Sabtu, 22 Februari 2020

Pornos dan Moichos (57): Tidak Dapat Masuk ke dalam Yerusalem Baru


Sabtu, 22 Februari 2020
Bacaan Alkitab: Wahyu 22:12-15
Tetapi anjing-anjing dan tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh, penyembah-penyembah berhala dan setiap orang yang mencintai dusta dan yang melakukannya, tinggal di luar. (Why 22:15)


Pornos dan Moichos (57): Tidak Dapat Masuk ke dalam Yerusalem Baru


Akhirnya kita sampai pada akhir dari serial renungan yang membahas mengenai kata pornos dan moichos. Renungan terakhir dalam seri ini menggunakan ayat dari kitab terakhir dan pasal terakhir dalam Alkitab yaitu kitab Wahyu pasal 22. Ini pun berbicara mengenai Yerusalem Baru, “ibukota” dari kerajaan Allah yang nyata dalam langit yang baru dan bumi yang baru. Kita tentu sudah membahas panjang lebar mengenai siapa-siapa saja orang-orang yang diperkenankan masuk ke dalam langit dan bumi yang baru pada renungan hari sebelumnya. Di dalam bacaan Alkitab kita hari ini, kita akan membahas mengapa orang-orang sundal tidak diperkenankan masuk ke dalam Yerusalem Baru (meskipun secara logika, jika mereka saja tidak dapat masuk ke dalam langit dan bumi yang baru, pastilah mereka juga tidak akan dapat masuk ke dalam Yerusalem Baru).

Bacaan Alkitab kita hari ini dimulai dengan perkataan Tuhan Yesus sendiri yang menyatakan bahwa Ia akan datang segera (ay. 12a). Mungkin ada beberapa orang di antara para pembaca yang berkata: “Ah kapan Tuhan mau datang? Pada waktu 2.000 tahun yang lalu, Tuhan bilang sudah mau datang segera, sekarang sudah tahun 2.000 sekian kok masih belum datang?”. Kita harus paham bahwa tentu dibandingkan kekekalan yang tak berujung, 2.000 tahun (bahkan jutaan tahun) pun pasti terhitung cepat atau segera. Bagi Yesus yang adalah Alfa dan Omega, yang Pertama dan yang Terkemudian, yang Awal dan yang Akhir, 2.000 tahun itu sangatlah singkat (ay. 13). Di hadapan Tuhan, 1 hari sama seperti 1.000 tahun dan 1.000 tahun itu sama seperti 1 hari (2 Ptr 3:8). maka tidak Lagipula, justru ini menjadi suatu penyemangat bagi kita untuk terus hidup kudus dan meletakkan semua pengharapan kita pada hari kedatangan Tuhan Yesus tersebut (1 Ptr 1:13). Anggaplah ini sebagai kesempatan bagi kita untuk bertobat dan berusaha hidup tak bercacat dan tak bercela (2 Ptr 3:14-15). Lagipula tidak usah menunggu Tuhan Yesus datang, setiap saat kita pun bisa mati, dimana waktu hidup kita akan berakhir dan semua yang kita lakukan dalam hidup harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kali harus dipandang sebagai penggenapan janji-Nya untuk membawa upah bagi mereka yang telah bekerja keras di lading Tuhan, termasuk “upah” (dalam konotasi negatif) kepada mereka yang berbuat jahat. Perhatikan ucapan Tuhan Yesus di ayat 12 ini, yaitu Ia datang untuk membawa upah-Nya untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya (ay. 12b). Perhatikan bahwa penghakiman Tuhan ini didasarkan atas perbuatan yang dilakukan seseorang, bukan hanya sekedar “iman” (dalam konteks ini, iman yang hanya dimaknai sebagai keyakinan di dalam pikiran tanpa perbuatan yang nyata seperti yang ditulis di kitab Yakobus). Oleh karena itu, kita akan mengerti mengapa Tuhan Yesus kemudian menyebutkan sejumlah kelompok orang-orang yang tidak dapat masuk Yerusalem Baru, yang didasarkan pada karakter orang tersebut (yang terkait dengan perbuatan jahat dalam hidupnya), dan tidak didasarkan pada kelompok iman yang dimiliki orang tersebut.

