Senin, 24
Februari 2020
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 9:13-18
Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh
memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai
pemberita Injil. (1 Kor 9:18)
Tidak Hanya Tidak Menerima Upah
Sejak
saya masih kecil, saya punya komitmen yang cukup baik, bahwa saya memiliki
tekad jika saya mengambil suatu pelayanan di gereja atau di tempat lain, saya
tidak akan menerima upah yang pada umumnya berupa suatu amplop berisi uang yang
lebih dikenal dengan nama persembahan kasih (PK). Saya mulai melayani di gereja
secara serius dan formal ketika menjadi bagian dari tim pelayanan musik di
gereja lokal saya. Saat itu saya sangat senang jika harus berkorban pergi ke
gereja untuk latihan pada hari Sabtu malam, dengan harus mengorbankan uang
jajan saya. Pada waktu itu untuk menuju ke gereja, saya harus naik kendaraan
umum 2 kali dengan waktu tempuh sekitar 1 jam. Namun hati saya bahagia karena
saya menganggap saya sudah berkorban demi Tuhan melalui pelayanan saya
tersebut. Namun keadaan mulai berubah ketika ada perubahan dalam tim pelayanan.
Gembala sidang saya menunjuk seorang profesional yang waktu itu bekerja sebagai
suatu manajer (atau jabatan lebih tinggi di suatu perusahaan internasional)
untuk menjadi ketua tim pelayanan khusus di bidang musik (termasuk worship leader, singer, dan pemusik). Sejak
saat itu, tim pelayanan musik dikenal sebagai “Bani Asaf”, merujuk pada istilah
dalam Perjanjian Lama.
Memang
saya akui bahwa waktu itu, jemaat gereja kami bukanlah orang yang terlalu kaya.
Terkadang meskipun sudah dijadwalkan, ada saja orang yang tidak mau latihan
sebelum ibadah. Oleh karena itu, ketua Bani Asaf kami kemudian membuat
kebijakan bahwa setiap pelayan Bani Asaf akan diberikan suatu amplop ucapan
terima kasih. Seingat saya waktu itu jumlahnya Rp10.000. Uang itu bukan berasal
dari kas gereja, tapi dari kantong pribadi orang tersebut. Jumlah itu cukup besar
pada waktu itu. Namun konsekuensinya, seluruh pelayan harus tunduk kepada ketua
tim itu dan harus mau ikut doa sebelum pelayanan, latihan rutin, dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang tidak bisa saya sebutkan di sini. Memang niat orang tersebut baik,
karena mencoba meningkatkan motivasi pelayan gereja. Namun di sisi lain saya
melihat itu sebagai salah satu “cara halus” supaya orang tersebut dapat “menguasai”
para pelayan di gereja dan memperoleh posisi yang dihormati.
Namun
saya mungkin adalah satu-satunya orang yang tidak mau menerima amplop PK
tersebut. Biasanya amplop diberikan setelah selesai pelayanan. Tapi biasanya
saya tinggalkan begitu saja. Kalau tidak memungkinkan, amplop itu saya terima namun
kemudian saya masukkan lagi ke dalam kantong persembahan. Saya tidak mau
pelayanan saya “dibayar” karena saya merasa seharusnya pelayanan adalah memberi
kepada Tuhan (tenaga, waktu, pikiran, dan uang), bukannya justru ketika
pelayanan kita mendapatkan sesuatu dari Tuhan.
Saya
kemudian juga mengambil bagian di suatu persekutuan kampus di mana saya
berkuliah. Persekutuan kampus ini pada waktu itu membuat kebijakan yang sangat
radikal: Jika pelayan adalah seorang full timer, maka akan diberikan semacam amplop PK yang
diambil dari kas persekutuan. Namun jika pelayan bukan seorang full timer, entah
itu melayani sebagai pemusik, singer, atau bahkan pembicara dalam retreat yang
berhari-hari pun tidak akan diberikan amplop PK, melainkan diberikan semacam
kartu ucapan terima kasih atas nama persekutuan tersebut. Saat itu saya sudah
mengumpulkan banyak sekali kartu ucapan terima kasih dari segala pelayanan saya
di persekutuan kampus tersebut. Saat itu saya merasa, inilah model yang benar.
