Senin, 01
Juni 2020
Bacaan Alkitab: Yunus 3:4-10
Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan
mereka, baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung. (Yun 3:5)
Semangat Pertobatan yang Kian Memudar
Kita
tentu sudah pernah mendengar tentang kisah Yunus dalam Alkitab, bagaimana ia
diutus oleh Tuhan ke kota Niniwe namun ia melarikan diri. Ia kemudian ditelan
oleh ikan dan diberi kesempatan kedua untuk melakukan tugasnya kembali. Kali
ini ia taat dan menyampaikan firman Tuhan kepada kota Niniwe yaitu bahwa Allah
akan menunggangbalikkan kota tersebut sebagai akibat dari kejahatannya (ay. 4).
Dalam perikop-perikop
sebelumnya, dikatakan bahwa kota Niniwe adalah kota yang sangat jahat, bahkan
seruan atas kejahatan penduduk kota itu sudah sampai ke hadirat Allah (Yun 1:2).
Niniwe adalah kota yang terletak di kota Asyur, yang merupakan ibukota dari
kerajaan tersebut. Sangat mungkin dosa dan kejahatan yang dilakukan penduduk
kota ini tidak hanya penyembahan terhadap dewa-dewa (karena mereka tidak
mengenal Allah yang benar yaitu Allahnya orang Israel). Bisa jadi ada banyak tindakan
dan perbuatan jahat lainnya yang dilakukan oleh penduduk kota itu.
Dalam hal
ini Yunus adalah orang Israel yang merupakan bangsa pilihan Tuhan di Perjanjian
Lama. Kebanyakan orang Israel pada waktu itu (termasuk Yunus) berpikir bahwa
karena mereka adalah bangsa pilihan, maka mereka pasti dikasihi Tuhan.
Sementara bangsa-bangsa lain dianggap kafir dan dipandang tidak layak untuk
dikasihani. Sangat mungkin Yunus melakukan tugas yang diberikan Allah dengan
ogah-ogahan, yang penting tugasnya sudah dilakukan. Ia mungkin saja tidak
berharap bahwa orang Niniwe akan bertobat. Mungkin dalam hatinya, ia berharap
agar mereka tidak mendengarkan seruan Yunus sehingga Tuhan benar-benar akan
menunggangbalikkan kota tersebut.
Tetapi
apa yang dilakukan oleh para penduduk kota Niniwe setelah mendengar firman yang
disampaikan oleh Yunus? Dikatakan bahwa orang-orang Niniwe tersebut
mendengarkan firman yang disampaikan Yunus. Mereka percaya kepada Allah, mereka
mengumumkan puasa dan bertobat. Bahkan tidak hanya orang dewasa saja yang
bertobat, tetapi anak-anak juga bertobat dan mengenakan kain kabung (ay. 5).
Lebih dahsyat
lagi, ketika kabar itu (atau firman itu) sampai kepada Raja Niniwe, ia turun
dari singgasananya dan ikut berkabung dan bertobat (ay. 6). Sang raja bahkan
mengeluarkan perintah agar seluruh rakyat Niniwe dan bahkan hewan ternak mereka
berpuasa, tidak makan dan tidak minum untuk memohon belas kasihan Allah (ay.
7). Tidak hanya berkabung dan berpuasa, Raja Niniwe juga memerintahkan
rakyatnya untuk berseru kepada Allah dan berbalik dari kejahatan dan kekerasan
yang selama ini mereka lakukan (ay. 8). Mereka sangat mungkin tidak mengenal
Allah orang Israel (karena sudah memiliki dewa-dewa sendiri). Namun mereka
berkata bahwa siapa tahu dengan pertobatan mereka yang sungguh-sungguh ini
Allah akan berpaling dari murka-Nya dan tidak membinasakan mereka (ay. 9)
Kita
dapat melihat bagaimana firman yang disampaikan oleh seorang dari bangsa Israel
di kota Niniwe yang sangat besar, bisa benar-benar membawa pertobatan bagi
seisi kota tersebut. Bagaimana orang-orang Niniwe tidak mencari keselamatan
dari dewa-dewa mereka, tetapi benar-benar menyesal, berkabung dan bertobat dengan
sungguh-sungguh. Bukti dari pertobatan mereka yang sungguh-sungguh itu
diverifikasi di ayat 10, dimana dikatakan bahwa Allah menyesal karena
malapetaka yang direncanakan atas orang Niniwe, walaupun tentu malapetaka
tersebut dirancangkan sebagai akibat dosa-dosa dan kejahatan yang dilakukan
orang Niniwe selama ini. Tetapi pada akhirnya, Allah menghargai pertobatan itu
dan tidak jadi melakukannya.
