Selasa, 02 Juni 2020

Semangat Pertobatan yang Kian Memudar


Senin, 01 Juni 2020
Bacaan Alkitab: Yunus 3:4-10
Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung. (Yun 3:5)


Semangat Pertobatan yang Kian Memudar


Kita tentu sudah pernah mendengar tentang kisah Yunus dalam Alkitab, bagaimana ia diutus oleh Tuhan ke kota Niniwe namun ia melarikan diri. Ia kemudian ditelan oleh ikan dan diberi kesempatan kedua untuk melakukan tugasnya kembali. Kali ini ia taat dan menyampaikan firman Tuhan kepada kota Niniwe yaitu bahwa Allah akan menunggangbalikkan kota tersebut sebagai akibat dari kejahatannya (ay. 4).

Dalam perikop-perikop sebelumnya, dikatakan bahwa kota Niniwe adalah kota yang sangat jahat, bahkan seruan atas kejahatan penduduk kota itu sudah sampai ke hadirat Allah (Yun 1:2). Niniwe adalah kota yang terletak di kota Asyur, yang merupakan ibukota dari kerajaan tersebut. Sangat mungkin dosa dan kejahatan yang dilakukan penduduk kota ini tidak hanya penyembahan terhadap dewa-dewa (karena mereka tidak mengenal Allah yang benar yaitu Allahnya orang Israel). Bisa jadi ada banyak tindakan dan perbuatan jahat lainnya yang dilakukan oleh penduduk kota itu.

Dalam hal ini Yunus adalah orang Israel yang merupakan bangsa pilihan Tuhan di Perjanjian Lama. Kebanyakan orang Israel pada waktu itu (termasuk Yunus) berpikir bahwa karena mereka adalah bangsa pilihan, maka mereka pasti dikasihi Tuhan. Sementara bangsa-bangsa lain dianggap kafir dan dipandang tidak layak untuk dikasihani. Sangat mungkin Yunus melakukan tugas yang diberikan Allah dengan ogah-ogahan, yang penting tugasnya sudah dilakukan. Ia mungkin saja tidak berharap bahwa orang Niniwe akan bertobat. Mungkin dalam hatinya, ia berharap agar mereka tidak mendengarkan seruan Yunus sehingga Tuhan benar-benar akan menunggangbalikkan kota tersebut.

Tetapi apa yang dilakukan oleh para penduduk kota Niniwe setelah mendengar firman yang disampaikan oleh Yunus? Dikatakan bahwa orang-orang Niniwe tersebut mendengarkan firman yang disampaikan Yunus. Mereka percaya kepada Allah, mereka mengumumkan puasa dan bertobat. Bahkan tidak hanya orang dewasa saja yang bertobat, tetapi anak-anak juga bertobat dan mengenakan kain kabung (ay. 5).

Lebih dahsyat lagi, ketika kabar itu (atau firman itu) sampai kepada Raja Niniwe, ia turun dari singgasananya dan ikut berkabung dan bertobat (ay. 6). Sang raja bahkan mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Niniwe dan bahkan hewan ternak mereka berpuasa, tidak makan dan tidak minum untuk memohon belas kasihan Allah (ay. 7). Tidak hanya berkabung dan berpuasa, Raja Niniwe juga memerintahkan rakyatnya untuk berseru kepada Allah dan berbalik dari kejahatan dan kekerasan yang selama ini mereka lakukan (ay. 8). Mereka sangat mungkin tidak mengenal Allah orang Israel (karena sudah memiliki dewa-dewa sendiri). Namun mereka berkata bahwa siapa tahu dengan pertobatan mereka yang sungguh-sungguh ini Allah akan berpaling dari murka-Nya dan tidak membinasakan mereka (ay. 9)

Kita dapat melihat bagaimana firman yang disampaikan oleh seorang dari bangsa Israel di kota Niniwe yang sangat besar, bisa benar-benar membawa pertobatan bagi seisi kota tersebut. Bagaimana orang-orang Niniwe tidak mencari keselamatan dari dewa-dewa mereka, tetapi benar-benar menyesal, berkabung dan bertobat dengan sungguh-sungguh. Bukti dari pertobatan mereka yang sungguh-sungguh itu diverifikasi di ayat 10, dimana dikatakan bahwa Allah menyesal karena malapetaka yang direncanakan atas orang Niniwe, walaupun tentu malapetaka tersebut dirancangkan sebagai akibat dosa-dosa dan kejahatan yang dilakukan orang Niniwe selama ini. Tetapi pada akhirnya, Allah menghargai pertobatan itu dan tidak jadi melakukannya.

Dalam Perjanjian Lama, kita dapat melihat banyak tokoh Alkitab yang bertobat dengan sungguh-sungguh. Kita melihat bagaimana Daud bertobat, bangsa Israel bertobat, dan bahkan orang Niniwe ini bertobat. Kita dapat melihat bagaimana orang Niniwe yang kafir (yaitu bukan bagian dari umat pilihan yaitu bangsa Israel) dapat didengar Allah. Pertobatan orang Niniwe yang sungguh-sungguh telah sampai ke hadirat Allah. Tentu Allah adalah Allah yang menguji hati. Ia tahu mana pertobatan yang sungguh-sungguh dan mana “pertobatan” yang pura-pura. Dan dalam hal ini, kita dapat melihat dan menyimpulkan bahwa pertobatan orang Niniwe pastilah pertobatan yang benar, bahkan sangat ekstrem karena rajanya sendiri juga bertobat, bahkan anak-anak dan hewan ternak juga ikut berkabung dan bepruasa.

