Selasa,
09 Juni 2020
Bacaan Alkitab: Kisah Para Rasul 5:26-29
Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita harus
lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. (Kis 5:29)
Lebih Taat kepada Allah daripada kepada Manusia
Bagian
bacaan Alkitab kita pada hari ini berbicara mengenai bagaimana Petrus dan
Yohanes yang ditangkap dan kemudian dibawa untuk menghadap Mahkamah Agama Yahudi
(ay. 26-27a). Kita tentu perlu mengetahui latar belakang peristiwa ini, yaitu
ketika Petrus dan Yohanes menyembuhkan seorang yang lumpuh kakinya, dan
kemudian memberitakan Yesus Kristus kepada orang banyak yang terheran-heran
kepadanya (Kis 3:1-26). Sebelum peristiwa di ayat 26-29 ini, kita juga dapat
melihat bahwa setelah peristiwa penyembuhan orang lumpuh tersebut, Petrus dan
Yohanes sudah ditangkap dan dibawa kepada suatu sidang dimana terdapat Imam Besar
dan ahli-ahli Taurat, dan mereka diperingatkan untuk tidak memberitakan nama
Yesus di Bait Allah (Kis 4:5-22).
Dalam hal
ini kita harus mengerti bahwa konteks keadaan pada waktu peristiwa ini ditulis
adalah ketika jemaat masih sangat awal, bahkan sangat mula-mula. Pada waktu
itu, para pengikut Kristus masih dianggap sebagai salah satu mazhab atau sekte
dalam agama Yahudi (Kis 24:5 & 14, Kis 28:22). Tidak mengherankan karena Yesus
sendiri dipandang sebagai seorang guru atau rabi, bahkan yang menyebutkan ini
tidak hanya rakyat biasa tetapi juga Nikodemus, seorang pengajar Yahudi yang
sangat dihormati (Yoh 3:2). Posisi kekristenan pada saat itu sebagai suatu mazhab
dalam Yudaisme dapat dipahami karena pada waktu itu, para rasul masih mengadakan
pertemuan di Bait Allah, bahkan masih bersembahyang di Bait Allah (Kis 2:46, 3:1).
Suatu
agama pada umumnya (seperti agama Yahudi) setidaknya memiliki tiga ciri utama:
1) adanya liturgi, seremonial, atau upacara agama; 2) adanya penokohan
orang-orang tertentu dan dominasi tokoh tersebut dalam ibadah; serta 3) adanya hukum
dan syariat tertulis yang mengatur kehidupan umat beragama. Dalam hal ini,
kekristenan pada masa awal-awal masih memiliki ciri-ciri seperti ini. Petrus
dan Yohanes masih datang ke Bait Allah pada waktu sembahyang (Kis 3:1). Jemaat
mula-mula juga dikatakan berkumpul setiap hari di dalam Bait Allah, yang
kemungkinan besar adalah untuk bersembahyang sesuai adat dan tradisi agama
Yahudi (Kis 2:46). Jemaat mula-mula juga masih terbatas memberitakan Injil
kepada orang Yahudi, dan baru berani mendobrak tradisi ketika Petrus bertemu
Kornelius. Hal ini berarti saat itu, para rasul pun masih memposisikan diri
mereka sendiri sebagai bagian dari agama Yahudi, hanya saja mereka mengikuti
ajaran Tuhan Yesus.
Dengan memahami
kondisi dan latar belakang ini maka kita akan dapat mengerti posisi Petrus dan
Yohanes pada waktu itu. Mereka dihadapkan kepada Imam Besar, yaitu pemimpin
tertinggi agama Yahudi (ay. 27b). Ingat bahwa pada waktu itu, pengikut Yesus
masih dipandang sebagai bagian dari agama Yahudi. Oleh karena itu, sebenarnya
Petrus dan Yohanes sedang berhadapan dengan pemimpin agama mereka secara de jure. Imam Besar
kemudian mengulangi keputusan yang telah mereka ambil dalam pertemuan sebelumnya,
yaitu melarang para rasul mengajar dalam nama Yesus, akan tetapi ternyata para
rasul tetap memberitakan kematian dan kebangkitan Yesus (ay. 28). Dengan bahasa
lain, Imam Besar hendak menyatakan bahwa, ia adalah Imam Besar, pemimpin
tertinggi agama Yahudi yang mewakili Allah, dan seharusnya para rasul juga taat
dan tunduk kepada keputusannya. Akan tetapi, Petrus dan Yohanes menjawab: “Kita
harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia” (ay. 29). Apa artinya
ini?
