Rabu, 10 Juni 2020

Lebih Taat kepada Allah daripada kepada Manusia


Selasa, 09 Juni 2020
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 5:26-29
Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. (Kis 5:29)


Lebih Taat kepada Allah daripada kepada Manusia


Bagian bacaan Alkitab kita pada hari ini berbicara mengenai bagaimana Petrus dan Yohanes yang ditangkap dan kemudian dibawa untuk menghadap Mahkamah Agama Yahudi (ay. 26-27a). Kita tentu perlu mengetahui latar belakang peristiwa ini, yaitu ketika Petrus dan Yohanes menyembuhkan seorang yang lumpuh kakinya, dan kemudian memberitakan Yesus Kristus kepada orang banyak yang terheran-heran kepadanya (Kis 3:1-26). Sebelum peristiwa di ayat 26-29 ini, kita juga dapat melihat bahwa setelah peristiwa penyembuhan orang lumpuh tersebut, Petrus dan Yohanes sudah ditangkap dan dibawa kepada suatu sidang dimana terdapat Imam Besar dan ahli-ahli Taurat, dan mereka diperingatkan untuk tidak memberitakan nama Yesus di Bait Allah (Kis 4:5-22).

Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa konteks keadaan pada waktu peristiwa ini ditulis adalah ketika jemaat masih sangat awal, bahkan sangat mula-mula. Pada waktu itu, para pengikut Kristus masih dianggap sebagai salah satu mazhab atau sekte dalam agama Yahudi (Kis 24:5 & 14, Kis 28:22). Tidak mengherankan karena Yesus sendiri dipandang sebagai seorang guru atau rabi, bahkan yang menyebutkan ini tidak hanya rakyat biasa tetapi juga Nikodemus, seorang pengajar Yahudi yang sangat dihormati (Yoh 3:2). Posisi kekristenan pada saat itu sebagai suatu mazhab dalam Yudaisme dapat dipahami karena pada waktu itu, para rasul masih mengadakan pertemuan di Bait Allah, bahkan masih bersembahyang di Bait Allah (Kis 2:46, 3:1).

Suatu agama pada umumnya (seperti agama Yahudi) setidaknya memiliki tiga ciri utama: 1) adanya liturgi, seremonial, atau upacara agama; 2) adanya penokohan orang-orang tertentu dan dominasi tokoh tersebut dalam ibadah; serta 3) adanya hukum dan syariat tertulis yang mengatur kehidupan umat beragama. Dalam hal ini, kekristenan pada masa awal-awal masih memiliki ciri-ciri seperti ini. Petrus dan Yohanes masih datang ke Bait Allah pada waktu sembahyang (Kis 3:1). Jemaat mula-mula juga dikatakan berkumpul setiap hari di dalam Bait Allah, yang kemungkinan besar adalah untuk bersembahyang sesuai adat dan tradisi agama Yahudi (Kis 2:46). Jemaat mula-mula juga masih terbatas memberitakan Injil kepada orang Yahudi, dan baru berani mendobrak tradisi ketika Petrus bertemu Kornelius. Hal ini berarti saat itu, para rasul pun masih memposisikan diri mereka sendiri sebagai bagian dari agama Yahudi, hanya saja mereka mengikuti ajaran Tuhan Yesus.

Dengan memahami kondisi dan latar belakang ini maka kita akan dapat mengerti posisi Petrus dan Yohanes pada waktu itu. Mereka dihadapkan kepada Imam Besar, yaitu pemimpin tertinggi agama Yahudi (ay. 27b). Ingat bahwa pada waktu itu, pengikut Yesus masih dipandang sebagai bagian dari agama Yahudi. Oleh karena itu, sebenarnya Petrus dan Yohanes sedang berhadapan dengan pemimpin agama mereka secara de jure. Imam Besar kemudian mengulangi keputusan yang telah mereka ambil dalam pertemuan sebelumnya, yaitu melarang para rasul mengajar dalam nama Yesus, akan tetapi ternyata para rasul tetap memberitakan kematian dan kebangkitan Yesus (ay. 28). Dengan bahasa lain, Imam Besar hendak menyatakan bahwa, ia adalah Imam Besar, pemimpin tertinggi agama Yahudi yang mewakili Allah, dan seharusnya para rasul juga taat dan tunduk kepada keputusannya. Akan tetapi, Petrus dan Yohanes menjawab: “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (ay. 29). Apa artinya ini?

