Jumat, 12
Juni 2020
Bacaan Alkitab: 2 Timotius 3:10-13
Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan
menderita aniaya (2 Tim 3:12)
Harus Menderita Aniaya
Jika kita
mendengar kata “aniaya”, apakah yang ada dalam pikiran kita? Kebanyakan kita
akan membayangkan sesuatu yang menyakitkan, sulit, mengalami penderitaan, atau
kondisi yang tidak menyenangkan. Sebagian kita akan langsung membayangkan kondisi
jemaat mula-mula yang mengalami aniaya dengan hebat. Sebagian lagi akan
membayangkan kondisi beberapa gereja di negara atau daerah tertentu yang mengalami
aniaya karena iman percaya mereka kepada Tuhan.
Saya
yakin hampir sebagian besar orang yang membaca renungan ini sedang dalam
kondisi yang tidak mengalami aniaya karena iman kita kepada Tuhan Yesus.
Mungkin kita sedang ada dalam kondisi yang tenang, aman, nyaman, atau paling
tidak kita masih dapat menjalankan ibadah kita tanpa gangguan. Kita masih dapat
pergi ke gereja tanpa ada tekanan dan aniaya. Kita masih dapat membaca Alkitab
dan berdoa tanpa larangan. Hal ini dianggap sebagai suatu kehidupan kekristenan
yang nampak normal dan wajar, khususnya bagi kita yang hidup di zaman ini.
Hari ini
kita belajar dari kitab 2 Timotius, yang merupakan surat terakhir dari Paulus sebelum
kematiannya. Ia menuliskan suatu surat personal kepada Timotius, anak
rohaninya, yang antara lain menyiapkan Timotius untuk melanjutkan pekerjaannya,
antara lain untuk memberitakan Injil dan menggembalakan jemaat Tuhan. Dalam
suratnya ini Paulus menulis bahwa Timotius telah mengenal Paulus dan kehidupannya.
Paulus sudah memberikan suatu teladan yang sangat luar biasa, dimana Timotius
dapat meneladani hidup Paulus tersebut nyaris dalam segala hal: dalam hal
ajaran yang sehat, cara hidup yang mulia, pendirian yang teguh, iman yang tak
tergoyahkan, kesabaran, kasih yang tanpa batas, dan ketekunannya (ay. 10).
Selain
semua hal positif itu, Paulus juga menyampaikan bahwa ia telah meninggalkan
teladan dalam hal aniaya dan sengsara yang dialami olehnya. Paulus menyampaikan
bagaimana ia telah mengalami begitu banyak aniaya, sengsara dan penderitaan sebagai
pengikut dan hamba Kristus selama hidupnya, seperti yang tertulis di suratnya
kepada jemaat Korintus (2 Kor 11:23-28). Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam
hal aniaya dan sengsara ini, hidup Paulus ibarat suatu buku atau catatan yang
terbuka. Dikatakan bahwa Timotius sebagai anak rohaninya juga sudah mengalami
aniaya dan sengsara, seperti yang Paulus alami di Antiokhia, Ikonium dan Listra
(ay. 11a). Sepertinya mengikut Tuhan Yesus pada saat itu sangatlah berat.
Sebenarnya bukan saja berat, tetapi sangat berat dan nyaris mustahil dengan
kekuatan sendiri. Akan tetapi, Paulus berkata bahwa semua penganiayaan itu
telah ia derita di dalam kasih karunia Tuhan, dan Tuhan pun telah berkenan
melepaskan Paulus dari segala penderitaan tersebut (ay. 11b).
Sekilas
terlihat bahwa Tuhan pasti melepaskan anak-anak-Nya dari kesulitan dan
marahabaya. Banyak orang Kristen hanya melihat ayat 11b, khususnya bagian
terakhir dimana Tuhan melepaskan Paulus dari segala masalah. Tetapi jangan
lupakan bahwa semua penganiayaan itu memang benar-benar telah Paulus alami, dan
Paulus benar-benar menderita karenanya. Kata “kuderita” dalam ayat 11b tersebut
menggunakan kata hypēnenka (ὑπήνεγκα) dari akar kata hupopheró (ὑποφέρω).
Kata ini dapat berarti to bear
by being under, to endure, to bear patiently (menanggung/memikul
di bawah suatu hal, bertahan/menderita, menanggung dengan sabar). Dengan
demikian, semua penderitaan dan aniaya itu tidak serta merta dilepaskan Tuhan begitu
saja, tetapi ada bagian yang tetap harus ditanggung oleh Paulus. Dalam beberapa
terjemahan Alkitab bahasa inggris, digunakan tanda seru setelah kata “kuderita”
ini, yang menunjukkan bahwa Paulus benar-benar mengalami aniaya dan sengsara
yang hebat dan bukan hanya mengalami sebagian, lalu Tuhan membebaskan. Dalam
hal ini kita dapat melihat keteguhan iman Paulus yang tidak tergoncangkan
meskipun dalam aniaya sehebat apapun, bahkan hingga ia menyerahkan nyawanya
bagi Tuhan yang dicintainya. Dalam ayat selanjutnya Paulus menuliskan suatu
prinsip yang luar biasa: “Setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam
Kristus Yesus akan menderita aniaya” (ay. 12). Muncul pertanyaan, apakah ayat
ini masih relevan dengan hidup sebagian orang Kristen di masa modern ini?