Namun demikian, kita sudah jarang melihat seruan pertobatan di gereja atau jemaat masa kini. Sebenarnya seruan pertobatan juga disuarakan dengan keras di dalam Perjanjian Baru, misalnya saja Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus dan para rasul. Bahkan Alkitab juga mencatat pertobatan murid-murid Tuhan Yesus seperti Petrus dan juga Paulus yang bertobat dari kesalahan dan kejahatan mereka. Namun, saya merasa dan melihat bahwa semangat pertobatan di dalam gereja ini semakin memudar. Kalaupun ada seruan pertobatan di dalam ibadah, seringkali itu hanya sebagai suatu bagian dari liturgi yang nyaris tidak memiliki makna yang bernilai tinggi. Seringkali seruan pertobatan hanya sebagai suatu formalitas dalam ibadah, dimana pendeta atau jemaat akan meminta pengampunan atas “semua dosa-dosa yang diperbuat dengan sengaja maupun tidak sengaja”. Hal ini membuat kesan bahwa seakan-akan dosa-dosa sepanjang minggu sudah beres dengan pengakuan dosa beberapa menit di gereja. Tentu kematian Tuhan Yesus sudah menghapus dosa-dosa seluruh umat manusia. Tetapi jika hal pengakuan dosa dan pertobatan hanya dilakukan sebagai hal yang bersifat formalitas semata, maka orang Kristen tidak akan mengalami pertobatan yang benar dan proporsional. Mereka hanya merasa sudah bertobat ketika datang di gereja, tetapi tidak sungguh-sungguh berjuang dan bertobat meninggalkan kodrat dosa dan karakter-karakter buruk yang ada di dalam diri mereka.

Hal ini besar kemungkinan akibat kesalahan memahami karya keselamatan melalui pengorbanan Tuhan Yesus di atas kayu salib. Banyak orang Kristen merasa sudah selamat karena percaya bahwa Tuhan Yesus sudah mati di atas kayu salib. Memang benar bahwa Tuhan Yesus mati di atas kayu salib demi menebus dosa-dosa umat manusia. Akan tetapi, iman seperti ini barulah iman atas sejarah-Nya saja. Iman seperti ini bukan iman yang hidup karena tidak dilanjutkan dengan perjuangan untuk hidup benar dan melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan kehendak Bapa.

Saya takut bahwa ketika seruan pertobatan ini semakin memudar dan jarang disuarakan di gereja-gereja dan jemaat-jemaat, maka orang Kristen merasa “baik-baik saja” akan hidupnya. Mereka tidak merasa perlu untuk bertobat, karena dianggap bahwa liturgi pengakuan dosa seminggu sekali sudah cukup untuk menghapus dosa-dosa mereka, dan kalaupun mereka berbuat dosa lagi kemudian hari, mereka akan tenang karena setiap hari Minggu mereka dapat meminta pengampunan dosa dari pendeta. Padahal sejatinya kita harus meminta pengampunan dosa dari Juruselamat kita yaitu Tuhan Yesus sendiri, melalui jam-jam doa kita, saat teduh, dan waktu-waktu khusus dimana kita menunjukkan pertobatan yang sungguh-sungguh.

Selama ini kita sering melakukan pertobatan yang palsu atau semu (pseudo). Kita merasa sudah bertobat padahal sebenarnya kita belum bertobat. Salah satu ciri pertobatan yang benar adalah ketika kita merasa sangat menyesal jika kita melakukan dosa bahkan kesalahan atau kemelesetan yang kecil di hadapan Tuhan. Seakan-akan kita menyalibkan kembali Tuhan Yesus ketika kita melakukan dosa tersebut. Ciri lain orang yang bertobat adalah mereka tahu bahwa mereka sudah berbuat salah. Sama seperti orang Niniwe yang menyadari keadaan mereka yang jahat dan penuh kekerasan, seharusnya kita menyadari dosa-dosa yang pasti kita lakukan dengan sengaja.

Seruan pertobatan ini semakin memudar, meskipun di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru penuh dengan kisah pertobatan tokoh-tokoh Alkitab dan bahkan seruan untuk bertobat yang disampaikan oleh para nabi dan juga Tuhan Yesus sendiri. Di akhir zaman ini, kita harus lebih sungguh-sungguh bertobat mengingat dunia ini dapat berakhir kapanpun. Itulah sebabnya, di dalam kitab Wahyu kita menemukan seruan pertobatan dari Tuhan Yesus kepada seluruh jemaat (Why 2-3). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang Kristen tidak peduli dengan pertobatan yang benar, sehingga Tuhan merasa perlu untuk mengingatkan seluruh jemaat-Nya. Semoga kita yang membaca tulisan ini benar-benar dapat menyadari keberdosaannya di hadapan Allah, dan sungguh-sungguh mau bertobat di hadapan-Nya, supaya kita terhindar dari siksaan api neraka kekal dan diperkenankan masuk ke dalam kerajaan-Nya yang mulia.



Bacaan Alkitab: Yunus 3:4-10
3:4 Mulailah Yunus masuk ke dalam kota itu sehari perjalanan jauhnya, lalu berseru: "Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan."
3:5 Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung.
3:6 Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu.
3:7 Lalu atas perintah raja dan para pembesarnya orang memaklumkan dan mengatakan di Niniwe demikian: "Manusia dan ternak, lembu sapi dan kambing domba tidak boleh makan apa-apa, tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air.
3:8 Haruslah semuanya, manusia dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkah lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya.
3:9 Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa."
3:10 Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Ia pun tidak jadi melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.