Hal tersebut sebenarnya merujuk pada mulainya pemisahan Kekristenan dari agama Yahudi. Kekristenan adalah jalan hidup, yaitu hidup dengan ketaatan mutlak kepada Allah. Oleh karena itu, jika ada suatu benturan antara apa yang Allah inginkan dan apa yang manusia inginkan, seharusnya orang Kristen berani dengan tegas berkata: “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia”. Dalam hal ini, para rasul seakan-akan berani menantang para pemimpin dan tokoh agama tersebut: “Kami ada di pihak Allah karena kami mengikuti Allah. Di pihak manakah kamu berada?”. Tentu kalimat ini bukanlah hanya kalimat kosong, melainkan kalimat yang memiliki konsekuensi yang sangat besar. Dengan mengucapkan kalimat tersebut, mereka seakan-akan menaruh leher mereka di bawah pedang, karena pastilah mereka juga akan mendapat ancaman aniaya bahkan pembunuhan (Kis 5:33).

Prinsip ini yang seharusnya juga dimiliki oleh orang percaya di zaman ini. Kita dapat melihat bagaimana orang-orang Kristen setelah peristiwa ini mengalami aniaya hebat dari bangsa Yahudi (karena dianggap menghujat Allah) dan dari bangsa Romawi (karena dianggap sebagai penjahat dan pemberontak negara). Mereka dikejar-kejar, ditangkap, dianiaya, bahkan dibunuh dengan cara yang keji. Mereka tentu tidak dapat lagi memiliki liturgi atau cara ibadah seperti agama lain. Mereka bahkan harus beribadah di rumah-rumah, bahkan di dalam kuburan-kuburan batu dengan sembunyi-sembunyi. Mereka tidak memiliki struktur organisasi yang jelas (seperti di agama Yahudi yang memiliki Imam Besar, imam lainnya, ahli Taurat, dan lain sebagainya) karena para pemimpinnya pun banyak yang ditangkapi. Mereka juga tidak memiliki hukum atau syariat, seperti tata cara berpakaian, tata cara beribadah, dan lain sebagainya karena kondisi tidak memungkinkan. Sesungguhnya, dalam aniaya inilah kekristenan benar-benar berbeda dengan agama pada umumnya dan menjadi jalan hidup yang tidak terikat dengan liturgi/seremonial agama, hukum/syariat, dan dominasi tokoh-tokoh tertentu sebagai pemimpin agama. Kekristenan menjadi suatu jalan hidup yang dituntun oleh ketaatan terhadap perintah Allah melalui Roh Kudus yang dimeteraikan di hati orang percaya.

Sebenarnya, konsep inilah yang paling ideal, yaitu dimana orang percaya harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, ketika kekristenan mulai menjadi agama di kekaisaran Romawi pada akhir abad ke-4, justru di situ kekristenan kehilangan kekuatannya. Kekristenan mulai berbentuk sebagai agama, dengan liturgi dan seremonial, hukum-hukum dan syariat-syariat yang ketat, bahkan dominasi tokoh, yang menyebabkan adanya pembedaan antara para imam dan jemaat awam. Sejarah mencatat bahwa pada abad-abad selanjutnya, ketika kekristenan sudah menjadi agama negara, justru di situlah muncul abad kegelapan selama berabad-abad. Kitab suci hanya menjadi milik para imam dan rohaniawan, sementara mereka yang tidak termasuk golongan rohaniawan hanya menjadi jemaat yang pasif dan didoktrin untuk tunduk kepada para rohaniawan tersebut. Kelompok rohaniawan memposisikan diri mereka sebagai wakil Allah dan hamba Allah yang merasa berhak mengatur orang lain yang bukan rohaniawan.