Singkat
cerita, Tuhan menambahkan pelayanan saya. Saya melayani suatu gereja di luar
kota, dimana saya biasanya harus berangkat hari Jumat malam, sampai pada hari Sabtu
pagi, hari Sabtu malam melayani ibadah pemuda remaja, belum merangkap sebagai
pemusik pada ibadah hari Minggu (sehingga juga harus latihan musik hari Sabtu
malam), dan hari Minggu sore saya kembali ke kota tempat saya bekerja. Saya
juga dipercaya beberapa kali mengisi khotbah di gereja tersebut. Pernah pada
suatu waktu, saya harus memimpin ibadah pemuda remaja sekaligus latihan musik di
hari Sabtu malam, langsung menjadi pemusik dan sekaligus menjadi pengkhotbah
dan menutup ibadah dalam doa. Dengan kondisi yang demikian, saya memang juga
tidak mau menerima amplop PK dari gereja tersebut. Bahkan tidak terhitung uang
yang sudah saya berikan ke gereja tersebut (yang mungkin nilainya lebih dari
10% penghasilan saya setiap bulannya).
Saat ini
saya sudah tidak melayani di gereja tersebut. Saya bukannya mencoba mengingat-ingat
jasa saya terhadap gereja tersebut, tapi yang saya ingat adalah setiap selesai pelayanan
(umumnya ketika selesai berkhotbah), pendeta atau istri pendeta pasti menyalami
saya dan berkata: “PK nya minta sama Tuhan sendiri ya”. Ya, saya memang tidak mencari
uang di gereja tersebut. Tapi ucapan kalimat tersebut ternyata mengganggu saya.
Ya, karena saya merasa tidak berhak untuk meminta PK kepada Tuhan. Bisa diberi
kesempatan melayani saja saya sudah sangat bersyukur karena itu adalah suatu
anugerah. Namun belakangan saya tahu bahwa pengelolaan keuangan di gereja
tersebut tidak transparan. Bahkan kepada orang-orang tertentu yang melayani dan
lebih membutuhkan dari saya, pendeta tersebut tidak pernah memberi PK dengan alasan
satu dan lain hal. Pernah juga saya mendengar dari sumbernya secara langsung bahwa
ada seorang mahasiswi sekolah tinggi teologi yang magang di gereja itu, dengan
pekerjaan yang sangat berat (tidak hanya membersihkan gereja dan menyiapkan
segala sesuatu, tetapi juga membersihkan rumah pendeta itu, bahkan mencuci baju
pendeta dan keluarga setiap akhir pekan), kemudian hanya diberikan uang Rp2.000
untuk membeli satu bungkus mie instan baginya untuk makan malam (Kejadian ini
baru tejadi beberapa tahun yang lalu dimana harga sebungkus mie instan di
warung memang pas Rp2.000). Padahal saya tahu bahwa uang yang masuk setiap
minggunya jauh lebih banyak, belum termasuk persembahan persepuluhan dan persembahan
khusus lainnya.
Saya tidak
sedang menyalahkan pendeta tersebut atas kebijakan yang ia lakukan, atau
membuat saya terlihat lebih benar. Memang Alkitab pun menekankan bahwa mereka
yang melayani dalam pelayanan tempat kudus/mezbah/pemberitaan Injil (dalam hal
ini: gereja atau persekutuan), berhak hidup dari pelayanannya (ay. 13-14).
Apalagi jika orang tersebut adalah seorang full timer dimana ia tidak mendapatkan
sumber penghasilan lain selain penghasilan dari pelayanannya (berkhotbah dan
lain sebagainya).
