnya, paling tidak seharusnya
ada kontribusi dari pemimpin gereja untuk membantu sebagian dari kebutuhan
jemaat yang berkekurangan tersebut.
Tentu kita
harus membuka mata bahwa terkadang ada orang-orang yang memanfaatkan dana
sosial seperti ini. Oleh karena itulah pengelolaan keuangan gereja harus
diserahkan kepada mereka yang memang berkompeten, berkualitas, dan
berintegritas. Akan tetapi seharusnya prinsip ini sudah jelas: bahwa sebisa
mungkin jangan sampai ada jemaat yang berkekurangan. Khotbah-khotbah di atas
mimbar gereja seharusnya tidak lagi menekankan mengenai janji-janji bahwa
jemaat akan hidup dalam kelimpahan, tetapi harus mendorong agar tidak ada lagi
jemaat yang hidup berkekurangan. Mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit
harus dibantu agar dapat melewatinya. Mereka yang salah mengambil keputusan
khususnya terkait keuangan (misal: berhutang kepada rentenir) juga harus
dibantu agar tidak lagi jatuh ke dalam kesalahan yang sama. Jika mungkin,
gereja harus memberdayakan jemaatnya supaya bisa mandiri secara finansial.
Namun pada kenyataannya, seringkali gereja justru “memperdaya” jemaatnya supaya
memberi lebih banyak kepada pihak-pihak tertentu, sehingga jurang antara mereka
yang kaya dan mereka yang miskin malah semakin lebar.
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 4:32-35
4:32 Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan
sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya
adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama.
4:33 Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang
kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang
melimpah-limpah.
4:34 Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka;
karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu,
dan hasil penjualan itu mereka bawa
4:35 dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan
kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.