Pola keberagamaan seperti ini sempat direformasi oleh Martin Luther dan para reformis lainnya. Akan tetapi, pola ini masih sedikit banyak terbawa hingga saat ini. Gereja penuh dengan orang-orang yang merasa dirinya sebagai rohaniawan, pelayan, pendeta, dan lain sebagainya. Dalam pengalaman saya bertemu dengan banyak orang dari berbagai denominasi gereja, saya menemukan adanya gereja-gereja tertentu yang membuat sistem (atau bahkan semacam rezim) yang menunjukkan dominasi tokoh-tokoh agama ini. Misalnya saja, ada gereja dimana jemaat harus bertanya kepada pendetanya jika mau menikah, dan harus disetujui oleh pendeta tersebut. Tentu hal ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi sebenarnya pendeta juga harus membuat jemaat menjadi cerdas dan lebih taat kepada Allah. Pendeta harus membuat jemaatnya menjadi dewasa sehingga mereka dapat dewasa dan mandiri secara rohani. Akan tetapi, sebagian pendeta tidak mau melakukan hal ini dan justru mem-“bonsai” jemaat sehingga mereka terus menerus menjadi “kerdil” secara rohani.

Tentu setiap orang Kristen harus diajarkan untuk menemukan Allah dan memiliki waktu-waktu khusus untuk dapat bertemu dengan Allah setiap hari. Mereka harus dapat hidup dalam tuntunan Allah dan mengerti kehendak Allah. Bagaimana mungkin jemaat diajarkan bertanya kepada pendetanya dan selalu minta didoakan pendeta supaya doanya manjur, sementara seharusnya setiap orang percaya dapat langsung bertemu Tuhan tanpa perantara. Akhirnya kekristenan lama-lama menjadi sama seperti apa yang terjadi di Kisah Para Rasul 5 ini. Jemaat yang mulai belajar menemukan kebenaran, mulai memiliki jam doa khusus untuk bertemu Allah, dipandang sebagai “ancaman” oleh para rohaniawan. Tidak jarang cap “sok pintar”, “sok tahu”, “pemberontak”, bahkan “sesat” bisa saja dikenakan kepada jemaat-jemaat ini.

Tentu kita harus menghormati hamba-hamba Tuhan yang bekerja keras mengambil bagian dalam pelayanan. Akan tetapi, dalam segala hal, kita harus lebih tunduk kepada Allah daripada kepada manusia, sekalipun mereka mengaku sebagai wakil Allah atau hamba Allah. Dalam hal ini setiap orang percaya harus memiliki kecerdasan rohani yang baik, sehingga mereka dapat membedakan manakah kehendak Allah yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna (Rm 12:1). Idealnya, jika pendeta atau pemimpin jemaat adalah orang yang tunduk kepada Allah, tentu ia tidak akan membuat keputusan atau kebijakan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Namun jika dalam praktiknya terjadi perbedaan, maka orang percaya wajib lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Tentu sebisa mungkin prinsip taat kepada Allah ini jangan sampai dibenturkan sehingga menimbulkan perpecahan dalam gereja atau jemaat. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu mungkin memang orang percaya harus mulai berani mengambil sikap. Dalam hal ini yang terpenting adalah sikap yang diambil harus sudah digumulkan dengan sungguh-sungguh dalam doa-doa dan perenungan kita, sehingga kita tidak salah mengambil posisi taat kepada siapa. Ini adalah pergumulan pribadi dan harus kita pertanggungjawabkan nanti pada hari penghakiman. Adalah sangat konyol jika kita merasa sudah berdiri di pihak Allah, merasa sudah taat kepada Allah, tetapi sesungguhnya kita hanya ingin tampil dan mendirikan kerajaan kita sendiri. Jika demikian, suatu saat nanti kita dapat ditolak oleh-Nya (Mat 7:21-23).



Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 5:26-29
5:26 Maka pergilah kepala pengawal serta orang-orangnya ke Bait Allah, lalu mengambil kedua rasul itu, tetapi tidak dengan kekerasan, karena mereka takut, kalau-kalau orang banyak melempari mereka.
5:27 Mereka membawa keduanya dan menghadapkan mereka kepada Mahkamah Agama. Imam Besar mulai menanyai mereka,
5:28 katanya: "Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama itu. Namun ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami."
5:29 Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.