Namun
demikian, penulis prinsip ini, yaitu Rasul Paulus (yang kualitas pelayanannya
dan komitmen pelayannya sudah tidak perlu diragukan lagi), tidak pernah
mengambil haknya tersebut (ay. 15). Paulus merasa bahwa adalah suatu kehormatan
baginya untuk dapat memberitakan Injil, sehingga tidak pernah memikirkan upah
yang diterima atas pemberitaan Injil yang dilakukannya (ay. 16-17). Rasul
Paulus meninggalkan jabatannya yang cemerlang sebagai orang Farisi, dan menjadi
pemberita Injil. Seharusnya, ia pun berhak untuk menerima uang dari jemaat yang
dilayaninya, terlebih ia telah sudah sangat berjerih lelah dalam pelayanannya.
Paulus
berkata bahwa apakah upah dari pelayanannya tersebut? Upahnya adalah ketika ia diperkanankan
untuk melayani tanpa upah, dan boleh tidak menggunakan haknya sebagai pelayan
Tuhan yang benar (ay. 18). Dalam hal ini, Paulus memberi suatu contoh dan
teladan hidup yang luar biasa. Meskipun ia sebenarnya berhak menerima upah dari
jemaat yang dilayaninya, ia masih tetap bekerja sebagai pembuat kemah, dan uang
yang dihasilkannya itu digunakan untuk menghidupi dirinya (Kis 18:3). Sangat
mungkin Paulus tidak lahir dari keluarga pembuat kemah. Ketika menjadi orang
Farisi, ia mungkin mendapatkan banyak uang dari hasil “pelayanannya” dalam agama
Yahudi. Oleh karena itu, ketika memutuskan menjadi full timer, Paulus sangat mungkin
harus belajar teknik membuat kemah untuk mendapatkan uang. Tentu ia mencari
peluang usaha dimana kebanyakan orang Romawi atau Yunani tidak memiliki skill yang
memadai dalam hal tersebut.
Meskipun
Paulus telah menunjukkan suatu keteladanan hidup, ia tidak memaksa atau
mewajibkan pelayan lainnya untuk menjadi seperti dia. Baginya, memang ia harus
memiliki teladan hidup supaya hidupnya dapat berbicara lebih keras daripada
khotbahnya. Lagipula, dengan tidak menerima uang dari jemaat yang ia layani, ia
dapat melayani dengan lebih independen, suatu hal yang sangat sulit dilakukan
pada masa itu (dan mungkin juga masa sekarang).
Tentu
sikap seperti Paulus ini tidak bisa langsung dikenakan menjadi standar para
pendeta saat ini. Saya memiliki prinsip itu sejak kecil karena saya memang bekerja
di bidang lain, memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang cukup, sehingga saya
dapat menopang pelayanan bagi orang-orang yang lebih membutuhkan. Sayangnya,
saya melihat bahwa ada beberapa oknum pendeta yang merasa diri lebih miskin, khususnya
yang ada di gereja-gereja di pedalaman atau desa-desa (bukan di kota-kota
besar). Akibatnya, mereka sering mengharapkan gereja besar di kota untuk
membantu mereka dalam hal finansial, atau bantuan lainnya. Mereka sering playing victim dengan
membandingkan penghasilan mereka dengan penghasilan pendeta di kota besar.
Namun tanpa mereka sadari, untuk ukuran di daerah, sebenarnya penghasilan
mereka itu jauh lebih besar daripada upah minimum regional di daerahnya.
Memang
tidak semua pendeta seperti itu. Ada pendeta yang memang hidup dalam garis
kemiskinan, karena jemaatnya juga adalah orang-orang miskin. Terhadap pendeta
semacam itu kita harus bersedia membantu. Tapi alangkah baiknya jika seorang
pelayan Tuhan (entah pendeta, pengkhotbah, penginjil, pemain musik, atau
apapun) memiliki prinsip ini: bahwa jika memungkinkan kita tidak mengharapkan
upah ketika melayani. Ada amplop PK atau tidak ada amplop PK pun tidak menjadi
masalah. Dan seharusnya prinsip ini ditanamkan ke jemaat sejak dini, serta
harus ada teladan nyata dari pelayan Tuhan tersebut dalam kehidupannya.