Hal tersebut
sebenarnya merujuk pada mulainya pemisahan Kekristenan dari agama Yahudi. Kekristenan
adalah jalan hidup, yaitu hidup dengan ketaatan mutlak kepada Allah. Oleh
karena itu, jika ada suatu benturan antara apa yang Allah inginkan dan apa yang
manusia inginkan, seharusnya orang Kristen berani dengan tegas berkata: “Kita harus
lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia”. Dalam hal ini, para rasul
seakan-akan berani menantang para pemimpin dan tokoh agama tersebut: “Kami ada
di pihak Allah karena kami mengikuti Allah. Di pihak manakah kamu berada?”.
Tentu kalimat ini bukanlah hanya kalimat kosong, melainkan kalimat yang
memiliki konsekuensi yang sangat besar. Dengan mengucapkan kalimat tersebut,
mereka seakan-akan menaruh leher mereka di bawah pedang, karena pastilah mereka
juga akan mendapat ancaman aniaya bahkan pembunuhan (Kis 5:33).
Prinsip
ini yang seharusnya juga dimiliki oleh orang percaya di zaman ini. Kita dapat
melihat bagaimana orang-orang Kristen setelah peristiwa ini mengalami aniaya
hebat dari bangsa Yahudi (karena dianggap menghujat Allah) dan dari bangsa Romawi
(karena dianggap sebagai penjahat dan pemberontak negara). Mereka
dikejar-kejar, ditangkap, dianiaya, bahkan dibunuh dengan cara yang keji. Mereka
tentu tidak dapat lagi memiliki liturgi atau cara ibadah seperti agama lain.
Mereka bahkan harus beribadah di rumah-rumah, bahkan di dalam kuburan-kuburan
batu dengan sembunyi-sembunyi. Mereka tidak memiliki struktur organisasi yang
jelas (seperti di agama Yahudi yang memiliki Imam Besar, imam lainnya, ahli
Taurat, dan lain sebagainya) karena para pemimpinnya pun banyak yang ditangkapi.
Mereka juga tidak memiliki hukum atau syariat, seperti tata cara berpakaian, tata
cara beribadah, dan lain sebagainya karena kondisi tidak memungkinkan. Sesungguhnya,
dalam aniaya inilah kekristenan benar-benar berbeda dengan agama pada umumnya
dan menjadi jalan hidup yang tidak terikat dengan liturgi/seremonial agama,
hukum/syariat, dan dominasi tokoh-tokoh tertentu sebagai pemimpin agama. Kekristenan
menjadi suatu jalan hidup yang dituntun oleh ketaatan terhadap perintah Allah
melalui Roh Kudus yang dimeteraikan di hati orang percaya.
Sebenarnya,
konsep inilah yang paling ideal, yaitu dimana orang percaya harus lebih taat
kepada Allah daripada kepada manusia. Sayangnya, seiring berjalannya waktu,
ketika kekristenan mulai menjadi agama di kekaisaran Romawi pada akhir abad ke-4,
justru di situ kekristenan kehilangan kekuatannya. Kekristenan mulai berbentuk
sebagai agama, dengan liturgi dan seremonial, hukum-hukum dan syariat-syariat
yang ketat, bahkan dominasi tokoh, yang menyebabkan adanya pembedaan antara
para imam dan jemaat awam. Sejarah mencatat bahwa pada abad-abad selanjutnya,
ketika kekristenan sudah menjadi agama negara, justru di situlah muncul abad
kegelapan selama berabad-abad. Kitab suci hanya menjadi milik para imam dan
rohaniawan, sementara mereka yang tidak termasuk golongan rohaniawan hanya
menjadi jemaat yang pasif dan didoktrin untuk tunduk kepada para rohaniawan
tersebut. Kelompok rohaniawan memposisikan diri mereka sebagai wakil Allah dan
hamba Allah yang merasa berhak mengatur orang lain yang bukan rohaniawan.
Pola
keberagamaan seperti ini sempat direformasi oleh Martin Luther dan para reformis
lainnya. Akan tetapi, pola ini masih sedikit banyak terbawa hingga saat ini.