Dalam Perjanjian
Lama, kita dapat melihat banyak tokoh Alkitab yang bertobat dengan
sungguh-sungguh. Kita melihat bagaimana Daud bertobat, bangsa Israel bertobat,
dan bahkan orang Niniwe ini bertobat. Kita dapat melihat bagaimana orang Niniwe
yang kafir (yaitu bukan bagian dari umat pilihan yaitu bangsa Israel) dapat
didengar Allah. Pertobatan orang Niniwe yang sungguh-sungguh telah sampai ke
hadirat Allah. Tentu Allah adalah Allah yang menguji hati. Ia tahu mana
pertobatan yang sungguh-sungguh dan mana “pertobatan” yang pura-pura. Dan dalam
hal ini, kita dapat melihat dan menyimpulkan bahwa pertobatan orang Niniwe
pastilah pertobatan yang benar, bahkan sangat ekstrem karena rajanya sendiri
juga bertobat, bahkan anak-anak dan hewan ternak juga ikut berkabung dan
bepruasa.
Namun
demikian, kita sudah jarang melihat seruan pertobatan di gereja atau jemaat masa
kini. Sebenarnya seruan pertobatan juga disuarakan dengan keras di dalam
Perjanjian Baru, misalnya saja Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus dan para rasul.
Bahkan Alkitab juga mencatat pertobatan murid-murid Tuhan Yesus seperti Petrus
dan juga Paulus yang bertobat dari kesalahan dan kejahatan mereka. Namun, saya merasa
dan melihat bahwa semangat pertobatan di dalam gereja ini semakin memudar.
Kalaupun ada seruan pertobatan di dalam ibadah, seringkali itu hanya sebagai
suatu bagian dari liturgi yang nyaris tidak memiliki makna yang bernilai tinggi.
Seringkali seruan pertobatan hanya sebagai suatu formalitas dalam ibadah,
dimana pendeta atau jemaat akan meminta pengampunan atas “semua dosa-dosa yang
diperbuat dengan sengaja maupun tidak sengaja”. Hal ini membuat kesan bahwa
seakan-akan dosa-dosa sepanjang minggu sudah beres dengan pengakuan dosa
beberapa menit di gereja. Tentu kematian Tuhan Yesus sudah menghapus dosa-dosa
seluruh umat manusia. Tetapi jika hal pengakuan dosa dan pertobatan hanya dilakukan
sebagai hal yang bersifat formalitas semata, maka orang Kristen tidak akan mengalami
pertobatan yang benar dan proporsional. Mereka hanya merasa sudah bertobat
ketika datang di gereja, tetapi tidak sungguh-sungguh berjuang dan bertobat
meninggalkan kodrat dosa dan karakter-karakter buruk yang ada di dalam diri
mereka.
Hal ini
besar kemungkinan akibat kesalahan memahami karya keselamatan melalui pengorbanan
Tuhan Yesus di atas kayu salib. Banyak orang Kristen merasa sudah selamat
karena percaya bahwa Tuhan Yesus sudah mati di atas kayu salib. Memang benar bahwa
Tuhan Yesus mati di atas kayu salib demi menebus dosa-dosa umat manusia. Akan
tetapi, iman seperti ini barulah iman atas sejarah-Nya saja. Iman seperti ini
bukan iman yang hidup karena tidak dilanjutkan dengan perjuangan untuk hidup benar
dan melakukan perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan kehendak Bapa.