Untuk menjawabnya,
setidaknya kita harus membedah 2 kata dalam ayat ini, yaitu “beribadah” dan “aniaya”.
Kata “beribadah” di ayat ini tidak boleh dipandang sebagai ibadah secara
sempit. Banyak orang Kristen berpikir bahwa ibadah dalam kekristenan hanyalah
pergi ke gereja, berdoa menyanyi lagu pujian, mendengarkan Firman, dan memberikan
persembahan. Hal itu sebenarnya kurang tepat. Memang di gereja kita dapat
beribadah. Tetapi ibadah di gereja sebenarnya barulah sebagian kecil dari
ibadah kita yang sebenarnya. Ibadah kita adalah kehidupan kita setiap hari yang
kita persembahkan bagi kemuliaan Allah. Ibadah di gereja (yang hanya sekitar 2
jam), hanyalah sebagian kecil dari seluruh ibadah yang harus kita persembahkan
setiap waktu: yaitu seluruh kehidupan kita sebagai suatu persembahan yang hidup
kepada Allah (Rm 12:1).
Sementara
itu kata “aniaya” hendaknya tidak hanya dipandang sebagai aniaya secara fisik
(seperti yang dialami oleh jemaat mula-mula, atau sebagian jemaat di daerah-daerah
tertentu). Kata “aniaya” di sini menggunakan kata diōchthēsontai (διωχθήσονται) dari akar
kata diókó (διώκω). Kata ini dapat berarti to put to flight, pursue, to persecute, to press on (diharuskan lari/kabur, dikejar/diburu, dianiaya,
ditekan). Kata ini umum digunakan pada seorang pemburu yang mengejar mangsanya.
Selain itu, kata diókó juga memiliki makna tambahan yaitu to seek after eagerly, earnestly endeavor to acquire (mencari dengan penuh semangat, sungguh-sungguh berusaha
untuk memperoleh sesuatu). Hal ini memang masih terkait dengan makna pemburu
yang mengejar mangsanya, seakan-akan pemburu itu harus mendapatkan mangsa
tersebut supaya ia dapat hidup (jika tidak dapat mangsa maka ia dapat mati). Makna
seperti ini dapat dilihat pada sejumlah ayat dalam Perjanjian Baru, yang umumnya
diterjemahkan dengan kata “mengejar” (Rm 9:30, 1 Tim 6:11, 2 Tim 2:22).
Menjadi
persoalan jika kata aniaya dalam hal ini hanya dipandang sebagai aniaya secara
fisik, karena jika demikian, orang-orang Kristen di negara-negara barat atau
negara yang mayoritas beragama Kristen tidak akan mengalami aniaya secara fisik.
Sementara Paulus mengatakan bahwa semua orang yang mau hidup beribadah di dalam
Kristus Yesus akan menderita aniaya (ay. 12). Hal ini juga akan menjadi masalah
ketika kata beribadah hanya dipandang sebagai pergi ke gereja sekali seminggu
saja, atau lebih parah lagi, hanya dipandang percaya Yesus dalam pikiran maka
sudah beribadah. Jika demikian, makna kata aniaya dalam ayat 12 ini tidak akan
dapat kita pahami secara proporsional.
Jika kita
memahami bahwa ibadah adalah mempersembahkan seluruh kehidupan kita sebagai suatu
persembahan yang hidup, kudus, dan yang berkenan kepada Allah, maka itu adalah
suatu proses yang panjang dan membutuhkan usaha dan ketekunan yang serius. Kita
akan belajar untuk menjaga hidup kita dari segala dosa dan kemelesetan. Kita
akan belajar untuk menjaga setiap perbuatan kita, bahkan setiap perkataan kita
supaya tidak berdosa kepada Tuhan. Kita akan belajar menghargai arti kehidupan kita
dan bahkan menghayati kekudusan Allah yang luar biasa, dan berusaha untuk selalu
hidup kudus dan berkenan di hadapan-Nya.
Jika
demikian, maka aniaya itu bukan lagi merupakan suatu perbuatan yang menyakitkan
yang orang lain lakukan terhadap kita (misalnya: dipukul atau difitnah karena
kita orang Kristen atau mengalami ucapan yang tidak menyenangkan karena kita
percaya kepada Tuhan Yesus). Aniaya itu adalah aniaya yang harus kita lakukan
terhadap manusia lahiriah kita, yang penuh dengan kodrat dosa. Kitalah yang
harus “menganiaya” manusia lama kita, bahkan harus mematikan manusia lama kita
supaya kita mengenakan manusia baru di dalam Tuhan. Ini tidak hanya berbicara
mengenai meninggalkan dosa-dosa umum (mencuri, membunuh, berzinah), tetapi juga
meninggalkan segala percintaan dunia (sikap materialisme, kesombongan, dan lain
sebagainya) yang lebih bersifat batiniah dan mungkin tidak melanggar hukum atau
norma umum.