Gereja penuh dengan orang-orang yang merasa dirinya sebagai rohaniawan, pelayan,
pendeta, dan lain sebagainya. Dalam pengalaman saya bertemu dengan banyak orang
dari berbagai denominasi gereja, saya menemukan adanya gereja-gereja tertentu
yang membuat sistem (atau bahkan semacam rezim) yang menunjukkan dominasi
tokoh-tokoh agama ini. Misalnya saja, ada gereja dimana jemaat harus bertanya
kepada pendetanya jika mau menikah, dan harus disetujui oleh pendeta tersebut. Tentu
hal ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi sebenarnya pendeta juga harus membuat
jemaat menjadi cerdas dan lebih taat kepada Allah. Pendeta harus membuat
jemaatnya menjadi dewasa sehingga mereka dapat dewasa dan mandiri secara rohani.
Akan tetapi, sebagian pendeta tidak mau melakukan hal ini dan justru mem-“bonsai”
jemaat sehingga mereka terus menerus menjadi “kerdil” secara rohani.
Tentu setiap
orang Kristen harus diajarkan untuk menemukan Allah dan memiliki waktu-waktu
khusus untuk dapat bertemu dengan Allah setiap hari. Mereka harus dapat hidup
dalam tuntunan Allah dan mengerti kehendak Allah. Bagaimana mungkin jemaat
diajarkan bertanya kepada pendetanya dan selalu minta didoakan pendeta supaya
doanya manjur, sementara seharusnya setiap orang percaya dapat langsung bertemu
Tuhan tanpa perantara. Akhirnya kekristenan lama-lama menjadi sama seperti apa
yang terjadi di Kisah Para Rasul 5 ini. Jemaat yang mulai belajar menemukan
kebenaran, mulai memiliki jam doa khusus untuk bertemu Allah, dipandang sebagai
“ancaman” oleh para rohaniawan. Tidak jarang cap “sok pintar”, “sok tahu”, “pemberontak”,
bahkan “sesat” bisa saja dikenakan kepada jemaat-jemaat ini.
Tentu
kita harus menghormati hamba-hamba Tuhan yang bekerja keras mengambil bagian
dalam pelayanan. Akan tetapi, dalam segala hal, kita
harus lebih tunduk kepada Allah daripada kepada manusia, sekalipun mereka
mengaku sebagai wakil Allah atau hamba Allah. Dalam hal ini setiap orang percaya
harus memiliki kecerdasan rohani yang baik, sehingga mereka dapat membedakan
manakah kehendak Allah yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna (Rm 12:1). Idealnya,
jika pendeta atau pemimpin jemaat adalah orang yang tunduk kepada Allah, tentu
ia tidak akan membuat keputusan atau kebijakan yang bertentangan dengan kehendak
Allah. Namun jika dalam praktiknya terjadi perbedaan, maka orang percaya wajib
lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia. Tentu sebisa mungkin prinsip
taat kepada Allah ini jangan sampai dibenturkan sehingga menimbulkan perpecahan
dalam gereja atau jemaat. Akan tetapi, dalam kondisi tertentu mungkin memang
orang percaya harus mulai berani mengambil sikap. Dalam hal ini yang terpenting
adalah sikap yang diambil harus sudah digumulkan dengan sungguh-sungguh dalam
doa-doa dan perenungan kita, sehingga kita tidak salah mengambil posisi taat
kepada siapa. Ini adalah pergumulan pribadi dan harus kita pertanggungjawabkan
nanti pada hari penghakiman. Adalah sangat konyol jika kita merasa sudah berdiri
di pihak Allah, merasa sudah taat kepada Allah, tetapi sesungguhnya kita hanya
ingin tampil dan mendirikan kerajaan kita sendiri. Jika demikian, suatu saat
nanti kita dapat ditolak oleh-Nya (Mat 7:21-23).
Bacaan
Alkitab: Kisah Para Rasul 5:26-29
5:26 Maka pergilah kepala pengawal serta orang-orangnya ke Bait Allah,
lalu mengambil kedua rasul itu, tetapi tidak dengan kekerasan, karena mereka
takut, kalau-kalau orang banyak melempari mereka.
5:27 Mereka membawa keduanya dan menghadapkan mereka kepada Mahkamah
Agama. Imam Besar mulai menanyai mereka,
5:28 katanya: "Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam Nama
itu. Namun ternyata, kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu dan kamu
hendak menanggungkan darah Orang itu kepada kami."
5:29 Tetapi Petrus dan rasul-rasul itu menjawab, katanya: "Kita
harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.