Terdapat pula kalimat yang menyatakan bahwa orang yang berbahagia adalah mereka yang membasuh jubahnya (ay. 14a). Apa yang dimaksud dengan kalimat ini? Kata “jubah” dalam ayat ini menggunakan kata stole (στολή). Kata stole ini menggambarkan suatu status social tertentu, yang antara lain dipakai oleh ahli Taurat (Mrk 12:38, Luk 20:46). Kata ini juga digunakan oleh sebagai simbol seorang bapa yang telah mengangkat kembali anak bungsunya yang pernah hilang dengan memberikan sebuah jubah (Luk 15:22). Di kitab Wahyu, jubah sangat umum diberikan kepada orang-orang percaya yang telah mengikut Yesus (Why 7:9), antara lain mereka yang telah menyerahkan jiwanya demi nama Tuhan Yesus (Why 6:11). Dalam hal ini, orang-orang yang mencuci atau membasuh jubah diartikan sebagai mereka yang telah berhasil melewati kesusahan atau kesukaran yang besar (Why 7:13-14). Bisa jadi ini menggambarkan aniaya hebat yang dialami oleh jemaat mula-mula. Sejumlah jemaat di tempat dan waktu tertentu juga mengalami aniaya yang hebat, dan juga tentu termasuk dalam kelompok ini. Tentu mereka bisa melewati kesulitan itu dengan tetap hidup karena perlindungan Tuhan, tetapi sangat mungkin bahwa ada dari mereka yang sampai harus teraniaya bahkan mati karena iman mereka. Inilah yang dimaksud dengan membasuh jubah, yaitu tindakan yang berani menyerahkan nyawa (baik secara harafiah maupun secara ungkapan) bagi Tuhan dan kerajaan-Nya. Mungkin kita tidak perlu mati bagi Tuhan (apalagi mati konyol), tetapi kita harus mau mematikan diri kita sendiri demi melakukan apa yang Tuhan kehendaki untuk kita lakukan demi kerajaan-Nya.

Bagi mereka yang sudah “mati” bagi Tuhan, maka mereka pasti akan memperoleh hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk ke dalam kota Yerusalem Baru (ay. 14b). Jika pada langit dan bumi yang pertama, Tuhan menyediakan pohon kehidupan di tengah-tengah Taman Eden (Kej 2:9), supaya jika manusia memakannya mereka akan hidup selamanya, maka pada langit dan bumi yang baru, Tuhan menyediakan pohon-pohon kehidupan untuk dapat dinikmati oleh orang-orang yang telah membasuh jubahnya. Inilah hak istimewa yang diberikan kepada mereka yang sudah membuktikan iman mereka dengan tindakan hidup mereka, bahkan telah menyerahkan nyawa bagi Tuhan.

Di sisi yang lain, akan ada kelompok orang-orang yang tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam Yerusalem Baru. Dikatakan bahwa mereka akan tinggal di luar (ay. 15b). Pada akhirnya, hanya ada 2 pilihan: masuk ke dalam kerajaan Allah (yaitu langit dan bumi yang baru serta Yerusalem baru), atau tidak masuk (tinggal di luar). Namun pilihan yang kedua bukan berarti kita akan tetap tinggal di bumi ini, karena bumi ini akan menjadi lautan api, yang menggambarkan neraka dan hukuman kekal (Why 20:15). Oleh karena itu kita akan melihat kelompok orang-orang yang tidak dapat masuk ke dalam Yerusalem Baru (ay. 15a):

Pertama, kelompok orang-orang yang disimbolkan sebagai anjing-anjing. Dalam bahasa aslinya digunakan kata kynes (κύνες) dari akar kata kuón (κύων). Kata “anjing” ini sudah pernah saya bahas dalam seri renungan khusus, tapi pada intinya menggambarkan binatang buas yang suka menggonggong, menggigit, bahkan menyerang orang lain. Anjing juga adalah gambaran kenajisan (termasuk dalam binatang haram dalam adat istiadat Yahudi), serta juga menggambarkan guru-guru palsu dalam jemaat (2 Ptr 2:22). Kata “anjing” ini tidak terdapat dalam kelompok orang-orang yang tidak dapat masuk ke langit dan bumi yang baru sebagaimana telah kita bahas sebelumnya. Ini sebenarnya merupakan salah satu penekanan khusus bahwa mereka yang suka menjahati orang lain, bahkan tentu termasuk guru-guru palsu, pengajar-pengajar palsu, yang tidak mengajarkan kebenaran yang utuh. Kebenaran yang sejati pasti akan mengubah orang yang mendengarnya. Namun guru-guru palsu ini memilih untuk "menyunat” kebenaran yang disampaikan (bisa jadi karena memang ada kepentingan pribadi, atau karena takut dituntut untuk menyampaikan keteladanan) dan bisa saja tidak membawa jemaatnya mencapai standar yang seharusnya. Oleh karena itulah maka guru-guru palsu seperti ini tentu tidak akan diperkenankan masuk ke dalam kerajaan surga, meskipun mungkin saja mereka sudah berkhotbah, bernubuat, bahkan mengusir setan dalam nama Tuhan Yesus (Mat 7:21-23).