Selain
hal tersebut, aniaya dalam hal ini juga dapat berarti kita akan terganggu
ketika kita berusaha hidup benar, tetapi orang-orang jahat di sekitar kita
justru sepertinya hidupnya tenang-tenang saja, bahkan seakan-akan tambah makmur
dan diberkati. Dikatakan bahwa orang jahat dan mereka yang menipu akan semakin
bertambah jahat. Mereka bukan hanya sudah disesatkan, tetapi mereka juga
menyesatkan orang lain (ay. 13). Ini dapat merujuk pada kondisi orang dunia (di
luar orang Kristen) yang semakin jahat di akhir zaman ini. Namun hal ini juga
dapat merujuk pada “saudara-saudara palsu”, yaitu mereka yang beragama Kristen,
ada di dalam gereja, bahkan mungkin sudah terlibat pelayanan, tetapi kehidupan mereka
penuh dengan dosa dan kejahatan (dan pada umumnya sudah sangat sulit untuk dapat
bertobat). Mereka ini justru adalah orang-orang yang berpotensi untuk
menyesatkan orang percaya (karena sangat sulit bagi orang di luar jemaat untuk
dapat menyesatkan orang percaya yang benar, sehingga besar kemungkinan ini juga
merujuk kepada orang di dalam jemaat sendiri, bahkan mungkin pemimpin-pemimpin
rohani yang palsu).
Bayangkan
jika kita beribadah di suatu jemaat atau komunitas Kristen, kemudian kita
berusaha sungguh-sungguh untuk hidup benar di hadapan-Nya. Kita belajar untuk
hidup jujur, takut akan Tuhan dalam segala hal, dan lain sebagainya. Akan
tetapi, ada beberapa orang di dalam jemaat tersebut yang dengan jelas-jelas
melakukan dosa, korupsi, dan lain sebagainya tetapi hidupnya malah aman-aman saja,
bahkan tidak jarang mereka justru mendapatkan posisi tertentu dalam jemaat (misalnya
karena kekuatan dari uang dan kekayaan mereka). Di situlah kita mengalami
aniaya, karena kita seakan-akan dikejar-kejar untuk hidup benar, tetapi justru
orang yang tidak hidup benar semakin maju dan makmur. Hal ini hampir sama
dengan apa yang pemazmur pergumulkan dalam Mazmur 73.
Jika kata
beribadah dan aniaya dalam ayat 12 ini dipahami dengan benar, maka kita akan
dapat lebih menghayati kebenaran yang ada dalam tulisan Paulus ini. Apa yang
Paulus tulis sangat relevan dengan kondisi 2.000 tahun yang lalu, dan bahkan
masih tetap relevan dengan kondisi kita di masa sekarang ini, dengan bentuk
aniaya yang mungkin agak sedikit berubah (tidak harus aniaya secara fisik,
tetapi aniaya secara batin/psikis). Hal ini juga dapat berarti bahwa kalaupun
aniaya dari orang lain tidak ada (baik secara fisik atau psikis), kita lah yang
harus “menganiaya” diri kita sendiri supaya kitab oleh berkenan kepada Allah.
Tidak ada orang yang tidak mengalami aniaya yang dapat beribadah dengan benar
kepada Tuhan. Oleh karena itu, jangan kita terlena jika hidup kita
tenang-tenang saja, aman dan nyaman. Justru dalam kondisi itu kita harus
memperkarakan dengan Tuhan, apakah ada bagian dalam diri kita yang masih
merupakan kesenangan/kenikmatan kita tetapi Tuhan tidak berkenan? Jika ya, maka
kitalah yang harus berani mengambil keputusan untuk “menganiaya” diri kita sendiri
supaya hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan tersebut (meskipun justru
merupakan kesenangan/kenikmatan bagi kita) dapat kita buang dari hidup kita.
Bacaan Alkitab: 2 Timotius 3:10-13
3:10
Tetapi engkau telah mengikuti ajaranku, cara hidupku, pendirianku, imanku,
kesabaranku, kasihku dan ketekunanku.
3:11
Engkau telah ikut menderita penganiayaan dan sengsara seperti yang telah
kuderita di Antiokhia dan di Ikonium dan di Listra. Semua penganiayaan itu
kuderita dan Tuhan telah melepaskan aku dari padanya.
3:12
Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan
menderita aniaya,
3:13
sedangkan orang jahat dan penipu akan bertambah jahat, mereka menyesatkan dan
disesatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.