Saya
takut bahwa ketika seruan pertobatan ini semakin memudar dan jarang disuarakan
di gereja-gereja dan jemaat-jemaat, maka orang Kristen merasa “baik-baik saja”
akan hidupnya. Mereka tidak merasa perlu untuk bertobat, karena dianggap bahwa liturgi
pengakuan dosa seminggu sekali sudah cukup untuk menghapus dosa-dosa mereka,
dan kalaupun mereka berbuat dosa lagi kemudian hari, mereka akan tenang karena setiap
hari Minggu mereka dapat meminta pengampunan dosa dari pendeta. Padahal sejatinya
kita harus meminta pengampunan dosa dari Juruselamat kita yaitu Tuhan Yesus
sendiri, melalui jam-jam doa kita, saat teduh, dan waktu-waktu khusus dimana
kita menunjukkan pertobatan yang sungguh-sungguh.
Selama
ini kita sering melakukan pertobatan yang palsu atau semu (pseudo). Kita
merasa sudah bertobat padahal sebenarnya kita belum bertobat. Salah satu ciri
pertobatan yang benar adalah ketika kita merasa sangat menyesal jika kita
melakukan dosa bahkan kesalahan atau kemelesetan yang kecil di hadapan Tuhan.
Seakan-akan kita menyalibkan kembali Tuhan Yesus ketika kita melakukan dosa
tersebut. Ciri lain orang yang bertobat adalah mereka tahu bahwa mereka sudah
berbuat salah. Sama seperti orang Niniwe yang menyadari keadaan mereka yang
jahat dan penuh kekerasan, seharusnya kita menyadari dosa-dosa yang pasti kita
lakukan dengan sengaja.
Seruan
pertobatan ini semakin memudar, meskipun di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
penuh dengan kisah pertobatan tokoh-tokoh Alkitab dan bahkan seruan untuk bertobat
yang disampaikan oleh para nabi dan juga Tuhan Yesus sendiri. Di akhir zaman
ini, kita harus lebih sungguh-sungguh bertobat mengingat dunia ini dapat berakhir
kapanpun. Itulah sebabnya, di dalam kitab Wahyu kita menemukan seruan
pertobatan dari Tuhan Yesus kepada seluruh jemaat (Why 2-3). Hal ini menunjukkan
bahwa semakin banyak orang Kristen tidak peduli dengan pertobatan yang benar,
sehingga Tuhan merasa perlu untuk mengingatkan seluruh jemaat-Nya. Semoga kita
yang membaca tulisan ini benar-benar dapat menyadari keberdosaannya di hadapan
Allah, dan sungguh-sungguh mau bertobat di hadapan-Nya, supaya kita terhindar
dari siksaan api neraka kekal dan diperkenankan masuk ke dalam kerajaan-Nya
yang mulia.
Bacaan Alkitab: Yunus 3:4-10
3:4
Mulailah Yunus masuk ke dalam kota itu sehari perjalanan jauhnya, lalu berseru:
"Empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan."
3:5
Orang Niniwe percaya kepada Allah, lalu mereka mengumumkan puasa dan mereka,
baik orang dewasa maupun anak-anak, mengenakan kain kabung.
3:6
Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari
singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu
duduklah ia di abu.
3:7 Lalu
atas perintah raja dan para pembesarnya orang memaklumkan dan mengatakan di
Niniwe demikian: "Manusia dan ternak, lembu sapi dan kambing domba tidak
boleh makan apa-apa, tidak boleh makan rumput dan tidak boleh minum air.
3:8
Haruslah semuanya, manusia dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru
dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkah
lakunya yang jahat dan dari kekerasan yang dilakukannya.
3:9
Siapa tahu, mungkin Allah akan berbalik dan menyesal serta berpaling dari
murka-Nya yang bernyala-nyala itu, sehingga kita tidak binasa."
3:10
Ketika Allah melihat perbuatan mereka itu, yakni bagaimana mereka berbalik dari
tingkah lakunya yang jahat, maka menyesallah Allah karena malapetaka yang telah
dirancangkan-Nya terhadap mereka, dan Ia pun tidak jadi melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.