Kedua, kelompok orang-orang yang merupakan tukang-tukang sihir. Dalam bahasa aslinya digunakan kata pharmakoi (φαρμακοὶ) dari akar kata pharmakos (φάρμακος). Kata sama persis dengan yang digunakan dalam kitab Wahyu pasal 21 (sebagaimana telah kita bahas dalam renungan hari sebelumnya). Kata ini dapat diartikan sebagai orang-orang yang melakukan sihir-sihir tertentu (dengan bantuan kuasa kegelapan), atau mungkin saja mereka yang “membohongi” orang-orang dengan mempertontonkan suatu “penyembahan” yang hebat, tetapi pada kenyataannya itu hanyalah “penyembahan” yang semu, karena hanya bersifat lahiriah semata tanpa membawa orang-orang menyembah Allah secara benar sebagaimana telah kita bahas sebelumnya.

Ketiga, kelompok orang-orang sundal. Dalam bahasa aslinya digunakan kata pornoi (πόρνοι) dari akar kata pornos (πόρνος). Seperti kita telah bahas dalam seri renungan ini, kata pornos dapat bermakna orang yang terlibat dalam hubungan seksual yang tidak sah (termasuk dengan orang yang masih menjadi suami/istri dari orang lain), atau orang yang melacurkan dirinya sendiri demi kepuasan hawa nafsu atau materi. Sebagaimana telah kita bahas dalam renungan hari sebelumnya, kelompok ini dapat merupakan orang-orang yang melakukan percabulan secara fisik atau jasmani, atau mereka yang melakukan “percabulan” secara rohani (karena tidak sungguh-sungguh menjadikan Tuhan Yesus sebagai “mempelai” kita).

Keempat, kelompok orang-orang pembunuh. Dalam bahasa aslinya digunakan kata phoneis (φονεῖς) dari akar kata phoneus (φονεύς). Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang tentu saja membunuh orang secara fisik dengan sengaja dan niat yang tidak baik (seperti pembunuh bayaran). Namun perhatikan pula bahwa Tuhan Yesus pernah berkata bahwa orang yang marah kepada sesamanya sudah membunuhnya. Redefinisi pembunuhan dalam Perjanjian Baru tidak lagi hanya dipandang secara fisik, tetapi juga secara spirit atau rohani (Mat 5:21). Bahkan dalam contoh yang disampaikan Tuhan Yesus di ayat tersebut, ketika kita menyampaikan kata-kata yang membunuh karakter (semisal menyampaikan kabar bohong yang merugikan orang lain), maka itu sudah masuk ke dalam kategori “pembunuhan” dan akan mendapat hukumannya. Hukumannya adalah tidak dapat masuk ke dalam Yerusalem Baru atau masuk ke dalam neraka yang menyala-nyala (Mat 5:22).

Kelima, kelompok orang-orang yang merupakan penyembah berhala. Dalam bahasa aslinya digunakan kata eidōlolatrai (εἰδωλολάτραι) dari akar kata eidólolatrés (εἰδωλολάτρης). Sebagaimana telah kita bahas pada renungan hari sebelumnya, penyembah berhala di sini dapat berarti penyembahan berhala secara fisik (khususnya pada masa jemaat mula-mula), namun juga dapat berarti mereka yang menyembah suatu “obyek” lain selain Allah Yang Maha Kudus. Kata “menyembah” dalam hal ini bukan saja menyembah secara fisik (misal: sujud kepada patung), tetapi juga menyembah secara hati. Mungkin kita merasa sudah menyembah Tuhan karena rajin datang beribadah di gereja, menyanyi dan berdoa. Tapi jangan-jangan dalam hati kita, kita lebih memberikan prioritas atas harta dan kekayaan dunia, atau kehormatan dan kedudukan. Itu tandanya kita masih belum menyembah Allah dengan benar dan dapat masuk ke dalam kategori penyembah berhala (karena tidak menyembah Allah sebagai satu-satunya “entitas” yang patut disembah).

Keenam, kelompok orang-orang yang mencintai dusta dan melakukannya. Dalam bahasa aslinya digunakan kata philōn kai poiōn pseudos (φιλῶν καὶ ποιῶν ψεῦδος). Kata yang digunakan dalam ayat ini agak sedikit berbeda dengan kata yang digunakan dalam kitab Wahyu pasal 21, dimana digunakan kata pseudesin (ψευδέσιν) dari akar kata pseudés (ψευδής). Di pasal 22 ini, ditambahkan kata-kata “mencintai dan melakukan dusta/kepalsuan/kebohongan”. Kata “dusta” dalam ayat ini menggunakan kata pseudos (ψεῦδος) yang bermakna a lie, falsehood, untruth, false religion (dusta, kebohongan/pernyataan bohong, ketidakbenaran/kebenaran yang tidak benar, agama yang palsu/salah). Ada makna yang menarik dari kata ini yaitu untruth, yang saya terjemahkan sebagai kebenaran yang tidak benar. Dalam konteks umum, hoax bisa saja masuk dalam kategori ini, dimana seakan-akan yang disampaikan adalah kebenaran, padahal kebenaran itu sudah “dipotong dan disesuaikan”. Berapapun besarnya “potongan” yang dilakukan, meskipun hanya 1%, tetapi 99% kebenaran bukanlah kebenaran. Itu adalah kebenaran yang tidak benar.