Menurut
saya, tidak menerima upah saat melayani adalah hal yang bagus. Tetapi itu saja
pun belum cukup. Jangan kemudian dijadikan semacam aturan baku bahwa “pelayan
di gereja tidak berhak menerima upah”. Yang terpenting adalah pemahaman
terhadap pelayanan itu sendiri. Semua kita adalah pelayan Tuhan di bidang dan
area kita masing-masing. Seorang pegawai adalah pelayan Tuhan di kantor.
Seorang pengusaha/businessman adalah pelayan Tuhan di bidang usahanya. Seorang
tenaga medis adalah pelayan Tuhan di rumah sakit. Seorang ibu rumah tangga pun
adalah pelayan Tuhan di keluarganya. Pelayanan haruslah dipandang jauh lebih
luas dari tembok-tembok gereja. Jika seseorang banyak melayani di gereja sampai
larut malam tapi keluarganya berantakan, itu bukanlah pelayanan yang benar.
Kita
harus menanamkan prinsip bahwa kita harus siap tidak menggunakan hak kita, atau
lebih tepatnya lagi: Rela kehilangan hak ketika memutuskan untuk percaya kepada
Tuhan Yesus. Dengan hal ini, kita tidak akan tergoda untuk menuntut Tuhan mengabulkan
doa kita hanya karena alasan bahwa kita sudah berjerih Lelah dalam pelayanan.
Bahkan seorang pelayan Tuhan yang sudah dewasa akan sangat berhati-hati dalam
meminta sesuatu kepada Tuhan dalam doa. Seorang pelayan Tuhan yang benar harus
rela kehilangan hak, dalam artian siap difitnah, diperlakukan tidak adil,
dicaci maki bahkan dianiaya, karena Tuhan kita dahulu juga mengalami hal yang
demikian. Tapi dalam keadaan yang sesulit apapun, jika kita memiliki prinsip
rela kehilangan hak, maka kita akan memperoleh manfaatnya: 1) Kita tidak akan
terikat dengan dunia (uang, kekayaan, kedudukan, dan lain sebaginya); 2) Kita
semakin menghayati bahwa dunia bukanlah rumah permanen kita; 3) Kita akan
semakin berjuang lebih keras untuk berkenan kepada Tuhan; dan 4) Hidup kita
akan menjadi suatu “catatan yang terbuka” yang siap dilihat siapa saja. Kalaupun
ada upah yang berhak kita terima, seharusnya upah tersebut tidak kita terima di
bumi ini, tetapi kita terima nanti di kekekalan.
Bacaan Alkitab: 1 Korintus 9:13-18
9:13 Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus
mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani
mezbah, mendapat bahagian mereka dari mezbah itu?
9:14 Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan
Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu.
9:15 Tetapi aku tidak pernah mempergunakan satu pun dari hak-hak itu. Aku
tidak menulis semuanya ini, supaya aku pun diperlakukan juga demikian. Sebab
aku lebih suka mati dari pada ...! Sungguh, kemegahanku tidak dapat ditiadakan
siapa pun juga!
9:16 Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk
memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku
tidak memberitakan Injil.
9:17 Kalau andaikata aku melakukannya menurut kehendakku sendiri, memang
aku berhak menerima upah. Tetapi karena aku melakukannya bukan menurut
kehendakku sendiri, pemberitaan itu adalah tugas penyelenggaraan yang
ditanggungkan kepadaku.
9:18 Kalau demikian apakah upahku? Upahku ialah ini: bahwa aku boleh
memberitakan Injil tanpa upah, dan bahwa aku tidak mempergunakan hakku sebagai
pemberita Injil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.