Betapa berbahayanya jika ada orang-orang yang suka sekali mencintai untruth seperti ini, bahkan mereka yang suka sekali melakukannya (atau menyebarkannya). Betapa berbahayanya juga jika ada orang-orang seperti ini di gereja, khususnya mereka yang berprofesi sebagai para pengkhotbah dan pembicara di atas mimbar. Mengingat mereka yang menyampaikan khotbah tidak dapat diinterupsi, maka pengaruh para pembicara ini sangat besar terhadap kualitas rohani dan pertumbuhan jemaat yang mendengarkannya. Jika orang-orang yang berdiri di atas mimbar gereja adalah orang-orang yang suka menyampaikan dusta (kebenaran yang tidak benar/untruth), maka dapat dibayangkan suatu saat nanti Tuhan akan menuntut pertanggungjawaban dari mereka, karena dampaknya bukan hanya bagi diri orang itu sendiri, tetapi juga bagi banyak orang. Dalam konteks lain, mereka yang suka menggunakan mimbar untuk menyebarkan kabar bohong/dusta tentang orang lain, misalnya menyatakan orang lain sesat (padahal belum pernah melakukan kroscek atau dalam bahasa Arab dikenal sebagai tabayyun). Betapa berbahayanya informasi yang keliru tersebut terlebih di zaman digital dimana sangat mudah menyebarkan kabar bohong melalui sekali klik atau sentuhan jari. Kalau dahulu melakukan dusta pada umumnya diartikan dengan mengucapkan dusta melalui mulut, maka sekarang ini melakukan dusta dapat dengan mudah dilakukan melalui tulisan di media sosial atau internet. Tentu hal ini juga berlaku bagi saya sendiri yang menulis renungan di internet. Jika saya dengan menulis dengan niat menyampaikan kabar yang tidak benar, maka saya pun terancam hukuman Allah. Oleh karena itu, saya dan kita semua harus sangat berhati-hati untuk menyampaikan sesuatu. Ingatlah bahwa semua perkataan kita (dalam konteks modern termasuk juga setiap tulisan kita di media sosial/internet) harus kita pertanggungjawabkan pada hari penghakiman (Mat 12:36).

Dalam akhir renungan kita mengenai pornos dan moichos, saya kembali mengingatkan kita semua untuk menjaga kekudusan hidup di hadapan Tuhan. Tentu konteks secara khusus adalah menjaga kekudusan pernikahan (bagi yang sudah menikah), kekudusan tubuh kita (bagi yang belum menikah dan juga sudah menikah). Dan tidak hanya terkait percabulan saja, kita harus berusaha hidup kudus, tak bercacat dan tak bercela di hadapan Tuhan dalam segala hal, mulai dari pikiran (tidak menyembah “obyek” lain selain Allah), dalam perkataan (tidak mengucapkan kata-kata dusta, menyebarkan kabar bohong) dan juga dalam tindakan kita (tidak membunuh, tidak berbuat cabul). Tidak ada kemalangan yang lebih besar daripada kenyataan ditolak Allah untuk masuk ke dalam kerajaan-Nya yang kekal. Karena Allah adalah Allah yang fair, yang memiliki tatanan yang sempurna, sebenarnya Allah sudah memberi “kisi-kisi” agar kita dapat masuk ke dalam kerajaan-Nya. Namun, persoalannya, mana yang kita pilih? Apakah kita memilih untuk berusaha hidup kudus di hadapan-Nya sehingga kita layak masuk ke dalam Yerusalem Baru, atau kita memilih untuk menikmati hidup di dunia, hidup suka-suka sendiri, namun pada akhirnya ditolak untuk masuk ke dalam kerajaan-Nya?

  


Bacaan Alkitab: Wahyu 22:12-15
22:12 "Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya.
22:13 Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir."
22:14 Berbahagialah mereka yang membasuh jubahnya. Mereka akan memperoleh hak atas pohon-pohon kehidupan dan masuk melalui pintu-pintu gerbang ke dalam kota itu.
22:15 Tetapi anjing-anjing dan tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh, penyembah-penyembah berhala dan setiap orang yang mencintai dusta dan yang melakukannya, tinggal di luar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.